REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL (Analisis Semiotika Roland Barthes) - FISIP Untirta Repository

  REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL (Analisis Semiotika Roland Barthes) SKRIPSI

  (Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi)

  Oleh: ARYA DWI CAHYO NIM. 6662121464 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN 2017

  MOTTO

“Don’t limit yourself, many people limit themselves to what they can

do. You can go as far as your mind lets you. What you believe,

remember, you can achieve”

(Mary Kay Ash)

  Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, keluarga dan mereka yang telah memberikan motivasi dalam bentuk apapun.

  

ABSTRAK

Arya Dwi Cahyo. 6662121464/2016. SKRIPSI. Representasi Makna Jawara

Dalam Film Jawara Kidul (Analisis Semiotika Roland Barthes). Pembimbing I:

Neka Fitria, S.Sos, M.Si.; Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.

  

Penelitian ini berfokus pada realitas sosial di Banten, yaitu Jawara Banten. Jawara merupakan

sebuah elit lokal di Banten yang telah berkembang dari masa kolonial hingga saat ini. Jawara

sebagai elit lokal memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang adat, seni dan budaya. Dalam

perkembangannya muncul berbagai stigma di masyarakat yang membuat persepsi mengenai

sosok Jawara mengalami perubahan makna. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini

adalah untuk mengidentifikasi karakteristik sosok Jawara dan memahami makna seorang

Jawara dalam Film Jawara Kidul. Film ini menggambarkan bagaimana sosok Jawara sebagai

elit lokal di Banten yang dibalut dengan genre aksi drama. Penelitian ini berdasarkan pada

teori semiotika Roland Barthes yang menganalisis dengan tiga tahapan, yaitu denotasi,

konotasi dan mitos. Makna denotasi dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang

sesungguhnya. Sedangkan makna konotasi adalah makna yang tersembunyi atau implisit

yang terdapat di dalam film tersebut. Dan makna mitos adalah makna pembenaran bagi suatu

nilai dominan yang berlaku pada suatu periode. Metode penelitian yang digunakan adalah

kualitatif dengan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

film Jawara Kidul secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti terkait

dengan sinematografi, penampilan para pemain, suara, dan desain produksi (lokasi, properti,

dan kostum). Hasil penelitian ini secara denotasi menampilkan bahwa sosok

  Jawara merupakan seorang tokoh masyarakat yang berperan penting dalam menjaga Kadusunan dan melindungi yang lemah. Secara konotasi Jawara digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kharisma, kemampuan fisik dan ilmu supranatural serta

  . Dan mitos yang dibangun dalam film ini

  memiliki dasar tentang ilmu keagamaan

  

berkaitan dengan berbagai perspektif negatif masyarakat terkait sosok Jawara yang

berkembang di masyarakat.

  Kata Kunci: Representasi, Film, Jawara, Semiotika

  

ABSTRACT

Arya Dwi Cahyo. NIM 6662121464/2016. THESIS. Representation Meaning of

Jawara in the Film Jawara Kidul (Semiotic Analysis of Roland Barthes).

University-level instructor I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si. University-level instructor

II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.

  

Focus of this thesis is based on social reality in Banten, namely Jawara Banten.

Jawara is local elite who has grown from the colonial period until nowdays. Jawara

as local elite has strong influence in the field of culture and traditional customs. In

the Jawara’s expansion appears various stigma in society that caused the changes in

the meaning of a Jawara. The purpose of this research is to identify the characteristic

of Jawara and understand the meaning of Jawara in the film Jawara Kidul. This film

represents how characters Jawara as local elite in Banten which wrapped with genre

drama action. This research based on the semiotic analysis of Roland Barthes to

analyze with three stages, namely denotation, the connotation, and myths. The

meaning of denotation understood as meaning literally or the meaning of truth. While

the meaning of the connotation is the meaning of the hidden or implicit. And the

meaning of the myth is the meaning of the justification for a dominant value that

occurs on a period. The research method used is qualitative research with semiotic

analysis. The Unit of analysis used in this research is the film Jawara Kidul overall

as the research object which will be examined related to cinematography, the

appearance of the casts, sound and production design (location property, and

costume). This research concluded that in the denotation, Jawara was described as a

member of the society who play an important role in maintaining a village and

protect the weak peoples. In the connotation, Jawara was described as someone who

has the charismatic personality, physical and supernatural abilities also has the basic

of the religious knowledge. And the myth that was built in the film is associated with

various negative stigma in the society about a Jawara.

