KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL - Repository UNRAM

  KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA

  INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL SKRIPSI

  Diajukan sebagai Persyaratan dalam Penyelesaian Program Sarjana (S-1) PendidikanBahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

  Oleh RATNATUL FAIZAH E1C 010 027 UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

  PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH

  2014 DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram

  NTB. 83125 HALAMAN PERSETUJUAN Judul

  KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI

  STRUKTURAL Telah disetujui pada tanggal November 2014

  Pembimbing I, Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum

  NIP.197512312002121001 Pembimbing II,

  RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002

  Mengetahui, Ketua Jurusan PBSID Dra. Siti Rohana Hariana I, M.Pd.

  NIP. 196603311993032002 DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram

  NTB. 83125

  HALAMAN PENGESAHAN

  Skripsiberjudul :KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

  Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

  Universitas Mataram Pada tanggal, November 2014

  Ketua : Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum NIP.197512312002121001 (……………………)

  Anggota : RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002 (……………………)

  Anggota : Dra. SyamsinasJafar, M.Hum NIP. 195912311986093001 (……………………)

  Mengetahui, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram Dr. H. Wildan, M.Pd Nip. 19571231 198303 1 037

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  MOTTO : “be my self” and “never give up”. Sesungguhnya Allah SWT lebih

  mengerti dari siapapun dengan memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan

  PERSEMBAHAN :

  Skripsi ini merupakan bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang telah banyak memotivasi selama ini. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati skripsi ini kuperseembahkan untuk : 1.

  Ibu dan Bapakku tercinta (Ripdah dan Ripa’ah) terimakasih yang tak terhingga telah menjadi motivasi terbesar dalam hidupku, dan atas segala pengorbanan serta kasih sayang kalian yang tiada henti, 2. Kakakku Fahrurozy dan adikku Triyatmi terimakasih telah memberikan dukungan dan bantuan kalian dalam menyelesaikan skripsi ini,

3. Keluraga besarku terima kasih masih menungguku sampai sekarang.

  Paman dan bibiku sekeluarga, sepupu-sepupuku dan kelurga-keluargaku yang lain yang tidak bisa aku sebut satu persatu (Aku bangga bisa lahir dan besar di tengah-tengah kalian), 4. Sahabat ‘RISU’ ( Ratna, Irni, Santi, Us) yang selalu menemaniku dengan tingkah aneh kalian,

  5. Orang-orang yang pernah menjadi orang sepesial di sampingku yang memberikan pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama,

  Seseorang yang telah menjadi sahabat terbaik yang selalu setia di sampingku, yang selalu sabar menghadapi ego-egoku, selalu perhatian dan mau mengalah demi aku, 7. Rekan-rekan UKMF Olahraga FKIP UNRAM yang telah memberikanku pengetahuan berorganisasi serta makna kebersamaan dalam perbedaan yang membuat kita selalu bahagia, 8. Teman-teman Bastrindo 2010, PPL SMAN 1 Narmada, dan KKN Toya

  Aikmel yang telah mengajariku perbedaan dalam persatuan, 9. Almamaterku FKIP Unram yang membanggakan.

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi: Sebuah Kajian Morfologi Struktural”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan perolehan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.

  Disadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan hambatan dan kendala. Berkat bantuan, dukungan serta doa dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada :

1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D. selaku Rektor Universitas Mataram; 2.

  Bapak Dr. H. Wildan, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram; 3. Ibu Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

  Bahasa dan Seni FKIP Unram; 4. Bapak Drs.I Nyoman Sudika, M.Hum. selaku Ketua Program Studi

  Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang selalu membantu dalam pencampaian ketuntasan akademik selama proses perkuliahan; Bapak Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I (terima kasih atas arahan dan telah menjadi orang yang selalu menginspirasi serta memotivasi saya untuk belajar lebih giat); 6. Ibu Ratna Yulida Ashriany, M.Hum.selaku Dosen pembimbing II (terima kasih atas kesabarannya dan pengertiannya dalam mengajarkan ilmu dan memberikan bimbingannya); 7. Bapak dan ibu Dosen Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah yang telah mengajar, mendidik, dan membimbing kami selama bangku perkuliahan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram; 8. Staf dan pegawai FKIP yang telah membantu mahasiswa dalam pengurusan administrasi dan lainnya;

  Disadari bahwa segala keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisan. Oleh karena itu, masukan berupa saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan serta sebagai acuan pada penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, khususnya sebagai pengembangan ilmu kebahasaan.

