PENDAHULUAN Pengakuan Model Noken Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilukada Lanny Jaya Papua Dan Implementasinya Terhadap Sistem Pemilu Di Indonesia.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Lat ar Belakang M asalah
Sejak am andem en UUD 1945 sist em ket at anegaraan di Indonesia dalam
m em ilih anggot a DPR, DPRD, DPD, Presiden dan W akil Presiden dilaksanakan
m elalui m ekanism e Pemilu secara langsung, m eskipun sebelumnya pengisian
lem baga Legislat if dan Eksekut if t ersebut pernah menggunakan sist em
campuran yait u sebagian dipilih dan sebagian diangkat .
Pem ilihan Um um

secara langsung ini

kem udian diikuti dengan

pem ilihan kepala daerah secara langsung set elah disahkanya Undang-Undang
Nomor 32 t ahun 2004 t ent ang Pem erint ahan Daerah yang secara t eknis
diat ur dalam Perat uran Pem erint ah Nomor 6 t ahun 2005 t ent ang Tat a Cara
Pem ilihan, Pengesahan, Pengangkat an, dan Pem berhent ian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala daerah sebagaimana t elah diubah, t erakhir dengan
Perat uran Pemerint ah Nomor 49 Tahun 2008.


Secara eksplisit ket ent uan

pilkada langsung t ercerm in dalam cara pem ilihan dan asas-asas yang
digunakan dalam penyelenggaraan pilkada.

1

32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) disebut kan:

1

2

Dalam Undang-Undang Nom or

2

Joko J. Prihat moko, 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosof i, Sist em dan Problem a
Penerapan di Indonesia, Yogyakart a, Pust aka Pelajar, hlm. 1

R.I., Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 t ent ang “ Pem er int ahan Daerah” .

1

“ Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam sat u pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokrat is berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil” .
Selanjutnya dalam

Undang-Undang Nom or

15

Tahun

2011

t ent ang

Penyelenggara Pemilihan Umum, disebut kan dalam Pasal 1 angka 4 bahw a:

“ Pem ilihan Gubernur, Bupat i, dan Walikot a adalah Pem ilihan untuk
m emilih gubernur, bupati, dan walikot a secara demokrat is dalam
Negara Kesat uan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” .
Landasan pasal ini sebagai koreksi at as Pem ilukada t erdahulu yang
m enggunakan sist em perwakilan oleh DPRD, sebagaimana diatur dalam
ket ent uan Undang-Undang Nom or 22 Tahun 1999 t ent ang Pemerint ahan
Daerah dan Perat uran Pem erint ah Nomor 151 Tahun 2000 t ent ang Tat a Cara
Pem ilihan, Pengesahan dan Pem berhent ian Kepala daerah dan Wakil Kepala
Daerah.

3

Pem ilihan Kepala Daerah secara langsung adalah aw al dari perubahan
kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) bahw a “ Gubernur, Bupat i, dan W alikot a
m asing-masing sebagai kepala pem erint ahan provinsi, kabupat en dan kot a
dipilih secara dem okrat is” . M akna demokrat is ini kem udian dijabarkan lebih
lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahw a pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat berasaskan asas luber
dan jurdil. Dengan dasar pert im bangan set elah UUD 1945 diam andemen,

t erjadi perubahan dalam sist em pemilu DPR, DPRD dan DPD, sert a Presiden

3

Joko J. Prihat moko, Op. Cit. hlm. 1- 2.

2

dan Wakil Presiden yang dipilih dengan cara langsung, dengan pert im bangan
inilah Pemilukadapun dim asukan dalam rezim Pem ilu secara langsung.
Sim plikasi at au penyederhaan logika t erlihat dari pandangan jika M PR
(anggot a DPR t ermasuk di dalamnya) saja t ak lagi memilih Presiden dan W akil
Presiden, m aka t ak lagi t ersedia alasan untuk mem pert ahankan Pilkada
4

dengan sistem perw akilan di DPRD.

Sejarah Perjalanan pem ilukada t idak t erlepas dari pelaksanaan pemilu
saat


itu. Pem ilu adalah produk reformasi yang didesakan kalangan

m ahasisw a, int elekt ual, dan kalangan partikelir lain, t erut am a sejak t ahun
1997 dan 1998, pada era reform asi Pem ilu merupakan instrumen sirkulasi
kepem im pinan nasional dan daerah.

5

Form asi kekuasaan yang semula
6

didominasi kekuat an Orde Baru, berubah ke arah yang lebih variat if.
Bila diopt ik pelaksanaan

Pemilihan

Um um

Kepala daerah


at au

Pem ilihan umum adalah bagian dari pelaksanaan prinsip dem okrasi yang
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
oleh karenanya negara yang m enyat akan diri sebagai negara dem okrasi
dalam konst itusinya, past i m elaksanakan kegiat an pem ilu unt uk m emilih
7

pem im pin negara at au pejabat publik yang baru. W akil-wakil rakyat it ulah
yang menent ukan corak dan bekerjanya pemerintahan, sert a t ujuan apa yang

4
5

6
7

Ibid, hlm. 8
Nur Hidayat Sardini, 2011, Rest orasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakart a, Fajar
M edia Press, hlm. 2

Ibid
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konst it usi Berbagai Aspek Hukum , Jakart a, Prenada
M edia Group, hlm 156.

3

hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek.

8

Unt uk

m enent ukan pejabat publik, rakyat lah sebagai penentu. Sepert i yang
dikem ukakan oleh M oh. Kusnardi dan Harmaily ibrahim, dalam paham
kedaulat an rakyat (democracy), rakyat lah yang dianggap sebagai pemilik dan
pem egang kekuasaan t ert inggi dalam suatu negara.

9

Di Indonesia ist ilah dem okrasi secara eksplisit disebut kan pada pasal 33

ayat (4), pasal 1 ayat (2) dalam anak kalim at ‘’kedaulatan berada dit angan
rakyat ’’ dan pasal 18 ayat (4) dalam anak kalim at disebut kan ‘ ’dipilih secara
10

dem okrat is’’. Demokrasi

dijalankan

dijalankan berdasarkan dem okrasi.

11

berdasarkan

hukum

dan

hukum


Keduanya diibarat kan sebagai dua sisi

dari sekepeing m at a uang yang t idak dapat t erpisahkan. Perubahan UUD
1945 t elah m erubah kehidupan bernegara yang dem okrat is dan jam inan atas
12

hak asasi manusia bagi w arganya.

