HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Repository - UNAIR REPOSITORY

SKRIPSI HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

  i

  PENELITIAN CROSS SECTIONAL Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR

  Oleh : WIWIN NUR INDAH CAHYANI NIM. 131611123068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2017

SURAT PERNYATAAN

  ii

HALAMAN PERNYATAAN

  iii

LEMBAR PERSETUJUAN

  iv v

  SKRIPSI vi

  MOTTO

  “Kesederhanaan merupakan kemewahan yang sesungguhnya”

UCAPAN TERIMA KASIH

  Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan

  “ Hubungan

  bimbinganNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

  Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja

  tepat pada waktunya. Skripsi ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universita Airlangga. Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Elida Ulfiana, S.Kep.,Ns., M.Kep dan Bapak Setho Hadisuyatmana, S.Kep.,Ns.,M.NS (CommHlth&PC) selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, pengarahan, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

  Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs.,(Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

  2. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

  3. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

  4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro yang telah memberikan izin pengambilan data penelitian untuk penyusunan skripsi ini.

  5. Kepala Cabang Dinas Pendidikan wilayah Kota Bojonegoro yang telah memberikan bantuan, izin pengambilan data penelitian, dan kerjasama untuk penyusunan skripsi ini. vii viii

  6. Kepala sekolah SMAN 1 Bojonegoro, SMAN 2 Bojonegoro. SMAN 3 Bojonegoro, SMAN 4 Bojonegoro serta SMAN DANDER yang dijadikan tempat penelitian.

  7. Ibu Suti’ah, S.Pd, terimakasih tak terhingga telah memberikan ketulusan kasih sayang, doa, dukungan dan semangat kepada peneliti untuk menyusun skripsi ini. I made this specially for you moms.

  8. Keluarga tercinta Bapak, kakak, om, tante dan adik yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan semangat kepada peneliti untuk menyusun skripsi ini.

  9. Para responden di lima SMAN dalam Kota Bojonegoro yang telah bersedia bekerja sama dan mau menjadi responden penelitian.

  10. Teman-teman seperjuangan Program B19, Kos 53A, serta MS Production yang selalu memberikan semangat dan motivasi serta dukungan selama proses penyusunan skripsi ini.

  Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberikan kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu keperawatan.

  Surabaya, 19 Desember 2017 Penulis

  ABSTRACT CORRELATION OF PARENTAL BONDING AND SELF-ESTEEM WITH ADOLESCENT’S SEXUAL BEHAVIOR

  Cross sectional Study Wiwin Nur Indah Cahyani

  Introduction: Emotional parental attachment that occurs between parent and

  parent (self-esteem) and individual self-esteem becomes one of the possible factors in the development of adolescent sexual behavior. Lack of parental role is considered to affect the increase in the number of early pregnancies during the last 3 years in adolescents in Bojonegoro. This study was purposed to explore the correlation of parental bonding and self-esteem with adolescent’s sexual behavior . Method: this study used quantitative method with cross sectional approach. Samples were collected by using proportional random on senior high school student in the X class involved 296 respondence on the center of Bojonegoro city.

  Parental bonding were interpreted using modification of Parental bonding

  Instrument (PBI) by Parker, Tuping & Brown, Self-esteem using Rosenberg Self-

  esteem Scale (RSES) by Rosenberg, while sexual behavior level were interpreted

  using quetioner. The correlation between variables was analized by Spearman’s Rho test (α= 0,05). Result: The result of this study have shown that theres a significant correlation between parental bonding and self-esteem with adolescent’s sexual behavior (p=0,000). Discussion: Parental bonding which is full of care but still gives space to teenagers without excessive limits, indicating better (lower) adolescent sexual behavior. Self-esteem with self-denial and self- displeasure makes teenagers more likely to feel useless and free to make choices . as they wish to show higher levels of sexual behavior Approaches to parents and adolescents need to be improved, to optimize care, protection or control and sefl- esteem, so that adolescents are able to control their sexual behavior with healthy and precise.

  Key word: parental bonding, self-esteem, sexual behavior, adolescent.

  ix

ABSTRAK HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

  Penelitian cross sectional Wiwin Nur Indah Cahyani

  Pendahuluan: Keterikatan orang tua secara emosional yang terjadi antara orang

  tua dan keturunannya (parental bonding) serta self-esteem (self-esteem) individu menjadi salah satu faktor kemungkinan dalam perkembangan perilaku seksual remaja. Kurangnya peranan orang tua dianggap mempengaruhi dalam peningkatan jumlah kehamilan diluar nikah remaja selama 3 tahun terakhir pada remaja di Bojonegoro. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan parental

  bonding dan self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja. Metode: penelitian

  ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel didapat dengan teknik proportional random sampling pada murid kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dalam kota di Kabupaten Bojonegoro sejumlah 296 responden. Parental bonding diinterprestasikan menggunakan

