Mengajukan Pengetahuan Lokal Toraja untuk Menghadapi Kematian Ibu dan Bayi.

Mengajukan Pengetahuan Lokal Toraja untuk
Menghadapi Kematian Ibu dan Bayi
Dina Gasong1 dan Ikma Citra Ranteallo2

Abstrak

Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia merupakan salah
satu ancaman bagi ketahanan nasional. Hampir semua
kebijakan kesehatan mengikuti standar-standar internasional
dan nasional sehingga dapat mengurangi partisipasi aktif
masyarakat dan mengabaikan pengetahuan-pengetahuan lokal
yang telah dipraktikkan oleh para leluhur di masa lalu. Tulisan
ini mengajukan pengetahuan lokal Toraja yang penting
dipertimbangkan untuk menghadapi kematian ibu dan anak.
Pengetahuan-pengetahuan
lokal
dapat
menfasilitasi
kemandirian dan tanggungjawab perempuan pada fungsi
reproduksi; meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial
perempuan dalam menentukan masa kehamilan, jumlah anak

dan jarak kehamilan; serta meningkatkan peran dan tanggung
jawab sosial laki-laki terhadap dampak perilaku seksual dan
fertilitas demi kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan
anak-anaknya. Metode yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif, dengan beberapa pendekatan gender untuk
mengevaluasi program-program kesehatan global terkait
kematian ibu dan bayi. Peran aktif Kombongan sebagai
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Kombongan
telah
mengelaborasi pengetahuan lokal, menyediakan informasi dan
pelayanan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara

1
2

Univeristas Kristen Indonesia Toraja
Universitas Udayana

Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 237

optimal, serta memberdayakan dan mendampingi masyarakat
dalam bidang kesehatan secara menyeluruh.
Kata kunci: pengetahuan lokal, Toraja, kematian ibu dan
bayi, gender, reproduksi

Pendahuluan
Pada tahun 2012, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia mempublikasi Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu
dan Anak 2012: Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong,
Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi
Selatan. Angka Kematian Bayi (AKB) menurun dari 46 per
1.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 1997 menjadi 34 per
1.000 KH pada tahun 2007. Selain itu, tidak ada atau nihil
kasus kematian bayi (0-11 bulan) di Kabupaten Toraja Utara
tahun 2009, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 12
kematian bayi. Penyebab kematian meliputi asfiksia, berat

badan lahir rendah (BBLR), dan lain-lain (Dinas Kesehatan
Toraja Utara 2010-2011, di dalam Roosihermiatie et al. 2012).
Secara sentralistik, setiap tahun data dikumpulkan dari
berbagai daerah di Indonesia untuk dianalisis dan dirumuskan
di pusat untuk menghasilkan berbagai kebijakan publik, demi
meningkatkan taraf hidup penduduk. AKB dan Angka
Kematian Ibu (AKI) juga termasuk di dalam kontrol
pemerintah pusat. Meskipun pemerintah pusat telah
menjalankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia, namun sebagian wilayah belum sepenuhnya dapat
mencapai target-target pemerintah pusat. Rao, Vlassoff dan
Sarode (2014) menyatakan pembangunan ekonomi belum
cukup menghasilkan perubahan dalam kesehatan reproduksi
di pedesaan India, melainkan pengaruh pemberdayaan sosial
dan ekonomi berpengaruh besar pada perempuan dalam
tingkat nasional dan mikro. Tingkat kelahiran rendah di
238 | Prosiding PKWG Seminar Series

pedesaan Maharashtra dapat memberi peluang bagi
perempuan untuk bekerja di luar rumah dan berpartisipasi

dalam pembangunan masyarakat yang lebih luas.
Relasi perempuan dan laki-laki sering dianggap timpang.
Namun, generalisasi perlakuan diskriminasi dan kejam
sebagai akibat praktik adat, khususnya pada perempuan, tidak
selalu dapat dibenarkan. Hak asasi perempuan dan laki-laki
justru berasal dari peraturan-peraturan adat tertentu, seperti
halnya di Toraja.
Kosmologi Toraja warisan Aluk To Dolo telah menempatkan
perempuan setara dengan laki-laki. Aluk To Dolo adalah sistem
kepercayaan yang dianut leluhur Toraja, sebelum generasi
saat ini menganut keyakinan lain. Adat Toraja hingga saat ini
masih mengakar dari Aluk To Dolo, meskipun sebagian adat
telah mengalami akulturasi.
Studi ini dapat berfungsi sebagai tinjauan awal terhadap
kebijakan kesehatan, terutama bagaimana pengetahuan lokal
Toraja dapat diajukan untuk menghadapi kematian ibu dan
bayi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kombongan
sebagai patner pemerintah telah menjembatani kebutuhankebutuhan pelayanan reproduksi di Toraja. Selain itu, kami
mengajukan beberapa tradisi Toraja terkait isu tersebut, yang
selama ini ditutupi oleh citra Toraja sebagai pelaksana

upacara pemakaman yang konsumtif.
Metode Penelitian
Studi ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif
untuk meninjau kembali beberapa pengetahuan lokal Toraja
untuk dihadapkan pada standar-standar nasional dan
internasional terkait AKI/AKB. Kami menggunakan
pendekatan gender untuk menghubungkan persoalan
reproduksi dengan pengetahuan lokal Toraja, yang dapat
diajukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 239