  Keywords: Representation, Film, Jawara, Semiotic

KATA PENGANTAR

  Assalamu‟alaikum Wr. Wb Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas Rahmat dan Berkah-

  Nya ,yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  Skripsi ini memiliki banyak tantangan dalam proses penyelesaiannya. Namun, berkat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menggucapkan rasa terima kasih kepada: 1.

  Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  4. Bapak Darwis Sagita, S.I.Kom., M.I.Kom, selaku Sekertaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

  5. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing I skripsi yang telah banyak membantu dalam memberikan masukan dan saran kepada Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

  6. Bapak Teguh Iman Prasetya, SE., M.Si, selaku Pembimbing II skripsi yang telah banyak membantu memberikan arahan dan masukan kepada Penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

  7. Ibu Isti Nursih, S.IP., M.I.Kom. selaku dosen pembimbing akademik 8.

  Seluruh dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.

  9. Semua staff dan pegawai di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah membantu Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

  10. Mama, Papa, Kakak, dan keluarga besar yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangatnya kepada Penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

  11. Bayu, Hari, Juhendi dan Revandhika, Irma, Abdul, Deni, Erlin dan Ijong sebagai sahabat seperjuangan mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini.

  12. Rekan-rekan Himabe 2012 yang seru, menyenangkan dan selalu bersama- sama selama berkuliah.

  13. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2012 Program Studi Ilmu Komunikasi Untirta yang selalu memberikan semangat dan pelajaran dalam hidup di dunia perkuliahan.

  14. Komunitas Film Kremov Banten yang dengan sangat baik telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

  15. Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

  Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Demikian yang dapat Penulis sampaikan. Mohon maaf jika masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

  Serang, November 2016 Penulis iii

  

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR ......................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

  BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1

  1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

  1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 10

  1.3 Identifikasi Masalah .......................................................................... 10

  1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 11

  1.5 Manfaat Penelitian............................................................................. 11

  BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12

  2.1 Komunikasi Massa ........................................................................... 12

  2.2 Film ................................................................................................. 15

  2.3 Representasi ..................................................................................... 19

  2.4 Jawara Banten .................................................................................. 21

  2.4.1 Perkembangan Jawara Banten ................................................... 23

  2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara ................................................... 25

  2.5 Semiotika Film ................................................................................. 28

  2.6 Semiotika Roland Barthes ................................................................ 32

  2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................ 40

  2.8 Penelitian Terdahulu.......................................................................... 42

  BAB III : METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 49

  3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 49

  3.2 Paradigma Penelitian ........................................................................ 50

  3.3 Unit Analisis .................................................................................... 51

  3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 55

  3.4.1 Observasi ................................................................................. 56

  3.4.2 Dokumentasi ............................................................................ 56

  3.4.3 Studi Pustaka ........................................................................... 57

  3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................ 57

  3.6 Instrumen Penelitian ......................................................................... 59

  3.7 Jadwal Penelitian .............................................................................. 60

  BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 61

  4.1 Deskripsi Subjek Penelitian .............................................................. 61

  4.1.1 Profil Film ............................................................................... 61

  4.1.2 Penokohan dalam Film ............................................................ 62

  4.1.3 Sinopsis Film ........................................................................... 63

  4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................. 64

  4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul .................... 62

  4.3 Deskripsi Analisis Analisis Semiotik ................................................ 84

  4.3.1 Makna Denotasi ...................................................................... 84

  4.3.2 Makna Konotasi ...................................................................... 86

  4.3.3 Makna Mitos ........................................................................... 88

  4.4 Pembahasan ...................................................................................... 89

  4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara ........... 89

  4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film ..................... 94

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 98

  5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 98

  5.2 Saran ................................................................................................ 99 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  \

  vi

  