  Parental bonding Instrument (PBI) dari Parker, Tuping & Brown, Self-esteem

  menggunakan Rosenberg Self-esteem Scale (RSES) dari Rosenberg, serta perilaku seksual dinilai dari kuisioner. Hubungan antara variabel dianalisis menggunakan uji statistic Spearman Rho (α= 0,05). Hasil: Penelitian menunjukkan parental

  bonding memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku seksual remaja

  (p=0,000), dan self-esteem memiliki hubungan yang signifikan pula dengan perilaku seksual pada remaja (p=0,000). Diskusi: Ikatan dari orang tua (parental

  bonding) yang penuh kepedulian namun tetap memberikan ruang kepada remaja

  tanpa membatasi secara berlebih, menunjukkan tingkat perilaku seksual remaja yang lebih baik (rendah). Penghargaan diri (self-esteem) dengan adanya penolakan terhadap diri dan perasaan tidak senang terhadap diri sendiri, membuat remaja cenderung merasa tidak berguna serta bebas menentukan pilihan sesuai keiinginan mereka menunjukkan tingkat perilaku seksual yang lebih tinggi. Pendekatan kepada orang tua serta remaja perlu ditingkatkan, untuk mengoptimalkan care, protection atau control dan sefl-esteem agar remaja mampu untuk mengontrol perilaku seksual mereka dengan sehat dan tepat. .

  Kata kunci: parental bonding, self-esteem, perilaku seksual, remaja

  x

  xi

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  xii

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model interaksi pengkajian kesehatan anak menurut Kathryn

  

Gambar 2.2 Teori Skinner (1938) “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons)

  

Gambar 3.1 Kerangka konseptual Hubungan Parental bonding dan self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Berdasarkan Teori Child

  

Gambar 4.1 Kerangka operasional penelitian hubungan parental bonding dan self- ................................................................................................ 65

  xiii

  DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Keyword Development Hubungan Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual Remaja ....................................................... 44Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan Parental Bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual Remaja ....................................................... 45Tabel 4.1 Hasil analisis besar sampel menggunakan aplikasi OpenEpi v.

  

Tabel 4.2 Sebaran Jumlah Sampel Penelitian ..................................................... 53Tabel 4.3 Definisi Operasional Hubungan Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Sekolah Menengah Atas Kota

  

Tabel 4.4 Nilai Penyataan Parental bonding ....................................................... 58Tabel 4.5 Blueprint Skala Parental bonding ....................................................... 59Tabel 4.6 Blueprint Skala Self-esteem ................................................................ 59Tabel 4.7 Penilaian Skala Self-esteem ................................................................ 60Tabel 4.8 Tabulasi Validitas Kuesioner Perilaku Seksual .................................. 61Tabel 4.9 Derajat kekuatan hubungan (koefisien korelasi) (Arikunto, 2006) ..... 65Tabel 5.1 Distribusi responden menurut jenis kelamin, usia, dan tempat………69

  

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan tingkat perilaku seksual ................ 71Tabel 5.5 Hubungan parental bonding dengan perilaku seksual......................... 72Tabel 5.6 Hubungan self-esteem dengan perilaku seksual ................................. 72

  xiv

  DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1 Surat Ijin Pengambilan Data Awal .................................................... 93 Lampiran 2 Surat Ijin Pengambilan Data Penelitian ............................................. 94 Lampiran 3 Surat Keterangan Lolos Uji etik ........................................................ 95 Lampiran 4 Surat Ijin pengambilan Data penelitian dari Dinas Terkait .............. 98 Lampiran 5 Surat Balasan Penelitian .................................................................... 99 Lampiran 6 Penjelasan Penelitian Bagi Responden ............................................ 104 Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ....................... 107 Lampiran 9 Distribusi dan Tabulasi Jawaban Kuisioner .................................... 113 Lampiran 10 Uji Validitas dan Realibilitas ......................................................... 114 Lampiran 11 Uji Analisa Data ............................................................................ 115 xv

DAFTAR SINGKATAN

  xvi

  BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional HIV/AIDS : Human Immuno Deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency

   Syndrome

  KTD : Kehamilan Tidak Diinginkan KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia LSL : Laki-laki Suka Laki-laki PKBI : Persatuan Keluarga Berencana Indonesia PMS : Penyakit Menular Seksual PBI : Parental bonding Instrumen SMA : Sekolah Menengah Atas SMAN : Sekolah Menengah Atas Negeri

  VCD : Video Compact Disc WHO : World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Remaja adalah fase individu mengalami masa peralihan, salah satunya dalam mencapai kematangan seksual. Perkembangan identitas seksual yang baik pada remaja, ditandai dengan kemampuan mereka untuk belajar menguasai perasaan seksual dan tingkah laku seksual secara benar (Santrock, 2011). Namun, seringkali remaja terjebak pada perilaku seksual yang tinggi (Hayyu, 2017). Fenomena tersebut terjadi salah satunya karena remaja kurang mampu menghargai diri sendiri, (Mayasari and Hadjam, 2000). Hal ini juga dapat terjadi karena lemahnya keterikatan remaja dengan orang tuanya (Puspitadesi et al, 2013).

