Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

(1)

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG

DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LEO PS

NIM : 070200095

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

FEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG

DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LEO PS

NIM : 070200095

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen

Armansyah S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

Dosen Pengbimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Armansyah S.H.,M.Hum.

Yusrin Nazief, S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

NIP.197506122002121002


(3)

DAFTAR ISI

Judul

Halaman Pengesahan ... ii

Daftar Isi ... iii

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Pengumpulan Data ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PEMILIHAN UMUM A. Pemilihan Umum ... 25

1. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum ... 25

2. Tujuan Pemilihan Umum ... 29

B. Pemilukada ... 32

C. Perselisihan Hasil Pemilukada ... 37

BAB III KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM RUANG LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA A. Konsep Negara Hukum ... 40

B. Sistem Kehakiman Indonesia ... 44

1. Teori Pemisahan Kekuasaan ... 44

2. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 49

C. Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi dalam Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 54

1. Kedudukan Mahkamah Agung ... 57

2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Agung ... 58

3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ... 63

4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konsitusi ... 65

BAB IV EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Peralihan Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konsitusi ... 68

B. Pandangan Terhadap Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi ... 75

1. Pilkada Kota Depok tahun 2005 ... 88


(4)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kasih dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat- syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mempersembahkan skripsi ini kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis menyadari besar karuniaNya sehingga penulis mendapat kesempatan untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tak lupa mempersembahkan skripsi kepada kedua orang tua penulis, Mampe Simanjuntak dan Khristina Purba S.Pd., yang mana telah sabar dan penuh kasih sayang untuk membimbing saya selaku anak agar dapat lulus dengan gelar yang prestisius dan membanggakan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku pembantu dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

4 Bapak Muhammad Husni S.H., M.Hum., selaku pembantu dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Armansyah S.H., M.Hum., selaku ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing 1 ( terima kasih buat ilmu dan bimbingan yang Bapak berikan ).

6. Bapak Yusrin Nazief S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing 2 ( terima kasih buat kesabaran dan referensi yang Bapak berikan ).

7. Ibu Surianingsih S.H., M.Hum., selaku dosen wali akademik penulis.

8. Semua pahlawan tanpa tanda jasa yakni dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terkhusus dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang takkan bisa penulis lupakan sampai kapanpun.

9. Semua staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik itu yang di bidang akademik/tata usaha, perpustakaan, maupun yang ada di departemen hukum tata negara ( Bapak Elvi Sayhrial Lubis S.H., Abang Ari Sebayang, Kakak Misyani ).

10. Saudara-saudaraku tercinta, Kak Ibeth, Kak Lena, dan Ary yang sudah menjadi motivator selama aku berjuang dalam studyku di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(7)

11. Sahabat-sahabatku terbaik, Wiltar, Tunggun, Donal, Musa, Jhon, Tohom, yang selama ini sudah mau berbagi pengalamannya dalam hal menyelesaikan skripsi ini.

12. Rekan-rekan di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Bung udur, Bung Akmal ) dan junior di kampus (Putri, Juanda, Harry, Barita )

13. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Medan, September 2013


(8)

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG

DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LEO PS

NIM : 070200095

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(9)

FEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG

DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LEO PS

NIM : 070200095

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen

Armansyah S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

Dosen Pengbimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Armansyah S.H.,M.Hum.

Yusrin Nazief, S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

NIP.197506122002121002


(10)

DAFTAR ISI

Judul

Halaman Pengesahan ... ii

Daftar Isi ... iii

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Pengumpulan Data ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PEMILIHAN UMUM A. Pemilihan Umum ... 25

1. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum ... 25

2. Tujuan Pemilihan Umum ... 29

B. Pemilukada ... 32

C. Perselisihan Hasil Pemilukada ... 37

BAB III KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM RUANG LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA A. Konsep Negara Hukum ... 40

B. Sistem Kehakiman Indonesia ... 44

1. Teori Pemisahan Kekuasaan ... 44

2. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 49

C. Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi dalam Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 54

1. Kedudukan Mahkamah Agung ... 57

2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Agung ... 58

3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ... 63

4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konsitusi ... 65

BAB IV EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Peralihan Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konsitusi ... 68

