BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pandangan - MIA FITRIANA BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pandangan Pandangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan sebagainya).

  (Depdiknas, 2002: 1021) Kata pandangan juga bersinonim dengan kata paradigma dan kata perspektif. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Makna paradigma yang dikemukakan oleh Anderson adalah ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktifitas penelitian, dan menggunakan metode serupa. Sedangkan perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conseptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita, dan pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. (Mulyana, Deddy, 2010: 9, 16)

  Jadi pengertian pandangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu cara pandang seseorang untuk mengetahui bagaimana pendapat dari suatu peristiwa atau masalah yang ada.

  9

2. Pengertian Bank Syariah

  Di Indonesia, dasar mengenai bank syariah tertuang dalam UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, pengertian Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). (Soemitra, Andri: 2009: 61-62).

  a. Bank Umum Syariah (BUS) adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

  b. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang perbankan syariah dan/atau unit syariah.

  c. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

  Sedangkan pengertian bank konvensional menurut Pasal 1 UU No.21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. (Danupranata, Gita, 2013:31-32)

  a. Bank umum konvensional adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

  b. Bank perkreditan rakyat adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

3. Visi dan Misi Perbankan Syariah (Ali, Zainuddin, 2008: 8, cet. Ke

  1)

  a. Visi Perbankan Syariah “Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisiensi, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (sharebased financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat”.

  b. Misi Perbankan Syariah Berdasarkan visi dimaksud, misi yang menjelaskan peran Bank

  Indonesia adalah mewujudkan iklim yang kondusif untuk mengembangkan perbankan syariah yang istiqamah terhadap prinsip-prinsip syariah dan mampu berperan dalam sektor riil, yang meliputi sebagai berikut : a) Melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan. b) Mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis risiko guna menjamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya.

  c) Mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efisiensi operasional perbankan syariah.

  d) Mendesain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas sistem perbankan.

4. Fungsi Utama Bank Syariah

  Bank syariah memiliki tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi, menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana dari bank, dan juga memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah. (Ismail, 2011: 39-43) :

  a. Penghimpun Dana Masyarakat Bank syariah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad al-Wadiah dan dalam bentuk investasi dengan menggunakan akad al-Mudharabah. Al-Wadiah adalah akad antara pihak pertama (masyarakat) dengam pihak kedua (bank), dimana pihak pertama menitipkan dananya kepada bank, dan pihak kedua, bank menerima titipan untuk dapat memanfaatkan titipan pihak pertama dalam transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. Al-Mudharabah merupakan akad antara pihak yang memiliki dana kemudian menginvestasikan dananya atau disebut juga dengan shahibul maal dengan pihak kedua atau bank menerima dana yang disebut juga dengan

  

mudharib , yang mana pihak mudharib dapat memanfaatkan dana

  yang diinvestasikan oleh shahibul maal untuk tujuan tertentu yang diperbolehkan dalam syariat Islam.

  b. Penyaluran Dana kepada Masyarakat Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Bank syariah akan memperoleh return atas dana yang disalurkan. Return atau pendapatan yang diperoleh bank atas penyaluran dana ini tergantung pada akadnya, antara lain adalah akad jual beli dan akad kemitraan atau kerja sama usaha. Dalam akad jual beli, maka return yang diperoleh bank atas penyaluran dananya adalah dalam bentuk margin keuntungan. Margin keuntungan merupakan selisih antara harga jual kepada nasabah dan harga beli bank. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas penyaluran dana kepada nasabah yang menggunakan akad kerja sama usaha adalah bagi hasil.

  c. Pelayanan Jasa Bank Pelayanan jasa bank syariah ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya.

  Berbagai jenis produk pelayanan jasa yang dapat diberikan oleh bank syariah antara lain jasa pengiriman uang (transfer), pemindah bukuan, penagihan surat berharga, kliring, letter of credit, inkaso, garansi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.

  Aktivitas jasa bank syariah, merupakan aktivitas yang diharapkan oleh bank syariah untuk dapat meningkatkan pendapatan bank yang berasal dari fee atas pelayanan jasa bank.

5. Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konfensional

  Perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional terdapat dalam hal akad dan aspek legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi (Dewan Pengawas Syariah/DPS dan Dewan Syariah Nasional/DSN), bisnis dan usaha yang dibiayai, serta lingkungan kerja dan corporate culture/budaya. (Edwin Nasution, Mustafa dkk, 2007: 294)

  Selain itu, perbedaan bank konvensional dan bank syariah dapat dilihat dari aspek dibawah ini antara lain (Machmud, Amir, dan Rukmana, 2010: 10, cet. Ke 1) :

  

Table 1. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Aspek Bank Syariah Bank Konvensional

  Legalitas Akad syariah Akad konvensional Struktur Organisasi

  Penghimpunan dana dan penyaluran dana harus Tidak terdapat dewan sejenis sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah (DPS)

  Bisnis dan Usaha Melakukan investasi- Investasi yang halal yang dibiayai investasi yang halal saja. dan haram profit oriented. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk Hubungan dengan hubungan kemitraan. nasabah dalam bentuk hubungan kreditur- Berdasarkan prinsip bagi debitur. hasil, jual beli, atau sewa. Memakai perangkat bunga. Berorientasi pada keuntungan (profit

  oriented ) dan

  kemakmuran dan kebahagiaan dunia akhirat. Lingkungan Kerja Islami Non Islami Lembaga Badan Arbitrase Peradilan Negeri Penyelesaian Muamalah Indonesia Sengketa (BAMUI) Disamping perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah sebagaimana tersebut diatas, Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi‟i Antonio menambah perbedaan antara lain sebagai berikut (Manan, Abdul, 2012: 212) : a. Bank syariah mendasarkan perhitungan pada margin keuntungan bagi hasil, sedangkan bank konvensional memakai perangkat bunga.

  b. Bank syariah tidak saja berorientasi pada keuntungan (profit), tetapi juga pada al falah oriented. Adapun bank konvensional semata-mata profit oriented.

  c. Bank syariah melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan. Adapun bank konvensional melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur kreditur saja.

  d. Bank syariah meletakan penggunaan dana secara riil (users of real

  

funds ), adapun bank konvensional sebagai creator of money

supply .

  e. Bank syariah melakukan investasi dalam bidang yang halal saja (sesuai syariat Islam). Adapun bank konvensional melakukan investasi yang halal dan haram.

  f. Bank syariah dalam melakukan pergerakan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syariah. Adapun bank konvensional tidak terdapat dewan sejenis yang mengawasi bank tersebut.

6. Perbedaan Bagi hasil dan Bunga Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.

  Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut (Ali, Zainuddin, 2010: 112-113, cet. Ke 2).

  Table 2. Perbedaan Bagi hasil dan Bunga No. Bunga Bagi Hasil

  1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.

  Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

  2. Besarnya presentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.

  Jumlah rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

  3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak

  Bagi hasil bergantung pada keuntungang proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung nasabah untung atau rugi. bersama oleh kedua belah pihak.

  4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang

  “booming”.

  Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

  5. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.

  Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

7. Dasar Hukum Bank Syariah

  Bank syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui keberadaannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 10 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh ibu kota provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah (bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan semacamnya). Pengakuan secara yuridis dimaksud, memberi peluang tumbuh dan berkembang secara luas kegiatan usaha perbankan syariah, termasuk memberi kesempatan kepada bank umum (konvensional) untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (Ali, Zainuddin, 2010: 2, cet. Ke 2) 8.

   Perkembangan Bank Syariah di Indonesia (A.Karim, Adiwarman,

  2011: 25-27) Di Indonesia, bank syariah pertama kali didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak lambat bila dibandingkan dengan negara- negara muslim lainnya, bank syariah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) hingga ahir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.

  Berdasarkan data Bank Indonesia, prospek perbankan syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Industri perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi . jika pada posisi November 2004, volume usaha perkembangan syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6%, volume perbankan syariah diakhir tahun 2005 diperkirakan akan mencapai sekitar

  24 triliun rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri perbankan nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dan pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar 20 triliun rupiah dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah diakhir tahun 2005.

