BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Hukum Islam (Syari’ah) 1. Pengertian Hukum Islam (Syari’ah) - BIBIT RUBIYANTO BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.

   Tinjauan Hukum Islam (Syari’ah) 1. Pengertian Hukum Islam (Syari’ah)

  Makna syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu di arab orang mempergunakan kata syari’ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri. Kata syari’ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak berkelo-kelok, juga berarti jalan raya. Kemudian kata syari’ah ini bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang-undang dan hukum (Muhammad Ali Daud, 1998:235).

  Syari’ah Islam berarti segala peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk ummat Islam, baik dari Al-

  Qur’an maupun dari Sunnah Rasulullah SAW. yang berupa perkataan-perkataan, perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan). Para pakar hukum Islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian “Syari’ah” yang lebuh tegas, untuk memudahkan kita membedakan dengan fiqih, yang diantaranya sebagai berikut:

  1) Imam Abu Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam mengatakan: “bahwasanya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf dalam perbuatan, perkataan dan akidah mereka.

  ” furun mengatakan: : “Syariah yang telah diisyaratkan Allah utuk para hambanya, dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh nabi Alla h.”

  Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, dan disebut dengan far’iyah amaliyah, lalu dihimpun oleh ilmu kalam dan syariah ini dapat disebut juga dengan diin (agama) dan millah. Definisi tersebut menegaskan bahwa syari’ah itu muradif (sinonim). Berbeda dengan ilmu fiqih karena ia hanya membahas tentang amaliyah hukum (ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib divahas oleh ilmu kalam atau tauhid.

  3) Prof. DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa: “syari’ah adalah segala peraturan yang telah disyaratkan Allah, atau ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan sesama manusia dengan alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.”

  2. Dasar-Dasar Hukum Islam

  1) Al- Qur’an.

  Sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Sebagai sumber ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau asas pertama S yara’. Al-Qur’an merupakan kitab suci terkahir yang turun dari serangkaian kitab suci

  Al- Qur’an dari waktu ke waktu telah berkembang tafsir-tafsir tentang isi-isi Al- Qur’an namun tidak ada yang saling bertentangan.

  2) Hadits.

  Hadits adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad SAW. hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al- Qur’an. Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. namun pada saat ini hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda. 3) Ijtihad.

  Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-

  Qur’an maupun hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu pada suatu waktu tertentu. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal idabah mahdah.

a) Ijma’.

  Ijma artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al- Qur’an dan

  Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

  b) Qiyas.

  Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan adalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahuluu sehingga dihukumi sama. Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternayara belum didapatkan pada masa-masa sebelumnya.

   PengertianAqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak.

  a. Pengertian Aqidah.

  Aqidah secara etimologi; Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang.

  Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati yaitu k epercayaan hati dan pembenarannya. Aqidah scara syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman (Salih bin fauzan bin Abdullah Al Fauzan, 2000: 3).

  b. Pengertian Ibadah.

  Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

  1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah- Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

  2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

  Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap . Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan.

  Rasa khauf (takut),

  raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal

  (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah

  

qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji,

  dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.

  Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah- Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-

  Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

   Pengertian muamalah.

  Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu,

  

muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain,

  hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya. Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamalah.

  Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum- hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan- peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.

  Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan piutang.

d. Pengertian Akhlak.

  Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya

  “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi- segi persesuain dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan ” Khaliq” yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan.

  Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata-mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.

  Akhlak sifatnya universal dan abadi. Akhlak dalam islam merupakan refleksi internal dari dalam jiwa manusia yang dieksternalisasikan secara kongrit dalam bentuk perilaku dan tindakan nyata. Akhlak seseorang terkait erat dengan perspektif keimanannya, dari kualitas internalisasi nilai-nilai iman sudah barang tentu akan memancarkan kualitas yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang buruk merefleksikan kadar keimanan seseorangyang masih labil (Muhammad, 2007: 12).

  Dengan demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni pembuatan itu selalu diulang

  • – ulang dengan kecenderungan hati (sadar). Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.

   Tinjauan Tentang Wakaf 1. Pengertian Wakaf

  Wakaf di dalam bahasa arab berarti habs (menahan). Wakafa- yaqifu-waqfan artinya habasa-yahbisu-habsan (Sayyid Sabiq, 1987).

  Sedangkan secara istilah para ulama beberapa pendapat. Mereka mendefiniskan wakaf dengan definisi yang beragam, diantaranya definisi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Me nurut Syafi’iyah.