B. Pandangan Terhadap Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi ... 75

1. Pilkada Kota Depok tahun 2005 ... 88


(11)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104


(12)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kasih dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat- syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mempersembahkan skripsi ini kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis menyadari besar karuniaNya sehingga penulis mendapat kesempatan untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tak lupa mempersembahkan skripsi kepada kedua orang tua penulis, Mampe Simanjuntak dan Khristina Purba S.Pd., yang mana telah sabar dan penuh kasih sayang untuk membimbing saya selaku anak agar dapat lulus dengan gelar yang prestisius dan membanggakan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku pembantu dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(13)

4 Bapak Muhammad Husni S.H., M.Hum., selaku pembantu dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Armansyah S.H., M.Hum., selaku ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing 1 ( terima kasih buat ilmu dan bimbingan yang Bapak berikan ).

6. Bapak Yusrin Nazief S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing 2 ( terima kasih buat kesabaran dan referensi yang Bapak berikan ).

7. Ibu Surianingsih S.H., M.Hum., selaku dosen wali akademik penulis.

8. Semua pahlawan tanpa tanda jasa yakni dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terkhusus dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang takkan bisa penulis lupakan sampai kapanpun.

9. Semua staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik itu yang di bidang akademik/tata usaha, perpustakaan, maupun yang ada di departemen hukum tata negara ( Bapak Elvi Sayhrial Lubis S.H., Abang Ari Sebayang, Kakak Misyani ).

10. Saudara-saudaraku tercinta, Kak Ibeth, Kak Lena, dan Ary yang sudah menjadi motivator selama aku berjuang dalam studyku di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(14)

11. Sahabat-sahabatku terbaik, Wiltar, Tunggun, Donal, Musa, Jhon, Tohom, yang selama ini sudah mau berbagi pengalamannya dalam hal menyelesaikan skripsi ini.

12. Rekan-rekan di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Bung udur, Bung Akmal ) dan junior di kampus (Putri, Juanda, Harry, Barita )

13. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Medan, September 2013


(15)

Abstrak

*Armansyah S.H., M.Hum. *Yusrin Nazief S.H., M.Hum.

*Leo P.S.

Peralihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari yang semula oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konsitusi merupakan hal yang menarik untuk dikaji dan ditinjau dari segi ketatanegaraan sistem hukum di negara kita. Pemilukada sebagai implementasi demokrasi langsung di daerah telah banyak memberikan perubahan tata cara masyarakat dalam mengaspirasikan hak konstitusionalnya.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah latar belakang dialihkannya kewenangan memutus perselisihan hasil pemilukada yang semula berada pada Mahkamah Agung sekarang berpindah kepada Mahkamah Konstitusi, serta bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilkada di kedua lembaga kehakiman tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku yang bersumber dari data penelitian primer, sekunder, dan tersier yang meliputi undang-undang, buku teks, makalah, jurnal, internet, serta kamus bahasa.

Berdasarkan UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah bahwa kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada adalah berada pada MA. Dalam melaksanakan kewenangannya itu MA mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/ kota yang bersangkutan. Disebutkan pula dalam pasal 29 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam kaitan dengan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam perkembangannya sebagaimana tercantum dalam pertimbagan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa ternyata dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, pembuat undang-undang telah memilih cara pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi lewat putusannya dalam perkara pengujian UU 32/2004 memutuskan bahwa pemilukada adalah termasuk dalam rezim pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pasal 22E UUD 1945. Dengan demikian secara otomatis proses penyelesaian perselisihan hasil pemilukada juga akan beralih ke MK sebagai lembaga yang berwewenang memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu termasuk pemilukada.

*Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi tahun 1998 yang diiringi dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya ditulis UUD 1945) pada tahun 1999-2002 diperoleh sebagai implikasi yang besar oleh karena perubahan kondisi sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Perubahan tersebut memang sebuah keniscayaan, sebabsebagaimanakita pahami bahwa keberadaan Undang-Undang Dasar atau konstitusi adalah merupakandokumen yang mencerminkan kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu , sehingga perubahan kondisi masyarakat akan memberipengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi.1Keterkaitan konstitusi dan masyarakat tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh James Bryce yang mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang terorganisir dengan dan melalui hukum.2

1

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (Modern Constitution), Nusamedia, Bandung, 1996, hlm. 104.

2

James Byrce dalam C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 15.

