SIARAN TELEVISI SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA: SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SIARAN TELEVISI

SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA: SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL

   YANG DITAYANGKAN OLEH STASIUN TRANS TV TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI N I M : 016322007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2005 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SIARAN TELEVISI

SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA: SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL

   YANG DITAYANGKAN OLEH STASIUN TRANS TV TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI N I M : 016322007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2005

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN

  Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Siaran Televisi sebagai

  

Produksi Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang

  , merupakan hasil karya dan penelitian

  Ditayangkan oleh Stasiun Trans TV

  saya. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 18 Agustus 2005 C.B. Bambang Kukuh C. Adi

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI Nomor Mahasiswa : 06322007 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SIARAN TELEVISI SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk: pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 27 Agustus 2005 Yang menyatakan (C.B. Bambang Kukuh Christono Adi)

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

UNGKAPAN SYUKUR DAN TERIMA KASIH

  Tanpa terasa waktu yang berjalan dengan amat cepat dan ruang kian menyempit, segala suka dan duka dalam menulis tesis ini bisa teratasi. Puji syukur, penulis haturkan kepada Allah yang maha kuasa atas segala kemurahan yang dilimpahkan kepada penulis sehingga tesis ini bisa terselesaikan.

  Tesis ini merupakan satu penggalan kisah pengalaman yang tidak akan pernah penulis lupakan saat bekerja di sebuah stasiun televisi swasta. Kisah ini terjalin dari waktu ke waktu ditambah dengan sejumlah kisah pengalaman praktisi televisi yang lainnya; kemudian dirangkai dengan studi yang ditempuh penulis pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Perpaduan antara pengalaman praktik di bidang pertelevisian dan studi tentang budaya, khususnya yang berhubungan dengan media, telah menciptakan nuansa khusus dalam tesis ini, yakni sebuah relevansi empirik yang diberi dasar teoritis untuk memberi pemahaman baru mengenai fenomena siaran televisi. Semua ini dapat terealisasikan melalui usaha yang keras dengan bantuan dari berbagai pihak.

  Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang amat besar kepada Dr. Ishadi S.K., M.Sc, yang dengan segala kesibukannya sebagai Presiden Direktur Trans TV serta berbagai kegiatan akademik beliau yang demikian padat, masih menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan kemudian menyempatkan diri untuk menjadi penguji. Tanpa beliau, tesis ini tidak akan memiliki kedalaman makna tentang dunia pertelevisian.

  Penulis juga menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Dr. St. Sunardi, Ketua Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang senantiasa mendorong penulis untuk menggeluti Kajian Budaya, khususnya yang berhubungan dengan bidang media. Beliau jugalah yang membawa penulis kepada pergumulan dengan sejumlah pemikiran sosial budaya, khususnya yang menyangkut tesis ini.

  Penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya juga penulis berikan kepada Dr. Novita Dewi, M.S., M.A., (Hons) yang telah memberikan dorongan yang cukup besar bagi penulis untuk belajar di program studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, yang kemudian juga bersedia menjadi reader (penguji) tesis ini. Semoga persahabatan kita tidak luntur oleh jaman yang semakin menggila.

  Selain itu penghargan penulis haturkan juga kepada Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, S.J. yang terus memberi semangat untuk menyelesasikan tesis ini dan sekaligus menjadi moderator dalam ujian tesis ini. Terima kasih juga kepada Dr.

  P.S. Hary Susanto, S.J., Dr. G. Budi Subanar, S.J., dan Dr. Budiawan atas 'sentilan-sentilan'-nya sebagai bentuk dorongan bagi penulis. Tidak lupa, terima kasih penulis haturkan kepada staf sekretariat Pascasarjana Universitas Sanata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  Dharma, Ibu Henki dan Ibu Lely yang telah membantu kelancaran studi penulis sampai selesai.

  Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, angkatan 2000, 2001, 2002, dan 2003. Pergaulan kami, dengan segala kemajemukan yang tidak pernah menimbulkan pertentangan, telah memberikan kontribusi yang besar bagi penulisan tesis yang 'berbeda' dengan bidang-bidang kajian lainnya.

  Penghargaan yang sangat besar penulis haturkan pula kepada segenap staf di Trans TV Jakarta: Mbak Lilo, Pak Noko, Mas Taufik, Mas Emil Syarif, Pak Irwin, Pak 'Cipuk' Imam Wahyono, Pak Azuan, Pak Abdullah, Pak Imam, Mas Rahmat, Mas Oji, Ibu Dian, Mbak Fitri, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Edward di SCTV Jakarta yang pertama kali mengajak penulis memahami dunia televisi di Indonesia. Tanpa bantuan mereka, penelitian tentang dunia pertelevisian tidak dapat berlangsung dan tesis ini tidak memiliki isi sama sekali.

  Tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Yustinus dan Carolina di Gunung Putri, Bogor dan sahabat penulis, L.E. Purwatmoko beserta keluarga di Cempaka Baru, Jakarta karena di rumah kedua keluarga ini penulis diperkenankan untuk tinggal selama melaksanakan penelitian di Jakarta.