  Perkembangan perbankan syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan banhwa masih ada sumber daya insani yang selama ini terlibat di institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi syariah di semua lini karena sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.

9. Produk-produk Bank Syariah

  Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu (A.Karim, Adiwarman: 2011: 97-112) :

  a. Produk Penyaluran Dana (financing) 1) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli

  Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya pemisahan kepemilikan barang atau benda (transfer of

  property ). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harta atas barang yang dijual.

  Transaksi jual-beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk

  pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni

  sebagai berikut:

  a) Pembiayaan Murabahah

  Murabahah , yang berasal dari kata ribhu (keuntungan),

  adalah transaksi jual-beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).

  b) Pembiayaan Salam

  Salam adalah transaksi jual-beli dimana barang yang

  diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang yang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

  c) Pembiayaan Istishna

  

  Produk

  istishna‟ menyerupai produk salam, tapi dalam istishna‟ pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam

  beberapa kali (termin) pembayaran. Skim

  istishna‟ dalam

  Bank Syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

  2) Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah) Prinsip ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah yaitu pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas

  1 barang itu sendiri.

  3) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Syirkah)

  a) Pembiayaan Musyarakah Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyaraah (syirkah atau syariah). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningakatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

  b) Pembiayaan Mudharabah Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al maal dan keahlian dari mudharib.

1 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik , (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm 137.

  4) Pembiayaan dengan prinsip pelengkap

  a) Hiwalah (Alih Utang-Piutang) Tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti-biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang.

  b) Rahn (Gadai) Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: Milik nasabah.; sendiri.; Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.; Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

  c) Qardh

  Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang

  dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literature fiqih klasik, qardh dikategorikan pada aqd

  tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi

  2 komersial.

  d) Wakalah (Perwakilan)

  Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah

  memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.

  e) Kafalah (Garansi Bank)

  Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh

  penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai

  3

  peminjam. Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.

  b. Produk Penghimpunan Dana (funding) 1)

  Prinsip Wadi‟ah

  Prinsip

  wadi‟ah yang diterapkan adalah wadi‟ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro.

2 Muhammad Syafi

  3 ‟i Antonio, Ibid, hlm. 131.

  Muhammad Syafi‟i Antonio, Ibid, hlm. 123.

  Wadi‟ah dhamanah pihak yang dititipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.

  Karena

  wadi‟ah yang diterapkan dalam produk giro

  perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjam uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.

  2) Prinsip Mudharabah Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Hasil usaha ini akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.

  c. Produk Jasa (service) Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:

  a) Sharf (Jual Beli Valuta Asing) Pada prinsip jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip

  sharf . Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot).

  Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

  b) Ijarah (Sewa) Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan dari jasa tersebut.

10. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

  Berawal dari pendirian sekolah untuk anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Para siswa Kweekschool dan santri yang menyarankan dan mendesak agar penyelenggaraannya ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggalan Kyai kelak. Dalam mendirikan organisasi ini tidaklah mudah, banyak yang harus dilakukan seperti mengumpulkan syarat- syarat dan meminta persetujuan dari berbagai pihak agar persyarikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah melalui berbagai hal dan telah mengumpulkan berbagai syarat yang harus dipenuhi dengan saran-saran yang telah diberikan maka pada Resident Yogyakarta Liefrinck, pada tanggal 21 April 1913 menyurati Gubernur Jendral, bahwa ia menyetujui permohonan Muhammadiyah itu, dengan catatan supaya kata- kata “Jawa dan Madura” diganti dengan “Residentie Yogyakarta” dalam Statuenartikel 2,4 dan 7. Ini pun dipenuhi, setelah melalui rapat anggota pada tanggal 15 Juli 1914. Demikianlah, setelah berproses dengan surat-menyurat selama 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouverment Besluit tanggal 22 Agustus 1914, No. 21, beserta lampiran anggaran dasarnya. Tujuannya telah tegas, cara-cara penyampaiannya telah terarah, yang akan menghasilkan berbagai amal usaha nyata. (Kamal Pasha, Musthafa, dan Ahmad Adaby Darban, 2009: 96-98) Kemudian pada tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H (bertepatan tanggal 18 November 1912 M) Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Yogyakarta, dipimpin langsung oleh KH. A. Dahlan sendiri sebagai ketuanya. (Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, 1990: 3)

  Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

  Secara garis besar ada dua setting yang melatarbelakangi kelahiran NU. (Ahmad, Masrur, 2014: 18-36).

  a. Yang pertama adalah Latar Global. Kelahiran NU secara gobal dilatar belakangi oleh dua konteks global yang cukup menghebohkan umat Islam. Pertama, konteks pembaharuan Islam yang menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur‟an da n Sunnah” dengan melepaskan diri dari sikap bermadzhab.

  

Kedua , konteks politik; yaitu keruntuhan Khalifah Turki Ustmani.

  Menurut penjelasan singkat diatas menunjukan bahwa NU adalah „juru selamat, paham ahlus sunnah wal jama‟ah menujukan wajah Islam yang toleran, harmonis mengedepankan akhlakul

  

karimah dan menyampaikan pesan Islam dengan uswatuh

khasanah . Secara historis, kelahiran NU memang tidak bisa

  dilepaskan dari kekecewaan kelompok tradisionalis terhadap kelompok modernis dalam pengutusan delegasi pada Mukhtamar

  Khilafah di Makkah. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi ajaran, visi dan misi NU, tampak bahwa cikal-bakal kelahiran NU bahkan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw yaitu paham yang berhaluan

  Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.

  b. Yang kedua adalah Latar Lokal. Kelahiran NU sebagai wadah perjuangan bangsa dipelopori oleh para ulama dan kaum pesantren sesungguhnya memiliki sejarah perjuangan yang cukup panjang. Sejak awal kedatangan bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, Belanda dan Jepang hingga kemerdekaan umat Islam yang digerakan oleh ulama dan kaum santri tetap kukuh untuk menentang keberadaan kaum penjajah di bumi pertiwi. Semangat itu terus muncul, hingga kesadaran nasionalisme yang berakar pada prinsip kebangsaan ditandai dengan mulai munculnya berbagai organisasi pergerakan pribumi, baik yang berhaluan nasional, komunis, maupun Islam.

  NU sebagai wadah Islam tradisionalis memiliki fondasi yang kuat didorong oleh faktor social kultural yang sangat kental dan kuat. NU lahir dan berkembang dari dan oleh pesantren tradisionalis yang umumnya pesantren langsung berhubungan dengan rakyat bawah, lingkungannya adalah pedesaan sehingga tradisi dibangun dengan gotong royongnya relatif kuat.

  Jejak Rekam Perjalanan Nahdlatul Ulama (Khotib, Ahmad

  dkk, 2011: 9-11) Nahdlatul Ulama lahir dari pergulatan penyebaran dan pemikiran

  Islam di abad pertengahan. Lahir dari sebuah proses pembumian nilai- nilai Islam terhadap budaya lokal. Amalan, ritual, cara, ketentuan dan perayaan yang sudah mengakar di masyarakat dibentuk ulang dengan nilai dan spirit keislaman melalui berbagai bentuk kesantunan dakwah. Masyarakatpun dapat menerima kebiasaan baru tersebut sehingga terjadilah akulturasi budaya dan nilai-nilai keislaman yang kemudian menjadi tradisi baru. Terjadi proses peralihan keberagamaan yang dilakukan secara sadar, damai dan sukarela tanpa ada paksaan apalagi kekerasan. Di sinilah peran besar dari penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo.

  Di samping itu, keterbelakangan yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Maka pada tahun 1908 M. muncullah gerakan pemuda yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawaban atas gerak dan kesadaran itu, maka muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

  Kalangan pesantren yang pada waktu itu gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 M yang didirikan oleh KH.

  Abdul Wahab Hasbullah. Sebagai tindak lanjut dari penggemblengan di dalam Nahdlatul Wathan itu, dibentuklah

  Jam‟iyyah Nashihin

  (Organisasi Orator) yang bergerak dalam pembinaan generasi muda untuk menjadi pendakwah handal. Dari sinilah pemimpin masa depan yang mumpuni banyak dimunculkan.

