STUDI DESKRIPTIF PENDIDIKAN SEKSUAL DAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Studi Deskriptif Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja

SKRIPSI

Oleh:
Anastasya Shely Prastiwi
201210230311139

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

Studi Deskriptif Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:
Anastasya Shely Prastiwi

201210230311139

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

SKRIPSI
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Anastasya Shely Prastiwi
Nim: 201210230311139
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal, 03 Januari 2016
dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan
memperoleh gelar Sarjana (S1) Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua/ Pembimbing I


Sekretaris/ Pembimbing II

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si

Susanti Prasetyaningrum, S.Psi, M.Psi

Anggota I

Anggota II

M. Shohib, S.Psi. M.Si.

Istiqomah, S.Psi. M.Si

Mengesahkan
Dekan,

Dra. Tri Dayakisni, M.Si

i


SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Anastasya Shely Prastiwi

NIM

: 201210230311139

Fakultas/Jurusan

: Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/karya ilimiah yang berjudul:
Studi deskriptif pendidikan seksual dan perilaku seksual pada remaja

1. Adalah bukan karya orang lain baik itu sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam
bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan skripsi/karya ilmiah dari penelitian yang saya lakukan merupakan hak bebas
royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 28 Januari 2016
Mengetahui,
Ketua Program Studi

Yang Menyatakan,

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si

Anastasya Shely Prastiwi

ii

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Deskriptif
Pendidikan Seksual Dan Perilaku Seksual Pada Remaja” yang merupakan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak lupa pula
senantiasa penulis kirimkan shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad
SAW. Nabi yang telah mengisi sebagian besar masa hidupnya untuk kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia.
Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan dan dalam proses penyusunan skripsi ini
banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih dalam bentuk apapun, baik itu berupa
motivasi, bimbingan, dan petunjuk kepada penulis. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang.
2. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si dan Susanti Prasetyaningrum, S.Psi, M.Psi selaku dosen
pembimbing I dan II yang telah meluangkan banyak waktu untuk mencurahkan
wawasannya, dan memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis.
3. Tri Muji Ingarianti, S.Psi., M.Psi selaku dosen wali yang senantiasa memberikan nasihat,
dukungan, dan motivasi kepada penulis.
4. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) Kabupaten Pasuruan, yang

telah memberikan izin penelitian, serta seluruh subjek yang bersedia membantu mengisi
angket penelitian.
5. Ayahandaku tercinta (Akhmad Sultoni) dan Ibundaku tersayang (Heny Yusita) yang
penuh kesabaran dan pengertian yang luar biasa telah mengiringi dan menyemangati
setiap langkah penulis dengan kasih sayang, doa, dan restunya, tanpanya aku bukanlah
siapa-siapa di dunia fana ini.
6. Adikku Cindy Novianti Putri tersayang, terima kasih tiada tara atas segala support yang
telah diberikan selama ini dan semoga adikku tercinta dapat menggapaikan keberhasilan
juga di kemudian hari.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan Fakultas Psikologi UMM angkatan 2012 khususnya
rekan-rekan kelas C yang tak bisa tersebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak
kuucapkan.
8. Sahabatku tersayang (Bangun, Avi, Arip, Yayak) terima kasih telah menjadi sahabat setia
yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan selalu mensupport dalam segala hal.
9. Sahabat setiaku (lintang, mimin, azimah, rara) terima kasih telah menjadi teman, sahabat,
saudara, dan keluarga ditanah rantau ini, semuanya sangat berkesan.
10. Teman-teman kos BCT123 yang bersama-sama dalam tempat tinggal yang telah dirasa
suka duka kita lalui (chaca, mega, ckyar, indi, tatha, nisa, marita)
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan
bantuan dalam bentuk apapun kepada penulis.

Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya atas segala yang telah mereka
berikan kepada penulis dengan suatu harapan bahwa kesuksesan selalu terdekap bagi kita
semua.Amin.
iii

Penulis menyadari bahwa tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan
saran demi perbaikan skripsi ini sangat diharapkan oleh penulis. Meski demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti secara khusus, dan bagi pembaca
pada umumnya.

Malang, 28 Januari 2016
Penulis,

Anastasya Shely Prastiwi

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................i

SURAT PERNYATAAN ........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................v
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................vii
ABSTRAK ...............................................................................................................................1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................2
LANDASAN TEORI ...............................................................................................................5
Pendidikan Seksual .........................................................................................................5
Perilaku Seksual ..............................................................................................................8
Remaja .............................................................................................................................9
Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual Remaja ..........................................................10
METODE PENELITIAN .........................................................................................................11
Rancangan Penelitian ......................................................................................................11
Subjek Penelitian .............................................................................................................11
Variabel dan Instrumen Penelitian ..................................................................................12
Prosedur dan Analisa Data Penelitian .............................................................................13
HASIL PENELITIAN ..............................................................................................................13
DISKUSI ..................................................................................................................................17
SIMPULAN DAN IMPLIKASI...............................................................................................19

REFERENSI.............................................................................................................................20
LAMPIRAN .............................................................................................................................23