  Mataram, November 2014 Penulis

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

  BI : Bahasa Indonesia BD : Bentuk Dasar MB : Morfem Bebas KPK : Kaidah Pembentukan Kata N : Nomina Adj : Adjektiva V : Verba Num : Numeralia

  ’…’ : Tanda petik dua menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya merupakan makna dari suatu bentuk.

  • : Astris digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.

  ( ) : Kurung Biasa digunakan untuk menyatakan bahwa formatik yang berada didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang berbeda di dalamnya. {} : Kurung Kurawal untuk menyatakan bahwa beberapa satuan lingual yang ada di dalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama satuan-satuan lain yang ada di depan atau dibelakangnya. Biasanya digunakan dalam bidang morfologi untuk menandai satuan yang didalamnya adalah morfem. [ ] : Menunjukkan satuan di dalamnya adalah satuan fonetis dan biasanya digunakan dalm bidang fonologi untuk melambangkan bunyi tertentu yang tidak berstatus fonem. // : Digunakan untuk menunjukkan satuan di dalamnya adalah fonem.

  → : Digunakan untuk menyatakan hasil dari proses kebahasaan.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………… iv KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vi DAFTAR SINGKATAN………………………………………………... viii DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ix ABSTRAK ……………………………………………………………… xi

  BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1. 2 Rumusan Masalah ................................................................. 4 1. 3 Tujuan Penelitian ................................................................... 4 1. 4 Manfaat Penelitian ................................................................. 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA

  2.1 PenelitianRelevan .................................................................. 6

  2.2 LandasanTeori ....................................................................... 8

  2.2.1 Fonologi ……………………………………………. 8

  2.2.2 Morfologi…………………....................................... 12

  2.2.3 Afiksasi ……………………………………………. 15

  2.2.4 Morfofonemik ………………………………………19

  2.2.5 Idiosinkresi Linguistik……………………………… 24

  2.2.6 Pengertian Kendala ………………………………… 24

  2.2.7 Morfologi Struktural ……………………………….. 25

  BAB III METODE PENELITIAN

  3.1 Deskripsi Penelitian ................................................................. 27

  3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 28

  3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 29

  3.4 Metode Penganalisisan Data .................................................... 33

  3.5 Metode Penyajian Data ............................................................ 34

  BAB IV PEMBAHASAN

  4.1 Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia ..................... 36

  4.2 Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi ...................... 52

  BAB V PENUTUP

  5.1 Simpulan ................................................................................. 87

  5.2 Saran ....................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKASI BAHASA

  

INDONESIA SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

ABSTRAK

  Fenomena kebahasaan yang memunculkan varian baru dalam pembentukan kata pada bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena terdapat pada bahasa yang kita gunakan. Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah teori morfologi struktural. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, cakap, introspeksi, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan metode padan intralingual. Penyajian data dari hasil penganalisisan data dalam penelitian ini menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang atau tanda-tanda. Berdasarkan analisis data, temuan yang diperoleh berupa : 1) perubahan fonem pada proses prefiksasi terjadi pada morfem afiks {m

  əŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Penambahan fonem terjadi

  pada morfem afiks {m əŋ-} dan {pəŋ-} berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {m

  əŋə-} dan{pəŋə-}. Penghilangan fonem terjadi pada morfem afiks {m

  əŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Terdapat juga morfem afiks yang tidak

  mengalami proses morfofonemik, seperti morfem afiks {b ər-}, {tər-}, {di-}, {kə-} dan {s

  ə-}. Infiksasi bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm}. Sufiksasi bahasa Indonesia memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-an}. Konfiks pada bahasa Indonesia berupa {m

  əŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {b ər-an}. 2) Kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia berupa perubahan dan penambahan fonem. Perubahan dan penambahan terjadi pada morfem afiks {

  ŋ-} ’məŋ-’ dengan alomorf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, { ŋe-} dalam

  prefiksasi dan morfem afiks {

  ŋ- + -in} ‘ məŋ-kan’ dalam konfiksasi. Selain

  mengalami proses morfofonemik terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, yaitu morfem afiks {m

  əŋ-}, {kə-} ’ter-’ pada

  afiksasi, sufiksasi terdapat morfem afiks {i-}, {-in} ‘-kan’, {-an} ‘ber-‘ dan {-isir}

  ‘-isasi’. konfiksasi terdapat morfem afiks berupa {k ə- + -an}.