  Penghargaan yang tak ternilai penulis haturkan kepada ayahanda, G. Moedjanto dan ibunda, M.C. Suhartini Moedjanto di Yogya yang telah memberikan bantuan moril dan materiil kepada penulis. Penghargaan yang amat besar juga penulis sampaikan kepada Mas Sigap dan keluarga yang meskipun sibuk tetapi masih sempat memikirkan adhiknya dan memberi masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis ini; Dhik Tanti sekeluarga yang dengan senang hati selalu memberikan banyak bantuan yang penulis perlukan; Mbak Eta sekeluarga dan 'Ipouk' Vivayanto, yang meski jauh, memberikan dukungan yang sangat besar bagi penulis.

  Penulis juga menghaturkan penghargaan yang amat besar kepada ayahanda R. Soetardjo dan ibunda Agnes Sumiyati di Kudus, yang juga memberikan dukungan amat besar bagi penulis dan keluarga. Terima kasih kepada adhik-adhik: Rio yang menyediakan tempat dan fasilitas serta menunjukkan jalan ketika penulis di Jakarta; Leoni dan Gaby yang meringankan tugas-tugas domestik di Minomartani; Ria, Yuli dan Ari yang dengan segala doa dan tenaga membantu penulis dan keluaga.

  Secara amat khusus dan istimewa penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih kepada istri tercinta Carla Sih Prabandari yang telah senantiasa memberikan semangat kepada penulis dan merawat anak-anak tercinta, Carolina Reni Kusumaningsih dan Carel Nicko Adikusuma sejak berada dalam kandungan hingga bisa berjalan sendiri. Atas namaNya, kasih dan cinta kita tidak akan pernah padam selamanya.

  Kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam ruang sempit ini, penulis haturkan ucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya. Tanpa bantuan semuanya, tesis ini tidak akan selesai. Semoga Tuhan YME senantiasa melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada kita semua. Amin.

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI

  i

  HALAMAN JUDUL

  ii

  LEMBAR PERSETUJUAN

  iii

  LEMBAR PENYATAAN LEMBAR PENERIMAAN

  iv v

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

  vi

  UNGKAPAN SYUKUR DAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI

  viii xiii

  DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

  xiv xv

  ABSTRAK

  xvi

  ABSTRACT

  BAB I. PENDAHULUAN

  1

  1 A. Latar Belakang

  1. Televisi dan Masyarakat Indonesia

  5

  2. Pertumbuhan Jam Siaran Televisi

  10

  3. Peningkatan Jam Siaran Program Musik Dangdut di Televisi

  13

  4. Realitas Sosial dan Realitas Media

  17

  5. Studi tentang Televisi Di Indonesia

  19

  6. Peranan Lembaga Penyiaran Televisi

  25

  30 B. Rumusan Masalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  31 C. Tujuan Penulisan Tesis

  D. Manfaat Penulisan Tesis

  32

  33 BAB II. TELEVISI DAN PRODUKSI BUDAYA

  33 A. Televisi: Praktik Produksi Budaya

  1. Televisi dan Budaya Televisi

  34

  2. Pertelevisian sebagai Praktik Budaya

  37 B. Habitus, Modal, dan Arena

  42

  1. Habitus

  43

  2. Modal

  49

  3. Arena

  55

  61 D. Kerangka Teori

  1. Arena Televisi di Indonesia

  62

  2. Keterlibatan Agen Institusi dalam Arena Televisi

  63

  3. Inul sebagai Realitas yang dikonstruksikan

  64 BAB III. METODOLOGI

  67

  67 A. Pendekatan Sosiologi Budaya

  B. Implikasi Metodologis

  71

  1. Obyek dan Subyek Penelitian

  74

  2. Etnografi: Observasi dan Interview

  76

  3. Studi Teks dan Kepustakaan

  77

  79 BAB IV. LATAR BELAKANG HISTORIS: DARI MONOPOLI KE

  KOMPETISI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  79 A. Monopoli Siaran Televisi

  B. Satu Kroni Enam Televisi dalam Satu Arena

  83

  86 C. Persaingan Siaran Televisi di Indonesia

  1. Pertumbuhan Negatif Siaran TV: Peningkatan Produksi Lokal

  87

  2. Arena Televisi yang Semakin Padat

  89

  93 BAB V. ARENA TELEVISI DI INDONESIA

  A. Ruang Sosial Arena Televisi

  94

  1. Habitus dan Kepemilikan Modal

  95

  2. Lembaga sebagai Agen

  99

  a. Lembaga Kebijakan Publik 100

  b. Lembaga Swasta 104

  c. Lembaga Sosial Nirlaba 108

  3. Individu sebagai Agen 110 116

  B. Hukum dan Logika dalam Arena Televisi

  C. Interaksi dalam Arena Televisi

  123 130

BAB VI. TRANS TV: AGEN INSTITUSI DALAM ARENA TELEVISI INDONESIA

  133

  A. Profile Trans TV

  137

  B. Manajemen Trans TV

  C. Karakter Trans TV

  140 145

  D. Komposisi Modal Trans TV

  

E. Peranan Habitus Kelompok bagi Trans TV 156

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB VII. INUL DALAM TELEVISI: ARENA TELEVISI SEBAGAI ARENA PRODUKSI BUDAYA DAN ARENA KEKUASAAN 166