  Kemudian tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah membentuk forum diskusi yang diberi nama Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri. Dari Taswirul Afkar kemudian didirikan Nahdlatut

  Tujjar , (Pergerakan Kaum Saudagar) yang dijadikan sebagai basis

  untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok kajian dan studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat sebagai wahana untuk mengaji, belajar dan kaderisasi bagi kepentingan Islam Ahlissunnah wal Jamaah.

  Pada tahun 1922 M, para tokoh pejuang Islam Ahlissunnah wal Jamaah meningkatkan kegiatannya melalui masjid yaitu dengan membentuk suatu badan untuk mengurusi masalah-masalah kemasjidan yang bernama

  Ta‟mirul Masjid. Di samping itu, di

  kalangan muda didirikan sebuah lembaga yang disebut Syubbanul

  

Wathan (Pemuda Patriot). Program yang dicanangkan adalah

  membahas masalah hukum agama, dakwah, peningkatan intelektualitas bagi para anggotanya dan berbagai kegiatan penunjang lainnya.

  Saat Nusantara bergerak dengan Aswajanya, di tanah Hijaz (Saudi Arabia) pada tahun 1924 M. Raja Hijaz, Syarif Husein, yang beraliran Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bi n Sa‟ud yang beraliran

  Wahabi. Sejak itulah Raja Ibnu Sa'ud berkehendak menerapkan madzhab tunggal yakni mazhab Wahabi di Hijaz (Saudi Arabia), dengan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah.

  Dengan dalih demi kejayaan Islam, Raja Ibnu Sa‟ud berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Utsmaniyyah. Untuk itulah, dia menggelar Mu'tamar al-'Alam al-Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah sebagai penerus Khilafah yang terputus itu. Seluruh negara Islam diundang dalam perhelatan akbar tersebut, termasuk Indonesia. Utusan yang mendapatkan rekomendasi adalah HOS. Cokroaminoto (Syarikat Islam), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pesantren). Tetapi nama KH. Abdul Wahab Hasbullah dicoret dalam daftar calon delegasi Indonesia tersebut dengan alasan beliau tidak mewakili organisasi resmi.

  Peristiwa ini menyadarkan para ulama pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren akhirnya membuat delegasi sendiri yang dikenal dengan Komite Hijaz atas nama Nahdlatul Ulama yang diketuai oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.

  Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz itu, Raja Ibnu Sa‟ud mengurungkan niat untuk membungihanguskan amaliyah ala Sunni. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab masing- masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban Islam yang sangat berharga.

  Merasa misi dan tugasnya sudah selesai, KH. Abdul Wahab Hasbullah berencana membubarkan komite tersebut. Akan tetapi Hadrotus Syekh KH. Ha syim Asy‟ari mencegahnya. Beliau ingin merealisasikan isyarat yang diberikan oleh Syaichona Khalil Bangkalan yang dikirimkan melalui salah seorang santrinya, KHR.

  As‟ad Syamsul Arifin. Maka pada tanggal 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. terbentuklah organisasi yang bernama

  Jam‟iyyah Nahdlatoel „Oelama (Organisasi

  Kebangkitan Ulama) Organisasi ini dipimpin oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rois Akbar.

  Pada Muktamar tahun 1928 M. NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 NU baru mendapat pengakuan resmi. Secara garis besar, NU merupakan organisasi yang menetapkan dirinya sebagai pengawal tradisi dengan mempertahankan ajaran empat madzhab sebagai jalan memperkokoh ajaran al-

  Qur‟an dan al-Hadits.

  Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Qonun Asasi (prinsip/anggaran dasar), yang berisi tentang bagaimana NU harus berakidah, mengamalkan ajaran Islam yang bersifat amaliyah (fiqh), menjalin hubungan antar sesama (ukhuwwah), berbangsa dan benegara. Dan dalam rangka memperkuat landasan utama ini, Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai pegangan yang harus dijalankan oleh kaum Nahdliyyin dalam menyikapi kebebasan bermadzhab.