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahap Perkembangan Remaja ....................................................................................11
Tabel 2. Perilaku seksual berdasarkan status berpacaran .........................................................15
Tabel 3. Perilaku seksual berdasarkan kapan diberikannya pendidikan seksual .....................15
Tabel 4. Perilaku seksual berdasarkan metode yang digunakan dalam memberikan
pendidikan seksual ...................................................................................................................15
Tabel 5. Perilaku seksual berdasarkan media yang digunakan dalam memberikan
pendidikan seksual ...................................................................................................................16
Tabel 6. Perilaku seksual berdasarkan pemberian nasehat orangtua kepada anaknya .............16
Tabel 7. Perilaku seksual berdasarkan kegiatan seminar yang diadakan disekolah .................16
Tabel 8. Perilaku seksual berdasarkan siapa yang memberikan pendidikan seksual ...............16
Tabel 9. Perilaku seksual berdasarkan informasi yang sudah didapatkan remaja....................17
Tabel 10. Pendapat tentang perlunya pendidikan seksual ........................................................17
Tabel 11. Analisis anova media pendidikan seksual ................................................................17

Tabel 12. Analisis anova metode pendidikan seksual ..............................................................18
Tabel 13. Analisis anova seminar yang dilakukan disekolah mengenai pendidikan seksual...18
Tabel 14. Analisis anova orangtua memberikan nasehat mengenai pergaulan ........................18

vi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
Skala Try Out Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja ...................................25
LAMPIRAN 2
Analisis Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian .........................................................31
LAMPIRAN 3
Blue Print Skala Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja ...............................36
LAMPIRAN 4
Tabulasi Data Penelitian...........................................................................................................44
LAMPIRAN 5
Analisa Uji Beda dari SPSS .....................................................................................................57
LAMPIRAN 6
Surat Ijin Penelitian ..................................................................................................................64


vii

STUDI DESKRIPTIF PENDIDIKAN SEKSUAL DAN PERILAKU
SEKSUAL PADA REMAJA
Anastasya Shely Prastiwi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
anastshely@gmail.com

Perilaku seksual pada remaja kini cenderung meningkat, yang diduga salah satunya yaitu
karena kurangnya pendidikan seksual yang remaja terima. Penelitian ini adalah penelitian
eksploratif dengan desain deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
pendidikan seksual yang sudah diterima oleh remaja dengan tingkat perilaku seksual remaja.
Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuisioner pendidikan seksual dan
skala perilaku seksual remaja. Subjek penelitian sebanyak 193 sampel dengan menggunakan
teknik accidental sampling pada remaja SMA di salah satu sekolah di Kabupaten Pasuruan.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif dengan
melihat besar prosentase. Hasil prosentase sebesar 34,2% menunjukkan bahwa perilaku
seksual remaja tinggi pada tingkat perilaku intercourse, diikuti dengan 30,6% tidak/ belum
melakukan perilaku seksual dan sisanya tersebar pada tingkatan necking 16,1%, petting 15%,
dan kissing 4,1%. Hal ini menunjukkan pendidikan seksual saja tidak cukup untuk mencegah
remaja melakukan premarital intercourse dan perilaku seksual lainnya.
Kata kunci: Pendidikan seksual, perilaku seksual, remaja

Sexual behavior in adolescents now tends to increase, one of suposittion is the lack of sexual
education that adolescents receive. This is the explorative research with descriptive
quantitative design that aims to reveal the sexual education received by adolescents with the
level of adolescent sexual behavior. The method of data collection is using a sexual education
questionnaire and adolescent sexual behavior scale. 193 research subjects subjects by using
accidental sampling technique to adolescent in one of the Senior High School in Pasuruan.
Data analysis technique that used in this research is descriptive quantitative with counting
the amount of percentage. A percentage of 34.2% showed that adolescents sexual behavior is
high on the behavioral level intercourse, followed by 30.6% not/ do not perform sexual
behavior and the rest scattered at the level of 16.1% necking, petting 15%, and kissing 4.1%.
It shows sexual education alone is not enough to prevent adolescents do premarital
intercourse and other sexual behavior.
Keywords: Sex education, sexual behavior, adolescents