Keberadaan konstitusi yang demikian itulah yang membawa dampak pengaruh besar terhadap kondisi sosial, politik, dan hukum ketika dilakukan perubahan terhadapnya. Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi,


(17)

konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional.

Salah satu pengaturan yang dirumuskan dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah mengenai pelaksanaan pemilihan umum (selanjutnya ditulis pemilu). Pemilu sendiri sesungguhnya sudah dikenal bahkan sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945 pada tahun 1999-2002.Rumusan pengaturan tentang pemilu dalam UUD 1945 tersebutmenghendaki adanya perubahan pada mekanisme pelaksanaan pemilu yang telah dilakukan sebelumnya, baik itu secara formil maupun materil.

Salah satu semangat reformasi adalah mewujudkan pelaksanaan pemilu yang lebih demokratissehingga pemilu tidak sekedar sebuah ritual politik lima tahunan. Pemilu pada era orde baru (pemilu 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992 dan pemilu 1997) dinilai penuh rekayasa politik otoritarian yang dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu (electoral laws) dan dalam proses pelaksanaan pemilu (electoralprocess). Sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan “seolah-olah pemiluyang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.3

3

A. Mukthie Fadjar,Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum, Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(18)

Walaupun sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah memilih demokrasi sebagai dasar penyelenggaraan negara, namun belum ada dasar konstitusional yang mengharuskan pelaksanaan pemilu, termasuk keharusanpemilihan kepala daerah secara berkala. Sila “Kerakyatan yangdipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan perwakilan”belum diterjemahkan menjadi ketentuan pemilu dalam pasal-pasal hingga dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Konsekuensinya pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat dilakukan dengan cara pengangkatan atau penunjukan atau yang sering disebut dengan sistem pemilihan organis4

Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilu, namun pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu adalah untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan pemilu yang demokratis merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others.5

Di Indonesia, salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah bahwa cara pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik di tataran nasional maupun lokal harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan. Pengaturan yang demikian dapat diasumsikan

4

Bewa Rawagino, Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Bandung, 2007, hal 70.

5

A. Mukhtie Fajar, Op cit, pemilu yang demokratis...,Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(19)

sebagai aturan yang lebih demokratis dan sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu bahwa “Kedaulatan beradadi tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Selain itu, Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik (vide

pasal 1 ayat (1) UUD 1945) sehingga perlu penguatan demokrasi yang prinsipnya kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.6

Ukuran bahwa suatu pemilu demokratis atau tidak, harus memenuhi tiga syarat,7 yaitu a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate, dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta pemilu. Melalui Perubahan UUD 1945 Indonesia sebenarnya telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang demokratis dan mengamanatkan pemilu berkala yang demokratis pula, yakni menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E ayat (1) UUD 1945) dan diselenggarakan oleh mandiri (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945). Pemilu sebelum amandemen hanya berdasarkan azas langsung,umum, bebas, dan rahasia atau LUBER , yaitupemilu-pemilu yang dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto sehinggapemilu-pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru8

6

H. M Thallah, Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan persepektif pemikiran hans kelsen, Jurnal hukum no. 3 vol 16, Bandung, 2009, hlm 421.

7

A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis...., Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.

8

Tri Karyanti, Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen, Majalah Informatika Vol 3: Universitas Aki, 2012, hal 205.


(20)

Pemilu yang sebelumnya hanya dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD (karena yang sebagian lagi diangkat, misalnya Pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999) melalui pengaidahan dalam Pasal 22E UUD 1945 berubah menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.9

• Pasal 6A ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”;

Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sebagai berikut:

• Pasal 18 ayat (3): “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”;

• Pasal 19 ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”;

• Pasal 22C ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”;

• Pasal 22E ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Menjadi perhatian khusus dalam pembahasan skripsi ini adalah keberadaan pemilihan umum kepala daerah (selanjutnya ditulis pemilukada)

9

A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis...., Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(21)

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Keberadaan pasal yang merupakan hasil dari perubahan kedua Undang-Undang Dasar ini merupakan suatu terobosan dalam alam demokrasi di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah (selanjutnya ditulis pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, diatur pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilihsecara demokratis.”