  Kedua prinsip tersebut yang pada perjalanan berikutnya diejawantahkan dalam Khitthah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

  Pada Muktamar ke-11 tahun 1936 M. di Banjarmasin NU memilih bentuk Negara Kesatuan yang Damai (Darussalam) bukan negara Islam. Hal ini dibuktikan secara nyata pada menjelang kemerdekaan RI, salah satu putera NU yaitu KH. Wahid Hasyim (putera dari Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy‟ari) menjadi anggota Tim Perumus Sembilan dari PPKI yang merumuskan dasar, bentuk dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Komitmen NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dibuktikan. Pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy‟ari mengeluarkan maklumat berupa Resolusi Jihad, yaitu umat Islam wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang hendak kembali menjajah Indonesia dan melarang kaum muslimin Indonesia untuk melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Resolusi jihad inilah yang kemudian mampu mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo untuk bertempur habis- habisan dalam mempertahankan kemerdekaan RI di Surabaya. Dengan semangat takbir Allahu Akbar yang dikumandangkan oleh Bung Tomo, maka berkobarlah perang heroik pada tanggal 10 Nopember 1945 yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.

  Itulah sekilas jejak rekam perjalanan NU dalam kancah Nusantara dengan menorehkan perjuangannya sebagai salah satu kontribusi dalam mewujudkan kemaslahatan masyarakat yang

  

Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghafur; damai, sejahtera, Gemah

Ripah loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo. NU telah memainkan

  peran penting dalam sejarah Indonesia dengan mengintegrasikan Islam dalam negara bangsa dan mengakui keabsahan negara yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa mengurangi dinamisasi pelaksanaan ibadah-ibadah agamanya. Dan NU mengakui sebagai negara bangsa yang plural yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

  Dasar Pemikiran Muhammadiyah dan NU

  Secara populer sering dikatakan bahwa NU mengacu pada persatuan umat dengan berpegang pada tali Allah (QS. Ali Imran: 103). Ini tampak pada lambang organisasi NU dan ayat yang dijadikan pegangan. Tali Allah itu arti praktisnya adalah doktrin Ahlus Sunnah

  Wal Jama‟ah yang telah menjadi konsensus besar di kalangan umat Islam dan kepemimpinan para ulama sebagai ahli waris para Nabi.

  Sementara itu, citra Muhammadiyah sudah terpatri pada seruan membentuk “masyarakat utama” (Khairu Ummah) melalui amar

  ma‟ruf nahi munkar dan iman kepada Allah (QS. Ali Imran: 110).

  Ayat ini ternyata menggerakan umat kepada perubahan kemasyarakatan, walaupun dengan resiko, bisa melonggarkan tali persatuan dan solidaritas. (Santosa Maryadi, Fattah, 2000: 108)

  Dasar Pemikiran Muhammadiyah

  Dasar pemikiran dalam Muhammadiyah tertuang pada Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu (Hambali, Hamdan, 2010: 9-39) :

  1) Pokok Pikiran Pertama : “Hidup manusia harus berdasar Tauhid

  (meng-Esakan) Allah; ber-Tuhan, beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah”.

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “Amma ba‟du, bahwa sesungguhnya ke- Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata, ber-Tuhan dan beribadah serta tunduk dan taat kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas tiap- tiap makhluk, terutama manusia”.

2) Pokok Pikiran Kedua: “Hidup manusia itu bermasyarakat”.

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat iradah) Allah atas hidup manusia didunia ini”.

  3) Pokop Pikiran Ketiga: “Hanya hukum Allah yang sebenar- benarnyalah satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang haqiqi, didunia dan akhirat”.

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “Masyarakat yang sejahtera, aman, damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan diatas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong royong, bertolong menolong dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu”. 4) Pokok Pikiran Keempat:

  “Berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat i hsan dan islah kepada manusi / masyarakat”

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum yang manapun juga adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku bertuhan kepada Allah. Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia dunia dan akhirat.”

  5) Pokok Pikiran Kelima: “Perjuangan menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, hanyalah akan dapat berhasil bila dengan mengikuti jejak (ittiba) perjuangan para Nabi terutama perjuangan Nabi Besar Muhammad saw”.