  Menahan harta yang diambl manfaatnya disertai dengan kekalnya benda dengan mentapkan penggunaan benda tersebut kepada yang diperblehkan oleh syara

  ’ (Khotib Syirbini, 1997) 2) Menurut Malikiyah.

  Memberikan manfaat dari sesuatu ketika sesuatu itu masih ada dengan tetapnya hak kepemilikan benda pada orang yang memberikan walaupun hanya kiasan. Perbuatan wakaf yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mujtahiq (penerima wakaf) walaupun yang dimiliki itu erbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik (Wahbah Az Zuhaili, 1997). a) Ibnu Qudamah mendefiniskan wakaf dengan: Wakaf adalah menahan yang asal (harta yang diwakafkan) dan memberikan manfaatnya.

  b) Syamsuddin Al-Maqdisi mendefiniskan wakaf dengan: Wakaf adalah menahan yang asal (harta yang diwakafkan) dan memberikan hasilnya (Ibnu Qudamah,153).

  c) Menurut Kalangan Ulama Hanafiyah.

  Imam Abu Hanafiyah mendefinisikan wakaf dengan: Wakaf adalah menahan harta di bawah tangan pemiliknya, dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan.

  Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 wafak adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejah eraan umum menurut syari’ah.

2. Dasar Hukum Wakaf

  Kendatipun wakaf tidak dengan tegas disebutkan dalam al- Qur’an, namun beberapa ayat al-

  Qur’an yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum perwakafan. Diantara dasar-dasar perwakafan tersebut adalah: 1) Dasar yang bersifat umum.

  a) QS. Al-Baqarah, 2:267

  “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

  b) QS. Ali Imrran, 3:92 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.

  Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

  Prof. Dr. Hamka (1987:6) menjelaskan bahwasanya menyebut iman adalah mudah, tetapi mencapai hasil iman yang mulia adalah suatu ujian hati yang berat. Orang yang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidupnya yang baik, atau jiwa yang baik, kalu dia belum sanggup mendermakan barang yang paling dicintainya. Dalam surat al-baqarah juga diterangkan bahwasanya (birr) bukan semata-mata buat menghadap muka ke timur ataupun ke barat, tetapi antara syarat-syarat untuk menjadi orang baik ialah sudi mengeluarkan hartabenda padahal kita cinta kepadanya. Dan jangan sampai memberikan derma apapun kepada oran lain, yang jika misalnya engkau sendiri yang menerimanya, engkau yang memicingkan kebaikan tidak akan tercapai kalau belum sanggup mendermakan apa saja yang paling dicintai. Kalau martabat ini telah tercapai, inilah baru boleh diakui bahwa dia adalah seorang baik yang telah mencapai kebaikan.

  c) QS. Al-Hajj, 22:77 Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Ayat inim serta mencangkup semua tuntunan Islam, dimulai dari akidah yang ditandai dengan penamaan mereka orang-orang yang beriman, selanjutnya dengan memerintahkan shalat dengan menyebut dua rukunnya yang paling menonjol yaitu ruku’ dan sujud. Penyebutan shalat secara khusus karena ibadah ini merupakan tiang agama, setelah itu, disebutkan aneka badah yang mencangkup banyak hal bahkan dapat mencangkup aktivitas sehari- hari jika motivasinya adalah mencari ridha Ilahi, baik yang berdasar wahyu maupun nilai- nilai yang sejalan dengan tujuan syari’at, biak ia berupa hukum maupun Undang-undang maupun tradisi dan adat istiadat. Jika hal-hal di atas terpenuhi oleh satu masyarakat, mka memperoleh keberuntungan yakni meraih apa yang mereka harapkan di dunia dan di akhirat.

  Kata-kata memaafkan harta yang disebut dalam al- Qur’an tifak kurang dari 73 tempat, selain berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah keluarga, juga menunjuk hukum sunnah, seperti sedekah, hibah, wakaf dan lain-lain. Selain itu Allah menjanjikan kepada orang yang menafkahhkan sebagian gartanya, dilipatgandakan pahalanya menjadi 700 kali.

  2) Dasar yang bersifat khusus.

  a) Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.

  Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang dimanfaat kan, dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya (Abi Husain Muslim, 1993:70).

  b) Hadis riwayat Al- Jama’ah dari Ibnu Umar.