  Tustikarana (2016) berpendapat kedekatan orang tua secara emosinal (parental bonding) yang baik dipercaya memberikan pengaruh terhadap remaja, khususnya self-esteem dan kemampuan berperilaku secara seksual dengan baik.

  Namun, hubungan parental bonding dan self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja, hingga saat ini di Indonesia belum pernah dijelaskan.

  WHO menjelaskan perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja dengan sesama maupun lawan jenis dianggap wajar selama tidak masuk dalam kategori berisiko, yakni tidak adanya penggunaan alat kontrasepsi, upaya perlidungan diri dari infeksi penyakit menular seksual hingga kehamilan yang terlalu dini (Chandra-Mouli, Camacho and Michaud, 2013). Hal tersebut bertolak belakang dengan Indonesia, yang mana segala bentuk perilaku seksual lazim atau wajarnya dilakukan ketika telah masuk usia ideal menikah berdasarkan Undang-undang

  1

  2 pernikahan serta berpedoman terhadap nilai norma, budaya terutama agama (Andarmoyo, 2014).

  Perilaku seksual remaja menjadi sorotan tersendiri di Indonesia, dimulai dari hasil riset oleh Norton Online Family Report (2010) yang menunjukkan bahwa 96% remaja usia 10-17 tahun pernah membuka konten situs porno sehingga menempatkan Indonesia di posisi kedua terentan dalam penetrasi konten pornografi setelah Rusia. Riset KPAI (2016), pada pelajar SMP dan SMA di 12 kota besar menunjukkan 76 % responden perempuan dan 72% laki-laki telah berpacaran dengan 16,3 % diantaranya telah melakukan making in love (ML). Survei BKKBN (2014) tentang kesehatan reproduksi remaja juga menunjukkan bahwa 8,3 % laki-laki dan 1% perempuan sudah melakukan hubungan seksual yang tidak semestinya sejak usia paling muda 10 tahun, perilaku ini di antaranya 48,2% remaja laki-laki dan 29,4% perempuan mengaku pernah berciuman, dan 6,2% di antara kelompok remaja perempuan pernah saling merangsang, 46% remaja berperilaku tersebut terjadi dalam rentang usia 15-19 tahun saat masih ada yang berstatus sebagai pelajar SMP dan SMA. Salah satu konsekuensi yang ditemukan, Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mencatat tingginya peningkatan jumlah kelahiran di luar nikah dalam tiga tahun terakhir tercatan tahun 2014 sebanyak 28 kasus, tahun 2015 sebanyak 19 kasus dan pada tahun 2016 meningkat sebanyak 69 kasus, akibat kurangnya perhartian serta pengawasan dari orang tua (Media center Bojonegoro, 2017). Hikmiya et al (2014) menyatakan bahwa pengabaian dari orangtua juga dapat menyebabkan perilaku seksual remaja perempuan cenderung tinggi.

  3 Parenting selalu menjadi faktor penting dalam pencapaian anak saat beranjak dewasa (Lind et al., 2017). Parental bonding memiliki peranan penting dalam aspek berperilaku dan perkembangan anak terutama selama 16 tahun pertama usia mereka (Karim and Begum, 2017). Parental bonding yang baik membuat remaja menjadi lebih percaya diri, mandiri, merasa memiliki kompeten, berprestasi di sekolah, self-esteem yang di miliki terhitung tinggi, serta remaja menjadi jarang untuk menunjukkan perilaku yang bermasalah (Rice&Dolgin, 2008 dalam Tustikarana, 2016). Sebaliknya, perilaku pengasuhan yang di tandai oleh permusuhan, penolakan, dan kontrol mengakibatkan kejiwaan yang negatif sepanjang hidup (Lind et al., 2017). Hal ini dipercaya menyebabkan anak terjerumus pada perilaku seksual berisiko semasa remaja (Shin et al., 2016).

  Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi

  parental bonding dalam keluarga dan self esteem pada remaja, khususnya di kota

  Bojonegoro. Penelitian ini menggunakan kerangka teori oleh Kathryn E. Barnard (1994), child health assesment model. Kerangka ini dipilih karena kemampuannya mengkaji perilaku melalui sudut pandang interaksi orang tua dengan anak (Alligood, Ann Marriner Tomey, 2010). Kerangka teori dari Teori Skinner (1938)

  “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons) juga digunakan sebagai lensa untuk membahas temuan dalam penelitian ini .