2

Remaja merupakan generasi muda yang mempunyai peran yang sangat besar dalam
menentukan masa depan bangsa. Akan tetapi kehidupan pertumbuhan social dan pola
kehidupan masyarakat akan sangat mempengaruhi tingkah laku remaja seperti, kenakalan
remaja, pergaulan bebas, kehamilan pranikah, dll. Semua ini akan menentukan kehidupan
remaja yang akan datang.
Santrock (2007) remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa
dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Di masa ini
remaja juga mengalami siklus emosional yang meledak-ledak. Hal ini terjadi karena emosi
remaja masih stabil, sering menggebu-gebu, sangat bersemangat, namun mudah putus asa.
Pada masa ini biasanya kaum remaja lebih menonjolkan diri untuk mendapatkan perhatian
dari lingkungannya. Pada masa ini keluarga, teman, sekolah, dan lingkungan sangat berperan
penting. Lingkungan tempat remaja tinggal dan berinteraksi, sedikit banyak akan
memengaruhi dalam mengarahkan dan mengantarkan remaja dalam kehidupan yang
sebenarnya, saat ini menginjak dewasa. Orangtua dan guru sebaiknya mendampingi masa
transisi remaja ini. Karena akan menentukan kualitas hidup remaja di masa yang akan datang.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara aktif berinteraksi dengan remaja, seperti memberikan
perhatian yang optimal, mendengarkan cerita, berusaha memenuhi kebutuhan remaja, hingga
menjadi pemberi solusi yang baik pada saat remaja tengah mengalami masalah.
Laju perkembangan media massa dan elektronika yang semakin pesat tampaknya
mempengaruhi pola perilaku remaja, khususnya perilaku seksual remaja. Kenyataan seharihari yang dapat dilihat misalnya tayangan film-film yang masih terkesan vulgar, maraknya
VCD porno, maupun adegan-adegan „syur‟ yang begitu mudahnya diakses di internet. Rasa
ingin tahu (curiousity) yang sangat besar dan kurangnya pengetahuan yang di dapat dari
orangtua yang dikarenakan orang tua menganggap hal tersebut tabu untuk dibicarakan juga
mempengaruhi pola perilaku remaja. Pada remaja informasi mengenai masalah seksual sudah
seharusnya mulai diberikan agar remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dan dari
sumber yang tidak jelas. Pemberian informasi ini sangat penting dikarenakan remaja berada
dalam potensi seksual yang aktif yang akan berkaitan dengan dorongan seksual yang
dipengaruhi oleh hormon. Hal ini sangat berbahaya bagi perkembangan remaja bila tidak
didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).
Remaja dalam perkembangannya memerlukan lingkungan adaptip yang menciptakan kondisi
yang nyaman untuk bertanya dan membentuk karakter bertanggung jawab terhadap dirinya.
Ada kesan pada remaja, seksual itu menyenangkan, puncak rasa kecintaan, yang serba
membahagiakan sehingga tidak perlu ditakutkan. Berkembang pula opini seksual adalah
sesuatu yang menarik dan perlu dicoba (sexpectation). Terlebih lagi ketika remaja tumbuh
dalam lingkungan mal-adaptif, akan mendorong terciptanya perilaku amoral yang merusak
masa depan remaja. Dampak pergaulan bebas mengantarkan pada kegiatan menyimpang
seperti seks bebas, tindak kriminal termasuk aborsi, narkoba, serta berkembangnya penyakit
menular seksual (PMS).
Banyak remaja yang mengetahui tentang seksual akan tetapi factor budaya yang melarang
mereka untuk membicarakannya di depan umum karena dianggap sesuatu yang vulgar. Tetapi
ini akan mengakibatkan pengetahuan remaja mengenai seksual tidak lengkap, dimana mereka
hanya mengetahui cara dalam melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak
yang akan muncul akibat dari perilaku tersebut. Padahal pada masa remaja rasa ingin tahu
terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih
2

3

matang dengan lawan jenis. Pendidikan seksual yang tidak diberikan mengakibatkan
tingginya kekerasan seksual pada anak yang dilakukan orang-orang terdekat anak termasuk
keluarga. Fenomena ini menunjukkan pentingnya pemahaman akan pendidikan seksual pada
anak usia dini.
Hasil penelitian Synoviate Reasrch (2004; dalam Eriza, 2011) melaporkan bahwa sekitar 65%
informasi tentang seks mereka dapatkan dari teman dan juga 35% sisanya dari film porno.
Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seksual dari orang tuanya.
Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit seksual 27%, tetapi hanya
24% dari remaja yang melakukan preventif untuk mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian
Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007, dalam Puspitasati; 2012) melaporkan bahwa
97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2%
remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah menonton film porno.
Data Depkes RI (2006) menunjukkan jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia sekitar 43
juta (19,61%) dari jumlah penduduk. Sekitar satu juta remaja pria (5%) dan 200 ribu wanita
(1%) secara terbuka menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual.
Menurut Iskandar (1998) sebanyak 18% di Jakarta berhubungan seksual pertama dibawah 18
tahun dan usia termuda 13 tahun. Di Manado 56% remaja pria melakukan hubungan seksual
pertama pada usia dibawah 16 tahun dan remaja pitri 33,3% (Utomo, 1998).
Pasuruan: Jum‟at 18 Juli 2014, pukul 09.00 WIB, di ruang Unit PPA Polres Pasuruan telah
dilaksanakan pernikahan bernama Muhammad Yusuf Febriyanto (21) adapun perempuan
yang di nikahinya yaitu bernama Mawar (16) warga wilayah Kec. Rembang Kab. Pasuruan.
awalnya pelaku sering bertemu dengan Mawar di dalam toko milik orang tua Mawar yang
selanjutnya antara Mawar dan pelaku telah menjalin hubungan cinta dan melakukan pacaran
dengan cara sembunyi-sembunyi dihadapan kedua orang tua Mawar dan pada suatu hari di
bulan Oktober 2013 , kedua orang sejoli tersebut dalam berpacaran telah melebihi batas dan
terjadilah persetubuhan layaknya suami istri, dan kejadian tersebut dilakukan beberapa kali di
bulan tersebut yang akibatnya Mawar mengalami kehamilan (humas.polri.go.id, 2014; dalam
Azizah, 2015).
Dari paparan diatas masalah pendidikan seksual pada saat ini kurang diperhatikan orangtua
sehingga mereka menyerahkan semua pendidikan anak kepada sekolah termasuk pendidikan
seksual. Padahal yang bertanggungjawab akan pendidikan seksual pada anak usia dini adalah
orang tua, sedangkan sekolah hanya sebagai pelengkap dan disekolah tidak ada kurikulum
tentang pendidikan seksual sehingga pendidikan seksual pada anak usia dini kadang
terabaikan. Pandangan yang kurang setuju dengan pendidikan seksual mengkhawatirkan
bahwa pendidikan seksual yang diberikan kepada anak akan mendorong mereka melakukan
hubungan seksual lebih dini. Sementara pandangan yang setuju pada pendidikan seksual
beranggapan dengan semakin dini mereka mendapatkan informasi mereka akan lebih siap
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu menghindarkan
diri dari kemungkinan yang bisa terjadi (Kusumawati, 2011).
Dengan adanya komunikasi antara orangtua dan anak mengenai seksualitas, hal ini akan
menjadikan remaja mempunyai informasi baru mengenai seksualitas yang benar, sehingga
dapat membentuk sikap remaja tentang perilaku seksual mereka. Hal ini pada dasarnya terjadi
karena suatu proses komunikasi yang berlangsung yang terdiri dari 3 komponen yaitu
kognitif, afektif, dan konatif yang berinteraksi antara satu dengan yang lain sehingga akan
3