  166

  A. Televisi sebagai Arena Produksi Budaya

  1. Proses Kreatif Artistik Rindu Inul 170

  2. Kerja Teknik Produksi 177

  3. Pemrograman Siaran Rindu Inul 185

  4. Rindu Inul: Konstruksi Baru dalam Arena Produksi Budaya 188 193

  B. Pergerakan Inul dalam Arena

  1. Goyang Ngebor sebagai Strategi 194

  2. VCD Bajakan sebagai Alat Akumulasi Modal Simbolik 199

  3. Inul Dalam Arena Dangdut 205

  4. Strategi dalam Arena Televisi 212 213

  C. Inul dalam Arena Kekuasaan

  1. Perbandingan Dua Kekuatan Dominan 215

  2. Posisi Dominan dalam Arena Televisi 220

  3. Arena Televisi sebagai Arena Kekuasaan 226

  4. Dua Kekuatan Dominan dalam Arena Kekuasaan 229 238

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

  238

  B. Saran 243 247

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

  255

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  Lmpiran 1

  • TPI Daily Program Schedule on Saturday, May 03, 2003 256
  • TPI Daily Program Schedule on Sunday, May 04, 2003 257
  • Kategori Program dalam Pola Acara Harian ANTV, May 03, 2003 258

  Lampiran 2

  Daftar Stasiun Televisi Nasional, Lokal, dan Komunitas yang beroperasi di Indonesia hingga Maret 2005 259

  Lampiran 3

  • Tabel 4a. Jumlah Jam Siaran dan Mata Acara Televisi dalam Satu 260

  Minggu hingga September 2002

  • Tabel 4b. Jumlah jam siaran berdasarkan variasi Program Minggu 261

  Kedua, September 2002, hari Senin hingga Minggu

  Lampiran 4

  Bagan Organisasi PT Televisi Transformasi Indonesia 268

  Lampiran 5

  Rundown Program 'Rindu Inul' dari Trans TV 269

  Lampiran 6

  Salinan Surat PAMMI kepada Iwan, Direktur PT Blackboad 270 Indonesia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel 1. Perkembangan Jam Siaran Televisi di Indonesia.

  11 Tabel 2. Kategori (Genre) program televisi di Indonesia hingga akhir tahun 2002

  12 Tabel 3. Pertumbuhan Program Musik Dangdut hingga awal Juni 2003

  14 Tabel 4a. Jumlah Jam Siaran dan Mata Acara Televisi dalam Satu Minggu 260 Tabel 4b. Jumlah Jam Siaran berdasarkan Variasi Program per Hari dalam

  Satu Minggu 261

  Tabel 5. Institusi yang terlibat dalam arena televisi dan kecenderungan akumulasi modal.

  100 Tabel 6. Invididu yang terlibat dalam arena televisi berdasarkan kategori sosial dan kecenderungan akumulasi modal. 111 Tabel 7. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV terhadap agen-agen institusi lain dalam arena televisi. 146 Tabel 8. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - RCTI. 150 Tabel 9. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - TPI. 151 Tabel 10. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - Lativi. 152 Tabel 11. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - Metro TV.

  153 Tabel 12. Institusi yang terlibat dalam arena dangdut pada tahun 2003 dan kecenderungan akumulasi modal.

  206 Tabel 13. Individu yang terlibat dalam arena dangdut pada tahun 2003 dan kecenderungan akumulasi modal

  208 Tabel 14. Riwayat hidup Inul Daratista dan Rhom Irama. 217 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Skema kode-kode televisi

  42 Gambar 2. Dua aksis modal dalam pembagian kelas sosial.

  52 Gambar 3. Logo Trans TV 134

  Gambar 4. Peta ruang sosial arena televisi 2005 berdasarkan pontesi dan kecenderungan akumulasi modal agen. 156 Gambar 5. Inul di antara artis-artis pendukung, bersama Trans TV 166 menambah akumulasi modal mereka melalui acara Rindu Inul Gambar 6. Arena televisi sebagai arena produksi budaya, arena kekuasaan, 168 dan arena hubungan kelas Gambar 7. Dua komparasi pakaian dan rambut Inul Daratista saat sebelum dan 189 sesudah memasuki arena televisi Gambar 8. Rhoma Irama: Raja Dangdut dan Ketua PAMMI 236

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

  Praktik pertelevisian merupakan sebuah upaya membangun konstruksi sosial atas individu tertentu dalam sebuah kondisi sosial melalui produksi dan penyiaran program televisi yang memadukan berbagai unsur-unsur seni di dalamnya. Dalam program musik dangdut di televisi, produksi dan penyiaran program menjadi arena bagi praktik produksi budaya. Tujuannya adalah untuk memperoleh dan mempertahankan posisi dominan individu atau lembaga dalam kondisi sosial tertentu.

  Televisi telah mengubah kondisi masyarakat Indonesia semenjak adanya sistem siaran televisi. Fenomena itu diawali dengan munculnya kebiasaan baru, yakni menyaksikan siaran televisi, yang mengalami pasang surut karena persaingan antar lembaga penyiaran televisi. Kebiasaan itu kemudian membentuk budaya baru, budaya televisi di mana peristiwa-peristiwa dalam program televisi telah menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat audiens. Kondisi seperti itu medorong sebuah lembaga penyiaran televisi, Trans TV, bersama praktisi di dalamnya, memproduksi program-program televisi sekompetitif mungkin, dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal. Fenomena menyangkut munculnya budaya televisi di Indonesia tampaknya perlu dikaji dengan menggunakan teori sosial budaya yang komprehensif.