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger

  30 Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

  46 Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis

  52 Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

  60 Tabel 4.1 Scene 1 Arena Sayembara

  65 Tabel 4.2 Scene 2 Arena Sayembara

  68 Tabel 4.3 Scene 3 Jalan Setapak

  71 Tabel 4.4 Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul

  73 Tabel 4.5 Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul

  76 Tabel 4.6 Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul

  79 Tabel 4.7 Scene 7 Lanpangan Terbuka

  82 vii

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes

  34 Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes

  39 Gambar 2.3 Kerangka Berpikir

  42 Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes

  58 Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul

  61 vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Banten sebagai wilayah yang terletak di bagian barat pulau Jawa, dikenal karena sejarahnya yang berkaitan dengan berbagai hal mistis, pemberontakan, dan juga orientasi keislaman masyarakatnya. Sepanjang sejarahnya terdapat tiga elit lokal Banten yang cukup terkenal yaitu ulama, umaro dan jawara. Mereka menjadi elemen penting di dalam masyarakat, tidak hanya pada masa kolonial, namun juga pada masa kemerdekaan hingga saat ini.

  Dalam perannya ulama dan jawara memiliki suatu otoritas tertentu yang tidak dipunyai oleh para pemimpin formal (umaro), seperti Kepala Desa, dan Camat.

  Meskipun demikian telah terjadi hubungan yang kuat dalam sistem pemerintahan dan kemasyarakatan antara ketiga elite tersebut. Ketiga kekuatan yaitu ulama, jawara dan umaro menjadi suatu konfigurasi kepemimpinan yang satu sama lain saling menunjang. Ulama memiliki pengaruh kuat dalam bidang keagamaan, jawara

  1 memiliki pengaruh kuat dalam bidang adat dan umaro memiliki pengaruh kuat dalam

  1 jaringan kekuasaan pemerintahan.

  Namun dari ketiganya, jawara merupakan tokoh yang terbentuk dari perpaduan pengaruh budaya lokal dan keagamaan yang kuat di wilayah Banten.

  Jawara sebagai realitas sosial masyarakat Banten, yang telah menjadi suatu subkultur di masyarakat. Sosoknya sudah mulai ada semenjak masa kolonial dan terus berkembang hingga saat ini. Dalam perkembangannya kehadiran sosok jawara mulai mengalami perubahan persepsi dalam masyarakat, hal tersebut didasari berbagai stigma negatif yang muncul, tidak heran bahwa sebagian masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk, selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Sehingga

  2 Ia dikenal sebagai subkultur of violence dalam masyarakat Banten. Pergeseran

  makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan. Setidaknya terjadi lebih dari 6 pemberontakan besar di Banten yang melibatkan kaum jawara antara lain perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan Pandeglang (1811 M), peristiwa geger Cilegon atau dikenal dengan pemberontakan Petani banten (1888 1 M), Cikande Udik (1845 M), Peristiwa Kolelet (1866 M), pemberontakan Wakhia

  Sunatra. Integrasi dan Konflik.Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Lokal. Srudi Kasus 2 Kepemimpinan Di Banten (Bandung: PPs Unpad, 1997), hal 124.

  Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan Masyarakat, (Vol. 25. No.3 September- Desember 2008), hal. 366.

  3

  (1850 M), sampai dengan pemberontakan Kommunis di Banten ( 1926 M). Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok.

  Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah tidak lagi efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintahan yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiai. Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kiai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi 4 3 pemberontakan terhadap pemerintahan Hindi Belanda.

  Fahmi Irfani. Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. (Jakarta: YPM Press (Young 4 Progressive Muslim), 2011), hal 43

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian

Rakyat, 2010), hal 65.

  Jawara sendiri didefinisikan sebagai seseorang yang dekat dengan kiai karena selain sebagai muridnya kiai, ia juga memiliki ilmu-ilmu kesaktian dan menguasai 5 ilmu persilatan. Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, Sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Selanjutnya karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut 6 terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan.

  Berpijak dari realitas di atas, kehadiran sebuah film yang mengangkat nilai- nilai kebudayaan daerah yang kuat, khususnya provinsi Banten yang identik dengan sosok jawara menjadi suatu hal yang menarik, karena jarang sudah jarang ditemui. Film Kremov Pictures sebagai salah satu rumah produksi asal Banten membuat sebuah karya film b erjudul “Jawara Kidul”, yang merupakan suatu film yang mengangkat ciri khas kedaerahan. Film ini diproduksi oleh Kremov Pictures pada tahun 2015, dengan genre aksi drama. Dalam film ini menceritakan tentang kisah sebuah kadusunan kidul yang dipimpin oleh Abah Sugidiraja (Cak Purwo), suatu ketika Abah membuka sayembara calon menantu khusus para jawara untuk puterinya, 5 Nyimas Ayu (Fauzyyah Angela) dengan tujuan agar Kadusunan Kidul terjaga dan 6 Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta,1992).