4

terbentuk yang namanya sikap. Sikap inilah yang akan membentuk remaja dalam menentukan
perilaku yang akan ia lakukan.
Dalam pendekatan psikososial tentang seksualitas lebih menekankan faktor psikologis (emosi,
pikiran, dan kepribadian) dan faktor sosial yang sangat mempengaruhi pengetahuan remaja
mengenai seksual. Ini sangat dipengaruhi oleh orang yang berada disekitar lingkungan remaja
tersebut yaitu orangtua, guru, dan teman mereka. Perilaku seksual tidak hanya mempelajari
apa yang dilakukan manusia tetapi juga memahami bagaimana dan mengapa manusia itu
berperilaku (Helmi, 1998).
Pendidikan seksual bagi remaja yang sampai saat ini masih menjadi polemik antara yang pro
dengan yang kontra. Terjadinya pro kontra tentang pendidikan seksual itu, karena belum ada
keseragaman pandangan mengenai pendidikan seks itu sendiri. Bahkan jika pendidikan
seksual itu ingin diaplikasikan sebaiknya kata seks dihilangkan dengan mengganti kata-kata
dan bahasa yang lain, namun mengandung makna yang sama, sebab jika orang mendengar
penyebutan kata seks asosiasinya selalu mengarah kepada “kata kerjanya”, sehingga
diperlukan sosialisasi mengenai batasan atau defenisi tentang pendidikan seks. Menyebut kata
“seks”, kesannya sesuatu yang sifatnya vulgar, porno dan seronok, sehingga kedengarannya
sangat menjurus kepada hubungan intim antar dua lawan jenis yang berbeda, persepsi seperti
inilah yang menyebabkan kata seks menjadi tabu untuk dibicarakan di depan umum, apalagi
didepan remaja. Padahal sesungguhnya pendidikan seks adalah salah-satu cara untuk
mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampakdampak negatif yang tidak diharapkan. Jika mereka dilarang untuk mengetahui hal-hal yang
ingin mereka tau, contohnya permasalahan seksual, mereka akan mencari tau sendiri
permasalahan tersebut. Dan menurut mereka yang pro terhadap pendidikan seksual,
membiarkan anak mencari tau sendiri perihal permasalahan tanpa ada dampingan dari orang
dewasa, dapat menjerumuskan mereka. Lebih lanjut, mereka yang kontra dengan pendidikan
seksual pada anak beranggapan bahwa dengan memberikan pendidikan seksual pada anak,
akan membuat anak merasa tertarik untuk melakukan kegiatan seksual yang belum pantas
dilakukan. Padahal, laman voices.yahoo.com melansir bahwa pendidikan seksual yang
diberikan pada anak dapat mencegah mereka dari melakukan hal-hal yang tidak diinginkan
(Ratna, 2014).
Kohler dan Manhart (2008) dalam penelitiannya pada journal of Adolescent Health, berfokus
pada remaja heteroseksual umur 15 sampai 19 tahun. Setelah meninjau hasil, para peneliti
menimbang-nimbang mengenai populasi Amerika yang lebih baik, para peneliti menemukan
bahwa 1 dari 4 remaja menerima pantangan yang membuat populasi menjadi tidak lebih baik
yakni pendidikan. Sembilan persen khususnya orang miskin dan orang-orang di daerah
pedesaan tidak pernah menerima pendidikan seks. Dua pertiga lainnya menerima instruksi
komprehensif dengan diskusi mengena pengontrolan kelahiran.
Remaja yang menerima pendidikan seks yang komprehensif 60% kecil kemungkinannya
untuk melaporkan hamil atau menghamili seseorang daripada mereka yang tidak menerima
pendidikan seksual. Kemungkinan terjadinya kehamilan adalah 30% lebih rendah di antara
mereka yang memiliki pantangan yg hanya mengenai pendidikan dibandingkan dengan
mereka yang tidak menerima pendidikan seksual, namun para peneliti menganggap bahwa
jumlahnya secara statistik tidak signifikan karena hanya ada beberapa remaja cocok ke dalam
kategori yang dianalisis peneliti. Sementara mereka juga tidak mencapai signifikansi statistik,
hasil survei lainnya menunjukkan bahwa pendidikan seksual komprehensif - tapi tidak
4