  Dalam memproduksi dan menyiarkan program televisi, praktisi dan lembaga penyiaran televisi, serta mereka yang terlibat dalam kerja budaya tersebut, dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang tidak saja bernilai ekonomi tetapi juga artistik yang dapat diapresiasi oleh audiens. Oleh karena itu, kerja mereka tidak hanya melibatkan modal ekonomi, tetapi juga modal budaya, simbolik, dan modal sosial. Latar belakang sosial, pengalaman, pengetahuan dan wawasan tentang bidang pertelevisian juga menjadi syarat penting bagi mereka yang terlibat dalam produksi dan penyiaran program televisi. Mereka yang terlibat dalam praktik produksi budaya televisi juga tidak bisa dilepaskan dari habitus mereka, yakni sistem disposisi yang distrukturkan sekaligus berfungsi untuk menstrukturkan tindakan. Habitus menjadi dasar orientasi tindakan dari dalam diri mereka.

  Inul Daratista, penyanyi dangdut yang tekenal dengan goyang ngebor-nya, adalah salah satu hasil produksi budaya televisi. Popularitas Inul berawal dari peredaran VCD bajakan yang menampilkan gaya panggung yang mengundang kontroversi di tengah-tengah masyarakat karena dianggap sensual dan erotis. Kesuksesan yang lebih besar ia dapatkan melalui keterlibatannya dalam dunia televisi. Inul berhasil menggeser posisi artis-artis dangdut lain yang sudah eksis lebih dulu di layar kaca. Keberhasilan ini tentu saja tidak terlepas dari kerja para praktisi dan lembaga penyiaran televisi. Namun karena masih dinilai sensual dan erotis, Inul dan lembaga penyiaran televisi menuai banyak kritik dari sejumlah kalangan, termasuk dari sesama artis dangdut. Trans TV menjawab kritik tersebut dan menciptakan konstruksi baru atas diri Inul Daratista melalui kerja budaya dalam program Rindu Inul. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tetang kontestasi bebagai modal di sekitar produksi program Rindu Inul. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

  Television practice is an effort to create a social construction of an individual (person) in a social condition by producing and broadcasting a television program, which combine the artistic elements within it. In the television program of dangdut music, the production and the broadcasting become the field of cultural production. The aim is to obtain or to maintain the dominant position of an individual or institution in a certain social condition.

  Television has changed the condition of the society in Indonesia since the broadcasting systems arrived here. This phenomenon happened to the people who has new habit, that is watching the television programs which has grown up and down because of the competition among the television institution. This habit has created a new culture, the television culture. Throughout the habit, the events in the television program have become part of social reality. This condition motivated a television institution, namely Trans TV, together with the practitioners, to produce television programs as competitively as possible, considering the other external factors. It seems necessary that the phenomena concerning the production of television culture be studied using the social theory of culture which is more comprehensive.

  In producing and broadcasting the programs, television practitioners and institutions, and those who are involved in that cultural works, are demanded to put out the products, not only containing the economic value, but also the artistic values which are appreciative by the audience. Therefore, their works did not only involve the economic capital, but also the cultural capital, the symbolic capital, and the social capital. The social background, experience, knowledge, and view concerning field of television have also become the important requirements for those who are involved in the production and the broadcasting of television programs. They, who are involved in the practice of cultural production, cannot be separated from their habitus, that is the disposition which is structured and, at the same time, is structuring the action. Habitus has provided the principle of orientation for action from the inside of them.

  Inul Daratista, a dangdut singer who is very famous for the 'drilling' dance, has been the one of the production of the television culture. The popularity of Inul began from the circulation of the pirated VCDs showing the stage acts which arouse the public controversies because those acts were assumed as sensuous and erotic. Inul obtained a greater success through her involvement in the television universe. She replaced the position of other dangdut artist which existed before her. This success was, of course, inseparable from the work of television practitioners and institution. However, since her performance in the television was judged as sensuous and erotic, Inul and the television institutions have received many criticisms from several groups of people, including other dangdut artists. Trans TV responded the criticisms by creating a new construction of Inul through the cultural works in the television program of Rindu Inul. This thesis is the result of the research on the contestations of the capital involved in the productions of television program Rindu Inul.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini sesungguhnya merupakan refleksi pribadi dari penulis yang pernah

  memiliki pengalaman praktik televisi di Indonesia selama lebih dari lima tahun (antara 1993-1998). Lima tahun sebagai praktisi televisi di Indonesia, khususnya dalam bidang programming, adalah waktu yang cukup singkat jikalau kita mengukurnya dengan bentangan waktu siaran televisi di Indonesia. Namun mengingat perhitungan operasional di stasiun televisi menggunakan satuan waktu terkecil, yakni detik, dan siaran berlangsung rata-rata 20 jam per hari, maka waktu lima tahun menjadi terasa sangat panjang dan mengesankan.