Dalam kont eks penafsiran konst it usi, menurut Aidul Fit riciada Azhari
bahwa ket ent uan Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 m engandung
pet unjuk m engenai hubungan ant ara dem okrasi dan penafsiran. Penafsiran
13

at as dem okrasi harus mengacu pada UUD. Konst ruksi ini jelas menunjukan
Perspekt if int ernal bersifat t ert ut up karena mengacu sepenuhnya pada t eks
8

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengant ar Ilmu Hukum Tat a Negara , Jakart a, Raja Gr af indo Persada,
hlm. 414
9

Ibid, hlm. 413
10
Taufiqurrohman Syahuri, Op.cit ., hlm. 156
11
Abdul Fadjar M ukt i, 2006, Hukum konst it usi dan M ahkamah Konst it usi, Jakart a, Konpress, hlm.
53
12
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit . hlm. 158.
13
Aidul Fit riciada Azhar i, 2010, Tafsir Konst it usi, Pergulat an M ew ujudkan Demokr at is di Indonesia,
Solo, Jagat Abjad, hlm. 459

4

UUD itu sendiri (self-referent ial ). Dari bunyi pasal ini t erdapat pengut am aan
pada

t eks

t ert ulis


dibandingkan

pada

t eks

konst itusi

secara

luas,

pengut am aan at as UUD sebagai t eks konst it usi t ert ulis dapat menjam in
kepast ian hukum dan st abilit as. Tet api, bila dim aknai secara det erm ist ik akan
m engimplikasikan

UUD

yang

beku

dan

tidak

responsif

t erhadap

perkem bangan m asyarakat . Oleh karena it u, t et ap diperlukan ruang bagi
penafsiran yang bersifat krit is agar pemaknaan at as kedaulat an rakyat at au
dem okrasi

agar

ket ent uan

t ersebut

tidak m elahirkan

pret ensi

pada

konstitusionalism e dalam bentuk legalism e yang berlebih-lebihan yang just ru
inkonsist en dengan prinsip kedaulat an rakyat at au dem okrasi it u sendiri.

14

Bila kit a lihat dem okrasi di negara kit a adalah dem okrasi yang akan
dit at a sert a dibingkai dengan norm a-norm a konst it usi yang t erdapat dalam
15

UUD 1945.

Dem okrasi Indonesia t idak identik dengan ‘’vox populi dei’’

(suara rakyat adalah suara tuhan), juga dem okrasi Indonesia t idak sinonim
dengan ‘’suara mayorit as adalah suara kebenaran’’.

16

Ukuran kebenaran

dalam demokrasi Indonesia adalah norma hukum konst itusi. Oleh karena it u,
agar derap demokrasi dapat berput ar sesuai sum bu demokrasi, m aka
dem okrasi it u harus dijaga.

17

Disinilah posisi M ahkam ah Konst itusi (M K)

sebagai penjaga konst itusi, harus senant iasa m enjaga dem okrasi sebagai

14
15
16
17

Ibid, hlm. 460

Taufiqurrohman Syahuri, Op.cit , hlm. 175
Ibid
Ibid, hlm. 176

5

18

pelaksana dari norm a konstitusi.

Nam un bagaimanakah bila M ahkamah

Konstitusi (M K) sebagai penjaga konst itusi yang senantiasa m enjaga
dem okrasi sebagai pelaksana dari norm a konst itusi, nam un dalam m em utus
suat u perkara m enim bulkan m ulti t afsir bagi publik t erhadap suat u putusan
yang inkonsist ensi dengan produk undang-undang.
Hal ini t erjadi pada put usan dengan nomor perkara 85/ PHPU.D-IX/ 2011,
t ent ang gugat an perselisihan pem ilukada Kabupat en Lanny Jaya Papua yang
diajukan oleh pasangan calon Bupati dan W akil Bupati Briur W enda dan
Solayen M . Tabuni. Pem ilihan umum kepala daerah yang secara nasional
sudah diat ur dalam ket ent uan perundang-undangana yang berasaskan Luber
dan Jurdil, namun apa yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Kabupat en
Lanny Jaya Papua pada pem ilukada jauh dari asas luber dan jurdil, karena
Pem ilukada yang dilaksanakan masih m enggunakan t at a cara adat istiadat
(M odel Noken).
Pem ilukada dengan t at a cara adat sebelum nya juga pernah t erjadi pada
pem ilu di Yahukim o Papua dengan nomor perkara 47-81/ PHPU.A-VII/ 2009,
yang sacara implisit Hakim M ahkam ah Konstitusi m engakui Pem ilu dengan
t at a cara adat t ersebut .

At as dasar putusan ini, m emunculkan suatu

yurisprudensi baru dalam t at anan hukum, sebagai w ujud t erjaminnya
m asyarakat adat dalam m engembangkan nilai-nilai luhur budaya.

18

Ibid

6

M ekanism e pem ilihan secara adat adalah pencont rengan kert as suara
diw akilkan at au dimandat kan kepada kepala-kepala suku.

Pencont rengan

t idak dilakukan di dalam bilik suara, dan kert as suara yang dicont reng
t ersebut t idak dimasukkan ke dalam kot ak suara, t api dim asukkan ke dalam
t as khas orang Papua yang disebut “ Noken” .

19

Tat a cara yang demikian ini

dikenal dengan pemilihan “ M odel Noken ” yang m erupakan sist em pemilihan
20

yang dilakukan m asyarakat adat di Papua.

Pem ilihan model noken sangat kont radiksi dengan undang-undang
pem ilihan umum kepala daerah dan berim plikasi pada sist em pemilu yang
t elah diat ur secara nasional.

M eskipun m enim bulkan kont radiksi karena

bert ent angan dengan asas pemilihan umum langsung, umum , bebas, rahasia
dan jurdil,

nam un hasil putusan yang dilakukan oleh Hakim M ahkam ah

Konstitusi secara im plisit mengakui dan mengakom odir sist em pemilukada
secara adat -ist iadat t ersebut .
Dapat dideskripsikan hasil putusan Pem ilukada Lanny Jaya oleh
M ahkamah Konstitusi t anggal 23 Agust us 2011 merupakan bentuk akom odasi
kearifan lokal masyarakat

adat

set empat

dalam melaksanakan pest a

dem okrasi. Bagi M ahkamah Konst itusi, pem ilihan umum dengan kesepakat an
w arga at au aklamasi, merupakan model pem ilihan yang sesuai dengan

19

20

Yance Ar izona, “ Konst it usional Noken” Jurnal Konst it usi Pusako Universit as Andalas Volum e III
Nomor 1, Juni 2010. Kerjasama M ahkamah Konst it usi Republik Indonesia dengan Pusat St udi
Konst it usi Fakult as Hukum Universit as Indonesia. 1 ., Juni 2010.
Ibid., hlm. 2

7

budaya dan adat set em pat yang harus dipahami dan dihorm ati.