  Kata kunci : Kendala morfofonemik, Afiksasi, Idiosinkresi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Manusia disebut makhluk yang sangat kompleks karena memiliki akal pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akal pikiran tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-sehari baik untuk diri sendiri maupun hubungan sosial dengan manusia yang lainnya. Dalam melakukan hubungan sosial tentunya manusia membutuhkan alat komunikasi berupa bahasa. Bahasa manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lain, namun disisi lain semua bahasa-bahasa tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Kenyataannya di Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman baik dari adat istiadat maupun bahasanya, yang biasa disebut sebagai bahasa daerah yang merupakan ciri khas dari setiap daerah tersebut. Selain memiliki bahasa daerah dengan beragam bahasa maupun dialek-dialek disetiap daerah, Indonesia juga memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa pemersatu dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat dari daerah lain. Setiap warga negara harus menguasai atau harus mengerti dan bisa menggunakan bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan lawan bicara dari daerah lain, karena tidak semua bahasa atau dialek memiliki tingkat kekerabatan yang sama.

  Munculnya ragam bahasa yang menyebabkan penggunaan BI yang kurang tepat dipengaruhi oleh bahasa asing melalui perkembangan IPTEK yang sangat pesat dan diterima secara mentah oleh masyarakat akibatnya penggunaan BI baku dasarnya semua masyarakat Indonesia dituntut harus dapat menguasai BI agar mampu berkomunikasi dengan lawan bicara yang memiliki varian bahasa yang berbeda baik dalam kondisi formal maupun nonformal. Tidak hanya sampai penggunaan bahasa tersebut, namun sebaiknya penutur juga mampu mengetahui struktur internal bahasa atau kata yang digunakan dalam berkomunikasi agar memiliki pengetahuan asal-usul kebahasaaan yang digunakannya. Bagi kebanyakan orang mempelajari struktur internal kata yang dipergunakan dalam berkomunikasi dianggap tidak perlu, karena mampu berkomunikasi menggunakan BI dirasakan sudah cukup. Selain itu penutur tidak tertarik mempelajari bahasa yang mereka gunakan karena ada anggapan terhadap pandangan historis pada bahasa menjadi berlebihan ketika ia ingin memahami bagaimana bahasa bekerja. Hal ini sebenarya tidak benar, yakni: perubahan bahasa merupakan ranah empirik yang releven bagi ahli-ahli bahasa yang ingin mengembangkan pemikiran yang memadai atas sistem-sistem bahasa dan penggunaannya (Sukri dan Nuriadi, 2010:249).

  Penggunaan BI pada masa kini banyak memunculkan varian baru akibat dari kreativitas penutur tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan yang benar meskipun dapat mempermudah penutur dalam menyampaikan. Varian baru tersebut akan meyebabkan terjadinya kendala-kendala yang berupa idiosinkresi (keanehan). Kendala-kendala yang dimaksudkan yaitu hal yang menghambat kata- kata yang telah dibentuk akan berterima. Varian baru yang dimaksud seperti pada kata ngalah yang meupakan prefiksasi dengan pelekatan morfem afiks {

  ŋ-} pembentukan kata berupa ({ ŋ-} + [kalah] → [ŋalah] ngalah ’mengalah’). Morfem afiks {

  ŋ-} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {m əŋ-}. Adapun dalam sufiksasi, misalnya kata ambilin yang terbentuk gabungan morfem afiks {-in} dengan BD /ambil/ jika dalam proses pembentukan kata berupa ({-in} + [ambil]

  → [ambilIn] ambilin ’ambilkan’). Morfem afiks {- in} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {- kan}dan terdapat beberapa data yang lainnya.

  Permasalahan di atas yang memotivasi peneliti mengambil wilayah kajian pada kata-kata yang terdapat dalam BI. Selain karena BI merupakan bahasa yang memiliki banyak proses kebahasaan yang perlu diketahui, khusunya dalam afiksasi karena kalimat lebih banyak ditentukan oleh afiksasi. Afiksasi merupakan proses pembentukan kata yang paling sering digunakan dalam berkomunkasi sehingga menyebabkan banyak permasalahan yang harus diusahakan penyelesaianya. Afiksasi tidak lepas kaitannya dengan morfofonemik karena disetiap proses afiks terdapat proses morfofonemik yang membentuk kata.

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, lebih banyak peneliti yang meneliti bahasa daerah yang mengkaji tentang afiks dan morfofonemik , namun hal yang biasanya menjadi kajian peneliti sebelumnya adalah mengenai bentuk dari objek penelitiannya. Selain itu masalah kebahasaan lainnya dalam BI dianggap telah selesai karena banyak buku atau banyak para ahli yang menjelaskan mengenai permasalahan dalam BI.