  Dan dari Ibnu Umar bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah dari tanah Khaibar, lalu ia bertanya “Ya Rosulullah ! Aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum aku dapat sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang engkau perintahkan padaku? “maka jawab nabi”, jika engkau suka hanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya, “lalu boleh diberikan dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang orang kafir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu dan untuk orang yang kebutuhan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik dan dalam satu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya (An-Naisabury, 1993:72).

3. Rukun dan Syarat Wakaf.

  Dalam terminologi fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu. Oleh karena itu, sempurna atau tidak sempurna wakaf telah dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan waka fitu sendiri.

  Adapun rukun wakaf menurut sebagian ulama fikih Islam, telah dikenal 4 rukun wakaf adalah seperti yang diuraikan di bawah ini: a) Orang yang berwakaf (Wakif).

  Adapun syarat-syarat orang yang mewakafkan (wakif) adalah setiap wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materiil, artinya mereka telah dewasa (baligh), berakal sehat, tidak di bawah pengampunan dan tidak karena terpaksa berbuat.

  Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak milik Wakif murni. Benda yang diwakafkan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Benda harus memiliki nilai guna.

  Tidak sah hukumnya sesuatu bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai, dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syar a’, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda haram.

  2) Benda tetap atau benda bergerak.

  Secara garis umum yang dijadikan sandaran golongan Syafi’iyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat benda tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).

  3) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.

  Penentuan benda tersebut bisa diterapkan dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau bisa juga menyebutkan dengan nishab terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap yang akan diwakafkan tidak sah hukumnya seperti sebagainya. 4) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-

  milk at-tamn ) si Wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf.

  Dengan demikian, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.

c) Tujuan/tempat diwakafkan harta itu adalah penerima wakaf (mauquf ‘alaih).

  

Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal

ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu dari ibadah.

  d) Pernyataan/lafaz penyerahan wakaf (sighat) ikrar wakaf.

  

Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan

  tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat digunakan menyatakan wakaf leh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan.tentu pernyataan dengan isyarat tersebut harus benar-benar dimenegrti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan dikemudian hari (Muhammad Daud Ali,1988:88).

   Macam Wakaf.

  Wakaf dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakaf ahli (khusus) dan wakaf khairi (umum.

  a. Wakaf Ahli atau Wakaf Keluarga Adapun yang dimaksud dengan wakaf ahli atau wakaf khusus

  (disebut juga keluarga) adalah wakaf yang khusus diperuntukan orang- orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun orang lain.

  Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di negara-negara Timur Tengah misalnya wakaf ahli ini, setelah berlangsung puluhan tahun lamanya, menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf keluarga itu berupa tanag pertanian. Maksud semula sama dengan wakaf umum, untuk berbuat baik kepada orang lain dalam rangka pelaksanaan amal kebijakan menurut Islam. Namun, kemudian terjadilah penyalahgunaan. Penyalahgunaan itu misalnya: (1) menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari permbagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia, dan (2) Wakaf keluarga itu dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan tanahnya itu. Oleh karena itu, di beberapa negara, karena penyalahgunaan tersebut, wakaf keluarga kemudian dibatasi dan bahkan dihapuskna (di Mesir misalnya, pada tahun 1952), sebab praktek- Islam.

  Dalam hubungan dengan wakaf keluarga ini perlu dicatat bahwa harta pusaka tinddi di Minangkabau misalnya, mempunyai ciri-ciri yang sama dengan wakaf keluarga. Ia merupakan harta keluarga yang dipertahankan tidak dibagi-bagi atau diwariskan kepada keturunan secara individual, karena ia telah diperuntukkan bagi kepentingan kluarga, memenuhi kebutuhan baik dalam keadaan yang tidak disangka-sangka (darurat).

  b. Wakaf Umum.

  Adapun yang dimaksud dengan wakaf umum atau wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemasyarakatan umum. Wakaf jenis ini jelas sifatnya sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial dalam bentuk masjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit, rumah yatim-piatu, tanag pengkuburan dan sebagainya.

  Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paing sesuai dengan ajaran Islam dan dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendati pun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih diambil kemanfaatannya.

   Tujuan Wakaf.