21

Pendapat

serupa juga disam paikan oleh M oh. M ahfud M D selaku Ket ua M ahkamah
Konstitusi (M K) saat itu, bahw a pemilu yang dilaksanakan di Papua untuk
akan datang agar dibuat aturan khusus mengenai penyelenggaraan pemilu.
Hal itu diperlukan karena t erdapat perbedaan kultural t erkait m et ode unt uk
22

m elakukan pem ilihan.

Hasil putusan M ahkam ah Konst it usi yang m engakomodasi pemilihan
m odel adat, merupakan langkah responsif yang melihat hukum sebagai
sesuat u yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, dapat dikat akan
bahwa put usan M ahkam ah Konst it usi sebagai konst ruksi hukum dalam
m em bent uk logika hukum dengan pendekat an int erpret asi dan rujukan
lit erat ur. Namun dari putusan ini m em buat kit a berpikir t ent ang kerangka
pem ikiran, int erpret asi at au penafsiran sert a paramet er yang digunakan
sebagai

dasar

pert imbangan

Hakim

M ahkam ah

Konst itusi

dalam

m em ut uskan pokok perkara sehingga m engakom odir t at a cara pemilu yang
dilaksanakan dengan cara adat (M odel Noken).
Bentuk akom odasi oleh M ahkamah Konst itusi, m emberikan gam baran
bagi kit a bahw a dalam pembent ukan suatu produk undang-undang agar
m em pert im bangkan

21

22

fakt or

sosiologis em piris kebudayaan

masyarakat

ht t p:/ / log.viva.co.id/ new s/ read/ 70074-mk__pemilu_yahukimo diunduh t anggal 20-07 2013,
pukul 14.15.
ht t p:/ / news.det ik.com/ read/ 2009/ 06/ 25/ 194002/ 1154218/ 700/ mahfud-m d di unduh t anggal
20-07-2013. pukul 13.50.

8

set em pat , sebagaim ana diam anat kan dalam pasal 32 ayat (1) UUD 1945
bahwa “ Negara m em ajukan kebudayaan nasional Indonesia dit engah
peradaban

dunia

dengan

menjam in

kebebasan

m em elihara dan mengem bangkan nilai-nilai budayanya” .

m asyarakat

dalam

23

Tepat bila Friedrich Carl von Savigny m enggam barkan bahw a hukum
adat at au kebiasaan m erupakan karakt er suat u bangsa.

Hukum hanya

cerminan dari volkgeist . Oleh karena it u, hukum adat yang t umbuh dan
berkem bang dalam rahim volkgeist , harus dipandang sebagai hukum
kehidupan yang sejati.

24

Nam un disi lain, juriprudence di Indonesia yang di proklam asikan pada
t anggal 17 Agustus 1945 masih m enganut posit ive jurisprudence yang
berlat ar belakang hukum eropa kont inent al. Ini berart i set iap hukum posit if
dihasilkan dari pem bentuk hukum, yang dit entukan secara t egas dan sem ua
hukum positif oleh yang berkuasa at au badan yang berw enang untuk it u,
sehingga konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan
pem aham an hukum sebagai perint ah at au kom ando.

25

Putusan M ahkam ah Konst itusi dengan pendekat an int erpret asi Hakim
dalam perspekt if aliran positivisme Teori Hukum M urni (Pure t heory of Law )
Hans Kelsen, t entu bert olak belakang karena m enimbulkan kont radikt if.

23
24

25

R.I, Undang-Undang Dasar 1945 , Pasal 32.
Bernar d L Tanya, Yoan N. Simanj unt ak, dan M arkus Y.Hage, 2010, Teori Hukum, St rat egi Tert ib
M anusia Lint as Ruang dan Generasi, Yogyakar t a, Gent a Publishing, hlm. 103
Khudzaif ah Dimyat i, 2010, Teorisasi Hukum, St udi t ent ang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Yogyakart a, Gent a Publishing, hlm. 71-72,

9

Kelsen berpendapat bahw a int erpret asi hukum berhubungan dengan norm a
26

yang non empiris.

Norm a t ersebut m em iliki st rukt ur yang m em bat asi

int erpret asi hukum. Bahw a hukum tidak dibat asi oleh pert imbangan m oral.

27

Kelsen m emisahkan ant ara hukum dan m oralitas dan juga pemisahan ant ara
hukum dan fakt a.

Teori ini mencari dasar dasar-dasar hukum sebagai

landasan validitas, t idak pada prinsip-prinsip met a-juridis, t et api m elalui
suat u hipot esis yuridis, yaitu suatu norm a dasar, yang dibangun dengan
analisis logis berdasarkan cara berpikir yurist ik akt ual.

28

Di sini t erjadi pert em uan ant ara definisi kebenaran m enurut hukum
29

berhadapan dengan klaim kebenaran menurut lokal.

Suat u sisi dalam

konstitusi dit egaskan bahw a negara Indonesia adalah Negara Hukum
(Recht sst aat ),dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang m em egang
kom ando t ert inggi dalam penyelenggaraan negara.

30

Di sisi lain M asyarakat

adat Lanny Jaya Papua yang sudah t erbiasa dengan pola kebiasan sepert i
bahasa, t at a cara upacara adat, simbol-simbol komunikasi dihadapkan
dengan hukum nasional sebagai bentuk baru dari t at anan kehidupan
m asyarakat set em pat untuk dit erim a m enjadi norma yang harus dipat uhi.

26

27
28
29
30

Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at , 2012 Cet akan Kedua,Teori Hans Kelsen t ent ang Hukum , Jakart a,
Konst it usi Press (Konpres), hlm. 8, lihat M ichael Green, “ Hans Kelsen and Logic of Legal
Syst ems” , 54 Alabama Law Review 365 (2003).
Ibid, hlm. 9
Ibid, hlm. 10-11

Sat jipt o Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif , Jakart a, Kompas M edia Nusant ara, hlm. 112
Jimly Asshiddiqie, 2011, Konst it usi dan Konst it usionalism e Indonesia, Jakart a, Sinar Grafika,
cet akan kedua, hlm. 57

10

M enurut Sat jipto Rahardjo, Indonesia berbeda dibanding dengan
negara-negara yang sudah hampir urbanized secara t ot al.