  Praktisi televisi adalah sebuah profesi yang menggeluti berbagai bidang menyangkut pengoperasian media televisi dalam sebuah lembaga produksi dan penyiaran program televisi, yang meliputi: 1) Teknik, 2) Kreatif/Produksi (Production), 3) jurnalistik/liputan (News), 4) manajemen dan administrasi penyiaran yang mencakup Planning, Programming, Scheduling, Traffic, Research and

  1

  , Promotion, dan Sales/marketing. Nama-nama bagian tersebut secara

  Development

  kebetulan diadopsi begitu saja dari istilah-isltilah pertelevisian yang menggunakan bahasa Inggris. Istilah-istilah tersebut bisa saja menunjuk pada nama bagian atau proses kerja dalam lembaga produksi dan penyiaran televisi. Dalam tesis ini,

1 Pembagian ini bisa berbeda-beda di antara lembaga media televisi satu dengan yang lainnya.

  penulisan nama-nama bagian dalam institusi TV mempergunakan huruf besar pada awal kata, sedangkan untuk menunjuk pada sebuah proses atau kerja akan mempergunakan huruf kecil.

  Hingga tahun 2000, jumlah praktisi televisi di Indonesia belum begitu banyak jika dibandingkan dengan profesi bidang media lainnya seperti media radio dan media cetak Bahkan hingga tahun 2003, mungkin jumlah praktisi televisi yang berpengalaman sampai 5 tahun lebih masih dibawah 10 ribu orang di Indonesia.

  Jumlah itu meliputi seluruh bidang praktik televisi di sebelas stasiun televisi yang beroperasi secara nasional di Indonesia; dari sebelas, baru 6 stasiun saja yang telah mengudara selama lebih dari lima tahun.

  Praktisi khusus yang bekerja di bagian Programming televisi di negara berpenduduk sekitar 240 juta ini, jumlahnya tidak sebanyak seperti dalam Produksi dan Liputan, karena biasanya personil bagian Programming di sebuah stasiun televisi hanya mengerjakan hal-hal yang bersifat administratif sehingga jumlah mereka jauh lebih kecil. Akan tetapi jika kita memaknai programming sebagai sebuah proses maka personalianya akan meliputi orang-orang yang bekerja di bidang planning,

  

programming , scheduling, kreatif/produksi dan peliputan (dua bagian yang

menyumbangkan program siaran televisi), promosi, dan operasional penyiaran.

  Dengan demikian jumlah personil yang terlibat dalam proses itu berlipat ganda.

  Sesungguhnya praktisi televisi cukup diminati oleh masyarakat seiring dengan perkembangan pertelevisian di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat, misalnya, dalam perbandingan antara jumlah pelamar dan lowongan di lembaga pertelevisian sangat besar. Pada awal berdirinya Trans TV, terdapat sebanyak kira-kira 70.000

  surat lamaran yang masuk ke HC Department padahal waktu itu yang dibutuhkan

  2

  baru 250 orang. Dewasa ini, orang-orang yang bekerja di dunia televisi juga masih mendapat penghargaan sosial yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat kita.

  Cuplikan percakapan di bawah ini bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana

  3 respons masyarakat terhadap posisi praktisi televisi.

  "Hai!! 'Pa kabar!" "Emm...baik..." "Kerja di mana sekarang?" "Emm... di Trans TV." "Oh ya! Jadi apa? "Reporter." "Wah, hebat deh... Eh... ngomong-ngomong, Trans TV masih buka lowongan nggak?" Adalah hal yang selalu amat menyenangkan bekerja di stasiun televisi, apalagi yang dimiliki oleh perusahaan televisi seperti PT Surya Citra Televisi (SCTV) yang dikenal luas hingga di wilayah regional ASEAN, dan stasiun televisi yang mengudara secara nasional atu berjejaring lainnya di Indonesia. Menyenangkan bagi para praktisi televisi memiliki banyak arti, salah satunya bahwa dalam bekerja terdapat lebih banyak hal yang dapat dinikmati daripada yang membosankan. Mereka yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun akan merasakan kesan yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya.

  Faktor finansial mungkin bukan motivasi utama bekerja di institusi televisi pada waktu itu, mengingat sebenarnya perhitungan atas beban kerja, terutama kerja

  2 3 Warna Warni Televisi, 2003: 117

Dari cerita pengalaman Anneke Frayanti Wowiling, News Reporter Trans TV dalam Warna Warni

Televisi , Ibid., hlm. 40.

  non-fisik dan yang tidak resmi, tidak seimbang dengan upah yang diterima. Ketika berada di tempat-tempat yang memasang televisi, praktisi televisi tidak akan melewatkan begitu saja aneka tayangan televisi, tetapi bukan untuk menikmati melainkan untuk mempelajari, menilai, mencari informasi tentang program tersebut, bahkan hingga merekam dalam pikiran apa saja yang ditampilkan dalam tayangan tersebut. Para praktisi ini larut dalam budaya industri media massa, di mana persaingan lembaga satu dengan yang lainnya berlangsung secara ketat.