Sekilas Relasi Gender Toraja
Sistem kekerabatan bilateral dalam adat Toraja
berdasarkan prinsip sang rara sang buku (sang: satu, rara:
darah, buku: tulang = satu darah satu tulang; ada hubungan
biologis) sebagai pengikat persaudaraan. Jejak rara buku
seseorang atau sebuah keluarga dimulai dari sepasang suami
istri yang paling awal menempati atau mendirikan sebuah
tongkonan (rumah). Tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai

rumah tempat tinggal, tetapi sumber kehidupan dan tempat
berpulang saat mati. Oleh karena itu, hampir semua siklus
hidup manusia– lahir, menikah dan meninggal –masih
dilakukan di tongkonan oleh sebagian Orang Toraja. Pada
proses kelahiran, seorang ayah diharapkan mendampingi
istrinya dan bertugas menguburkan ari-ari bayi di sisi timur
rumah, dan tidak boleh dipindahkan (Waterson 2006; 2009).
Rumah (banua tongkonan) lambang perempuan atau istri di
sisi selatan, dan alang (lumbung padi) di sebelah utara,
melambangkan suami (muanena). Iatu banua, indo’na
dakkaran kande sia dadian bati rumah adalah ibu atau
sumber kehidupan dan kelahiran anak) (Waterson 1995;
2009). Lumbung padi (alang) dan rumah (tongkonan)
merepresentasikan laki-laki dan perempuan. Tongkonan
simbol perempuan, rahim dan mengandung janin (Hollan
2012).
Silsilah keluarga Toraja diurut dari tongkonan buyut dan
orang tua, dari garis perempuan dan laki-laki (de Jong, 2013),
sehingga hak waris diterima seimbang oleh keduanya.
Teknonimi (nama panggilan ayah dan ibu diambil dari nama

anak) Toraja berasal dari nama anak pertama, tanpa
dibedakan laki-laki atau perempuan.
Dalam suatu ritual, publik dapat mengetahui siapa pendiri
tongkonan saat berlangsung ritual atau upacara besar di
tempat itu, siapa yang berasal dari pihak ibu (tanda indo’) dan
pihak ayah (tanda ambe’). Bahkan salah satu pendiri
tongkonan Nonongan, Kesu , adalah seorang perempuan
240 | Prosiding PKWG Seminar Series

bernama Manaek, karena rumah didirikan di atas tanah
leluhurnya (Waterson 1996).
Pemberian nama laki-laki mengandung kata matahari
(allo
atau langit langi’ . Misalnya, Ta dung Allo dan
Kambuno Langi . Perempuan diberi nama Datu Manurun
(putri dari langit), Datu Memonto (putri terkenal), dan namanama yang mengandung kata laut (tasik), seperti Liku Tasik
(tempat terdalam di laut) (Nooy-Palm 1975; van der Veen
1966). Teologi Aluk To Dolo tidak banyak berbeda dengan
hagiografi Kristen dalam konteks perempuan dan kekuasaan.
Perkawinan langi’ (langit) kawin dengan tana (bumi)

melahirkan Tulakpadang (Penyangga Bumi), Banggairante
(Dewa Bumi; daratan luas), serta Gauntikembong (Dewa
Dunia Atas). Sang bungsu menciptakan anak dari rusuknya,
yaitu Usuk Sangbamban, yang menikah dengan Simbolong
Manik, lalu melahirkan Puang Matua atau Tau Kaubanan. )ndo
Ongon-ongon adalah dewi penting di beberapa daerah; )ndo
Pare -pare atau )ndo Pare adalah Dewi Padi; Lokkon Loerara
atau Simbolong Manik menikah dengan Usuk Sangbamban,
mereka melakukan ritual pembersihan paling awal dalam
sejarah Toraja; dan )ndo Belo Tumbang tinggal di bumi dan
menjadi perempuan pertama yang diperintahkan Puang Matua
menyembuhkan Banno Bulaan (Nooy-Palm 1979).
)ndo Belo Tumbang atau )ndo Bunga Sampa sebagai
pelindung roh dari obat untuk menyembuhkan orang sakit
dalam ritual maro (Volkman, dalam Zerner 1981). Sanda Bilik
adalah istri Tamboro Langi , dikenal sebagai leluhur to
manurun (leluhur yang turun dari langit untuk tinggal di
bumi). Pasangan ini mendirikan tongkonan di Ullin.
Tongkonan Ullin selalu menjadi urutan pertama saat to
mantaa (pembagi daging kerbau dalam upacara pemakaman

tertentu) menyebut dan membagi daging (Waterson 2009).
)ndo Lobo atau )ndo Memba ka atau )ndo Paranganan
)bu Pertumbuhan , )bu yang Membiakkan bertanggung
jawab pada kesuburan di bumi. Ampu Padang (pemilik tanah)
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 241

atau Puang Ruru dewa perusak dan menyeramkan yang
membawa wabah cacar pada ternak dan manusia. Ritual
penghormatan
Puang
Ruru
adalah
ma’bugi’ dan
ma’pakorrong, agar dia tidak kembali ke bumi selama tujuh
tahun (Waterson 1995).
Kekuasaan dan otoritas perempuan Toraja pada seorang to
burake tattiku’ (pendeta perempuan) dalam ma’bua’ (ritual
panen hasil bumi). Dalam Aluk To Dolo, Orang Toraja
mengenal istilah pendeta perempuan, yang disebut tadoe
mboerake (mowoerake: guru; pemimpin) (Adriani dan Kruijt

1912). Dalam ritual ini, terdapat lima gadis bangsawan yang
disebut to tumbang (di beberapa tempat perempuan yang
belum menikah). Mereka dipingit oleh tongkonan untuk
memimpin ma’bua’, khususnya di Kesu , Pangala , dan Riu
(Nooy-Palm 1986). Mereka didampingi oleh pendeta
perempuan banaa dan to burake (Waterson 2009). Perempuan
sebagai representasi kelahiran dan kesuburan diasosiasikan
dengan ritual-ritual terkait kehidupan dan dilaksanakan di
sebelah timur tongkonan atau aluk rambu tuka , seperti
ma bua . Burake dianggap dari dunia atas sebagai representasi
langit dan bumi (Nooy-Palm 1986).