31

M asih t erlalu

banyak kant ong-kant ong lokal t radisional yang ada di Indonesia. Jarak ant ara
Jakart a dan Papua t idak hanya bersifat fisik, t et api budaya, yang m ungkin
32

m alah berbilang abad.

Keadaan yang dem ikian ini m em but uhkan kearifan

berhukum t ersendiri dan tidak bisa m enerapkan hukum secara seragam
33

unt uk seluruh Indonesia.

Lat ar belakang m asalah inilah yang harus dikaji untuk dijadikan konsep
hukum nasional dalam pemilukada, t anpa menghilangkan kebiasaan at au
adat -istiadat , simbol-simbol

yang t elah

tumbuh

dan

berkembang di

m asyarakat adat Lanny Jaya Papua.
B. Rum usan M asalah
Berdasarkan lat ar belakang masalah di at as dirum uskan permasalahan
sebagai berikut :
1. M engapa Hakim M ahkam ah Konstitusi m engakom odir m ekanism e secara
adat -istiadat

pada Pem ilukada Kabupat en Lanny Jaya Papua dan

bagaim ana param et ernya?
2. Bagaim anakah Perspekt if Teori Hukum M urni Hans Kelsen at as put usan
M ahkam ah Konstitusi Nom or 85/ PHPU.D-IX/ 2011?

31
32
33

Sat jipt o Rahardjo, Op.cit , hlm. 118.
Ibid
Ibid

11

3. Bagaim anakah implikasi put usan Hakim M ahkamah Kont itusi t erhadap
sist em Pem ilu di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk m enget ahui kerangka pemikiran Hakim M ahkam ah Konst itusi dan
param et er yang digunakan sehingga m engakom odir pemilukada dengan
mekanisme adat-istiadat (M odel Noken).
2. Untuk m enget ahui perspekt if Teori Hukum M urni Hans Kelsen t erhadap
put usan M ahkamah Konst itusi Nomor 85/ PHPU.D-IX/ 2011.
3. Untuk mengetahui

implikasi

putusan

Hakim

M ahkam ah

Kontitusi

t erhadap sist em Pem ilu di Indonesia.

D. M anfaat Penelitian
1. Dapat m endeskripsikan kerangka pem ikiran Hakim M ahkamah Konst it usi
dalam m engakom odir dan mengakui m ekanism e Pemilukada dengan
t at a-cara adat (m odel noken) dan implem ent asinya t erhadap sist em
pemilu di Indonesia.
2. Dapat m endeskripsikan dan mengam bil suatu perbandingan ant ara Teori
Hukum M urni Hans Kelsen dan putusan M ahkam ah Konst it usi Nom or
85/ PHPU.D-IX/ 2011.
3. M emberikan sum bangan pem ikiran sebagai pengem bangan sist em
ket at anegaraan Indonesia dalam pembentukan suat u produk undang-

12

undang yang selalu diperhadapkan dengan st ruktur sosial, adat ist iadat
at au kebiasaan masyarakat hukum adat .
E. Orisinalit as
Orisinalit as adalah penjelasan t ent ang posisi penelit ian yang akan
dilakukan

dengan

penelitian

t erdahulu.

Pejelasan

t ent ang penelitian

t erdahulu berguna untuk membantu peneliti dalam m em ecahkan m asalah.
Selain it u juga unt uk m elihat sejauh m ana m asalah itu sudah dit elit i dan
dipecahkan para penelit i sebelumnya.
Tesis yang penulis t elit i dengan judul “ Pengakuan M odel Noken
Dalam Putusan M ahkamah Konst it usi Tent ang Pemilukada Lanny Jaya Papua
dan Implementasinya Terhadap Sist em Pemilu di Indonesia” . Tesis ini

m enyajikan

suatu

kajian yuridis put usan

M ahkamah

Konst itusi

yang

m engakom odasi dan mengakui pem ilukada secara adat -ist iadat yang dikenal
dengan “ M odel Noken” , kemudian melihat int erpret asi at au penafsiran yang
digunakan hakim sebagai dasar pert im bangan, yang dikaji dalam Perspekt if
Teori Hukum M urni Hans Kelsen, sert a im plem ent asi t erhadap sist em pem ilu
di Indonesia.
Sedangkan penelit ian yang sudah dit elit i sebelumnya adalah:
1. Jurnal dengan Judul “ Pengakuan M odel M asyarakat Adat Dalam Sist em
Pemilihan Umum di Indonesia” ditulis oleh Yance Arizona t ahun 2010,

dimuat dalam Jurnal Konst it usi Pusako Universit as Andalas Volume III

13

Nom or 1 Kerjasam a M ahkam ah Konst itusi Republik Indonesia dengan
Pusat St udi Konst itusi Fakult as Hukum Universit as Indonesia.

Kesimpulan hasil penelitian;

Putusan M ahkamah Konst it usi dalam perkara Pemilu di kabupat en
Yahukimo t ahun 2009 dengan m enjadikan model noken sebagai nilai
konst itusional dapat dikat akan sebagai salah sat u put usan yang berupaya
menjadikan konst itusi Indonesia sebagai konst itusi pluralis, putusan yang
konservat if disatu sudut dan putusan yang progresif pada sudut yang lain,
yang mengakui m ekanism e pemilihan model noken di Yahukim o
dikat egorikan sebagai putusan yang progresif. Dikat akan progresif karena
hakim M ahkam ah Konst it usi m engembangkan inst rum ent baru yang
belum banyak dibicarakan. Berbeda dengan hakim di pegadilan umum
yang sangat didom inasi oleh paradigm a legal-posit ifist ik.
2. Tesis dengan judul “ Tinjauan Analisis Normat if

Yuridis Terhadap

Pelaksanaan Put usan Sengket a Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 oleh Komisi
Pemilihan Umum” . ditulis oleh Heriyant o, M ahasisw a Program Hukum

Kenegaraan Pascasarjana Universit as Indonesia, tahun 2011.
Kesimpulan hasil penelitian;

Di dalam negara hukum , lem baga peradilan m em punyai peran yang
sangat st rat egis, dalam melindungi hak konst it usional w arga negara.