5

pantang berbasis pendidikan seksual - sedikit mengurangi kemungkinan remaja telah
melakukan hubungan vagina. Pendekatan tidak tampak untuk mengurangi kemungkinan kasus
yang dilaporkan dari penyakit menular seksual, tapi sekali lagi hasilnya tidak signifikan
secara statistik. Temuan mendukung pendidikan seksual yang komprehensif, kata Kohler.
"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pantangan yang hanya mengenai minimnya
pendidikan seksual menurunkan kemungkinan pernah berhubungan seksual atau hamil."
Don Operario (2008), profesor pada Universitas Oxford di Inggris mengatakan bahwa kajian
tersebut memberikan „bukti lebih jauh‟, terhadap kegunaan pendidikan seksual komprehensif
dan ketidakefektifitas dari pendekatan penolakan hubungan seksual saja. Bagaimanapun,
kajian tersebut tidak menunjukkan bagaimana pendidik harus mengimplementasikan
pendidikan seksual komprehensif pada ruang kelas, demikian kata Operario, yang
mempelajari pendidikan seksual. „Kita memerlukan pemahaman lebih baik terhadap cara yang
paling efektif untuk memberikan tipe pendidikan dalam rangka untuk memaksimalkan
pemahaman murid dan penerimaan komunitas‟, kata Operario.
Dalam seminar “Pendidikan Seks Di Negara Maju dan Berkembang” Benicia (2005)
mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah di Negara maju khususnya Amerika menunjukkan
bahwa lebih dari 50% dari remaja Amerika kehilangan keperawanannya pada usia 17 tahun,
di Jepang hampir 80% remaja kehilangan keperawanannya saat menginjak usia 18 tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa pendidikan seksual di sekolah hanya diterima baik sebanyak 7% dan
93% lainnya masih menganggap hal itu tabu untuk dibicarakan. Tetapi apakah mereka
berpikir apakah karena tidak adanya pendidikan seksual disekolah atau informasi yang tepat
sehingga membuat remaja melakukan hubungan seks diluar nikah?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pendidikan seksual dengan
tingkat perilaku seksual pada remaja. Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi secara teoritis, bermanfaat bagi ilmu psikologi sosial dan psikologi
perkembangan, terkait untuk perubahan perilaku seksual pada remaja. Manfaat secara praktis,
yang diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keefektifan pemberian pendidikan
seksual.
Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai seksualitas untuk memberikan sebuah
pengetahuan tentang apa itu seksualitas secara keseluruhan mulai dari perbedaan jenis
kelamin, pengenalan fungsi organ tubuh yang digunakan untuk menambah wawasan bagi
orang yang membutuhkan pendidikan seksual (Sarwono, 2003 ; Sumiati, 2009).
Tujuan pendidikan seksual antara lain (Admin, 2008; dalam Darmasih, 2009) :
1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik,. mental dan proses
kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual
2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan
penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)
3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seksual dan semua penyesuaian
seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)
4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada
kedua individu dan kehidupan keluarga
5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan
dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual
5

6

6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu
dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan
mental
7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan
eksplorasi seks yang berlebihan
8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas
seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami,
orang tua, anggota masyarakat.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi dari pendidikan seks antara lain pengetahuan,
sikap, peran orangtua, peran guru, dan akses informasi (Cahyo, 2008):
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Pengetahuan digunakan sebagai langkah awal untuk pencegahan adanya halhal yang negatif bagi anak terutama tentang seks. Menurut Green (2000) peningkatan
pengetahuan tentang seks memerlukan peran serta dari orangtua sebagai faktor
reinforcing. Pengetahuan orangtua terutama ibu dalam pendidikan seks usia dini dapat
mendorong ibu untuk menghindari kemungkinan hal-hal negatif tentang seksualitas.
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek (Notoatmodjo, 2010). Sikap terhadap pendidikan seksual bersifat sosial
dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain dan sikap menuntut perilaku sehingga
dapat sesuai dengan yang dieskpresikan. Sikap masuk dalam ranah afektif (Bloom, 1985)
yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda
dengan penalaran. Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional,
seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2010) :
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu dan mempengaruhi
penghayatan terhadap stimulus sosial.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformasi atau searah
dengan orang lain yang dianggap penting.
c. Pengaruh kebudayaan.
Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan demikian kebudayaan
yang diikutinya mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap orang
tersebut.
d. Media massa.
Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan
opini seseorang, sehingga terbentuklah arah sikap yang tertentu.