  Selain itu, kebanggaan bekerja sebagai praktisi televisi juga dikarenakan jumlah lembaga penyiaran televisi, hingga tahun 2003 ini, di negara kita masih belum banyak dan sangat mudah dikenal publik. Selain langka, semenjak mulai diperkenalkan ke publik, bermula di Eropa dan Amerika, televisi juga sudah membawa pesona tersendiri bagi mata manusia. Seolah-olah sudah dari lahirnya, pesawat televisi memiliki daya tarik yang amat kuat bagi sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara yang sudah mengembangkan sistem siaran televisi.

  Hal yang mungkin dirasakan paling menyenangkan oleh banyak praktisi pertelevisian adalah bahwa mereka bisa mengekpresikan gagasan-gagasannya ke dalam aneka ragam program acara televisi. Inilah yang membedakan praktik pertelevisian dengan berbagai bidang pekerjaan lainnya, misalnya di bidang perbankan di mana para praktisinya harus taat pada aturan dan sistem tanpa bisa mengekspresikan diri melalui pekerjaannya.

  Pengalaman individu tentu saja bersifat subyektif dan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Akan tetapi, praktik hidup sehari-hari dalam satu kelompok sosial tertentu bisa memunculkan pengalaman yang sama antar individu. Dalam hal ini, pengalaman bersifat obyektif dan bisa menjadi landasan untuk melakukan telaah kritis atas sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal ini adalah praktik televisi.

1. Televisi dan Masyarakat Indonesia

  Praktik pertelevisian di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1962 sebagai realisasi ide Bung Karno untuk menyiarkan pesta olah raga antar bangsa se Asia di

4 Jakarta. Peristiwa itu tidak saja menandai era baru teknologi komunikasi, tetapi lebih

  luas lagi, era baru kebudayaan Indonesia. Pada satu sisi, televisi menjadi sarana komsumsi acara budaya oleh masyarakat yang memiliki pesawat televisi. Pada sisi lain, televisi menjadi sarana pemacu produksi kebudayaan yang dituangkan dalam bentuk kerja produksi dan penyiaran program siaran televisi.

  Memang selama kurang lebih dua dasawarsa siaran televisi dimulai di Indonesia, pemilik pesawat televisi masih belum sebanyak seperti ketika Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi pada dasawarsa 1990-an. Pada awal hingga pertengahan masa pemerintahan Orde Baru, pesawat televisi masih menjadi barang langka dan mewah di kala itu. Namun semenjak tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia dan daya beli masyarakat Indonesia meningkat pada tahun pertengahan tahun 90-an hingga menjelang krisis ekonomi 1998, televisi bukan lagi menjadi barang mewah yang harganya tidak terjangkau. Bahkan sekarang ini masyarakat dengan penghasilan minimum sekalipun, mampu menghadirkan pesawat

4 Mengenai sejarah pertelevisian di Indonesia, lihat Effendy, 1992; Kitley, 2000; Panjaitan, 2000;.dan

  Ishadi (2002) televisi ke dalam rumah mereka.

  Televisi, seperti halnya telepon seluler yang saat ini bisa dimiliki oleh banyak orang, sudah bukan termasuk kategori barang mewah yang memiliki nilai prestise yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Harga mahal sebuah pesawat televisi bukanlah satu-satunya kriteria yang menentukan nilai prestise yang tinggi. Masih ada sejumlah kriteria yang mejadikan sebuah produk bernilai sosial ekonomi tinggi, di antaranya adalah:

  1. merk dagang (trademark); 2. kecanggihan teknologi; 3. perancang atau pembuatnya; 4. kelangkaan produk (biasanya diproduksi dalam jumlah terbatas); 5. trend setter.

  Jika kelima kategori ini terpenuhi, ditambah dengan harga mahal, sebuah produk sungguh memiliki nilai prestise sosial ekonomi yang tinggi.

  Akan tetapi nilai prestise televisi bukan lagi pada barang atau fisik pesawat televisi. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan merknya, kecanggihan teknologi pesawat televisi, tingkat produksi (massal dan tidaknya), atau siapa perancangnya. Entah televisi yang bermerk terkenal atau televisi murah, bahkan televisi selundupan, tidak akan dipermasalahkan lagi sejauh bisa dibeli. Perkembangan teknologi pertelevisian semacam televisi layar datar, digital, nicam (menyangkut sistem tata suara pesawat televisi) dan lain sebagainya juga tidak perlu dipikirkan. Mau yang buatan Jepang, Amerika, Eropa ataupun Cina, tidak lagi menjadi pertimbangan khusus. Yang penting, pesawat televisi bisa didatangkan ke dalam rumah tinggal masyarakat. Secara ekonomis, kepemilikan televisi tidak lagi bisa dinilai bergengsi. Prestise televisi kini terletak pada bagaimana memanfaatkan medium tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan hiburan; tentu saja dengan cara mengkonsumsinya melalui pesawat televisi. Prestise televisi telah bergeser dari nilai- nilai ekonomi menjadi nilai-nilai budaya dalam bentuk hiburan dan informasi; kapasitas ekonomi masyarakat sudah beralih ke dalam kapasitas sosial budaya. Dalam hubungannya dengan televisi, kriteria prestise telah berubah, bukan lagi pada keempat hal terdahulu, tetapi pada:

  1. kecepatan memperoleh informasi; 2. kemampuan menikmati hiburan; 3. kemampuan memaknai informasi dan hiburan; 4. kecepatan menyebarkan informasi dan hiburan kepada orang lain; 5. kemampuan menjadikan isu-isu dalam media televisi sebagai bahan pembicaraan dalam aktivitas sehari-hari.