  Namun tanpa disadari masalah kebahasaan dalam BI masih banyak yang belum anggapan yang telah dijelaskan tersebut. Oleh karena itu peneliti mengambil objek penelitian mengenai kendala-kendala morfofonemik dalam afiksasi dalam BI dengan menggunakan kajian morfologi struktural. Morfologi struktural ini digunakan untuk menentukan kendala-kendala morfofonemik level afiksasi pada data yang akan dianalisis.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdapat permasalahan pada bagian ini berupa : 1)

  Bagaimanakah proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia? 2)

  Kendala-kendala apa sajakah yang menyebabkan proses morfofonemik level afiksasi?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan rumusan masalah di atas berikut dipaparkan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1) Mendeskripsikan proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia.

  2) Mendeskripsikan kendala-kendala yang menyebabkan morfofonemik level afiksasi.

1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian yang dilakukan peneliti tentu akan memberikan berbagai manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat-manfaat yang dimaksud sebagai berikut : Manfaat Teoritis Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh masayarakat, pada umumnya masyarakat yang tidak mengetahui tentang kebahasaan, serta dapat pengetahuan baru mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian kebahasaan bentuk lain.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis peneliti, dapat dijadikan sebagai referensi/acuan untuk penelitian yang relevan, serta penelitian ini dapat menarik perhatian para peneliti yang tertarik pada bidang linguis untuk meneliti permasalahan yang ada pada bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

  Dari penelitian sebelumnya telah banyak yang meneliti tantang morfofonemik bahasa daerah yang bisa dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian yang akan dilakukan peneliti sekarang ini, namun terdapat juga penlitian tentang bahasa Indonesia yang dilakukan mahasiswa sebagai peneliti sebelumnya, antara lainnya :

   “Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau” penelitian yang dilakukan B. Nurul

  Husna tentang Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau terdapat tiga perubahan fonem salah satunya yaitu, apabila ada prefiks {N-} melekat pada morfem- morfem yang memiliki fonem awal {t, p, k, s, dan c} sehingga fonem awal morfem tersebut berubah menjadi alomorf {N-} yaitu {n, m,

  ŋ, n}. Pada penelitian tersebut memiliki persamaan dari segi teori dengan penelitian yang dilakukan peneliti pada saat ini, tetapi dari bahasa yang dikaji memiliki perbedaan, pada penelitian yang dilakukan Husna mengkaji bahasa daerah sedangkan peneliti mengkaji bahasa Indonesia.

   “Klitika dalam Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene di Desa Beleka

Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat” merupakan sebuah penelitian yang

  dilakukan oleh Muammar dengan menggunakan metode simak dan cakap dalam pengumpulan datanya, selanjutnya dalam metode menganalis data Muammar menggunakan beberapa tehnik dalam menganalisis data, yaitu tehnik urai pilih unsur langsung, penggantian substansi, perluasan atau ekspansi, tehnik pelesapan

  Sedangkan dalam penyajian data Muammar menggunakan metode formal ( metode menggunakan lambang dan tanda) dan informal (menggunakan kata-kata biasa). Meskipun penelitian tersebut mengkaji klitika, penelitian tersebut relevan karena menggunakan teori yang sama dengan penelitian peneliti yaitu menggunakan teori morfofonemik.

  Selain itu dua penelitian di atas juga penelitian terhadap bahasa Indonesia mengenai morfofonemik yaitu, “Proses Morfofonemik Prefiks {Men-} dengan

  Bentuk Dasar yang Berfonem Awal (k, t, s, p) dalam Bahasa Indonesia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia” yang dilakukan oleh

  Fitriani mengambil kesimpulan fonem {k, t, s, p} mengalami perubahan dengan proses peluluhan tetapi ada data yang tidak mengalami peluluhan fonem.

  Ketidakluluhan fonem {k, t, s, p} ketika dilekati oleh morfem {me ŋ-} disebabkan oleh : a. adanya urutan struktur fonem yang tidak dimungkinkan muncul dalam kaidah fonotaktik bahasa Indonesia ketika bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

  b. adanya bentuk perubahan struktur fonologis morfem {meŋ-} dengan bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

  c.

  Adanya kesulitan dalam pelafalan kata jadian yang terdiri atas empat silabe atau lebih.

  d.

  Akan hilangnya keaslian dan keutuhan bentuk dasar dari kata tersebut ketika bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan. karena sama-sama membahas morfofonemik, sebenarnya penelitian yang dilakukan oleh Fitriani salah satu kendala morfofonemik namun hanya saja Fitriani hanya mengkaji prefiks {me ŋ-}.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Fonologi

  Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang disebut tata fonem (fonemik). Bahasa terdiri atas beberapa perangkat, mulai dari perangkat yang terkecil hingga yang lebih besar. Perangkat bahasa yang terkecil disebut bunyi. Bunyi inilah yang menjadi bahan kajian dari fonologi.

  Para ahli berpendapat mengenai pengertian fonologi antara lain; menurut Verhaar (2008) fonologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan- satuan dasar bahasa sebagai bunyi. Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu (Chaer, 2012:102).

  Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa fonologi merupakan salah satu cabang ilmu linguistik mikro yang mempelajari dasar bahasa, yaitu bunyi. Secara hierarki fonologi memili dua objek kajian yaitu fonetik dan fonemik.

1) Fonetik

  Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan bunyi tersebut berfungsi membedakan makna atau tidak (Chaer, 2012). Sedangkan menurut Verhaar Fonetik adalah cabang ilmu lingistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Ada dua segi “ fisik” tersebut, yaitu: segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa; dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan. Dasar yang pertama disebut “fonetik artikulatoris” karena menyangkut alat-alat bicara. Menurut dasar yang kedua, fonetik disebut “fonetik akustik” karena karena menyangkut bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara.

  Sedangkan menurut Chaer terdapat satu lagi jenis fonetik selain dua jenis fonetik yang dikemukakan Verhaar yaitu fonetik auditoris.

  a.

  Fonetik Artikulatoris Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis yang mempelajari atau meneliti mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilakn bunyi bahasa serta bagaimana bunyi, bunyi itu diklasifikasikan.

  b.

  Fonetik Akustik Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam yang berupa getaran udara.

  Udara yang bergetar adalah udara dibuat bergerak dalam gelombang-gelombang. Artinya, partikel-partikel udara dibuat bergerak, dan gerakan itu mendesak partikel-partikel yang lain, dan begitu terus sampai membentuk gelombang yang akan diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrenya.

  c.

  Fonetik Auditoris Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh alat pendengaran kita.

  Jenis-jenis fonetik yang telah dijelaskan tersebut tidak semuanya menjadi kajian dari ilmu linguistik. Yang menjadi kajian dari ilmu linguistik yaitu fonetik artikulatoris karena berkaitan dengan penghasilan bunyi. Fonetik akustik dikaji oleh ilmu fisika atau ilmu alam, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran atau neorologi.

2) Fonemik

  Berbeda dengan fonetik, fonemik memiliki objek kajian fonem yang berfungsi membedakan makna kata. Misalnya pada dua kata yang berbeda seperti kata iba dan ibu. Dari dua kata tersebut hampir sama, masing-masing terdiri dari tiga buah bunyi.

  iba

  → [i], [b], [a]

  ibu

  → [i], [b], [u] Perbedaan dari dua kata tersebut terdapat pada bunyi [a] dan bunyi [u].

  Oleh karena itu bunyi [a] dan bunyi [u] merupakan fonem karena kedua bunyi tersebut membedakan makna dari kata iba dan ibu. lingkungannya, atau fonem-fonem lain yang ada disekitarnya.mDalam bahasa- bahasa tertentu dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu menjadi fonem yang lain. Terdapat beberapa jenis perubahan fonem menurut Chaer , antara lain : a.

  Asimilasi dan Disimilasi b.

  Netralisasi dan Arkifonem c. Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal d.

  Kontraksi e. Metatesis dan Epentesis f. Fonem dan Grafem

  Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis fonem yaitu fonem vokal, fonem konsonan dan fonem semi konsonan (Nazir, 1987:105) : 1)

  Fonem Vokal Pada Bahasa Indonesia ditemukan sebelas bunyi vokal, yaitu [i],

  [I], [e], [ ɛ], [a], [i], [ə], [u], [U], [o], dan [ɔ]. Diantara sebelas bunyi vokal ini, hanya lima buah yang terbukti menjadi fonem. Prinsip yang digunakan dalam menentukan fonem vokal ini ialah prinsip distribusi komplementer, prinsip variasi bebas dan prinsip pasangan minimal. Bunyi vokal yang dimaksud adalah : bunyi vokal [i]-[I], bunyi vokal [u]-[U], bunyi vokal [e, ɛ, ə], bunyi vokal [o-ɔ], dan bunyi vokal [a-i]. Fonem Konsonan Dalam bahasa Indonesia terdapat 16 fonem konsonan yaitu : /p/,

  /b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /m/, / ñ /, / ŋ/, /n/, /s/, /r/, /l/, /k/, /g/, dan /h/. 3)

  Fonem Semi Konsonan Bunyi maupun fonem semi konsonan sama-sama memiliki distribusi yang tidak lengkap. Hal ini disebabkan karena baik bunyi maupun fonem semi konsonan hanya ditemukan diawal dan tengah kata. Fonem semi konsonan terdiri dari fonem /w/ dan /y/ saja.