14

Terkait dengan Keput usan yang sudah sifat nya final dan mengikat yang
dilaksanakan oleh Pengadilan TUN dan M K, t etapi dalam pelaksanaan
masih ada KPU di daerah yang t idak m elaksanakan, sehingga t erkesan
pelaksanaan putusan t ersebut t ergant ung kesadaran hukum KPU daerah
masing-m asing. Dari dasar ini perlu direvisi perundang-undangan terkait
dengan budaya patuh anggot a KPU. Selain itu ada putusan Pengadilan
TUN yang kontradiksi dengan put usan M ahkam ah Konst itusi hal ini
diakibat kan oleh kew enangan M ahkam ah Konstit usi dan Peradilan TUN
yang m asih t erkesan t um pah tindih sehingga perlu bat asan-bat asan
dalam menangani perselisihan pemilukada, pem bat asan disini sebat as
kompot ensi absolut . M ahkam ah Konst itusi t idak bisa mem ut us hal-hal
yang m enjadi kewenangan lem baga lain sepert i Peradilan TUN dan
Peradilan Um um . Untuk efekt ifnya m enangani perm asalahan yang kerap
kali t erjadi perlu dibent uk peradilan TUN khusus dan Hakim khusus guna
menangani perm asalahan adm inist rasi dalam Pemilukada.
F. Landasan Teori
Ada dua hal m endasar t erhadap kajian yuridis put usan M ahkamah
Konstitusi Nomor Perkara 85/ PHPU.D-IX/ 2011, t ent ang Gugat an Pemilukada
Kabupat en Lanny Jaya Papua.

Pert ama, sist em pemilu yang menerapkan

sist em adat ist iadat yang memandat kan kepala suku sebagai perwakilan dari
m asyarakat adat set em pat guna m em ilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, Kedua Akom odasi kearifan lokal oleh Hakim M ahkam ah Konst itusi

15

yang secara rensponsif m engakom odir sist em pem ilu masyarakat adat Lanny
Jaya Papua dalam bingkai sist em pemilu secara nasional.
Dari dua hal m endasar ini, mainst ream posit ivisme Teori Hukum
M urni (Pure t heory of Law ) sangat kont radikt if. Dalam ajaran t eori hukum
m urni, Hakim M ahkam ah Konstitusi dalam memutuskan perkara seharusnya
m em pert im bangkan

mekanisme pem ilukada yang telah

diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 t ent ang Pem erint ahan Daerah dan
at uran t eknis pelaksanaannya.
M enurut

Khudzaifah Dimyati sebagaim ana dalam dikutipannya,

bahw a ajaran Teori Hukum M urni (Pure t heory of law ) Hans Kelsen, melihat
Ilmu hukum adalah ilmu norm at if, hukum itu berada dalam kaw asan dunia
sollen . Karakt erist ik dari norm a adalah sifatnya yang hipot esis, lahir bukan

karena proses alam i, m elainkan karena kem auan dan akal m anusia yang
berfungsi sebagai asumsi dasar. Rumusan t eori adalah suat u analisis t ent ang
st rukt ur hukum posit if, yang dilakukan seeksak, suat u analisis yang bebas dari
semua pendapat et is at au polit is m engenai nilai, yang pada akhirnya
m encipt akan ilmu hukum yang murni dari pengaruh ilmu-ilmu sosial.

34

Orientasi t eori hukum m urni pada dasarnya sama dengan orient asi
ilmu hukum analitik. Sepert i yang diungkapkan John Auistin dalam bukunya
yang t erkenal Lect ures on Jurisprudence, t eori hukum murni berusaha
m encapai hasilnya sem at a melalui analisis hukum posit if. Set iap penegasan

34

Khudzaif ah Dim yat i,Op.Cit , hlm. 76.

16

yang dikem ukakan oleh ilmu hukum harus didasarkan pada tat anan hukum
posit if at au pada perbandingan isi dari sejumlah t at anan hukum . Dengan
m em bat asi ilmu hukum pada analisis st rukt ur hukum positif at au pada
perbandingan isi dari sejum lah t atanan hukum .

Dengan membat asi ilmu

hukum pada analisis st rukt ur hukum positif, m aka ilmu hukum t erpisah dari
filsafat keadilan dan sosiologi hukum dan dengan demikian ilmu hukum dapat
35

m encapai kem urnian met odenya.

Dalam konsep t eori hukum murni, pengaruh unsur-unsur diluar
hukum sepert i psikologis, et ika, politik, dan sosial budaya ke dalam norm a
umum (undang-undang) dapat saja t erjadi saat undang-undang masih
bersifat rancangan (draft ) untuk m em enuhi represent at if sam pai ke t ahap
penet apan. Dalam art ian suatu norma positif (budaya) yang berkem bang di
m asyarakat dapat dijadikan hukum positif karena represent at if dalam
berdem okrasi.

Saat undang-undang sudah dit et apkan dan disahkan m aka

undang-undang (norma umum ) sifatnya t ert ut up at as pengaruh psikologis,
et ika, politik, dan sosial budaya.
M enurut Aust in, sebelum kebiasaan at au t radisi diadopsi oleh
pengadilan at au undang-undang, aturan yang berlaku sifat nya sebagai
m oralit as positif, nam un t radisi at au kebiasaan yang berubah menjadi hukum
posit if, ket ika diadopsi oleh pengadilan dalam sebuah keput usan, yang

35

Hans Kelsen, 1971, General Theory of Law and St at e (New York: Russel and Russel, 1971,
Cet akan VII, 2010, Bandung, Nusa M edia, hlm. Viii

17

dit egakkan oleh kekuat an negara. Ini dapat dianggap sebagai positivization
adat at au t radisi. Dalam hal ini, Kelsen m engat akan dalam kait annya dengan
hierarki norma, di mana konst it usi adalah yang t ert inggi dari norm a-norm a
dalam t at anan hukum, t radisi at au kebiasaan dapat diubah menjadi hukum
posit if ket ika diadopsi oleh pengadilan dan undang-undang sebagai norm a
umum dit entukan oleh konst itusi sebagai norm a t ert inggi.

36

M enurut Khudzaifah Dim yat i positifism e sebagai sebuah mainst ream
m enem pat kan dirinya dalam posisi yang sulit dibela.