Dalam ritual eksorsis maro, to tumbang (seorang
perempuan) mengalami trans atau tidak sadar diri. Maro
adalah ritual transformasi hantu leluhur menjadi roh (deata),
sehingga dapat memberkati dan memberikan kemakmuran
bagi keluarganya. Dalam proses ini, to tumbang sedang
berhubungan dengan dunia atas atau surga. Tumba' adalah
perempuan yang melakukan aturan-aturan tertentu dalam
ma’bua’. Tumba’ dapat pula berarti nama kehormatan kepada

perempuan yang menjadi to tumbang. Mereka bertugas
memulai ma’bua’ (Van deer Veen 1965).
Laki-laki dan perempuan dapat menjadi to ma’dampi
(pengobat paranormal). Dua diantara informan dalam
penelitian ini tidak meneruskan menjadi to ma’dampi, dengan

242 | Prosiding PKWG Seminar Series

alasan banyak urusan rumah yang harus dikerjakan bila harus
bepergian dan mengunjungi orang sakit (Waterson 2009).
Kekuatan perempuan banyak ditampilkan dalam
kapasitasnya sebagai santa (orang suci dalam Katolik) dan
penghubung internal dengan kekuatan suci atau dunia lain.
Misalnya, peran utama perempuan menghasilkan keajaiban
dalam eksorsis dan pengobatan fisik dalam literatur hagiografi
awal abad pertengahan. Kekuatan spiritual perempuan yang
dianggap mengalami hubungan personal dengan Tuhan
dibuktikan melalui tanda-tanda suci pada tubuh atau stigmata
(Coakley 2006).
Secara khusus, sistem matrilokal berlaku di Sa dan. Daerah
ini dikenal sebagai salah satu pusat tenun Toraja. Para
penenun didominasi perempuan. Kelompok bersaudara
perempuan tinggal di satu tempat. Meskipun demikian, setiap
orang tua adalah bagian dari dua silsilah yang berbeda atau
bilateral. Wujud kekuasaan diantara mereka adalah
perempuan dari strata sosial atas, saudara perempuan tertua –
dari lima kelompok bersaudara dalam silsilah To Barana –
yang membiayai aktivitas menenun. Para penenun terlibat
dalam kompetesi, misalnya pengetahuan tentang teknik dan
keterampilan tenun, kemampuan, kecerdasan berbahasa, dan
memperoleh bahan-bahan tenun, serta keuntungan dan
distribusinya. Status ekonomi berpengaruh pada distribusi
atau pembatasan menenun, bahkan perempuan dari lapisan
sosial tinggi tidak dapat membeli benang tenun. Penyebabnya
adalah pengetahuan dan keterampilan yang kurang.
Perempuan dari lapisan sosial bawah tidak dapat berkembang
karena status sosialnya, sehingga perempuan lapisan sosial
atas sebagai patron tidak dapat menjual hasil tenun (Christou
2012).
Menenun sebagai tradisi leluhur identik dengan pekerjaan
perempuan. Beberapa perempuan berusia di atas 70 tahun
masih dapat ditemukan, khususnya di Sa dan. (asil tenun
dijual ke pengumpul yang memiliki toko-toko kerajinan di
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 243

pusat kota, seperti Rantepao (Roosihermiatie et al. 2012).
Hasil tenun juga
banyak digunakan dalam upacara
pemakaman untuk membungkus jenazah, sebagai dekorasi
rumah dan keperluan upacara (LaDuke 1981). Menenun
adalah kebanggaan bagi perempuan Sa dan dari lapisan sosial
atas. Sedangkan perempuan berpendidikan tinggi tidak
menenun karena pengaruh pengetahuan baru di sekolah,
berbeda dengan generasi sebelumnya. Para perempuan muda
di Barana melakukan tugas-tugas rumah tangga sejak usia 5
dan 6 tahun, termasuk merawat bayi dari saudaranya dan,
mulai menenun. Penenun didominasi perempuan, yang
diwariskan dari pengetahuan dan keterampilan para ibu dan
buyut perempuan.
Perempuan sebagai penenun, bertanggungjawab
memberi makan ternak babi sebagai miliknya. Mereka bahkan
menabung untuk membeli ternak ini. Babi dan tenun adalah
simbol femaleness, tanda kemakmuran dan status sosial
perempuan. Babi dan kerbau adalah hewan penting dalam
ritual Toraja, selain alasan ekonomi. Status dan kehormatan
keluarga bernilai penting di Sa dan Christou 997 .