Rumusan ini telah menimbulkan penafsiran bahwa pilkada dapat dilakukan secara langsung (seperti halnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disingkat pilpres) atau secara tidak langsung (oleh DPRD seperti yang dipraktekkan sebelumnya dan diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pembentuk undang-undang, melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU 32/2004) yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 rupanya menafsirkan “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah : “dipilih secara langsung oleh rakyat”, sehingga pilkada kemudian dikategorikan juga termasuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya ditulis UU 22/2007).10

Pelaksanakan Pemilihan secara langsung terhadap kepala daerah baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota memperoleh lgitimasi

10


(22)

konstitusional melalui amandemen UUD 1945 yang kedua.Perubahan ini boleh disebut sebagai sebuah revolusi administrasi pemerintahan khususnya untuk memilih pemimpin formal di daerah. UUD 1945 telah menambah satu ayat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian dituangkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai akomodasi dari revolusi dimaksud. Ketentuan di dalamnya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.11

Dalam proses penyelenggaraanpemilukada tentu sangat mungkin juga diwarnai berbagai kecurangan, misalkan terjadi praktik politik uang (money politics), intimidasi, konflik /kekerasan, daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, mobilisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyalahgunaan jabatan, fasilitas dan anggaran negara (abuse of power), penggelembungan dan pengurangan suara dan praktik-praktik curang lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa penegakan hukum atas pelanggaran pemilukada masih diwarnai kelemahan dan belum menyentuh pemilu yang bermakna lebih luas.12

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya ditulis MK) sejak tahun 2008 diberikan kewenangan mengadili perselisihanhasil pemilukada yang semula dilakukan oleh

11

Samsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2008, hlm. 25.

12

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2, April 2010.


(23)

Mahkamah Agung (selanjutnya ditulis MA).13 Kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukum dan ketatanegaraan kita, yang disebabkan putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding). Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu. Keberadaan lembaga MK merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu maupun penyelesaian perselisihan hasil pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat.14

Dengan berlakunya UU 32/2004tentang Pemerintahan Daerah maka sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan lagi dipilih DPRD, sehingga dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung tersebut telah dapat disimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah tergolong rezim pemilu.15

Sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalamUU No. 32/2004adalah pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Disebutkan pula dalam pasal 29UU 32/2004tentang Pemerintahan Daerah yang

13

Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut.

14

Empat parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu, lihat Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, (Jakarta: Partnership, 2008), 28-29.

15


(24)

mengatur tentang kewenangan MA dalam kaitan dengan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pengaturan lebih lanjut tentang pemilihan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah ini, pada tanggal 11 Februari 2005 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan, Pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.16

Kewenangan memeriksa keberatan menurut undang-undang adalah kewenangan dariMA. Dalam melaksanakannyaMA mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/ kota yang bersangkutan. Dengan demikian kewenangan untuk memeriksa keberatan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi didasarkan atas pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan ditegaskan kembali melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2005.17

Bab VII B Pasal 22E ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyatakan bahwa pemiludilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil (selanjutnya ditulis luber jurdil) setiap lima tahun sekali. Kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 22E ayat (2) untuk apa saja pemilu dilaksanakanyaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai

16

Ibid.

17

Hendra Sudrajat, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor , Agustus 2010.


(25)

instrumen demokrasi untuk menjaring kepemimpinan nasional tingkat daerah tidak dilaksanakan secara serentak seperti pemilu legislatif ataupun pilpres sehingga diperlukan unifikasi pelaksanaan/regulasi untuk mampu menjamin pelaksanaan pemilu secara luber dan jurdil. Dengan kata lain pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan, dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka harus mampu mengakomodasi azas-azas pemilihan umum.18

Asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah secara eksplisit tidak dirumuskan dalam UUD 1945 sebagaimana azas pemilihan umum, tetapi terdapat dalam pasal 56 ayat (1) UU 32/2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).19

Penggunaan azas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Hal ini tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD1945”gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah

18

Ibid

19


(26)

provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secarah demokratis”20. Penggunaan kata “demokratis” mengandung konsekuensi, kerangka sistem pilkada harus segera ditata ulang, yang semula menggunakan sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Agar ada keselarasan dengan pasal yang terkait dengan proses pemilihan presiden secara langsung.21

Dengan demikian jelaslah bahwa azas luber dan jurdil dalam pemilu dipergunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerahdan dilakukan secara demokratis yaitu yang oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ditafsirkan lewat mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Berdasarkan hal tersebut MK lewat putusannya dalam perkara pengujian undang-undang memutuskan bahwa pemilukada,22 adalah termasuk dalam rezim pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pasal 22E UUD 1945.23

Hal yang menjadi latar belakang dimasukkannya pemilukada dalam rezim pemilu tersebut serta pemindahan kewenangan penyelesaian perselisihanhasil pemilukada dari MA ke MK tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut lagi dalam pembahasan yang lebih panjang sehingga dapat didapatkan pemahaman yang jelas mengenai hal tersebut. Selain itu dapat juga dilihat

20

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

21

Samsul Wahidin,op cit,Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, hal 126.