6

7

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu
sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh
dalam pembentukan sikap.
f. Pengaruh faktor emosional.
Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego.
g. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan seseorang akan mudah terpengaruh dalam bersikap.
h. Faktor sosial dan ekonomi
Keadaan sosial ekonomi akan menimbulkan gaya hidup yang berbeda-beda.
i. Kesiapan fisik (status kesehatan)
Pada umumnya fisik yang kuat terdapat jiwa sehat.
j. Kesiapan psikologis/ jiwa
Interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantaraindividu yang satu
dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang mempengaruhi pola perilaku
masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu
meliputi hubungan antara psikologis disekelilingnya
3. Peran orangtua
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga
berfungsi sebagai transmitter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak (Yusuf,
2012). Menurut UU No.2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4 (Yusuf, 2012) pendidikan
keluarga merupakan bagian dari jalur luar sekolah yang diselanggarakan dalam keluarga
dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Semakin
besar peran orangtua terhadap pemberian pendidikan seksual pada anak semakin baik
untuk pengetahuan anak tentang seksualitas.
4. Peran guru
Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah,
lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya,
karena belum tentu anak-anak juga mendapat pelajaran seks dari orang tuanya. Bila para
guru menghadapi anak yang terlalu kritis, ingin bertanya segala macam hingga
kewalahan, tak perlu ragu mengatakan bahwa kita belum tahu, dan akan berusaha mencari
tahu lebih lanjut. Disamping mengajarkan pendidikan seksual, sekolah juga harus
memberikan dengan pendidikan moral. Misalnya, setelah mengetahui berbagai fungsi
tubuhnya, terutama fungsi reproduksi, ajarkan agar anak tidak suka mengumbar bagianbagian tertentu tubuhnya. Misalnya, ajarkan anak untuk berganti pakaian di kamar mandi
atau di kamar tidurnya. Jadi, tidak boleh berlari-lari sambil telanjang.
5. Akses informasi
Tidak adanya pengetahuan yang cukup tentang pendidikan seksual dari orangtua ketika
anak bertanya tentang seks akan membuat anak cenderung mencari tahu melalui VCD,
buku, foto, majalah, internet. Sumber informasi yang didapat dapat memberikan
pengertian yang salah dan menyesatkan. Buku, majalah, film, dan internet yang mereka
akses cenderung bermuatan pornografi, bukan tentang pendidikan seksual. Adanya akses
informasi yang benar diharapkan dari orangtua ataupun anak mampu memperoleh
pendidikan seksual yang benar, karena media berpotensi besar dalam mengubah
7

8

pengetahuan dan sikap dalam pendidikan seksual.
Media pembelajaran yaitu segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan,
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong
terlibat dalam proses pembelajaran (Robertus, 2007). Menurut Sanjaya (2006) media
pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi:
1. Media Auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya
memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara.
2. Media Visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara.
Yang termasuk ke dalam media ini adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar,
dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya.
3. Media Audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga
mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran
film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan
lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua
Perilaku Seksual
Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang muncul akibat adanya dorongan seksual
individu, dimana perilaku tersebut muncul karena bekerjanya hormon-horrnon seksual dan
seharusnya dapat dikendalikan menurut norma yang berlaku di masyarakat (Faturochman,
1990; Koentjoco).
Menurut Sarwono (2007) bentuk tingkah laku seks yaitu:
1. Kissing
Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai
dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual.
Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman
dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss.
Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss.
2. Necking
Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam.
3. Petting
Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ
kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan
dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadangkadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.
4. Intercrouse
Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang
ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan
kepuasan seksual.
Hubungan seksual yang dilakukan pada remaja, terutama remaja putri akan dapat
menyebabkan kehamilan pada usia belasan tahun akan mengkibatkan resiko resiko tertentu
baik bagi ibu atau janin yang dikandungnya. Selain itu, pada kehamilan remaja yang tidak
dikehendaki dapat disertai oleh akibat medis dan psikologis.

8

9

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja menurut Santrock (2007) yang
mengutip Bandura menyatakan bahwa faktor pribadi /kognitif, faktor perilaku dan faktor
lingkungan dapat berintraksi secara timbalbalik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura,
lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk
mengubah lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2006), faktor yang berpengaruh pada
perilaku seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan,
sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, harga
diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi (seperti: umur
pubertas, jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor lingkungan termasuk
variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan informasi, sosial budaya,
nilai dan norma sebagai dukungan sosial.
Remaja
Remaja dalam ilmu psikologis juga diperkenalkan dengan istilah lain, seperti pubertiet,
adolescence, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikaitkan pubertas dengan
remaja. Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun (Monks, et al. 2002; dalam Darmasih
,2009). Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, tingkat perubahan dalam sikap,
dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan perubahan fisik (Hurlock, 2004; dalam
Darmasih, 2009).
Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya, Ciriciri remaja menurut Hurlock (2011), antara lain :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa
remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
memengaruhi perkembangan selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak
lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan
ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan
pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh,
minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut,
serta keinginan akan kebebasan
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit
diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua
menjadi takut.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan
dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan
didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan
kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman
keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap
bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

9

10

Menurut Hurlock (2011) tahap
yaitu:
Tabel. 1
Masa Remaja Awal
(12-15 Tahun)
Lebih dekat dengan teman
sebayanya
Lebih banyak
memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai berpikir
abstrak

perkembangannya, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap

Masa Remaja Tengah
(15-18 Tahun)
Mencari identitas diri

Masa remaja Akhir
(18-21 tahun)
Pengungkapan identitas diri

Timbul keinginan untuk
berkencan

Lebih selektif dalam
mencari teman sebaya

Mempunyai rasa cinta yang
mendalam
Mengembangkan
kemampuan berpikir abstrak
Berkhayal tentang aktifitas
seksual