Lamaran tradisional diajukan keluarga pihak laki-laki,
didampingi perwakilan (to messua) untuk menemui keluarga
(besar) perempuan. Mereka membawa pangngan (buah
pinang, daun sirih, kapur sirih dan tembakau) untuk melamar
perempuan. Pangngan diterima dan dikunyah, khususnya oleh
keluarga perempuan, dilanjutkan dengan beberapa
kesepakatan terkait pernikahan. Orang tua perempuan tidak
segera menerima lamaran laki-laki sebelum semua proses
alukna rampanan kapa’ selesai. Rampanan kapa’ berarti
melepaskan kapas : kapas lepas dari tangkainya. Ungkapan
ini mengacu pada pasangan menikah akan lepas dari orang
tuanya lalu mendirikan keluarga baru. Kapa’ dapat berarti
denda yang disetujui dalam proses lamaran, harus dibayar
saat salah satu dari pasangan mengajukan cerai. Kapa’ adalah
denda berupa kerbau yang harus dibayar bila bercerai dan

244 | Prosiding PKWG Seminar Series

melalui negosiasi dengan kombongan ada’ (para pemimpin
kampung), sebagai mediator di antara dua keluarga (NooyPalm 1986).
Menurut Waterson, perempuan Toraja tidak pernah
dihambat untuk mengakses pendidikan, meskipun beberapa
kasus perempuan dipaksa menikah pada usia relatif muda.
Pada masa lalu, laki-laki biasanya menikah menjelang usia 30
tahun, sedangkan perempuan 25 tahun. Pasangan diharapkan
lebih siap dewasa dan siang menikah. Laki-laki mampu
mendukung istri dan menjadi pahlawan ketika terjadi perang
antardesa di masa lampau. Kondisi sekarang memperlihatkan
kenyataan bahwa perkawinan usia muda lebih sering terjadi.
Bahkan perempuan yang menikah saat berusia 25 tahun
dianggap sudah terlalu tua mendapatkan pasangan. Terdapat
tiga dari empat perempuan yang berada dalam masalah ini.
Perkawinan antar bangsawan dan bukan bangsawan relatif
jarang ditemukan hingga kini. Namun, pada masa lalu banyak
laki-laki aristokrat berhubungan dengan perempuan dari
orang awam dan budak.
Dalam beberapa kasus pada masa lalu, bangsawan
perempuan menikah beberapa kali. Orang akan menyebutnya
pia baine tongan to’o! (itu adalah perempuan sesungguhnya!)
karena mempunyai banyak suami. Perempuan ini juga suka
berjudi seperti laki-laki, kadang-kadang ikut dalam sabung
ayam (Waterson 1995; 2009). Para perempuan dari tiga strata
sosial teratas (tana’ bulaan, tana’ bassi dan tana’ karurung)
dilarang menikah dengan orang di bawah strata sosialnya,
kecuali oleh laki-laki dari strata sosial atas, meskipun status
sosial anak akan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Pada
masa lampau, perempuan dari strata sosial atas dikenai sanksi
mati bila menikah dengan laki-laki dari strata sosial di
bawahnya (Crystal 1974). Orang tua kadangkala turut campur
dalam perjodohan. Salah satunya dalam lagu pop daerah
Toraja Pa’poraianna Tomatuammu
Kehendak Orang
Tuamu , diciptakan Abraham Pala biran. Liriknya mengenai
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 245

penolakan cinta seorang perempuan pada seorang laki-laki.
Hubungan mereka terlarang dan tidak direstui orang tua dari
perempuan, karena status sosial laki-laki dari lebih rendah
(Hicken 2010).
Suami istri petani saling berbagi pekerjaan. Laki-laki
mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat, seperti mencangkul
tanah, sementara istri menyiapkan kayu bakar untuk
memasak. Saat musim panen, perempuan mengatur isi
lumbung dan pangan keluarga. Suami yang campur tangan
dalam tugas tersebut akan diejek muane daru’ laki-laki
pelit). Pelit karena dianggap tidak ingin berbagi. Pasangan
yang telah menikah, perempuan menjadi pemilik rumah
apabila dibangun di atas tanah milik keluarganya. Suami harus
pergi bila mereka bercerai, dan dia dapat memiliki lumbung
sebagai pengganti (Waterson 1995; 2009). Bahkan, beberapa
perempuan melakukan hal-hal identik dengan laki-laki.
Misalnya, merokok, minum tuak dan duduk di tengah ritual
pembagian daging kerbau dalam upacara kematian (Hollan
dan Wellenkamp 1994; Waterson di dalam González-Ruibal
2006).
Laki-laki identik dengan kepiawaian dan otoritas berbicara,
diungkapkan dengan ma’kada muane (berbicara seperti lakilaki). Namun perempuan pun dapat digambarkan dalam
ungkapan yang sama, yaitu tegas dan berpendirian teguh.
Kemampuan berbicara juga dianggap bagian dari kepribadian
bangsawan. Salah satu informan perempuan Waterson adalah
Bine Tombang di Menduruk, keturunan bangsawan yang
dikenal tegas dalam menyelesaikan perselisihan di
kampungnya. Waterson menemukan beberapa perempuan
menjadi pemimpin di beberapa kampung selama masa prakolonial atau kolonial. Modal menyandang status sosial tinggi
dan ketiadaan peran laki-laki adalah peluang bagi para
perempuan tersebut. Perempuan yang beperan dominan di
keluarga aristokrat berpengaruh di Nanggala, dikenal dengan
sindo’ (ibu). Perempuan sebagai ibu lebih dihormati dalam
246 | Prosiding PKWG Seminar Series