2.2.2 Morfologi

  Istilah ‘morfologi’ telah diambil alih oleh biologi yang digunakan untuk merujuk pada studi terhadap bentuk-bentuk tanaman dan binatang. Penggunaan pertama yang terekam adalah dalam tulisan dari penyair-penyair dan penulis Jerman Goethe pada tahun 1796. Lantas pertama kali digunakan untuk tujuan linguistik pada tahun 1859 oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Jerman bernama August Schleicher (lihat Sukri, 2010) guna mengacu pada studi terhadap bentuk kata-kata. Dalam ilmu bahasa dewasa ini, istilah ‘morfologi’ mengacu pada kajian atau studi tentang struktur internal kata-kata, dan tentang korespodensi bentuk arti sistematis antar kata (Sukri, 2010:5).

  Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian morfologi antara lain Verhaar (2008) mengemukakan morfologi mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Sukri (2008: 3-4) mengungkapkan morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan struktur internal kata serta korespondensi antar bentuk makna kata-kata secara morfologi adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya.

  Berdasarkan beberapa pengertian para ahli mengenai morfologi di atas pada prinsipnya memang sama meskipun cara penyampaiannya berbeda.

  Semuanya sependapat bahwa morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata baik itu morfem terikat maupun morfem bebas dan segala bentuk dan jenisnya. Jadi, morfologi menjadi sangat erat hubungannya dengan afiksasi.

  Morfologi merupakan studi tentang bentuk bahasa. Bentuk terkecil dalam morfologi adalah morfem, yaitu bentuk terkecil yang mempunyai makna. Satuan- satuan beli, buku, pasar, toko, meng-, ber- dsb merupakan contoh dari morfem. Morfem terdiri dari morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat merupakan morfem yang harus didampingi oleh morfem lain agar jelas fungsi dan maknanya.

  Contohnya morfem ber-, morfem tersebut tidak akan jelas maknanya jika berdiri sendiri. Jadi morfem ber- harus dilekatkan dengan morfem yang lain (morfem bebas) agar makna dan fungsinya jelas seperti [[ber- + [jalan]V →[berjalan]. Selain berupa afiks morfem terikat juga dapat berupa klitik. Klitik menurut Sukri (2008) merupakan satuan terikat yang memilik arti leksikal. Contoh morfem yang berupa klitika yaitu –ku dalam sepedaku, -nya dalam rumahnya. Sedangkan morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat tanpa harus didampingi morfem lain. Seperti jual, beli, rumah dsb. dibentuk dari proses morfologis. Proses morfologis adalah proses pembentukan kata-kata melalui mekanisme penggabungan satuan/bentuk dengan bentuk lain yang menjadi dasarnya (Sukri, 2008: 53).

  Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian dari proses morfologis, menurut Chaer (2012) proses morfologis terdiri dari:

  1. Afiksasi

  2. Reduplikasi

  3. Komposisi

  4. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi 5. Pemendekan.

  Menurut Muslich proses morfologis dibagi menjadi tiga yaitu:

  1. Pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar,

  2. Pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, dan 3. Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.

  Selain itu pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sukri tentang pembagian proses morfologis hanya perebedaan istilah saja yaitu :

  1.Proses Afiksasi

  2.Proses Reduplikasi

  3.Proses Pemajemukkan Berdasarkan ketiga pendapat di atas sebenarnya memiliki maksud yang sama, namun peneliti menggunakan pendapat yang dikemukan oleh Sukri karena lebih sederhana dan pemakaiannya sudah umum. Jadi dapat disimpulkan proses Reduplikasi atau pengulangan adalah pengulangan satuan gramatik, baik unsur yang diduplikasi itu sebagian baik disertai variasi fonem/segmen maupun tanpa disertaivariasi fonem atau segmen. Contoh dari reduplikasi rumah-rumah, rumah-

  

rumahan. Sedangkan pemajemukkan adalah hasil proses penggabungan morfem

  dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau baru.

  Misalnya meja hijau, rumah sakit.

2.2.3 Afiksasi

  Berdasarkan tiga proses morfologis yang berupa afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan peneliti memfokuskan kajian terhadap Afiksasi. Afiks menurut Verhaar (2008) adalah morfem terikat yang dapat ditambahkan di awal kata (prefiks) di dalam proses yang disebut prefiksasi, di akhir kata (sufiks) yang disebut sufiksasi, sebagian di awal kata sebagian di akhir kata (konfiks) di dalam proses yang disebut konfiksasi, atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu sisipan (infiks) di dalam proses yang disebut infiksasi.