22

Sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut lazim didengar sebuatan Pilkada sebagai akronim dari Pemilihan Kepala daerah namun dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa rejim Pilkada adalah termasuk rejim Pemilu sebagaimana dimasksud dalam Pasal 22E -Undang Dasar NRI Tahun 1945 maka sebutan untuk Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) diganti menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

23


(27)

bagaimanakah efektifitas dari pelaksanaan kewenangan tersebut ketika dilaksanakan oleh MA maupun oleh MK.

Oleh sebab itu dalam penelitian ini dipilih judul “EFEKTIFITAS

PENYELESAIAN PERSELISIHANHASIL PEMILUKADA OLEH

MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah yang dapat penulis rangkum dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana latar belakang peralihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari MA kepada MK ?.

2. Bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MA dan MK?.

C. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan yang penulis harapkan dari skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang peralihan kewenangan penyelesaian perselisihan pemilukada oleh MA dan MK.

2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihanhasil pemilukada oleh MA dan MK.


(28)

Adapun yang menjadi manfaat dari skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumen hukum secara khusus mengenai penyelesaian perselisihanhasil pemilukada oleh MAdan MK , dan sebagai upaya untuk pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.

b. Secara Praktis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengetahui bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihan pemilukada oleh MAdan MK.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHANHASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAHKONSTITUSI ”, belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Skripsi ini merupakan penemuan ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.


(29)

Apabila ada skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait dengan objek penelitian ini.

Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, efektifitas berasal dari kata efek yang artinya pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab, akibat/dampak. Efektif yang artinya berhasil, sedang efektifitas menurut bahasa merupakan ketepatan gunaan, hasil guna, menunjang tujuan.24

Efektifitas menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah keadaan berpengaruh, membawa dan berhasil guna (usaha, tindakan).25 Dan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut juga disebutkan bahwa efektifitas adalah kegiatan yang memberikan hasil yang memuaskan dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dengan demikian efektifitas merujuk kepada suatu ukuran yang diperoleh atas kesesuaian antara ukuran yang dihasilkan dengan ukuran yang diharapkan, yang telah ditentukan terlebih dahulu.26

24

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hlm. 128.

25

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 219.

26

J.S. Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 271.

Jadi dapat disimpulkan efektifitas adalah hal yang bersangkut paut dengan keberhasilan, manfaat dan


(30)

seberapa target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai dari suatu perlakuan yang diterapkan kepada objek penelitian.

Perselisihan adalah perselisihan yuridis sebagai akibat terjadinya pelanggaran pada tahap-tahap penyelenggaraan pemilu, yang terbagi dua yakni pertama pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu, dan kedua perselisihan hasil pemilu.27Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 12/2003) tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur secara tegas perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak adalah perselisihan yang timbul dalam tahapan-tahapan pemilu. Menurut Topo Santoso yang dikutip oleh Rudatyo dalam Jurnal Konstitusi Vol II Tahun 2009 bahwa perselisihan hasil pemilu meliputi:28

Pihak yang mengajukan sengketa memiliki kepentingan memenangkan suatu perkara disinilah berlaku pula maxim point d’etre, point d’action, yang

1. Pelanggaran Administrasi Pemilu; 2. Pelanggaran Pidana Pemilu;

3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara; 4. Sengketa dalam proses pemilu;

5. Perselisihan hasil Pemilu; 6. Sengketa hukum lainnya.

Jadi, sengketa pemilu yang dimaksud dalam tahapan- tahapan pemilu adalah sengketa dalam proses pemilu, sengketa perselisihan hasilpemilu, dan sengketa hukum lainnya.

27

Hendra Sudrajat, Op cit, Kewenangan Mahkamah Konstitusi....