upacara pemakaman. Jumlah kerbau yang di kurbankan lebih
banyak daripada suaminya. Dadi ki’ lan lino, baine umpodadiki’
(kita lahir di dunia dari rahim perempuan). Kekerasan
domestik sangat jarang ditemukan, karena bila suami tinggal
di kampung istri, orang tua dari istri atau keluarganya akan
turut campur, bahkan mungkin akan dipaksa untuk bercerai
(Waterson 1995; 2009).
Perempuan bekerja juga menjadi catatan dalam beberapa
penelitian. Menurut Departemen Kesejahteraan Sosial,
sejumlah 60% perempuan dari Toraja menjadi wanita tuna
susila (WTS) di Makassar, dari total 800-1000 orang. Alasan
ekonomi yang menjadi alasan prostitusi dibantah oleh Wijker,
yang lebih menyebut hal ini sebagai penyimpangan moral.
Pada akhir 1960-an, banyak laki-laki dan perempuan dari
Toraja menjadi buruh pabrik di Malaysia bagian timur, di
antara mereka adalah migran para gadis dan perempuan
dewasa menjadi WTS di area pabrik. Berbeda dengan Malaysia
bagian timur, di daerah Tawau, Sabah, banyak pekerja ilegal
dari Toraja tinggal di sini. Mereka menanam sayur-sayuran
untuk dijual di pasar, atau bekerja di perkebunan coklat. Tidak
ada satupun perempuan Toraja di daerah ini menjadi WTS
karena beberapa tahun sebelumnya kelompok orang tua telah
berupaya melawan industri seks ini (Mangoting 1975, dalam
de Jong 2013). Bahkan pada masa lalu, prostitusi di Toraja
telah dilakukan oleh wanita yang belum dan sudah menikah,
sehingga banyak penyakit menular seksual yang mengerikan
(Bieshaar, 1926).
Falsafah Tallu Lolona dalam Budaya Toraja
Kebudayaan Toraja dikenal falsafah tallu lolona, a’pa’
oto’na. Tallu lolona berarti tiga pucuk kehidupan yaitu
manusia, tanaman, dan hewan. Dari ketiga hal ini lolo tau
(manusia) yang paling kudus. Menurut Sandarupa (2014),
dalam teks mitos penciptaan dunia terdiri atas dua bagian,
yaitu perjalanan dewa-dewa dan ajaran agama di langit
(lalanna sukaran aluk), serta perjalanan leluhur di bumi (lalan
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 247

ada’). Teks penciptaan mengonstruksi bahwa baik nenek
manusia maupun nenek binatang dan tanaman berasal dari
sumber yang sama (sauan sibarrung), dan mereka bersaudara
(sangserekan). Namun setelah turun ke bumi mereka
melaksanakan fungsi secara berbeda-beda.
Pada mulanya Puang Matua menciptakan satu kelompok
moyang yang genap delapan (to sanda karua), yaitu nenek
manusia Datu Laukku , nenek pohon ipo atau ipuh Allo
Tiranda), nenek kapas (laungku , nenek hujan pong pirikpirik), nenek burung (Menturini), nenek kerbau (Manturini),
nenek besi (riako), dan nenek padi (takkebuku). Sisa-sisa
penciptaan-Nya dituangkan ke lembah-lembah yang kemudian
tumbuh sebagai hutan-hutan. Inti ajaran dalam teks ini, kata
tua-tua adat, ialah manusia tidak boleh serakah dan
memperlakukan alam secara semena-mena karena mereka
bersaudara.
Sebelum masuk hutan (pangngala’ tamman), upacara
harus dilakukan untuk meminta izin kepada nenek moyang
yang bersangkutan agar tidak mengakibatkan kematian.
Pengelolaan relasi berbagai elemen kosmos ini yang diatur
Aluk bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang
meliputi upacara aluk, larangan (pemali), kebenaran umum
(sangka’), dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna).
Dalam mitos turunnya manusia pertama (Pong Mula Tau) di
Rura (sekarang Enrekang) Tangdilino menyuruh Pong Bulu
Kuse dan Pong Sabannnangna masuk ke dalam hutan
menebang pohon tanpa melakukan upacara, maka semua
pohon menyebutkan namanya yang menyebabkan kematian
(kada beko) pada manusia kalau mereka menebangnya.
Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan nonsaudara. Reproduksi relasi anak dara-anak muane, relasi
persaudaraan tampak dalam kata-kata yang mematikan (kada
beko), dan kata-kata yang menghidupkan (kada tuo). Apabila
manusia menggunakan pohon yang ada dalam hutan tanpa
melakukan mediasi (ritual likaran biang) yaitu upacara
248 | Prosiding PKWG Seminar Series

kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka
berakibat kesulitan bagi manusia. Sebaliknya apabila akan
menggunakan kayu dari hutan untuk kebutuhan manusia
dengan melakukan ritual likaran biang, maka pohon-pohon itu
akan memberikan rezeki.
Kebudayaan Toraja Menyangkut Kelahiran Bayi
Kehidupan manusia Toraja selalu berkaitan dengan
tongkonan. Proses manusia dalam tongkonan, diawali dari
proses melihat kelahiran yang bisa diharapkan dapat
meneruskan generasi dalam tongkonan. Memmata diriai suru’
menjadi manusia seutuhnya. Begitu besar penghormatan
kepada aluk sola pemali, maka dalam upacara ma’bua’ (ritus
tertinggi dalam rambu tuka’) aluk dipandang sebagai sebagai
oknum yang diberi makan dan disapa Manta
: 7.