37

Karena dasar

pem ikiran t erhadap hukum sangat simplist is jika harus berhadapan dengan
suat u problem m asyarakat

yang kom pleks dan rumit . Dalam art ian,

posit ifisme hanya bisa melihat persoalan secara “ hit am putih” , sem ent ara
berbagai persoalan dan problem yang dihadapi berbeda-beda dan kompleks.
Dalam konteks Indonesia, dominasi pandangan normat if juga sangat
dipengaruhi oleh perkem bangan kehidupan berbangsa.
Pendapat

Hans

Kelsen

sangat

berbeda

38

dengan

t eori

yang

dikem ukakan oleh Friedrich Carl von Savigny, bahw a hukum it u tidak dibuat
m elainkan tumbuh dan berkembang bersam a-sama dengan masyarakat ,
" Das Recht s wird nicht gemacht , es ist und wird mit dem Volke” . Terdapat

hubungan organik ant ara hukum dengan w at ak at au karakt er suat u bangsa.

36

37
38

Aidul Fit riciada, 2013, Recont sr uct ion of St at ecraft Tradit ion in The Post Amandment of The
1945 Const it ut ion: The Tensions Bet w een Tradit ion and M oder nit y in Posit ive Legal Syst em,
Facult y of Law M uhammadiyah Universit y, Surakart a, hlm. 2
Khudzaif ah Dim yat i,Teorisasi Hukum, Op.Cit, hlm. 73.
Ibid

18

Hukum hanya cerm inan dari volkgeist .

39

Hukum adat yang t umbuh dan

berkem bang dalam m asyarakat , harus dipandang sebagai hukum kehidupan
yang sejat i. Hukum sejat i itu, tidak dibuat t et api dit em ukan, legislasi hanya
pent ing selam a ia m em iliki sifat deklarat if t erhadap hukum sejat i it u.
Terdapat

kesam aan

pandangan

ant ara

t eori

Savigny

40

dengan

penafsiran Hakim M ahkamah Konstitusi melihat hukum bagian dari pengaruh
empiris

budaya

dikem bangkan.

m asyarakat

set empat

yang

harus

dilindungi

dan

M akna Pasal 32, UUD 1945, merupakan kerangka unt uk

dijadikan dasar bagaim ana pem buat undang-undang menggali nilai hukum
dalam kandungan kehidupan rakyat .

Begit u juga persoalan ut am a dalam

pengelolaan hukum, bukan m em bentuk asas dan dokt rin secara art ifisial,
t et api m enem ukan asas dan dokt rin dalam nilai-nilai hukum yang hidup. Kit a
harus mengenal, menem ukan dan m em ahami nilai-nilai dan hukum sejat i itu
dalam kancah kehidupan bangsa pemiliknya.

41

Untuk m em aham i nilai-nilai hukum itu, tidak t ersedia cara lain kecuali
m enyalami inti jiw a dari rakyat .
dekaden dan st atis.

Jiw a rakyat it u, bukanlah sesuat u yang

Ia m erupakan mosaik yang t erkonst ruksi dari proses

sejarah, dan t erus berproses secara hist oris. Oleh karena it u, perlu
kelengkapan m et ode budaya dan historis.

39

Bernar d L. Tanya, Yoan N. Simanjunt ak, dan M arkus Y.Hage, Op.Cit . 103
Ibid
41
Ibid, hlm. 104
40

19

Dengan adanya pem bakuan kehidupan lew at hukum yang t idak
m udah berubah, maka lam bat

laun

dinamika kehidupan

akan

juga

t erhambat . Bahkan suat u saat , akan menghent ikan sejarah. Unt uk m engkaji
dan m erumuskan suatu produk hukum harus sesuai dengan jiw a bangsa,
hukum jangan dilihat dari aspek yuridis form al. Kajian m endalam mengenai
apa sebenarnya semangat jiwa bangsa it u, dan m anakah keyakinankeyakinan bangsa yang dapat m enjadi dasar suat u t at a hukum yang
m em adai. Pem bent ukan Hukum t anpa m elihat aspek budaya akan t ercipta
jurang ant ara jiw a bangsa dengan hukum yang dicipt akan negara.

42

Pandangan Savigny, hukum it u tidak berdiri sendiri, ia disatukan
dalam karakt er dan wat ak rakyat berkat adanya kesat uan pendirian dari
rakyat it u sendiri. Hukum tidak muncul secara kebet ulan, t api lahir dari
kesadaran batiniah rakyat . It ulah sebabnya, hukum berkem bang set urut
perkem bangnya rakyat , dan akhirnya lenyap t at kala rakyat kehilangan
kebangsaannya.

43

Sejat inya hukum tidak dibuat secara art ifisial, t et api dit em ukan dalam
relung jiw a rakyat nya. Kalau para pem bentuk undang-undang hendak
m erumuskan hukum it u dalam prinsip-prinsip yuridis yang t eknis, mereka

42
43

Ibid

Ber nard L. Tanya, Yoan N. Simanjunt ak, dan M arkus Y. Hage, Teori Hukum, St rat egi Tert ib
M anusia Lint as Ruang dan Generasi, Gent a Publishing, hlm. 105, dalam W, Friedman, 1953,
Legal Theory, London: St evens dan Son Limit ed, 1953.

20

harus t et ap berposisi sebagai organ dari kesadaran um um.

44

M ereka t erikat

pada t ugas unt uk memberi bent uk pada apa yang m ereka t em ukan sebagai
bahan ment ah.
Roh dari hukum itu adalah volkgeist . Oleh karena itu, sangat pent ing
unt uk m engikut i evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang
sejarah. Bagi Savigny pembuat hukum harus set ia pada volkgeist . Karena
unsur volkgeist inilah, m aka suatu t at anan hukum (t erm asuk dalam w ujud
perundang-undangan) t idak bisa bersifat universal. Hukum selalu bersifat
45

konstekst ual bagi bangsa t ert ent u.

Oleh karena it u, Kodifikasi dan pengkajian suat u produk hukum
dengan st udi ilmiah mengenai sist em hukum dalam perkem bangannya yang
t erus-m enerus, dengan m ana t iap generasi m engadapt asikan hukum itu
dengan keperluannya. Dalam proses pembent ukan yang bert ahap itu, peran
ahli hukum begit u m enentukan, ut am anya dalam m em baca semangat zam an
dan kont eks sosial kont emporer sebagai landasan adapt asi dari hukum it u
sendiri.

M aka t idak m engherankan jika Savigny m em andang ilmu hukum

sebagai panduan reformasi hukum , dan kesadaran umum m erupakan sum ber
46

hukum yang ut ama.