1.2 Rumusan Masalah

  Bagaimanakah hubungan antara parental bonding dan self esteem remaja dengan perilaku seksual pada remaja ?

  4

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara parental bonding dan self esteem dengan perilaku seksual pada remaja.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  1. Mengidentifikasi parental bonding dari orang tua terhadap remaja

  2. Mengidentifikasi self esteem pada remaja

  3. Mengidentifikasi perilaku seksual yang pernah dilakukan oleh remaja

  4. Menganalisis hubungan parental bonding dengan perilaku seksual remaja 5. Menganalisis hubungan self esteem remaja dengan perilaku seksual remaja.

  1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pendekatan asuhan keperawatan keluarga, khususnya pada tahap Keluarga dengan Remaja.

  1.4.2 Manfaat Praktis

  1. Dinas Kesehatan Hasil penelitian ini akan disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kota

  Bojonegoro dalam bentuk laporan sebagai pertimbangan kebijakan lokal untuk mengurangi dampak perilaku seksual berisiko serta sebagai bahan acuan pengembangan program kesehatan reproduksi remaja.

  2. Remaja sebagai responden Atas kesediaan waktu dan partisipasinya responden mendapat insentive berupa souvenir, serta edukasi seputar kesehatan reproduksi dan perilaku

  5 seksual yang sehat pada remaja. Materi edukasi disampaikan melalui Tim Pembina UKS sebagai bahan untuk disosialisasikan kepada siswa sekolah setempat.

  3. Bagi peneliti selanjutnya Dari hasil penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perkembangan kesehatan remaja.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Parental bonding

  2.1.1 Parental bonding Bonding merupakan hubungan dengan orang lain berupa kedekatan yang

  terjalin antara orang tua dengan anak, parental bonding ialah pembentukan timbal balik kedekatan emosional dan psikologis antara orang tua (pengasuh utama) dengan anak mereka yang baru lahir bahkan sampai hari setelah mereka lahir (Perry, 2001).

  Parental bonding merupakan cerminan hubungan interpersonal anak

  dengan orang tua sepanjang masa hidup mereka (Shin et al., 2016). Parental

  bonding mengacu pada keterikatan emosional dan fisik yang terjadi antara figur

  orang tua, terutama ibu, dan keturunannya yang dimulai sejak bayi lahir (Luanpreda, 2015). Parental bonding juga memiliki peranan penting dalam aspek berperilaku dan perkembangan anak terutama selama 16 tahun pertama usia mereka (Karim and Begum, 2017).

  2.1.2 Dimensi Parental bonding

  Dimensi yang digunakan untuk parental bonding, yang dikembangkan oleh Tupling& Brown dalam Parker 1983 meliputi dua dimensi, yaitu :

  1. Care Dikatakan tinggi dengan diperlihatkannya kasih sayang orang tua terhadap anak, memahami anak, dan sikap orang tua dalam memperhatikan anak dan

  6

  7 akan dikatakan rendah apabila menunjukkan sikap yang membuat anak merasa tidak diinginkan atau merasa ditolak. Pada dimensi ini hal-hal yang tidak ditunjukkan adalah ketidakpedulian dan penolakan (Luanpreda, 2015).

  Karakteristik pada dimensi ini adalah adanya rasa kepercayaan, merasa fleksibilitas yang dipunya antara remaja dengan orang tua bagus, mau berbagi sikap optimis, kemandirian dan kasih sayang.

  2. Protection Protection yang tinggi akan ditunjukkan dengan sikap dan perilaku orang

  tua yang mengendalikan semua yang dilakukan anak, melanggar atau memasuki ruang privasi anak, dan mengurangi semua yang terkait dengan anak. Sedangkan protection yang rendah akan menunjukkan sikap memberikan kebebasan sesuai dengan yang diinginkan anak serta sikap lainnya yang berbanding terbalik dengan protection yang tinggi. Sedangkan pada dimensi ini merupakan hal-hal uang berlawanan dengan semua yang berbau otonom dan kebebasan (Luanpreda, 2015) Perry, (2001) menjelaskan bahwa tindakan memegang, mengayun, bernyanyi, memberi makan, menatap, mencium dan perilaku pengasuhan lainnya yang terlibat dalam merawat bayi dan anak muda adalah pengalaman ikatan. Faktor- faktor yang penting untuk ikatan mencakup waktu bersama (tingkat kelahiran, kuantitas tidak penting), interaksi tatap muka, kontak mata, kedekatan fisik, sentuhan dan pengalaman sensorik utama lainnya seperti bau, suara, dan rasa.