Perkembangan taraf hidup adalah berkat yang berjalan
sesuai aturan. Apabila lahir seorang bayi sesuai aturan
kegembiraan, maka orang akan berteriak dalam bahasa Toraja
untuk anak perempuan melale’, untuk anak laki-laki dalam
bahasa Toraja disebut sumappuko. Pada proses ini, dapat
diperkirakan apakah kehidupan bayi akan sejahtera
(lama’matasiaraka lalanna). Apabila bayi tersebut sehat, maka
setelah tiga atau empat malam dilakukanlah ma’kuku’ sesuai
aturan untuk kehidupan manusia (surusanna lolo tau). Dalam
acara tersebut, keluarga dapat menyembelih ayam atau babi.

Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah
tangga, misalnya ada yang sakit atau mengalami bencana,
maka perlu diadakan refleksi diri yang disebut ma’biangbiang, mangngaku kumba’, mangure tanda tinoran. Dalam
kondisi seperti ini, dilakukan beberapa ritus, meskipun saat ini
hanya dijumpai pada daerah tertentu misalnya Tikala :
1. Berobat kepada orang yang menjadi penyembuh yaitu Datu
Mengkamma dan )ndo Belo Tumbang;
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 249

2. Menemui pemangku adat (Ma’biang-biangngi lako to
minaa), dan bila hal itu berkelanjutan (menahun) maka
perlu diadakan penyembuhan melalui ritus ma’bugi’.
Dengan demikian harmoni tallu lolona dapat terwujud dan
sekaligus sebagai kelayakan dan kebebasan dari hal-hal
yang menghambat kesejahteraan keluarga (to ma’ rapu);
dan
3. Menyangkut pemali (larangan). Dalam budaya Toraja,
disebutkan bahwa anak-anak tidak boleh di pintu, karena
nanti kena penyakit paru-paru (balombongan). Jika
membawa anak keluar rumah (jalan) harus bersama
dengan daun-daun dalam bahasa Toraja disebut (sualang,
kunyit, atau karingo), dengan maksud supaya tidak tammutammuan (roh-roh jahat tidak menggangu). Bayi kalau baru
lahir harus dibungkus rapat (dibi’bi) supaya tidak terserang
mata tinggi (sittaran). Bayi dimandikan dengan cara
diletakkan di kaki, sementara sang Ibu duduk dengan kaki
diluruskan ke depan.
Bayi yang mengalami demam sebaiknya diberi minyak
kelapa yang dicampur dengan bawang merah, agar
panasnya turun. Zaman dulu ibu sering memberi makan
bayinya dengan mengunyah (ditamman) terlebih dahulu
kemudian memasukkan ke dalam mulut bayinya dengan
maksud supaya tetap ada hubungan emosional dengan
bayinya. Ibu hamil tidak boleh makan jantung pisang (puso)
karena nanti anaknya semakin mengecil (passa puso). Ibu
hamil harus kerja misalnya menumbuk padi (ma’lambuk)
untuk melancarkan persalinan.
LSM Kombongan dan Kesehatan Reproduksi
Kombongan adalah LSM yang didirikan pada tanggal 17 Mei
1998, dikukuhkan dengan Akte Notaris No. 06, dan telah
terdaftar pada kantor pengadilan negeri Makale Tana Toraja
Nomor
02/BHK/III/2003,
Kesbang
No.
220/150/KKL/VI/2003, dan Dinas Kesejahteraan Sosial No.
250 | Prosiding PKWG Seminar Series

133/460/VII/DKS/2004. Kombongan sebagai salah satu
lembaga swadaya masyarakat telah memberikan peran yang
positif dalam mendukung kondisi-kondisi perempuan. Ada
lima isu yang menjadi perhatian Kombongan, salah satunya
adalah kesehatan reproduksi perempuan. Progam Kombongan
menyangkut kesehatan reproduksi perempuan dimaksudkan
agar perempuan dapat memahami bagaimana memiliki bayi
yang sehat, dan dapat melahirkan dengan selamat.
Dengan Semangat Kemitraan , Kombongan sebagai LSM
berperan aktif dalam kegiatan pembangunan melalui
pendekatan serta strategi pendampingan yang efektif dan
berkesinambungan, khususnya menguatkan masyarakat
dalam memerangi kemiskinan,
ketertinggalan dan
ketidakdilan.
Kombongan juga merupakan lembaga konsultasi yang
memiliki tatanan berkarya dan berpartisipasi dalam
mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan. Cara yang
ditempuh yakni menumbuh-kembangkan hak masyarakat dan
penguatan sumber daya masyarakat itu sendiri secara arif dan
berkesinambungan. Masyarakat didampingi, dikuatkan dan
digerakkan untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam
upaya menggapai kemandirian yang mengarah pada suatu
tatanan kehidupan masyarakat sipil yang demokratis.
Kombongan adalah lembaga independen yang berkarya
di masyarakat tanpa membedakan suku, agama dan ras serta
tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik. Dengan Visi
mewujudkan masyarakat sipil yang mandiri, demokratis dan
berkeadilan gender.
Persoalan kesehatan reproduksi bagi perempuan Toraja
sangat erat kaitannya dengan pengetahuan-pengetahuan lokal
dalam budaya Toraja, khususnya dalam falsafah Toraja
keharmonisan hubungan antara tiga komponen, yaitu
kehidupan manusia, kehidupan hewan, dan kehidupan
tanaman dalam budaya Toraja dikenal Tallu Lolona. Agar
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 251