  Semua madzab sepakat bahwa tujuan perwakafan adalah untuk ibadah. Menurut imam madzhab Imam Hanafi, bahwa orang mewakafkan disyaraktakan harus beragama Islam, beribadah menurut syariatnya harus dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan tujuannya mengenai hal-hal yang baik serta berguna, tidak mengenai hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut madzhab Imam Hanafi, bahwa perwakafan orang bukan Islam tidak sah dan perwakafan yang dilarang oleh agama seperti penjudian ada lah tidak sah pula, sebaliknya menurut madzhab lainnya (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Ibnu Hanbal) perwakafan oleh orang bukan Islam yang bertujuan membantu kepentingan umum adalah sah.

  Para madzhab atau para mujtahid pada prinsipnya dalam beberapa hal mempunyai pendapat yang sama yaitu, bahwa wakaf adalah sangat dianjurkan selama agama Islam sebagai amal yang utama dan berguna untuk kepentingan umum, persaman itu khusunya dalam hal: a) Wakaf untuk masjid, wakaf yang telah diputuskan oleh hakim dan wakaf yang berbentuk wasiat (pesan menjelang ajal), b) Yang disedekahkan adalah hasil benda atau manfaatnya, bukan bendanya.

  Perbedaaan pendapat antara para mujtahidin tersebut di atas adalah saling mengisi satu dengan yang lain, yang diperlukan salam menyelesaikan kasus yang berbeda (Imam Suhadi, 2002:27).

   Status Harta Wakaf

  Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan status kedudukan harta wakaf.

  Imam Abu Hanifah berpendapat: Sesungguhnya wakaf menjadikan si wakif menahan benda yang asal (benda yang diwakafkan) dan boleh memanfaatkan kepada perkara yang ia kehendaki, seperti halnya pinjam meminjam (Syamsyuddin as-Syarkhasi, 1989:27) Jadi menurut Abu Hanifah yang diwakafkan anya manfaat bendanya, dan benda pokoknya tetap menjadi milik wakif atau disebut dengan wakaf “ariyah” (wakaf dengan bentuk pinjaman) maka, wakif dapat menarik benda wakaf, kecuali Perwakafan yang telah diputuskan hakim dan Perwakafan dengan bentuk wasiat. Abu Hanifah berpendapat: Sesungguhnya wakaf tidak bisa tetap dengan sendirinya dan wakif boleh menarik kembali harta yang diwakafkan, kecuali ada ta’lid setelah wafatnya wakif, maka harta wakaf tersebut menjadi tetap bersamaan wafatnya wakif, atau diputuskan oleh hakim.

  Status harta wakaf yang telah diwakafkan menurut Abu Hanifah belum dinamakan wakaf, tetapi shadakah apabila belum diputuskan oleh hakim. Dan apabila telah mendapat putusan dari hakim bahwa harta itu adalah harta wakaf, maka harta itu tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh si wakif. Pendapat ini didukung Ulama Malikiyah.

  Menurut Imam Syafi’i berpendapat harta yang diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah SWT dan tidak juga menjadi penerima wakaf (mauquf ‘alaih), akan tetapi wakif tetap boleh mengambil manfaatnya. Bagi Ulama Syafi’iyah wakaf itu sag dan terjadi melalui salah satu dari dua perkara: 1)

  Fi’liyyah (Perbuatan) yang menunjukkan padanya, seperti apabila

  seseorang membangun masjid, dan dikumandangkan azan untuk shalat di dalamnya, dan dia tidak memerlukan keputusan dari seorang hakim.

  2) Qauliyyah (Ucapan) ucapan ini ada dua, yang Sharih (tegas) dan yang

  Kinayah (tersembunyi). Yang Sharih misalnya ucapan seorang yang

  berwakaf: “aku wakafkan”. “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadika n untuk sabilillah”, “aku abaikan”. Yang Kinayah, seperti ucapan orang yang mewakafkan: “aku sedekahkan”, akan tetapi dia berniat mewakafkan. Dan bagi ulama Syafi’iyah wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjual belikan, digadaikan dan diwariskan oleh wakif, pendapat ini didukung oleh Ulama Hanabiyah.

7. Obyek Wakaf Menurut Para Ulama’ Fiqh.

  a) Madzhab Hanafi.

  Madzhab Hanafi yang dikenal sebagai aliran madzhab fiqh yang cenderung paling rasional dibanding dengan madzhab lain, untuk masalah penentuan obyek wakaf malah terkesan paling kaku, hal ini terlihat pada kriteria benda wakaf yang diterapkan oleh madzhab ini yakni benda yang tidak dapat dipindah dan dirubah, seperti

  ‘aqor dan

  yang semisalnya maka tidak diperbolehkan mewakafkan manqul dan harta yang bisa dibagi (bukan milik bersama yang tidak bisa dibagi).