  Fahmi Irfani. Op. Cit, hal 6. tidak lagi timbul konflik. Sakti (Anton Chandra) dan Prabu (Tubagus Dian Kurniawan) merupakan jawara yang bertarung memperebutkan Nyimas Ayu, namun Abah akan memilih salah satu dari mereka yang merupakan jawara sesungguhnya.

  Dan Pertarungan panjang dalam sayembara beralih menjadi dendam saat Abah

  7 memutuskan memilih salah satu pemenangnya.

  Film Jawara Kidul ini merupakan film yang mencoba untuk memberikan gambaran mengenai sosok jawara yang sudah cukup lama berkembang di wilayah Banten. Terlebih seiring perjalanannya, pandangan masyarakat terhadap sosok jawara perlahan berubah dan mulai dibayang-bayangi dengan berbagai stigma negatif yang muncul mengenai sosok jawara. Melalui film ini masyarakat dapat melihat berbagai pesan terkait nilai-nilai kejawaraan, yang dapat memberikan pemahaman berbeda mengenai sosok jawara.

  Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual yang begitu populer saat ini. Media massa sebagai saluran komunikasi massa secara sederhana memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi (to inform), mendidik 8

  

(educate), dan menghibur (entertaint). Dengan fungsinya yang begitu kompleks,

  media massa seperti surat kabar, majalah, film, novel dan bentuk komunikasi lain 7 dapat berperan dalam segala aktivitas individual, maupun organisasi, termasuk

  (http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbaru-kremov.html, diakses tanggal 18 8 februari 2016).

  Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal 54. sebagai sumber informasi yang menciptakan suatu kerangka berpikir bagi masyarakat. Media massa meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi 9 terdahulu. Selain itu media massa juga dapat menjadi suatu wadah penyampaian informasi, media hiburan dan pendidikan, juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Oleh karena itu media massa memiliki peran yang begitu besar dalam melakukan perubahan sosial di masyarakat, melalui pesan yang disebar luaskan oleh media massa.

  Film berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menghibur malalui jalan cerita yang dihadirkan. Setiap film yang dibuat atau diproduksi tentu menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya, jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, sebuah film yang ada seharusnya memiliki efek yang sesui dengan pesan yang diharapkan, agar inti pesan yang terkandung dapat tersampaikan kepada penontonnya. Berkaitan dengan prasangka, peran media sangatlah penting dalam pembentukan presepsi dalam suatu kelompok. Baik itu media cetak ataupun media elektronik, keduanya merupakan sarana pendukung yang sangat dominan dalam membentuk suatu prasangka di dalam masyarakat terlebih pada waktu sekarang ini.

  Sebuah film bisa menjadi sebuah komunikator atau sebagai perantara dalam komunikasi, hal ini dikarenakan sebuah film bisa berhubungan langsung dengan para 9 penontonnya. Bahkan dalam hal ini film bisa dibuat menjadi bahan representasi,

  

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal 31. terlebih lagi dengan adanya alur, setting, pakaian, bahasa, gesture dan karakter dalam tokoh yang kemudian mewakili atau disesuaikan dengan tema yang diangkat, membuat film menjadi media yang menarik dan mudah dipahami. Hal ini berarti di satu sisi media dapat digunakan sebagai alat penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan alat pengontrol wacana publik. Namun, disisi lainnya media dapat digunakan sebagai alat untuk membangun suatu kultur dan menjadi alat dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Film yang juga merupakan media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi dari 10 kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus dari medium.

  Keterwakilan terhadap sesuatu yang dimaknai merupakan hal yang dapat dikaji, hal tersebut menyangkut mindset atau pola pikir khalayak kedepannya sebagai orang yang akan memaknai kembali atas apa yang sudah coba dimaknai terlebih dahulu. Dengan mengkaji, diharapkan dapat menggali lebih dalam akan semua makna atau pesan, karena banyak pesan tak kasat mata yang perlu digali oleh peneliti sehingga pesan yang diangkat ke khalayak melalui media massa khususnya film ini dapat diambil secara maksimal. Dalam hal ini, film dijadikan bahan representasi karena unsur-unsur didalam suatu film banyak memiliki nilai-nilai yang selalu 10 disandingkan dengan makna, mulai dari bahasa, atribut, latar atau setting dan lainnya.