44

45
46

Bernar d L. Tanya, Yoan N. Simanjunt ak, dan M arkus Y. Hage, 2010, Teori Hukum, St rat egi Tert ib
M anusia Lint as Ruang dan Generasi, hlm. 105, dalam, Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal
Philosophy in A Nut sbell, M inessot a: West Publishing Co., 1993.
Ibid

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjunt ak, dan M arkus Y. Hage, dalam Theo Huijbers, 1987,
Filsafat Hukum Dalam Lint asan Sejarah, Yogyakart a, Yayasan Kanisius, Yogyakar t a, hlm. 106

21

M ekanism e

Pem ilukada

m asyarakat

adat

Lanny

Jaya

Papua,

m erupakan suat u met ode yang t um buh dan berkem bang dimasyarakat
dalam bentuk adat -ist iadat at au kebiaasan, yang lahir secara t urun-t em urun.
Sehingga konst ruksi dari nilai-nilai hukum adat dan jiw a dari kebiasaan
m asyarakat adat Lanny Jaya Papua harus t et ap dijaga.
Dengan diakomodasi sist em pemilihan secara mandat masyarakat
adat Lanny Jaya Papua oleh Hakim M ahkam ah Konst it usi m em berikan
gam baran bahw a set iap perkem bangan sosial di dalam masyarakat harus
direspon secara posit if. Sebagaimana dikat akan Jerom e Frank, bahwa t ujuan
ut am a kaum realism e hukum adalah unt uk m em buat hukum m enjadi lebih
47

responsif t erhadap kebut uhan sosial.

Untuk m encapai tujuan ini, m ereka mendorong perluasan bidangbidang yang memiliki ket erkait an secara hukum , sehingga nalar hukum dapat
m encakup penget ahuan di dalam kont eks sosial dan m em iliki pengaruh
t erhadap t indakan resm i para aparat hukum. Sepert i halnya realism e hukum,
sociological jurisprudence

yang m enggunakan pendekat an sosiologis juga

dit ujukan unt uk memberi kem ampuan bagi inst itusi hukum unt uk secara
lebih menyeluruh dan cerdas m em pert im bangkan fakt a sosial yang disit u
hukum berproses dan diaplikasikan.

48

47

Philipe Nonet dan Philip Selznick, 2010, Law and Societ y in Transit ion; Tow ard Responsive Law ,
Bandung, Nusa M edia, hlm. 83
48
Ibid

22

Hukum responsif bukan t erbuka at au adaptif, untuk menunjukan
suat u kapasit as beradapt asi yang bert anggungjaw ab, dan dengan demikian
adapt asi yang selekt if dan tidak seram pangan. Suatu institusi yang responsif
m em pert ahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi int egrit asnya
sembari t et ap m em perhat ikan keb eradaan kekuat an-kekuat an baru di dalam
lingkungannya. Unt uk m elakukan hal ini, hukum responsif m em perkuat caracara bagaim ana ket erbukaan dan int ergrit as dapat

saling menopang

w alaupun t erdapat pert ent angan diant ara keduanya.
Agar m endapat kan sosok sepert i ini, sebuah inst itusi m em erlukan
panduan kearah t ujuan. Tujuan m enetapkan st andar unt uk m engkrit isi
prakt ik yang sudah mapan, dan karenanya mem buka jalan untuk melakukan
perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar digunakan, tujuan
dapat m engont rol diskresi adm inist ratif, dengan dem ikian dapat m engurangi
resiko t erjadinya pelepasan inst itusional. Sebaliknya, ket iadaan tujuan
berakar pada kekakuan sert a oport unisme.
Dalam Perspekt if ini, hukum yang baik seharusnya m enaw arkan
sesuat u yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik
harus berkom pot en dan juga adil. Hukum semacam itu seharusnya mam pu
m engenali keinginan publik dan punya komit men bagi t ercapainya keadilan
subst ant if.

23

G. M et ode Penelitian
M et ode pada hakikat nya bermakna m em berikan pedom an, t ent ang
bagaimana cara seorang ilmuw an mempelajari, menganalisis, dan m em ahami
hukum yang dimaksud. Set elah dit entukan pedom an yang akan digunakan,
m aka sat u hal lain yang tidak kalah pent ingnya adalah bagaim ana cara
m endekat i dat a yang diperlukan dalam penelit ian dimaksud.

49

1. Jenis Penelitian
Jenis penelit ian dalam penulisan t esis ini

adalah penelit ian

Yuridis Norm at if dengan kajian kepust akaan (library research ) at au
dikenal dengan penelitian dokt rinal, yaitu penelit ian hukum yang
melet akan hukum sebagai sebuah bangunan sist em norma.

Sist em

norm a yang dim aksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
perat uran

perundangan,

putusan

pengadilan,

perjanjian

sert a

50

dokt rin. M enurut Soerjono Soekant o, bahw a penelt ian hukum normat if,
mencakup penelit ian t erhadap asas-asas hukum , sist emat ika hukum,
penelitian t erhadap t araf sinkronisasi hukum , penelit ian t erhadap sejarah
hukum, dan penelitian perbandingan hukum.

49

51

Sapt omo Ade, 2009, Pokok-pokok M et odologi Penelit ian Hukum Empiris M urni Sebuah
Alt ernat if , Jakart a, Universit as Trisakti, hlm. 70

50

M ukt i Fajar ND, Yuliant o Achmad, 2010, Dualisme Penelit an Hukum Norm at if dan Em piris,
Yogyakart a, Pust aka Pelajar, hlm. 34
51
Ibid, hlm. 153

24

2. Pendekat an Penelitian
Ada dua pendekat an yang penulis gunakan dalam penelit ian
kualit at if yaitu:
a. Pendekat an

perundang-undangan

(St at ut e

Approach ),

ini

dimaksudkan penelit i m enggunakan perat uran perundang-undangan
sebagai dasar aw al m elakukan analisis.

Hal ini dilakukan penulis

karena perat uran perundang-undangan m erupakan t it ik fokus dari
penelitian t ersebut dan karena sifat hukum yang m em punyai ciri-ciri
sebagai berikut .
1) Comprehensive,

art inya norm a-norma hukum

yang ada di

dalamnya t erkait ant ara satu dengan yang lainnya secara logis.
2) All-inclusive, art inya bahw a kumpulan norma hukum t ersebut
cukup m ampu menampung perm asalahan hukum yang ada,
sehingga t idak akan ada kekosongan hukum.
3) Syst ematic, yait u bahwa disam ping bert aut an antara sat u dengan
yang lainnya, norm a-norm a hukum t ersebut t ersusun secara
hierarkis.