manusia selamat menjalani kehidupan, termasuk dalam
melahirkan bayi, maka manusia perlu menjalin hubungan yang
harmonis dengan hewan, dan tanaman.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Makale
(Kab. Tana Toraja) dan Rantepao (Kab. Toraja Utara) pada
Desember 2014, disimpulkan bahwa kondisi umum yang
tampak di Toraja adalah bahwa hampir semua rumah tangga
di Toraja memiliki anak di atas lima orang bahkan ada yang
sampai 14 orang se-ibu, se-bapa. Di samping ada yang
bersaudara se-ibu atau se-bapa saja. Kondisi ini terutama
dijumpai pada era 50-60—an. Yang lebih menarik lagi adalah
dari keluarga-keluarga tersebut, justru umumnya sukses
mendidik anak-anak mereka. Kondisi ini menarik untuk dikaji
karena saat itu, belum dikenal penanganan kelahiran secara
medis, kalaupun ada tenaga medis masih sangat langkah dan
biaya tidak terjangkau. Apa yang menyebabkan ibu-ibu dapat
melahirkan dengan sehat? Bayi yang dilahirkan sehat, dan
cerdas. Dari observasi tersebut diketahui bahwa pada sekitar
tahun 50-60-an sekitar 90% ibu yang melahirkan sehat.
Dengan demikian diduga bahwa mungkin ada pengetahuanpengetahuan lokal yang diterapkan sehingga kondisi seperti
yang telah diuraikan di atas dapat terjadi.
Kombongan telah melakukan beberapa kegiatan terkait
kesehatan reproduksi:
1. Pendidikan sex dan pengetahuan tentang fungsi alat
reproduksi;
2. Layanan kesehatan yang belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh masyarakat, termasuk layanan kesehatan
reproduksi
Layanan kesehatan reproduksi bertujuan meningkatkan
kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan
fungsi reproduksi; meningkatnya hak dan tanggungjawab
sosial perempuan dalam menentukan kapan hamil, jumlah
dan jarak kehamilan; serta meningkatnya peran dan
252 | Prosiding PKWG Seminar Series

tanggungjawab sosial laki-laki terhadap akibat dari
perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan
kesejahteraan pasangan dan anaknya. Dukungan yang
menunjang perempuan untuk membuat keputusan yang
bekaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan
informasi proses dan pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara
optimal.
Persoalan kesehatan reproduksi membutuhkan Intervensi
pemerintah dan negara, bisa melalui peraturan perundangundangan, kebijakan yang terimplemantasi dalam bentuk
program/kegiatan. Misalnya program KB, undang-undang
yang berkaitan dengan masalah genetik, dan lain sebagainya;
Tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana, serta terjangkaunya secara ekonomi oleh
kelompok perempuan dan anak-anak; Kesehatan bayi dan
anak-anak terutama bayi dibawah umur lima tahun; Dampak
pembangunan ekonomi, industrialisasi dan perubahan
lingkungan turut mempengaruhi kesehatan reproduksi. Selain
dari itu, Faktor sosial-ekonomi dan demografi, terutama
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan
ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses
reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil adalah
persoalan yang dialami masyarakat terkait dengan kesehatan
reproduksi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses
reproduksi harus didahului oleh hubungan biologis, maka hal
yang perlu dicapai dari program kesehatan reproduksi adalah
meningkatkan kesadaran kemandiriaan perempuan dalam
mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk
kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya
dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju peningkatan
kualitas hidupnya. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu
dijabarkan beberapa hal yang hendak dicapai terlebih dahulu,
Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 253

yaitu: Meningkatnya kemandirian perempuan dalam
memutuskan peran dan fungsi reproduksinya; meningkatnya
hak dan tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan
kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan; meningkatnya
peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari
perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan
kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya; dukungan yang
menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan
dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan
pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai
kesehatan reproduksi secara optimal. Tujuan di atas ditunjang
oleh undang-undang No. 23/1992, bab II pasal 3 yang
menyatakan: Penyelenggaraan upaya kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat , dalam bab ))) pasal 4 Setiap orang menpunyai
hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal .
Sesuai dengan undang-undang Nomor 23/1992 dan
undang-undang
Nomor10/1992,
Strategi
kesehatan
reproduksi nasional diarahkan pada rencana intervensi untuk
mengubah perilaku didalam setiap keluarga. Tujuannya adalah
menjadikan keluarga sebagai utama dan pintu masuk upaya
promosi pelayanan kesehatan reproduksi.
Beberapa rekomendasi penting meliputi:
a. Perlu dilakukan intervensi terhadap pembentukan
peraturan dan kebijakan pemerintah daerah dalam
kerangka memperkuat upaya mewujudkan kondisi yang
diharapkan.
b. Membentuk dan memperkuat basis kelompok perempuan
dan Kader perempuan (meningkatkan kapasitas) di semua
wilayah untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran
perempuan serta terpenuhinya hak-hak perempuan.
c. Perlu ada kemauan (political will) Penyelenggara
Pemerintahan (Pemerintah Daerah dan DPRD) untuk
254 | Prosiding PKWG Seminar Series

membuat kebijakan (bisa dalam bentuk Peraturan Daerah
atau Peraturan Bupati dan program/kegiatan SKPD) dan
memberlakukan secara konsisten untuk mengatasi
hambatan
dalam
penanggulangan
kemiskinan.
Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program serta
kebijakan pemerintah hendaknya berjalan secara
transparan, akuntabel dan partisipatif sehingga fungsi dan
peran masyarakat berjalan secara efektif.
d. Mempertajam pemahaman gender kepada semua instansi
Pemerintah Daerah, termasuk instansi vertikal yang ada di
Kabupaten Tana Toraja.
e. Mengembangkan program/kegiatan responsif gender
f. Membangun kemitraan yang efektif dengan lembaga –
lembaga keswadayaan (LSM) dan media massa untuk
menciptakan pola pikir yang responsif gender.