Mempunyai citra jasmani
dirinya
Dapat mewujudkan rasa
cinta
Mempu berpikir abstrak

Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual Remaja
Mengacu pada kajian secara teoritis sebelumnya, dapat dilihat keterkaitan antara dua variabel
yang ada yaitu pendidikan seksual dan perilaku seksual. Sarwono (2003) menyatakan bahwa,
“jika kita melihat fenomena remaja sekarang, sudah sangat perlu pendidikan seksual diajarkan
sebagai salah satu muatan kurikulum di sekolah, mengingat pendidikan seks ini banyak halhal yang perlu diketahui oleh para remaja, bukan hanya kebutuhan biologis itu saja. Karena
bilamana para remaja memandang seks hanya kebutuhan biologis saja yang penuh dengan
cerita seribu macam kesenangan yang dapat membuat orang mabuk kepayang, tanpa mereka
tahu bagaimana resiko hamil diluar nikah dan permasalahan lainnya, maka akibatnya
pergaulan remaja semakin memprihatinkan dan pembuktian seperti ini sudah tidak terlalu
sulit di era informasi dewasa ini”. Lebih lanjut, World Health Organization (WHO) (dalam
Zuhra, 2011) menerangkan, menurut study yang telah dilakukan. Pemberian pendidikan
seksual pada anak tidak sama sekali membuat rasa ketertarikan anak melakukan hubungan
seksual semakin tinggi. Mereka malah lebih dapat mengetahui mana yang boleh dilakukan
dan mana yang tidak.
Survei oleh WHO (dalam Zuhra 2011) tentang pendidikan seksual membuktikan, pendidikan
seksual bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seksual sembarangan yang berarti
pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan seksual bebas. Pendidikan seksual
yang benar harus memasukkan unsur-unsur nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan di
dalamnya sehingga pendidikan akhlak dan moral juga. Pendidikan seksual di Indonesia masih
menjadi kontroversi, masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui pendidikan
seksual di rumah maupun di sekolah. Dampaknya bisa kemana-mana, antara lain dalam
memilih tontonan yang berbudaya barat yang digambarkan dalam film ataupun video sering
kali menunjukan kehidupan seks bebas dikalangan remaja, itu bukan semata-mata karena
ketagihan tetapi timbul karena adanya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah
merupakan hal yang biasa.
Perilaku seksual dapat mempengaruhi kehidupan remaja untuk mengenal lingkungan sosial
dalam masyarakat yang dipenuhi dengan norma dan aturan dan aturan yang disepakati
10

11

bersama. Sebelum anak mengenal lingkungan sosial yang luas, ia terlebih dahulu mengenal
lingkungan keluarga yang diajarkan oleh orangtua. Allen & Kuperminc dkk (dalam Santrock,
2007) mengungkapkan kedekatan remaja dengan orangtua akan mampu memfasilitasi remaja
dalam membentuk kepribadian dan kesejahteraan mereka seperti harga diri, penyesuaian
emosi, dan kesehatan fisik. Kedekatan ini akan mampu menciptakan suatu sistem
pengendalian diri pada remaja. Karena perilaku seksual remaja pada dekade ini sudah banyak
tersorot dan tidak dapat dianggap tabu lagi. Remaja lebih bebas untuk mengekspresikan diri
mereka terhadap hal apapun yang membuat mereka akan diperhatikan oleh orang lain
termasuk dalam berbusana, musik, film, makanan ataupun dalam hal seksualitas. Remaja dan
seksualitas hubungan yang tidak dapat dipisahkan lagi, ini dikarenakan remaja dalam
tahapannya sedang dalam masa dimana mereka menunjukkan tanda seksual sekunder sampai
dengan kematangan seksual. Kematangan organ seksual dan perubahan hormonal
menyebabkan munculnya dorongan seksual dalam diri remaja yang ditunjukkan dalam
perilaku seksual. Bentuk-bentuk perilaku seksual pada remaja yaitu berkencan, berciuman
bibir, meraba/ diraba bagian sensitif dalam keadaan berpakaian/ tanpa berpakaian, menciun/
dicium bagian sensitif dalam keadaan berpakaian/ tanpa berpakaian, menempelkan alat
kelamin dalam keadaan berpakaian, saling membuka baju, dan berhubungan seksual
(Soetjining, 2008 ; Sarwono, 2010 ; dalam Puspitadesi, 2012).
Ada banyak faktor yang diakibatkan oleh perilaku remaja melakukan perilaku seksual, salah
satunya yaitu faktor sikap orangtua dan pendidikan seksual yang diajarkan oleh orangtua
kepada anaknya, serta nilai dan norma yang berlaku. Untuk itu faktor dari orangtua yang
memberikan pendidikan seksual kepada remaja menjadikan peran penting dalam remaja
melakukan perilaku seksual, karena untuk menjadikan pendidikan seksual sebagai pedoman
mereka dalam perilaku yang akan mereka lakukan remaja memiliki beberapa tahapan yaitu
kognitif, afeksi, dan konasi yang dapat membentuk perilaku remaja.