  

‘Aqor yang dimaksud disini adalah sesuatu yang tidak dapat dipakai

atau dirubah dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti bumi (tanah).

  Sedangkan yang dimaksud dengan Manqul adalah sesuatu yang bisa dipindahkan dan dirubah dari satu tempat ke tempat yang lain, baik tetap dalam bentuk keadaan semula, atau terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya sebab proses perpindahan dan perubahan, termasuk di dalamnya mata uang, harta perdagangan, berbagai jenis hewan, benda- benda yang dapat ditakar dan ditimbang (Wahbah az Zuhaily, 2001:2881). Dengan menetapkan dua syarat ini, mewakafkan al manqul (benda-benda bergerak) seperti mobil, hewan ternak dan lainnya tidak diperbolehkan, hal ini cukup beralasan karena al manqul memiliki kemungkinan besar untuk tidak abadi sedangkan madzhab ini berpendapat bahwa wakaf harus selamanya.

  b) Madzhab Maliki.

  Madzhab maliki yang terkenal dengan ciri khasnya lebih mengunggulkan asas- asas syari’at daripada rasio, dalam masalah ini malah mealam hal menjadi madzhab yang paling longgar dalam hal menetapkan kriteria benda wakaf, hal ini terlihat dalam kelonggaran kriteria yang ditetapkan yakni sah mewakafkan mamluk (Muhammad Ibnu ‘Arofah al Dasuqy:203). Sedangkan yang dikehendaki dari

  

mamluk disini adalah sesuatu yang dapat dimiliki dzatnya walaupun

  sesuatu tersebut tidak boleh diperjualbelikan seperti kulit hewan kurban, anjing pemburu, dan semisalnya, sah mewakafkan hamba yang

  mamluk al ‘aqor, al muqowwam, al mistly dan hewan (Ali Ahmad Ash Sho’il al ‘Adawi:389)

  Mamluk adalah sesuatu yang mencangkup kepemilikan atas dzat dan kepemilikan atas manfaat.

  Al ‘aqor menurut madzab maliki adalah

  sesuatu yang sama sekali tidak bisa dipindahkan dan dialihkan seperti tanah, atau bisa dipindah dan dialihkan dengan adanya perubahan bentuk dan keadaannya karena proses pemindahan dan pengalihan seperti pohon dan bangunan. Al manqul adalah sesuatu yang bisa dipindahkan dan dialihkan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tetapnya bentuk dan keadaan benda tersebut seperti semula, seperti pakaian, kitab, kendaraan dan semisalnya. Al mutaqowwam adalah sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perbuatan dan syara’ memperbolehkan untuk mengambil manfaat darinya, seperti benda- benda tak bergerak, benda-benda bergerak, makanan dan semisalnya sedangkan Al mistly adalah sesuatu yang memiliki pepadan di pasar tanpa danya perbedaan jauh dala, bagian-bagiannya daam transaksi, seperti barang-barang yang bisa ditakar, ditimbang dan semisalnya.

  Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa madzhab Maliki memperbolehkan beberapa jenis wakaf: 1) Wakaf

  ‘aqor (benda tidak bergerak) maupun al manqul (benda bergerak).

  2) Wakaf dzat maupun manfaat.

  Madzhab Syafi’i.

  Sebagaimana madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i menerapkan kriteria yang cukup ketat dalam benda wakaf, hal ini dilihat dari persyaratan yang diterapkan yakni syarat benda wakaf harus benda tertentu yang dapat dimiliki dengan kepemilikan yang dapat dipindahkan, dapat diambil faidah atau manfaat dengan tetapnya keadaan tersebut, sah untuk disewakan dan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama (Syihabuddin ar Romly:360-361). Adapun yang dimaksud faidah di sini adalah seperti susu (hasil dari hewan ternak), buah (hasil pepohonan) dan semisal keduanya. Sedangkan yang dimaksud manfaat adalah menempati rumah, memakai pakaian dan semisal keduanya.

  Dari kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa benda wakaf harus: 1) Berupa benda, maka tidak dah wakaf manfaat. 2) Benda tersebut bisa dimilik, karenanya seseorang yang merdeka tidakboleh mewakafkan dirinya.

  3) Bisa dimiliki dengan kepemilikan yang dapat dialihkan, maka tidak sah mewakafkan Ummul walad dan janin dalam kandungan.