DAFTAR PUSTAKA
Adriani, N. dan ALB. C. Kruijt, De Bare’e-Sprekende Toradja’s
van Midden-Celebes, Batavia, Landsdrukkerij, 1912.
Bieshaar, W. 1901-1926, De Gereformeerde Zendingsbond Na 25
Jaren, Den Haag, Gedenboek, 1926.
Christou, Maria Sisters and Others: The Power and Politics of
Weaving Supplementary Weft Textiles in a Sa'dan Toraja
Village , Textile Society of America Symposium Proceedings,
2012, Paper 667.

Christou, Maria An Ethnographic Study of the Loom and
Weaving of the Sa’dan Toraja of To’ Barana’ (MA. Thesis,
tidak dipublikasikan), Clothing and Textiles, Department of
Human Ecology, University of Alberta, 1997.

Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 255

Coakley, John W. Women, Men, and Spiritual Power: Female
Saints and Their Male Collaborators, New York, Columbia
University Press, 2006.
Crystal, Eric Cooking Pot Politics: A Toraja Village Study ,
Indonesia, 1974, No. 18, hal. 118-151.

de Jong, Edwin Making a Living between Crises and Ceremonies
in Tana Toraja: The Practice of Everyday Life of a South
Sulawesi Highland Community in Indonesia, Leiden dan
Boston, Brill, 2013.
Gasong, Dina. Sejarah Daya Tarik Tana Toraja. Yogyakarta:
Gunung Sopai, 2013.

González-Ruibal, Alfredo (ouse societies vs. Kinship-based
societies: An Archaeological Case from )ron Age Europe ,
Journal of Anthropological Archaeology, 2006, 25, hal. 144–
173, doi:10.1016/j.jaa.2005.09.002.
(icken, Andy The Wishes of Your Parents : Power Ballads in
Tana Toraja, )ndonesia , Journal of Popular Music Studies,
Vol. 22, Issue 2, 2010, hal. 198–218.
Hollan, Douglas W. dan Jane C. Wellenkamp, Contentment and
Suffering: Culture and Experience in Toraja. New York,
Columbia University Press, 1994.

(ollan, Douglas Cultures and Their Discontents: On the
Cultural Mediation of Shame and Guilt , Psychoanalytic
Inquiry,
2012,
No.
32,
hal.
570–581.
DOI:
10.1080/07351690.2012.703898.
LaDuke, Betty Traditional Women Artists in Borneo,
)ndonesia and )ndia , Woman's Art Journal, 1981, Vol. 2, No.
1, hal. 17-20.

Manta , Yohanis R. Sastra Toraja Kumpulan Kada-kada To
minaa dalam Rambu Tuka Rambu Solo , Rantepao:Sulo,
2011.

256 | Prosiding PKWG Seminar Series

Nooy-Palm, H.M. )ntroduction to the Sa'dan Toraja People and
Their Country , Archipel, Vol. 10, 1975, hal. 53-91. doi :
10.3406/arch.1975.1241.
Nooy-Palm, Hetty, The Sa’dan Toraja; A study of their social life
and religion. Vol. I: Organization, Symbols and, Beliefs, The
Hague, Marthinus Nijhoff. [KITLV, Verhandelingen 87.]
1979.
Nooy-Palm, Hetty, The Sa’dan Toraja; A study of their social life
and religion. Vol. II: Rituals of the East and West, Dordrecht:
Foris. [KITLV, Verhandelingen 118.] 1986.
Roosihermiatie, Betty et al. (Ed.), Buku Seri Etnografi
Kesehatan Ibu dan Anak 2012: Etnik Toraja Sa’dan, Desa
Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja
Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Humaniora,
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI, 2012.
Sandarupa, Stanislaus. Pembangunan Pariwisata Berbasis
Tallu Lolona” disampaikan dalam Seminar Pariwisata
Berbasis Tallu Lolona dalam rangkaian Toraja International
Festival yang diselenggarakan oleh PEMDA Toraja di Ulu
Salu Toraja pada tanggal 12 – 13 Agustus 2014.

Veen, H. van der, The Sa dan Toradja Chant for the Deceased ,
Springer-Science+Business Media, 1966.

Veen, (. van der, The Merok Feast of the Sa’dan Toradja ,
Springer-Science+Business Media, B.V. , 1965.

Waterson, R. (ouses, Graves and the Limits of Kinship
Groupings among the Sadan Toraja , Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, 1995a, 151, no. 2, Leiden, hal.194217.
Waterson, Roxana Entertaining a Dangerous Guest: Sacrifice
and Play in the Ma'pakorong Ritual of the Sa'danToraja ,
Oceania, 1995b, Vol. 66, No. 2, hal. 81-102.

Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo | 257

Waterson, Roxana The Contested Landscapes of Myth and
(istory in Tana Toraja dalam James J. Fox (ed.), The Poetic
Power of Place: Comparative Perspectives on Austronesian
Ideas of Locality, Canberra, ANU E Press, 2006.
Waterson, Roxana, Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in
Transformation, Leiden, KITLV, 2009.
Zerner, Charles Signs of the Spirits, Signature of the Smith:
)ron Forging in Tana Toraja , Indonesia, Vol. 31, 1981, hal.
89-112.

258 | Prosiding PKWG Seminar Series