  Para ilmuwan percaya bahwa faktor yang paling penting dalam menciptakan keterikatan adalah kontak fisik yang positif (mis., Memeluk, memegang, dan

  8 mengayun). Tidak mengherankan jika menahan, menahan, tersenyum, berciuman, bernyanyi, dan tertawa menyebabkan aktivitas neurokimia tertentu di otak. Aktivitas neurokimia ini menyebabkan organisasi normal dalam sistem otak yang bertanggung jawab atas attaachment

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Parental Bonding

  1. Kepribadian anak atau temperamen mempengaruhi ikatan. Pada anak usia dini cenderung tidak responsif dibandingkan dengan anak yang tenang dan menenangkan diri, ia akan memiliki lebih banyak kesulitan untuk mengembangkan keterikatan yang aman. Kemampuan bayi untuk berpartisipasi dalam interaksi ibu-bayi dapat dikompromikan menggunakan kondisi medis seperti pra-jatuh tempo, cacat lahir, atau penyakit.

  2. Caregiver : Perilaku pengasuh bisa mengganggu ikatan. Orang tua yang kritis, menolak, dan mengganggu cenderung memiliki anak yang menghindari keintiman emosional. Orang tua yang kasar cenderung memiliki anak yang merasa tidak nyaman dengan keintiman dan penarikan diri. Ibu anak mungkin tidak responsif terhadap anak karena depresi ibu, penyalahgunaan subtansi, masalah pribadi yang luar biasa, atau faktor lain yang mengganggu kemampuannya untuk konsisten mengasuh anak.

  3. Environment : Hambatan utama keterikatan sehat adalah rasa takut. Jika bayi tertekan karena rasa sakit, ancaman yang meluas atau lingkungan yang kacau, mereka akan memiliki waktu yang sulit untuk berpartisipasi dalam hubungan asuh yang mendukung sekalipun. bayi atau anak-anak dalam kekerasan dalam

  9 rumah tangga, pengungsi, kekerasan masyarakat atau lingkungan zona perang rentan terhadap pengembangan masalah keterikatan.

  4. Fit : "fit" antara temperamen dan kemampuan bayi dan ibu sangat penting. beberapa pengasuh bisa baik-baik saja dengan bayi yang tenang namun terbebani dengan bayi yang mudah tersinggung. Proses untuk memperhatikan, membaca isyarat non-verbal satu sama lain dan merespons dengan tepat sangat penting untuk mempertahankan pengalaman ikatan yang terbentuk dalam keterikatan yang sehat. Terkadang gaya komunikasi dan respons yang akrab bagi seorang ibu dari salah satu anaknya yang lain mungkin tidak sesuai dengan bayinya saat ini. Rasa frustrasi bersama karena "tidak sinkron" bisa mengganggu ikatan

2.1.4 Jenis Parental bonding

  Rentang jenis parental bonding dalam Karim and Begum, (2017) ialah sebagai berikut:

  1. Optimal Parenting (Care Tinggi dan Protection Rendah) Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang peduli dengan remaja, tetapi tetap memberikan ruang kepada remaja tanpa membatasi secara berlebihan.

  2. Affectionate Constrait (Care Tinggi dan Protection Tinggi) Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang paling kaku dalam mengendalikan atau mengontrol remaja.

  3. Affectionate Control (Care Rendah dan Protection Tinggi) Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang peduli dengan remaja, tetapi tetap memberikan ruang ke gerak remaja tanpa melihat kebutuhan remaja.

  10

  4. Neglectful Parenting (Care Rendah dan Protection Rendah) Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang tidak peduli dengan remaja dan membebaskan remaja untuk berlaku sesuka hati mereka.

  Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perilaku pengasuhan yang di tandai oleh permusuhan, penolakan, dan kontrol mengakibatkan kenegatifan kejiwaan sepanjang hidup (Lind et al., 2017) ikatan orang tua yang tidak tepat dapat mengancam self-esteem anak sehingga merasa tidak berdaya dan terpukul (Shin et al., 2016). Penelitian oleh Hikmiya et al., (2014) didapatkan dari 196 responden, 35 % yang mengalami ikatan dari orang tua dalam bentuk lalai, menunjukkan perilaku distructive lebih tinggi dibandingkan jenis ikatan yang lain.

2.2 Konsep Self-esteem

2.3.1 Self-esteem

  Self-esteem adalah evaluasi diri yang bersifat global untuk menjelaskan image atau penilaian positif seseorang untuk dirinya (Santrock, 2011).

  Self-esteem (self-esteem) merupakan penilaian sesorang atas kelayakan

  diri,tentang bagaimana standart dan penampilan sesorang itu dibandingkan dengan orang lain dan ideal diri seseorang (Audrey Berman, Barbara Kozier, 2010). Self-esteem merupakan salah satu predictor utama kesejahteraan psikologis (Valkenburg, Koutamanis and Vossen, 2017).

  Self-esteem adalah sebagai pendapat personal akan keberhargaan diri yang diekspresikan dalam sikap individu yang berpengaruh terhadap dirinya.