  Ketika seseorang sedang berada dalam sebuah pergaulan sosial yang ramai membicarakan sebuah isu atau gosip di layar televisi dan ia tidak mampu merespons pembicaraan tersebut, dengan sendirinya orang itu akan dianggap tertinggal dalam hal informasi di media massa. Kemampuan seseorang menikmati sebuah tayangan juga bisa menjadikan orang tersebut lebih bernilai daripada orang yang menyaksikan program yang sama dan hanya menyatakan, "Ah itu kan hanya sekedar cerita di televisi!". Misalnya dua orang, sebutlah si A dan si B, menyaksikan program yang sama, sebuah serial drama dengan cerita yang amat mengharukan sehingga membuat banyak penonton terlarut dalam tayangan tersebut. Usai menonton, A bisa berkata, "Bagaimana seandainya musibah itu menimpa diri kita? Pasti kita akan sangat menderita. Ungtunglah dalam musibah di televisi tadi masih ada yang mau peduli." Sementara itu, B memang terhanyut dengan cerita dalam tayangan tersebut. Namun selesai menyaksikan adegan cerita televisi tersebut, B terlihat biasa-biasa saja dan tidak mengeluarkan komentar apapun, bahkan tidak dalam hati sekalipun. Ilustrasi tersebut ingin menunjukkan bahwa kemampuan A dalam memberikan pemaknaan atas peristiwa di televisi lebih bernilai di banding B.

  Dengan kategori baru di atas, kita tidak perlu mempermasalahkan berapa harga ekonomis sebuah informasi atau hiburan. Tidak memandang anak-anak balita, remaja atau orang tua, berpendidikan tinggi atau rendah, laki-laki ataupun perempuan, kaya atau miskin, siapapun bisa menyaksikan siaran televisi dengan sesuka hati jika sudah berhadapan dengan pesawat televisi. Tidak harus memenuhi syarat apapun untuk memiliki pesawat televisi, misalnya lingkungan sosial yang ramah, rumah dengan dinding batu, dan lain sebagainya. Asal mampu membeli pesawat televisi semahal atau semurah apapun dan membayar suplai arus listrik (dengan baterai sekalipun), siapapun dapat menikmati siaran televisi. Tengoklah di sejumlah kios di terminal bis, stasiun kereta api, bahkan kios di pinggir jalan utama kota, kita akan mendapati orang-orang sedang asyik menyaksikan siaran televisi.

  Menonton televisi sudah menjadi bagian dari alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, sehingga ada orang tua yang rela mengorbankan pendidikan anaknya

  • – demi menyaksikan siaran Sepakbola Piala Dunia yang berlangsung pada bulan Juni waktu anak-anak lulus sekolah dan mencari jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Uang yang seharusnya bisa dipergunakan untuk membeayai kelanjutan sekolah anaknya justru dipergunakan untuk membeli pesawat televisi.

  Banyak anggota masyarakat kita lebih menyukai tontonan televisi sekalipun di tempat tinggalnya juga terdapat media lain, misalnya, koran, radio, tape dan VCD

5 Kelebihan memiliki pesawat televisi, kalau kita bandingkan dengan koran player.

  dan jenis media cetak lainnya, adalah bahwa kita tidak perlu membeli dan membawa informasi atau hiburan dari luar ke dalam tempat tinggal kita. Sedangkan dibanding dengan media elektronik lainnya seperti radio, kaset, dan piringan audio (compact

  ) yang hanya mampu menghadirkan suara, televisi mampu menghadirkan aneka

  disk

  ragam informasi dan hiburan dalam format audio-visual atau suara berikut gambarnya. Meskipun sekarang sudah banyak kaset video dan video disk yang mampu menampilkan gambar dan suara, namun dengan televisi siaran, kita tidak perlu membeli atau menyewanya. Kita memang dapat menikmati kaset atau piringan video beberapa kali tetapi keduanya tidak memiliki ragam yang beraneka dibanding dengan televisi. Internet sekalipun, yang kini juga memiliki format tampilan isi yang bersifat hiburan dan informasi, tidak mampu menandingi kepraktisan televisi. Untuk mengakses intenet, kita harus membayar pulsa telpon atau harus keluar rumah menuju warnet dan harus mengeluarkan beaya tambahan. Itulah mengapa banyak orang lebih memilih menyaksikan siaran televisi dengan aneka ragam informasi dan hiburan tanpa harus bersusah payah dibanding media lainnya.

  Dengan gemar menonton televisi, masyarakat telah menciptakan budaya baru yakni budaya televisi. Dalam menyaksikan siaran televisi, mereka tidak hanya mengarahkan mata pada pesawat televisi tetapi juga berusaha untuk memberikan respons melalui gerakan fisik, emosi dan kognisi. Respons ini bisa dilakukan secara 5 individu maupun berkelompok; dalam ruang dan waktu yang sama atau berlainan.