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Da sar sebagai berikut: “Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang bahagia dan sentosa sebagaimana yang tersebut diatas, tiap- tiap orang terutama umat Islam, yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi yang suci itu, beribadat kepada Allah dan berusaha segiat-giatnya mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu didunia ini, dengan niat yang murni tulus dan ikhlas karena Allah dan ridla-Nya belaka serta mempunyai rasa tanggung jawab dihadirat Allah atas segala perbuatannya, lagi pula harus sabar dan tawakkal bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, tahu rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan akan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa”. 6)

  Pokok Pikiran Keenam: “Perjuangan mewujudkan pokok-pikiran tersebut hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik- baiknya”. Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian itu, maka dengan berkat dan rahmat Allah dan didorong oleh Firman Allah dalam al-

  Qur‟an:

  

          

     

  

Artinya: Adakanlah dari kamu sekalian golongan yang mengajak

kepada keislaman, menyuruh kebaikan dan mencegah dari

kemungkaran. Mereka itulah golongan yang beruntung

berbahagia.

  Pada tanggal 18 Dzulhijjah 1330 Hijriyyah atau 18 November 1912 Miladiyah, oleh almarhum K.H.A. Dahlan didirikan suatu persyarikatan sebagai “Gerakan Islam” dengan nama “Muhammadiyah” yang disusun dengan Majlis-majlis (bagian- bagiannya), mengikuti peredaran zaman serta berdasarkan “Syura” yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau Muktamar”.

  7) Pokok Pikiran Ketujuh: “Pokok pikiran / prinsip / pendirian seperti yang diuraikan dan diterangkan di muka itu, adalah yang dapat untuk melaksanakan ideologinya terutama untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-citanya, ialah terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir batin yang diridlai Allah, ialah masyarakat Islam yang sebenar- benarnya”.

  Pokok pikiran tersebut dirumuskan dalam Muqadimah Anggaran Dasar sebagai berikut: “kesemuanya itu perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya Nabi Muhammad saw guna mendapat karunia dan ridlo-Nya di dunia dan akhirat dan untuk mencapai masyarakat yang sentosa dan bahagia, disertai nikmat dan rakmat Allah yang melimpah- limpah, sehingga merupakan: “Suatu negara yang indah, bersih, suci dan makmur dibawah lindungan Tuhan

  Yang Maha Pengampun”. Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan umat Islam dapatlah diantar ke pintu gerbang surga “Jannatun Na‟im dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim”.

  Dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama

  Ada beberapa pola pemikiran NU yang secara konsisten dipertahankan yaitu (Ahmad, Masrur, 2014: 89-100) : 1) Taswashuth (moderat)

  Taswashuth

  artinya “berada di tengah”, “moderat”, dan “tidak berada di salah satu titik ekstrem”. Sikap tawasuth yang menjadi prinsip pemikiran NU mendorongnya untuk tidak bergerak „ke kiri‟ ataupun „ke kanan‟ secara ektrem dalam setiap persoalan yang dihadapi. Sikap wasathiyyah (moderatisme) merupakan ikhtiar untuk selalu mencari jalan tengah dari dua kutub ektrem.

  Prinsip moderat ini secara literal didasarkan pada firman Allah yang berbunyi:

           

     “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat

Islam), umat yang berada dipertengahan agar kamu menjadi saksi

atas (perbuatan) manusia dan Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143) Ayat ini menegaskan bahwa umat terbaik adalah umat yang mampu memposisikan diri secara moderat. Sikap ini akan mendorong sikap ekslusif sehingga mampu merangkul semua pihak. Sikap ini selalu dipegang oleh NU, dan pada saat yang sama NU mengecam sikap ekslusif. Watak ini membuat NU mampu bersikap bijak terhadap pihak manapun.

  2) Tawazum

  Tawazum artinya seimbang diantara kedua belah pihak, tidak

  berat atau ringan sebelah. Prinsip ini tidak hanya digunakan dalam sikap-sikap politiknya, tetapi juga dalam penggunaan dalil-dalil