  11

2.3.2 Hal-hal yang Mempengaruhi Self-esteem

  Pada remaja menurut Kreitner dan Kinicki dalam (Suhron, 2016) terdapat enam faktor yang dapat mendukung self-esteem, yang biasanya disingkat dengan G-R-O-W-T-H, yaitu :

  a. Goal setting (merencanakan tujuan) Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi.

  b. Risk taking (mengambil resiko) Berani untuk mengambil risiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemauan diri sendiri jika tidak mau mengambil risiko.

  c. Opening up (membuka diri) Jika remaja mau membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali dirinya sendiri.

  d. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana) Jika remaja biasa membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self confiedence dan self-esteem, e. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu)

  Jangan terlalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini siswa dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya.

  12

  f. Healing (penyembuhan) Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak mudah untuk mencapainya.

  Menurut McLoed & Owens, Powell, (2014) dalam (Suhron, 2016) faktor- faktor yang mempengaruhi self-esteem antara lain : a. Usia

  Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah.

  b. Ras Keanekaragaman budaya serta ras tertentu dapat mempengaruhi self- esteem nya untuk menjunjung tinggi rasnya.

  c. Suku Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat suku tertentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi

  self-esteem seseorang.

  d. Pubertas Periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual

  13 yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempengaruhi self-

  esteem.

  e. Berat Badan Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas yang tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan munculkan ciri-ciri seks sekunder. Individu mulai terlihat berbeda, sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan.

  f. Jenis Kelamin Remaja pria akan menjaga self-esteemnya untuk bersaing dan berkeinginan untuk menjadi lebih baik dari remaja putri dalam mencapai prestasi belajar Hal ini dapat mempengaruhi self-esteem. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putrimudah mengalami gangguan citra diri.

  Secara khusus, self-esteem remaja putri rendah, tingkat kesadaran diri mereka tinggi dan citra diri mereka mudah terganggu dibandingkan remaja putra (Rosenberg& Simmons dalam Steinberg, 1999). Faktor lain yang turut mempengaruhi self-esteem menurut Coopersmith dalam

  Burns, (1993) :

  1. Pengalaman Pengalaman adalah segala bentuk perasaan, tindakan dan peristiwa yang pernah dialami individu yang kemudian meninggalkan kesan bermakna dan relatif menetap sepanjang hidup individu.

  14

  2. Pola Asuh

  Self-esteem dipengaruhi sikap orangtua ketika berinteraksi dengan

  anaknya, seperti memberikan aturan, hadiah ataupun hukuman, dan termasuk bagaimana orang tua memberikan afeksi dan perhatian kepada anaknya.

  3. Lingkungan Pengaruh terbesar dating dari orang tua atau keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar, meliputi perasaan aman dan nyaman, serta merasa diterima secara sosial.

  4. Sosial ekonomi Status sosial ekonomi individu yang mempengaruhi cara dan sikap individu dalam memenuhi kebutuhan sosialnya, beserta kemampuan dukungan finansial pada kehidupan sehari-hari.

2.3.3 Aspek Self-esteem

  Menurut Coopersmith (1967) dalam (Machini et al., 2015) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada empat yaitu : a. Kekuasaan (Power)

  Kemampuan untuk mengontrol dan mengatur tingkah laku diri sendiri dan orang lain.

  b. Keberartian (Significance) Kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain, hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya.

  15

  c. Kebajikan (Virtue) Kegiatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperolehkan oleh moral, etika, dan agama.

  d. Kemampuan (Competence) Sukses memenuhi tuntutan prestasi yang di tandai oleh leberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda. Menurut Rosenberg, (1995) self-esteem secara globlal menjadi lebih relevan untuk kesejahteraan psikologis, dan spesifik self-esteem ynag menjadi lebih relevan untuk perilaku. Self-esteem secara global lebih kuat berkaitan dengan langkah-langkah kesejahteraan psikologis, sedangkan spesifik self-esteem yang berkaitan dengan akademik, sebagai predictor kemampuan dalam belajar. Rosenberg menyatakan bahwa self-esteem memiliki dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri. Kedua aspek tersebut memiliki lima dimensi yaitu:

  1. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap kualitas pendidikan individu.

  2. Dimensi sosial mengacu pada persepsi individu terhadap hubungan sosial individu

  3. Dimensi emosional merupakan hubungan keterlibatan individu terhadap emosi invidu.

  4. Dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu dalam partipasi dan integrase di dalam keluarga

  16

  5. Dimensi fisik yang mengacu pada presepsi individu terhadap kondisi fisik individu.

  Terdapat komponen positif dan negatif terhadap perasaan penghargaan pada individu :

  1. Positif sebagai aspek kepercayaan diri (self confidence) Individu memiliki perasaan positif dalam menghargai diri ketika ia menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya san menghargai orang lain, dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik, menyukai tugas dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan diluar rencana, berhasil atas prestasi dibidang akademik, aktif dan dapat mengekspresikan dirinya dengan baik, tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam diri, mimiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu dengan perasaan positif lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.