  

Sebenarnya masih ada media rekaman audio-visual lain lain seperti Laser Disk (LD) dan Digital

Video Disk (DVD), tapi kepemilikannya tidak sebanyak Video Cassette Disk (VCD)

2. Pertumbuhan Siaran Televisi

  Kondisi pertelevisian di atas, mendorong sejumlah pengusaha dan praktisi televisi Indonesia untuk membangun jaringan operasi siaran televisi. Para pengusaha yang memiliki modal berupa modal materiil dan akses cepat ke birokrasi negara, bergabung dengan atau merekrut para praktisi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertelevisian. Mereka mengembangkan usaha penyiaran yang masih langka, diawali dengan RCTI, kemudian dikuti SCTV, TPI, ANTV, dan IVM pada masa orde baru.

  Setelah rejim Orde Baru tumbang, Indonesia mengalami booming siaran televisi. Hal ini ditandai dengan beroperasinya sejumlah stasiun televisi swasta baru yang melakukan siaran nasional yakni, Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi, dan Global TV, dan stasiun-stasiun televisi lokal yang dioperasikan hanya seluas wilayah tingkat kabupaten atau kota hingga provinsi. Dengan semakin berkembangnya jumlah stasitun televisi, jumlah jam siaran keseluruhan stasiun televisi secara nasional pun meningkat secara drastis. Bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang terdapat stasiun televisi lokal, jumlah jam siaran televisi secara keseluruhan menjadi lebih tinggi dibanding wilayah-wilayah yang tidak terdapat stasiun televisi lokal.

  1962- 1980- 1990- 1994- 1998- Periode

  2001-2003 1979 1989 1993 1997 2000 TVRI, TVRI, MetroTV,

  TVRI, RCTI, RCTI, TransTV,

  RCTI, Stasiun SCTV, SCTV, Lativi, TV7 dan

  TVRI TVRI SCTV, TV TPI, TPI, GlobalTV sudah

  TPI, ANTV, ANTV, melakukan

  ANTV

  IVM

  IVM siaran nasional Jam siaran per

  40 55-70 400-440 780-800 600 1480 minggu

  6 Tabel 1. Perkembangan Jam Siaran Televisi Nasional di Indonesia.

  Perkembangan jumlah jam siaran ini terkait cukup erat dengan situasi ekonomi nasional di Indonesia. Sejak 1980-an hingga pertengahan 1997 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan sehingga mendorong pertumbuhan siaran TV dengan cukup meyakinkan. Setelah krisis moneter menimpa Indonesia pada akhir 1997 yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, siaran di Indonesia pun mengalami penurunan karena banyaknya jam siaran yang dikurangi.

  Namun pada tahun 2001, siaran televisi kembali bergairah dan jumlah jam siaran pun pelan-pelan mulai meningkat, apalagi ditambah beroperasinya sejumlah stasiun televisi swasta baru. Belum lagi jika jumlah tersebut ditambah dengan jam siaran sejumlah TV Lokal, Komunitas, dan Berlangganan yang berkembang di wiayah- wilayah tertentu sehingga pertumbuhan jam siaran televisi bisa jauh lebih tinggi daripada yang ada dalam Tabel 1. Dunia pertelevisian di Indonesia menjadi sebuah 6 arena yang dipadati oleh mereka yang memiliki minat pada bidang pertelevisian.

  

Sumber berasal dari Atmowiloto, 1986; Effendi, 1993; Kitley, 2000; Suplemen Jadwal Siaran

Televisi dari Majalah Vista TV; Tabloid Bntang,Indonesia, dan Tabloid Citra.

  Peningkatan jam siaran ini dibarengi pula dengan peningkatan jumlah kategori

  7

  program (genre) yang ditayangkan oleh para pengelola stasiun televisi. Kalau kita telusur ke belakang, pada saat siaran televisi di monopoli oleh TVRI, ragam acaranya pun telah cukup banyak meski jam siarannya hanya 55 j/mg. Pada saat itu sudah terdapat ragam acara telenovela dan seri Asia (Jepang), namun masih belum sebanyak yang sekarang. Setelah TV swasta bermunculan, ragam acara TV bertambah semakin banyak, misalnya seperti infotainmen, infomercial, film/seri India dan lain-lain.

  Kategori program televisi ini belum dijadikan standar karena masing-masing stasiun TV dan pembuat acara/program dapat menentukan kategori program sesuai dengan konvensi maupun mempertimbangkan keunikan masing-masing

  8

  acara/program. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam siaran televisi di Indonesia teradapat kategori-kategori yang meliputi:

  1.

  8.

  15. Keagamaan Film Reality show 2.

  9.

  16. Liputan Sport Variality show 3.

  10.

  17. Dokumenter Musik Kartun Animasi 4.

  11.

  18. Infotainmen Kuis/Game Show Program Anak Non- 5.

  12. Kartun Sinetron Talk Show

  6.

  13.

  19. Telenovela Komedi Infomercial 7.

  14.

  20. Seri Variety Show Kesenian Tradisional

  9 Tabel 2. Kategori program televisi di Indonesia hingga akhir tahun 2002.

  Naik turunnya jam siaran televisi dan bertambahnya jumlah kategori program 7 televisi tersebut di atas dintentukan oleh faktor internal dalam stasiun televisi tertentu