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai taraf deskripsi yaitu
menganalisa dan menyajikan data secara sistematik, sehingga dapat lebih mudah dipahami
dan disimpulkan, sedangkan penelitian eksploratif adalah jenis penelitian yang bertujuan
untuk menemukan sesuatu yang baru berupa pengelompokan suatu gejala dan fakta.
Penelitian deskriptif eksploratif bertujuan untuk menggambarkan keadaan suatu fenomena
(Arikunto, 2002). Fenomena yang digambarkan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran pendidikan seksual yang sudah diterima oleh remaja dengan tingkat perilaku
seksual remaja.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini yaitu dengan karakteristik remaja yang masih bersekolah di
sekolah menengah atas (SMA). Survei yang dilakukan pada remaja, hubungan seksual tidak
banyak dijumpai di remaja awal tetapi banyak dijumpai di remaja sekolah menengah atas dan
juga mahasiswa (Santrok, 2007; dalam Zainab, 2011). Untuk itu subjek yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu remaja menengah atas. Berdasarkan tabel Isaac dan Michael yang
dikutip oleh Sugiyono (2014) dengan populasi sebanyak 1167 diperoleh sampel 250 subjek
11

12

dengan taraf kesalahan 10%. sampel diambil berdasarkan teknik nonprobability sampling;
accidental sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dilakukan berdasarka kebetulan
(Sugiyono, 2014).
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variable bebas dalam penelitian ini adalah pendidikan seksual dan variable terikatnya yaitu
perilaku seksual. Pendidikan seksual adalah proses pembelajaran agar remaja secara aktif
mengembangkan potensi dalam dirinya dan memberikan pengetahuan pada remaja mengenai
seksualitas yang mencakup siapa yang memberikan pengetahuan, waktu pemberian
pengetahun, metode pemberian pengetahuan, media yang digunakan untuk memberikan
pengetahuan, isi dari pengetahuan, dan tidak mengukur dampak dari pendidikan seksual itu
sendiri tetapi menyangkut dimensi secara luas (biologis, sosial, psikologis, dan kultural).
Perilaku seksual sendiri diartikan sebagai tindakan remaja terhadap rangsangan seksual yang
ditandai dengan frekuensi melakukan kissing, necking, petting, dan intercrouse baik dalam
tindakan langsung dan nyata ataupun melalui media telekomunikasi yaitu telepon, sms,
ataupun media sosial.
Pada penelitian ini data yang diperlukan adalah data mengenai pendidikan seksual dan
perilaku seksual pada remaja. Data tersebut diungkap dengan menggunakan dua alat ukur.
Alat ukur pertama yaitu berupa kuisioner pendidikan seksual, peneliti menyusun sendiri
kuisioner pendidikan seksual yang mencakup mengenai siapa yang memberikan pendidikan
seksual, waktu pemberian pendidikan seksual, metode pemberian pendidikan seksual, media
yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksual, isi dari pendidikan seksual, dan tidak
mengukur dampak dari pendidikan seksual itu sendiri. Validitas dan reliabilitas dari kuisioner
ini content validity yaitu profesional judgement oleh pembimbing I yang terdiri dari 9 item.
Setelah melakukan tryout kuisioner ini disederhanakan pada pernyataan yang kurang
dimengerti oleh responden.
Alat ukur yang kedua yaitu skala perilaku seksual yang disusun juga oleh peneliti berjumlah
35 item yang mengacu pada bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007) yaitu kissing, necking,
petting, dan intercrouse. Instrumen yang digunakan berupa skala guttman. Skala Guttman
yaitu skala yang menginginkan tipe jawaban tegas, seperti jawaban benar-salah, ya-tidak,
pernah-tidak pernah, positif-negative, tinggi-rendah, baik-buruk, dan seterusnya. Pada skala
Guttman, hanya ada dua interval, yaitu setuju dan tidak setuju, (Sugiyono, 2014). Dan pada
skala ini peneliti menggunakan Ya dan Tidak. Skala perilaku seksual yang akan digunakan
dalam penelitian ini terlebih dahulu melalui proses tryout untuk menguji validitas dan
reliabilitas alat ukur tersebut.
Adapun hasil validitas dan reliabilitas dari skala perilaku seksual yang diujikan pada 100
subjek yang terdiri dari 35 item, yaitu sebanyak 34 item dinyatakan valid dan 1 item
dinyatakan tidak valid (gugur) dengan indeks validitas antara 0,332 – 0,726 dan dengan
reliabilitas sebesar 0,885. Item dapat dikatakan valid apabila r > 0,30 dan uji reliabilitas
diukur dengan menggunakan Cronbach‟s alpha, dikatakan reliabel apabila menunjukkan
diatas 0,60 (Sugiyono, 2014). Hal ini membuktikkan bahwa skala perilaku seksual dalam
penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian lainnya.

12

13

Prosedur dan Analisis Data Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap
analisa data. Pada tahap persiapan peneliti mempersiapkan alat ukur untuk mengukur
pendidikan seksual dan perilaku seksual, yang pertama peneliti menyusun alat ukur untuk
mengukur pendidikan seksual dan perilaku seksual pada remaja yang mengacu pada teori dan
juga tujuan dari penelitian. Ketika alat ukur telah siap, maka peneliti melakukan preliminari
terlebih dahulu sebelum melakukan try out (uji coba). Preliminary test ini dilakukan untuk
melihat kesesuaian skala untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Preliminary test ini
dilakuk