  2. Negatif sebagai aspek penurunan kepercayaan diri (self depreciation) Pada perasaan ini individu menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai, sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial, hal ini seringkali menyebabkan invidu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya, sulit mengontrol tindakan dan perilakunya terhadap dunia luar dirinya dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain. Individu tidak menyukai segla

  17 hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya. Ketidak yakinan akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurangberhasil dalam prestasi, menganggap dirinya kurang sempurna, kurang memiliki nilai dan sikap yang yang demokratis serta orientasi yang kurang realistis dan selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan

2.3.4 Tipe dan Tingkatan Self-esteem

  Berikut ini adalah tipe-tipe self-esteem dalam tingkatannya menurut Mruk (2006) dalam (Anandari, 2013) :

  1. Worthiness-Based Self-esteem Individu dengan tipe ini cenderung tidak stabil atau memiliki karakteristik

  self-esteem yang rapuh. Mereka memiliki kompetensi rendah namun terlalu focus pada kemampuannya.

  a) Approvesl seeking. Pada level ini, individu akan bergantung pada penerimaan orang lain, sensitif pada kritik, dan penolakan.

  b) Narsistik. Pada level ini, individu akan melebih-lebihkan kemampuannya tanpa menghiraukan kompetensinya dan kritik untuknya. Cenderung untuk terlalu membela diri sendiri.

  2. Highh Self-esteem Tipe ini adalah tipe yang relatif stabil dibandingkan dengan karakteristik antara lain: terbuka pada pengalman baru, optimis, dan tidak terlalu membela diri sendiri.

  18

  a) Medium. Pada level ini, individu memiliki kestabilan yang cukup dalam kompetensi dan kemampuan.

  b) Authentic. Pada level ini, individu memiliki kompetensi yang realistic, kemapuan yang kuat, aktif untuk hidup secara positif, dan memiliki nilai instrinsik.

  3. Low Self-esteem Berkurangnya level dari self-esteem yang memiliki kecenderungan karakter untuk menghindar dan hilangnya kompetensi atau kemampuan yang dimiliki.

  a) Negativistic. Pada level ini, individu cenderung lebih berhati-hati dan lebih berfokus pada menjaga self-esteem yang dia miliki daripada kehilangannya.

  b) Klasikal. Pada level ini, individu akan merasa bahwa kemampuan yang dia miliki rendah, memiliki kecenderungan untuk depresi, dan cepat menyerah.

  4. Competence-Based Self-esteem Individu dengan tipe ini cenderung tidak stabil atau memiliki karakteristi

  self-esteem yang rapuh. Mereka memiliki kemampuan yang rendah namun terlalu fokus pada kompetensinya.

  a) Success seeking. Pada level ini, individu akan terus berusaha untuk mencapai kesuksesan atau prestasi, sangat cemas dan sensitif terhadap kegagalan.

  19

  b) Anti sosial. Pada level ini, individu akan berlebihan untuk sukses dan memiliki power. Sangat mudak untuk bertindak agresif.

  Rosenberg membagi tingkatan self-esteem menjadi tiga, terdiri dari:

  a. Individu dengan self-esteem yang tinggi Rosenberg menyatakan bahwa individu terbilang memiliki self-esteem tinggi pabila individu menghargai dan merasa dirinya berharga dan dengan tidak merasa superior atas orang lain. Mampu mengakui keterbatasan diri tapi tetap memiliki harapan untuk terus mengembangkan diri.

  Damian and Robins, (2011) menyatakan orang yang memiliki self-esteem tinggi cenderung mencari hal yang bisa membuat dirinya berkembang dan melihat segala sesuatu, baik itu positif atau negatif sebagai proses berkembang.

  b. Individu dengan self-esteem yang sedang Setiap individu pada dasarnya memiliki kemampuan dalam hal penerimaan diri, namun kurang mampu untuk mengendalikan perasaan berharga yang dimiliki dan dari pandangan sosial dinilai kurang relevan bagi dirinya. Selain itu mereka juga ragu-ragu dan tidak yakin terhadap kemapuan yang dimiliki dibandingkan dengan orang lain. Individu dengan self-esteem yang sedang sebenarnya memiliki sejumlah evaluasi positif tentang dirinya.

  Namun terkadang mereka memiliki kemampuan, keberartian, dan harapan yang lebih rendah dibandingkan yang lain.

  20

  c. Individu dengan self-esteem yang rendah Individu yang memiliki self-esteem rendah ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap dirinya dan perasaan tidak senang terhadap dirinya sendiri.