52

b. Pendekat an Kasus (Case Approach ), bert ujuan unt uk m em peroleh
norm a-norm a at au kaidah hukum yang dilakukan dalam prakt ik
hukum .

52

pendekat an kasus ini yait u menelaah suat u kasus untuk

M ukt i Fajar ND, Yuliant o Achmad, 2010, Dualisme Penelit an Hukum Normat if dan Empiris, hlm.
185, dalam Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan M et ode Penelit ian Hukum Normat if , M alang,
boym edia Publishi ng, hlm. 303

25

dipergunakan sebagai referensi bagi suat u isu hukum , sedangkan
st udi kasus (case st udy) adalah st udi t erhadap kasus t ert ent u dari
berbagai aspek hukum. Pendekat an kasus ini mengkaji pert im bangan
(rat io decidendi at au reasoning ) dari hakim dalam m em utus suatu
perkara. Dengan m empelajari pert imbangan-pert im bangan hakim
dalam memutus perkara-perkara t ersebut , penulis dapat melakukan
analisis

bagi

pem ecahan

pert im bangan-pert imbangan

m asalah
hakim

yang

diajukannya,

t ersebut

dapat

karena
dijadikan

referensi bagi ket ajam an analisis.
3. Sumber Dat a
Sumber dat a dalam penelitian ini adalah dat a sekunder dan dat a
prim er

unt uk m enjaw ab

perm asalahan

pokok yang dikaji

dalam

penelitian ini. Pengumpulan dat a sekunder dalam penelitian ini dilakukan
melalui studi:
a. Bahan Hukum prim er, yait u bahan hukum yang m engikat , sepert i
perat uran

perundang-undangan ,

yurisprudensi

at au

keputusan

pengadilan/ M ahkam ah Konst it usi.
b. Bahan hukum sekunder, bahan yang erat kait annya dengan bahan
hukum prim er at au dapat memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum prim er, m isalnya buku-buku lit erat ur hukum, hasil-hasil
penelitian, jurnal, berit a int ernet dan hasil Putusan M ahkam ah
Konstitusi.

26

c. Bahan

hukum

t ersier,

m erupakan

bahan

hukum

yang dapat

m enjelaskan baik bahan hukum prim er m aupun bahan hukum
sekunder, yaitu berupa kamus, ensiklopedi dan leksikon.
4. Teknik Pengum pulan Dat a
Teknik pengum pulan dat a dalam penelit ian ini, dilakukan dengan st udi
kepustakaan,
perat uran

yaitu

m engumpulkan

perundang-undangan ,

bahan-bahan

yurisprudensi

hukum
at au

sepert i

keput usan

M ahkam ah Konst it usi sert a buku-buku, jurnal, berit a int ernet at au
lit erat ur-lit erat ur yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
5. Teknik Analisis Dat a
Teknik analisis dat a dalam penelitian ini adalah teknik analisis dat a
kualit at if yang disesuaikan dengan m at eri dan t ujuan penelit ian yang
hendak dicapai dengan prosedur reduksi, sajian dat a (display), verifikasi
dan simpulan dan penafsiran.

H. Sist emat ika Tesis
Penulisan t esis ini t erdiri dari 4 (em pat ) bab yang disusun secara
sist emat is yang saling t erkait yait u:
Bab I. Pendahuluan, yang menjelaskan Lat ar Belakang M asalah, Rumusan
M asalah, Tujuan Penelit ian, M anfaat Penelit ian, Kerangka Teori dan
M et ode Penelitian.

27

Bab II. Tinjauan Pust aka, pada bab ini m enguraikan t ent ang Tinjauan Teori
Hukum M urni (The Pure Theory of Law ) Hans Kelsen, landasan yang
m enjadi dasar pokok-pokok pikiran Hans kelsen dalam m elihat hukum
yang seharusnya dalam t at anan perundang-undangan, mulai dari
norm a dasar (Grundnorm ), norma umum, sam pai dengan norm a
individual pada kasus konkret di pengadilan.
Bab III. M enguraikan t ent ang Tinjauan Umum Pem ilukada dalam sist em
pem ilu di Indonesia, M ekanisme Pemilukada m asyarakat adat Lanny
Jaya

Papua

sert a

Kew enangan

M ahkam ah

Konst it usi

dalam

Pem ilukada.
Bab IV. Pem bahasan, pada bab ini menguraikan posisi sengket a Pemilukada
Lanny Jaya Papua sert a pihak yang m engajukan gugat an, dari gugat an
t ersebut dikaji isi put usan dan dasar pert im bangan Hakim M ahkam ah
Konstitusi yang mengakom odir m ekanism e Pem ilukada Lanny Jaya
secara adat -ist iadat (model noken), hasil putusan ini kem udian dilihat
dari

Perspekt if

Teori

Hukum

M urni

Hans

Kelsen,

sert a

im plem ent asinya dalam sist em pemilu di Indonesia.
Bab IV. Penutup, yang berisi kesimpulan dari jawaban at as lat ar belakang
perm asalahan, sert a dilengkapi dengan saran.

28

Dokumen yang terkait

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

PEMILU SISTEM NOKEN DALAM DEMOKRASI INDONESIA ( Studi kasus di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ).

1 9 15

SKRIPSI PEMILU SISTEM NOKEN DALAM DEMOKRASI INDONESIA ( Studi kasus di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ).

0 2 13

PENDAHULUAN PEMILU SISTEM NOKEN DALAM DEMOKRASI INDONESIA ( Studi kasus di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ).

0 4 27

PENUTUP PEMILU SISTEM NOKEN DALAM DEMOKRASI INDONESIA ( Studi kasus di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ).

0 18 30

PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PEMILUKADA LANNY JAYA PAPUA DAN IMPLEMENTASINYA Pengakuan Model Noken Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilukada Lanny Jaya Papua Dan Implementasinya Terhadap Sistem Pemilu Di In

0 2 13

DAFTAR PUSTAKA Pengakuan Model Noken Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilukada Lanny Jaya Papua Dan Implementasinya Terhadap Sistem Pemilu Di Indonesia.

0 1 4

Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2009 Dalam Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2009 Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi di Indonesia.

0 0 14

PENDAHULUAN Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2009 Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi di Indonesia.

0 1 37

Konstruksi Keyakinan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perselisihan Pemilukada

0 0 25