  Afiksasi tidak lain adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada bentuk/morfem dasar; baik morfem dasar itu berwujud bentuk tunggal maupun bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata bentukan. Dapat dicontohkan di sisni ialah pembubuhan morfem afiks {ber-} dengan morfem/bentuk dasar sepeda sehingga menghasilkan kata bersepeda, {ber-} dengan morfem atau bentuk dasar

  

tiga sehingga menghasilkan kata bertiga dan seterusnya. Perlu kiranya diketahui

  di sini bahwa dalam bahasa Indonesia, tidak semua afiks yang dilekatkan pada dasar tertentu. Dalam bahasa Indonesia misalnya, morfem afiks {per-}, {-kan}, dan {-i} yang dilekatkan dengan bentuk dasar yang menghasilkan pokok kata: perbesar, perkecil, perhias, perindah, perkaya, perdua, perempat. Perjelas, persempit, ambilkan, bacakan, bangunkan, tuliskan, duduki, tanami, pukuli, tiduri, dan seterusnya (Sukri, 2008:54-55).

  Selain itu pengertian yang diungkapkan oleh Putrayasa (2008:5) yang menerangkan bahwa afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Misalnya, pembubuhan afiks meN- pada bentuk dasar jual menjadi

  

menjual, benci menjadi membenci, tari menjadi menari, peluk menjadi memeluk,

masak menjadi memasak, baca menjadi membaca, bolak-balik menjadi

membolak-balik, pertanggungjawabkan menjadi mempertanggungjawabkan.

  Pembubuhan afiks ber- pada dasar main menjadi bermain, sekolah menjadi

  

bersekolah, sepeda motor menjadi bersepeda motor, main peran menjadi bermain

peran. Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa pembubuhan afiks

  dapat terjadi pada bentuk linguistik berupa bentuk tunggal seperti jual, benci,

  

masak, tari, baca, main, dan sekolah serta bentuk kompleks seperti bolak-balik,

pertanggungjawabkan, sepeda motor, dan main peran.

  Afiksasi merupakan proses pengimbuhan yang terdiri dari beberapa proses, antara lain:

a) Prefiksasi

  Prefiks ialah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata dasar). Prefiks juga disebut awalan atau yang lebih lazim disebut awalan (Rohmadi,dkk. 2010).

  Contoh : {m

  əŋ} [[məŋ- + [gendoŋ]V→[meŋgendoŋ] ‘menggendong’ {m

  ‘merokok’ əŋ} [[məŋ- + roko?]N→ [məroko?]V

  Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa morfem {m əŋ-} bergabung dengan morfem dasar gendong [gendo

  ŋ] ‘gendong’ sehingga berbentuk kata /menggendong/ [me ŋgendoŋ] ‘menggendong’. Demikian pula hanya dengan morfem dasar rokok [roko?] ‘rokok’ setelah bergabung dengan morfem afiks {m

  əŋ-} menjadi /merokok/ [məroko?] ‘merokok’.Dari kedua contoh diatas mengalami penghilagan fonem. Namun bagaimana dengan contoh berikut ini :

  {m əŋ-} + [ukUr] → [məŋukUr] ‘mengukur’

  {m əŋ-} + [aku] → [məŋaku] ‘ mengaku’

  {p əŋ-}+ [ukUr] → [pəŋukUr] ‘pengukur’

  {p əŋ-} + [aku] → [pəŋaku] ‘pengaku’

  Berdasarkan contoh pembentukan kata di atas dengan pelekatan morfem afiks {m əŋ-}, dan {pəŋ-} pada BD yang berawal vokal tidak mengalami proses morfofonemk, baik berupa perubahan, penambahan, ataupun penghilangan fonem.

  b) Infiksasi

  Infiks ialah imbuhan yang melekat di tengah bentuk dasar. Karena melekatnya menyisip ditengah kata dasar maka disebut sisipan saja (Rohmadi,dkk. 2010).

  {- ər-} + [ kudUŋ] ‘tutup’ → [kərudUŋ] ‘penutup kepala’

  {- əm-} + [kunIŋ] ‘kuning’ → [kəmunIŋ] ‘pohon kemuning’

  {- əl-} + [unjU?] ‘tunjuk’ → [təlUnjU?] ‘telunjuk’

  Dalam kajian morfofonemik/morfofonologi, pembentukan kata melalui mekanisme penyisipan infiks berada di tengah morfem dasar.Artinya, infiks yang disisispkan pada morfem dasar hanya diperoleh menyela segmen konsonan (K) pertama dari morfem dasar yang disisipinya.

  c) Sufiksasi

  Sufiks ialah imbuhan yang melekat dibelakang bentuk dasar (kata dasar). Sufiks disebut juga imbuhan akhir atau lebih lazim disebut akhiran saja (Rohmadi,dkk. 2010).