2.3.5 Perkembangan Self-esteem Remaja

  Perkembangan self-esteem bukan merupakan penilaian diri yang dibawa sejak lahir melainkan penilaian yang diperlajari sejak awal kehidupan dan terbentuk dari interaksi dengan orang-orang dilingkungan sekitar terlebih dalam struktur keluarga (Berman & Kozier, 2010). Memasuki usia remaja, isu paling penting dan kritis pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Menurut Erikson, identitas merupakan konsepsi koheren tentang “self” yang di yakini oleh diri sendiri. Remaja memiliki lingkungan sosial yang lebih luas sehingga penilaian dari orang-orang yang berarti selain orang tua, seperti peer group, meiliki pengaruh yang besar terhadap rasa keberhargaan diri dan kompetensinya.

  Identitas diri tidak dapat dipisahkan dengan self-esteem. Remaja mengembangkan

  self-esteem lebih luas dan relevan dengan aspek-aspek yang dimilikinya seperti

  pandangan dirinya terhadap pertemanan, hubungan percintaan serta kompetensinya. Self-esteem remaja terbentuk dari hasil eavluasi subjektif atas umpan balik yang remaja terima dari orang sekitar serta perbandingan dengan standar atau nilai kelompok (Santrock, 2011). Gambaran evaluasi diri yang didapat melalui umpan balik dari lingkungan ini berlangsung secara terus- menerus hingga masa dewasa. Umpan balik dari lingkungan merupakan sumber penting untuk memberikan informasi penting mengenai diri dan memiliki pengaruh langsung penting mengenai diri dan memiliki pengaruh langsung pada

  21

  self-esteem individu. Dubois dan Tevendale, (1999) mengungkapkan bahwa masa

  remaja merupakan masa kritis dalam perkembangan self-esteem karena self- esteem dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja (Suhron, 2016).

  .Pada masa remaja self-esteem tumbuh dan perlahan meningkat hingga dewasa. Ada factor yang membedakan dalam perkembangan self-esteem berdasarkan jenis kelamin, dimana pada laki-laki mereka lebih berfokus pada kemampuan mereka sendiri, sedangkan wanta cenderung berfaktor ke emosionalnya seperti pentingnya berhubungan dengan hal yang lain (Passanisi, Gensabella and Pirrone, 2015).

  Penelitian yang melibatkan 1000 anak menunjukkan anak dengan self-esteem rendah lebih mudah mengalami depresi daripada anak yang memiliki self-esteem tinggi. Selain itu self-esteem yang tidak stabil erat kaitannya dengan respon afektif dan perilaku yang maladaptif (Passanisi, Gensabella and Pirrone, 2015).

  Perkembangan remaja yang perlu dilakukan adalah mengembangkan rasa koheren diri (pandangan tentang siapa mereka dan siapa yang mereka inginkan) serta persaan tentang self-esteem (self esteem), karena self-esteem salah satu predictor utama kesejahteraan psikologis (Valkenburg, Koutamanis and Vossen, 2017).

  Hidayah, A (2016) menyebutkan bahwa self-esteem yang rendah ditemukan pada individu yang memiliki gangguan psikiatris yaitu depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, dan penyalahgunaan zat.

  22

2.3 Konsep Perilaku Seksual

2.3.1 Perilaku Seksual

  Perilaku seksual menurut Sarwono (2010) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, objek seksual bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Secara lebih luas perilaku seksual yakni interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, emosi serta bagaimana sesorang mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukan (Andarmoyo, 2014).

  Andarmoyo, (2014) menuliskan para ahli dalam bidang seksualitas tidak setuju tentang jenis perilaku seksual normal, suatu hal yang mungkin untuk menijau ekspresi seksualitas dalam suatu rentang yang berkisar dari adaptif hingga maladaptive.

  Respons seksual yang paling adaptif terlihat pada perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

  1. Antara dua orang dewasa

  2. Saling memuaskan individu yang terlibat 3. Secara fisik dan psikologik tidak berbahaya bagi kedua pihak.

  4. Tidak terdapat paksaana tau kekerasan

  5. Dilakukan di tempat tertutup Respons seksual yang maladaptive termasuk perilaku yang tidak memenuhi satu atau lebih dari krtiteria tersebut .

  23 Rentang Respon Seksual Respon adaptif Respo Maladaptif

  Perilaku seksual Gangguan Disfungsi Perilaku seksual performa yang perilaku yang seksual memuaskan seksual oleh membahayakan, ansietas yang pemaksaan, tidak menghargai hak sebagai akibat privasi atau bukan orang lain dari antara dua orang penilaian dewasa

Gambar 2.1 Rentang respon seksual

  Menurut Berman & Kozier, (2010) tahap-tahap perilaku seksual dimulai dari adannya stimulasi psikologi meliputi, bau, rasa, pendengaran, sight, fantasi atau khayalan dan odor.

2.3.2 Bentuk Perilaku Seksual