  4) Dapat diwakafkan dalam jangka waktu yang lama, maka tidak sah mewakafkan makanan dan wangi-wangian (Khotiba Syirbiny, 1999:511-512).

  Madzhab al Hanbali memiliki kriteria yang hampir sama dengan madzhab asy Syafi’i, yakni: 1) Benda yang sah diperjual belikan, untuk itu tidak sah mewakakan anjing, babi, barang yang digadaikan serta hal-hal yang tidak sah untuk diperjualbelikan. 2) Benda yang dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama dengan tetapnya keadaan benda tersebut, karena tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama seperti makanan dan wangi-wangian.

  Sebagaimana madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali juga memperbolehkan wakaf

  ‘aqor (benda tak bergerak seperti tanah dan bangunan) al manqul

  (benda bergerak seperti pakaian dan kitab) dan

  al Musya’ (harta

  bersama, baik berupa

  ‘aqor maupun manqul) (Syamsuddin al Muqoddasy:186).

C. PENGERTIAN ROYALTI

  Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak sebagai imbalan atas:

  1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di budang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula, industrial atau hak serupa lainnya.

  2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial dan ilmiah.

  3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial.

  4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap atau hak menggunakan hak- hak tersebut pada angka 1., penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan terseut pada angka 2., atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) Penerimaan atau hak menerima rekaman, gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.

  b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman, gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarka/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.

  5. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.

  6. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture

  films ), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk

  siaran radio; penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak- hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. Atas pembayaran royalti tersebut dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30 % ).Pembayaran royalti kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain kepada BUT dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan

D. Tinjauan Hak Cipta.

1. Pengertian Hak Cipta.

  Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau mmberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun Ciptaan adalah hasil setiap hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Pengertian tersebut memberi petunjuk bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta berwenang mengatur dasarnya hak cipta merupakan hak untuk menyalin suatu ciptaan. Hak cipta juga memungkinkan pemegang hak untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.

  Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta.

  Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta yaitu namanya Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari seluruh negara atau anggota Berne Convention. Perlindungan Hak Cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta , diubah Undang- undang Nomor Tahun 1987, diubah lagi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1987 beserta Peraturan pelaksanaannya. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Kepabeanan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek, Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the

  

Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World

Intellectual Property Organization, Keputusan Presiden RI Nomor 17

  Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty, Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention

  

for the Protection of Literary and Artistic Works, Keputusan Presiden RI

Nomor 19 Tahun1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty.

2. Obyek Hak Cipta

  Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencangkup buku, program komputer, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain seperti; ceramah, kuliah pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan (Endang Purwaningsih, 2005:2). ciptaan di luar imu pegetahuan, seni, dan sastra, ciptaan yang tidak orisinil, ciptaan yang tidak diwujudkan dalam suatu bentuk yang nyata, ciptaan yang sudah merupakan milik umum.

3. Prosedur Wakaf Hak Cipta

  Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaannya memiliki manfaat ekonomis. Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keaagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antra lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawab hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazdir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.

  Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional, Pemerintah tela menerbitkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturanperundang-undangan (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik) dicantumkan kembali dalam Undang-undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tatacara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf. Hal ini untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, dalam Undang-undang tersebut ditegaskan pula bahwa Undang-undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

  b. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luad sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen ekonomi syariah.

  c. Untuk mengamankan benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang mergikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan profesional Nazhir. Pembinaan terhadap nazhir dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia atau perwakilannya di daerah sesuai dengan kebutuhan.

  Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas dibidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan tugas dibidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dan penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

  Dalam Undang- undang Wakaf pada “Ketentuan Peralihan” disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini, waka yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-undang ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-undang ini. tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Semua peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertenatangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Oleh karena itu prosedur pendaftaran harta benda wakaf berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Undang-undang Nomor 41 Tahun 004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

  Secara garis besar prosedur pendaftaran harta benda wakaf dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok. Pertama, wakaf benda tidak bergerak. Kedua, wakaf benda bergerak berupa uang. Ketiga, wakaf benda bergerak selain uang, termasuk di dalamnya wakaf Hak Cipta. Secara lengkap prosedur pendaftaran wakaf Hak Cipta adalah sebagai berikut:

  1) PPAIW mendaftarkan AIW dari:

  a. Benda bergerak selain uang yang terdaftar pada instansi yang berwenang.

  b. Benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar dari yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan selama daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pendaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agraria setempat.