  {-kan}+ /ambil/ ‘ambil’ [[ambIl]V + -[-kan]V ‘ambilkan’ {-i} + /tidur/ ‘tidur’ [[tidUr + -[-i]V ‘tiduri’ {-an} + /jemur/ ‘jemur’ [[j

  əmUr + -[-an]]N ‘tempat menjemur’ {-an} + /duduk/ ‘duduk’ [[dudU? + -[-an]]N ‘tempat duduk’

  Kata bentukan /ambilkan/ [ambilkan] ’ambilkan’ dengan mudah dapat dikenali unsur-unsur pembentukannya, yakni morfem dasar /ambil/ ‘ambil’ dan sufiks /-kan/, /tiduri/ [tiduri] terdiri atas morfem dasar /tidUr/ ‘tidur’ dan sufiks /-i/, dan kata bentukan /jemuran/ [j

  əmUran] ‘ tempat menjemur halnya dengan /dudukan/ [dudU?an] ‘tempat duduk’ (Sukri.2008).

d) Konfiksasi

  Konfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Kedua macama afiks tersebut melekat secara bersamaan pada suatu bentuk dasar pada bagian depan dan belakangnya

  [p əŋ-/-an/ + mandi/ [[pəŋ + [mandi]V + -[-an]]N ‘tempat mandi’

  [k ə-/-an/ + tahu/ [[kə + [tahu] + -[-an]]N ‘ketahuan’

  Kata bentukan /pemandian/ [p əmandiyan] ‘tempat mandi’ terbentuk dari morfem dasar /mandi/ ‘mandi’ dan konfiks [p

  əŋ-/-an]. Dalam bahasa indonesia, bentukan /pemandi/ tidak berterima serta tidak memiliki makna, ataupun /mandian/juga tidak berterima. Dengan demikian, morfem afiks [p

  əŋ- ] dan sufiks /-an/ haruslah dilekatkan secara bersamaan. Demikian pula halnya dengan bentukan /ketahuan/ [k

  ətahuwan] ‘ketahuan’ terdiri atas morfem dasar /tahu/ ‘tahu’ dan konfiks [k ə-/-an/] (Sukri. 2008) .

2.2.4 Morfofonemik

  Morfofonemik digunakan menggambarkan interaksi antara fonologi dan morfologi. Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari tentang struktur internal kata. Sedangkan fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya. Namun beberapa ahli linguis menggabungkan dua cabang linguistik tersebut menjadi satu kajian, yaitu morfofonemik atau morfofonologi. yang lain sesuai fonem awal atau fonem yang mendahuluinya (Alwi,2003). Hal serupa juga dikemukakan oleh Zainal Arifin (2007:8) Proses morfofonemik adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal kata yang bersangkutan. Sukri (2008) dalam buku Morfologi Sebuah Kajian

  

Antara Bentuk dan Makna, morfofonemik mengkaji fenomena-fenomena yang

  melibatkan kajian antara morfologi dan fonologi. Hampir sama dengan Sukri, Chaer (2012) mengemukakan morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Morfofonemik adalah subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat fonologi (Kridalaksana, 2007:183). Selain itu Mahsun (2007:90) menyebutkan proses morfofonemik merupakan peristiwa fonologi yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem dalam rangka membentuk kata.

  Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan morfem- morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis. Selain memberikan penjelasan mengenai pengertian dari morfofonemik para ahli juga membagi proses morfofonemik menurut pendapat mereka masing-masing.

  Chaer dalam buku Linguistik Umum (2012) membagi proses morfofonemik menjadi lima, yaitu : 1)

  Pemunculan fonem

  Pelesapan fonem 3)

  Peluluhan fonem 4)

  Perubahan fonem 5)

  Pergeseran fonem Mahsun dalam buku Morfologi (2007) proses morfologis terdiri dari :

  1) Proses pemunculan fonem

  2) Proses perubahan fonem

  3) Proses pelepasan fonem

  4) Proses perubahan dan pelepasan fonem. Jos Daniel Parera dalam bukunya yang berjudul Morfologi tahun 1988 membagi proses morfofonemik menjadi beberapa proses yaitu:

  1. Asimilasi Asimilasi adalah perubahan morfofonemik tempat sebuah fonem yang cenderung lebih banyak menyerupai fonem lingkungannya. Contoh dalam bahasa Indonesia, misalnya pada kata imperfek terdapat dua morfem yakni /im/ dan /perfek/. Morfem im- adalah alomorf dari prefiks in- yang mengalami perubahan bentuk untuk mempermudah pengucapan. Perubahan /n/, sebuah bunyi sengau dental yang bersuara, menjadi /m/, sebuah bunyi sengau bilabial yang bersuara, menyebabkan ia lebih mendekati dan menyerupai /p/, sebuah bunyi hambatan yang juga bilabial.