  

Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application, (Jakarta: Salemba Humanika, 2008),

hal 128.

  Representasi adalah proses pengkodean (encoding) dan memperlihatkan 11

  

(display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis. Secara lebih

  tepat representasi didefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan 12 ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik.

  Setiap orang dapat merepresentasikan sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Juga dapat merepresentasikan sesuatu berdasarkan tujuan dan kebutuhan seseorang. Akan tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu, karena banyak hal yang dapat mempengaruhi seseorang agar mampu dalam merepresentasikan sesuatu hal.

  Terdapat nilai-nilai kebudayaan dalam suatu kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai kebiasaan dan pemikiran yang cenderung homogen dalam memandang suatu hal. Membuat representasi atas suatu hal memerlukan pengkajian yang mendalam, karena menyangkut suatu pemikiran seseorang terhadap sesuatu.

  Dengan pengkajian yang dilakukan, diharapkan dapat menggali suatu pesan atau makna yang terkandung. Karena pesan tidak selalu terlihat dengan kasat mata dan memerlukan suatu analisis agar pesan yang disampaikan pada khalayaknya melalui media massa khususnya dalam film dapat tersampaikan secara menyeluruh.

  Sebagaimana film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling 11 penting dalam film adalah gambar dan suara. Kata yang diucapkan, ditambah dengan

James Lull. Media Komunikasi kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi.

12 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).

  Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 3. suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda 13 ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Tanda-tanda dapat berupa audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect), serta tanda visual (gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah juga latar).

  Jika dicermati lebih mendalam terkait dengan tanda-tanda yang dibagun dalam film Jawara Kidul, terdapat tanda-tanda atau simbol yang menggambarkan hal yang mengandung unsur nilai-nilai kejawaraan yang ditampilkan, baik oleh tokoh maupun suasana yang dibangun dalam film tersebut. Setiap pesan yang disampaikan dalam film tersebut meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari jaringan atau rangkaian tanda-tanda yang kompleks, hal tersebut dapat terlihat dari berbagai adegan-adegan yang ditampilkan.

  Secara keseluruhan, film Jawara Kidul penuh dengan simbol-simbol atau makna tentang sosok seorang Jawara yang dibangun dalam film ini. Hal itulah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. Pada penelitian ini digunakanlah analisis semiotika dari Roland Barthes sebagai alat analisis, yaitu sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini 13 didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi.

  Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, ( PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006), hal 128.

  Berdasarkan latar belakang di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam tentang bagaimana representasi makna jawara dalam film “Jawara Kidul”. Film ini memiliki banyak unsur-unsur untuk diteliti, dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika sebab film merupakan suatu bidang komunikasi yang cukup relevan untuk dianalisis dengan teori semiotika. Setiap pesan yang disampaikan dalam film dapat meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari rangkaian tanda-tanda yang kompleks serta memiliki arti.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, Penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana representasi makna jawara dalam film Jawara Kidul?”

  1.3 Identifikasi Masalah

  Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul? 2.

  Bagaimana makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul? 3. Bagaimana makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul?

1.4 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah

  1. Untuk mengetahui makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

  2. Untuk mengetahui makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

  3. Untuk mengetahui makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

1.5 Manfaat Penelitian

  1.5.1 Aspek Teoritis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang akan mengkaji bagaimana sebuah film merepresentasikan sesuatu.

  1.5.2 Aspek Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau pemahaman mengenai representasi makna jawara yang digambarkan dalam film Jawara Kidul. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi para pembuat film untuk dapat menghasilkan film yang berkualitas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Massa

  Menurut Gerbner yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar

  14

  orang. Sementara itu, menurut Black dan Whitney (1988) dalam Nurudin disebutkan, Komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang diproduksi secara massal itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas,

  15 anonim, dan heterogen.

  Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa.

  Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika

  16

  mencangkup hal-hal sebagai berikut: a.

  Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern 14 untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak 15 Jalalludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal 188. 16 Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal 12 Ibid,

  hal 8-9.

  12 yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan di antara media tersebut.

  b.

  Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

  c.

  Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik.

  d.

  Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

  e.

  Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antar pribadi, kelompok atau publik di mana yang mengontrol bukan sejumlah individu. Beberapa individu dalam komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan.

  f.

  Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antar personal. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar tidak bisa langsung dilakukan alis tertunda (delayed). Komunikasi massa memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat, menurut Black dan Whitney yang dikutip oleh nurudin, yaitu (1) to inform (menginformasikan), (2)

  

to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), (4) transmission of the

  17

culture (transmisi budaya). Lalu jika dipandang dari segi efeknya, komunikasi

  massa dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Secara Sederhana Stamm dan Bowes

  18 (1990 dalam Nurudin)

  membagi kedua bagian dasar yaitu: Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Terpaan media massa yang mengenai audience menjadi salah satu bentuk efek primer. Akan tetapi lebih bagus lagi jika audience tersebut memperhatikan pesan-pesan media massa tersebut dengan baik media cetak maupun media elektronik. Ketika kita 17 memperhatikan berarti ada efek primer yang terjadi dalam diri kita. Bahkan jika kita Ibid, hal 64.

18 Ibid, hal 206.

  memahami apa yang disiarkan oleh media massa itu sama saja semakin kuat efek primer yang terjadi.

  Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). Menurut Bittner, fokus utama efek ini adalah tidak hanya bagaimana media memengaruhi audiens, tetapi juga bagaimana audiens mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Efek sekunder itu adalah perilaku penerima yang ada di bawah kontrol langsung komunikator.

2.2 Film

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik berarti selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk gambar negatif (yang akan dibuat potret)

  19

  atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, menyatakan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

19 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal 97.

  Oey Hong Lee dalam Sobur menyebutkan: “film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati , karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Dan mencapai puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudia merosot tajam setelah

  20 tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi”.

  Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, bahwa film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk sebagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama

  21 digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.

  20 21 Alex Sobur, Op.Cit, hal. 126.

  Ibid, hal 128

  Film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shot, scene dan sequence. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling baik bagi pemandangan mata penonton dan bagi setting secara action pada saat tertentun dalam perjalanan cerita, itulah sebabnyaseringkali film disebut gabungan dari gambar-gambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang utuh yang bercerita kepada penontonnya. Sebagai alat komunikasi massa untuk bercerita film memiliki

  22

  beberapa struktur, yaitu : a.

  Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi (pasca produksi) memiliki arti rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing).

  b.

  Adegan (scene), adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang , waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang berhubungan.

  c.

  Sequen (sequence), salah satu adegan besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan saling berhubungan.

22 Himawan Pratista. Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), hal. 29

  Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Sebagai seorang pembuat film yang akan menuangkan ide dalam sebuah karya film, penting untuk mengetahui jenis-jenis film sesuai karakteristiknya. Adapun pengelompokan film menurut Ardianto dan Komala

  23

  antara lain: a.

  Film Cerita, jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai barang dagangan.

  b.

  Film Berita, film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak.

  c.

  Film Dokumenter, karya ciptaan mengenai kenyataan, hasil interpretasi pembuatnya mengenai kenyataan dari film tersebut.

  d.

  Film Kartun, film animasi yang segmentasi utamanya adalah anak-anak.

  Namun semua kalangan juga menyukai dikarenakan sisi kelucuan yang biasanya tak lepas hadir dalam tiap tayangannya.

  Sebagai media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela masyarakat 23 dimana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada

  

Elvinaro Ardianto, Komala. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), hal 138. masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga berkuasa menetapkan nilai- nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat,

  24

  bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun. Film juga sebagai satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan.

2.3 Representasi

  Representasi dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia merupakan gambaran

  25

  atau perwakilan. Representasi adalah bagaimana dunia ini dikonstruksikan dan

  26

  direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Representasi secara definisi

  27 lain adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik.

  Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia itu sendiri yang juga terus bergerak

  28 dan berubah.

  Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompok- 24 kelompok dan institusional sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan

Deddy Mulyana. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya Padjajaran. Hal.

25

  89 26 M. Dahlan Al-Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1994), hal 574. 27 Chris Baker. Cultural Studies Theory and Practice. (London: Sage Publication, 2000), hal 8.

  

Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi,

28 (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 122.

  Ibid, hal 123. tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (atau nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah suatu jubah yang

  29