28

Rudratyo, Jurnal Konstitusi Vol II No.1, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hal 10


(31)

artinya tanpa kepentingan maka tidak ada suatu tindakan. Seseorang mengajukan pengaduan kostitusional karena yang bersangkutan memiliki kepentingan bahwa hak asasi konstitusional dilanggar oleh badan atau pejabat pemerintah. Zonder belang, het is geen rechtsingang.29

Hasil merupakan sesuatu yang diadakan, dibuat, dijadikan oleh usaha, perolehan. Dalam UUD 1945 tidak memberikan pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan perselisihan tentang hasil pemilu, maka diaturlah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 24/2003) tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 74 ayat (2) memberikan pengertian bahwa, perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi yakni terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden, dan perselisihan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.30

Pasal 258 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (selanjutnya ditulis UU 10/2008) tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merumuskan pengertian perselisihan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

29

.Hendra Sudrajat, op cit, kewenangan mahkamah konstitusi...

30


(32)

Daerah adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dan peserta Pemilihan Umum mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional serta perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memmpengaruhi perolehan peserta pemilu.31

Dalam pasal 201 ayat (1)UU 10/2008tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disimpulkan bahwa, pengertian perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah pengajuan keberatan yang di ajukan oleh pasangan calon terhadap penetapan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum yang perhitungan suaranya mempengaruhi terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi.32

Mengenai pengertian perselisihan hasil Pemilukada , dengan merujuk Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU12/2008 dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,maka dapat disimpulkan bahwa:33

31

Pasal 258 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merumuskan pengertian perselisihan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

32

Pasal 201 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

33

Akil Mochtar, Mahkamah Konstitusi dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Jakarta, 2010, hal.4.


(33)

a. perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan antarapasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaiPeserta Pemilu Kepala Daerah dan KPU provinsi dan/atau KPUkabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu;

b. yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasilPemilukada yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPUkabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk keputaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan calon kepaladaerah dan wakil kepala daerah.

Pengertian pemilu sendiri menurutUU 10/2008tentang Pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD bahwa pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.34

Arbi Sanit menyatakan bahwa melalui pemilu, transformasi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan negara dilakukan dengan fungsinya sebagai perjanjian sosial (social contract). Artinya melalui pemilu para individu pemegang hak politik bersepakat menyerahkan sebagian haknya kepada organisasi yang dipandang berpotensi utnuk berkuasa atau membentuk kedaulatan negara.

Dari pengertian ini saja kemudian dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa konstitusi memang mengkehendaki pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

35

34

Pasal 1 Angka 1 UU No. 10 Tahun 2008

35

Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 186


(34)

kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat menurut sistem permusyawaratan perwakilan.36

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis, berkedaulatan rakyat, transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dan demokratisasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar pemerintahan secara vertikal.37

MA menurut Pasal 2 Undang-Undang No.14 Tahun 1985disebutkanbahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Dengan demikian secara substansial maupun teknis mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah berbeda dengan mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

38

36

Hendra Sudrajat, Op cit, Kewenangan Mahkamah Konstitusi..

37

Ibid.

38

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316)


(35)

badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.39

Namun kemudian seiring dengan adanya perubahan UUD 1945 maka keberadaan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945.40O.C. Kaligis dalam bukunya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya”mengatakan bahwa MA dan MK sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga perwakilan (legislature).41 Namun, struktur kedua lembaga kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama satu sama lain.42

MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 , memutus perselisihan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.43

39

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)

MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

40

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

42

Ibid.

43


(36)

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.44MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA , tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.45

1. Jenis Penelitian F. Metode Penelitian

Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut;

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penelitian yuridis normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian.

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu sebagai berikut:

A. Bahan Hukum Primer

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

44

Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

45


(37)

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844

c. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

e. Undang-Undang Republik Indonesianomor 3 Tahun 2009.TentangPerubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985Tentang Mahkamah Agung dalam Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 2009

B. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini, dan putusan MK.

C. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa.


(38)

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan (Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga datanya dapat diakui.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut. d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin

tersebut.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:


(39)

BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, hingga Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai pemilu, pemilukada, serta perselisihan pemilukada.

BAB III : Bab ini membahas tentang kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia.

BAB IV : Bab ini membahas tentang peralihan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi serta efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini berisi penutup berupa Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga Saran.


(40)

BAB II

PEMILIHAN UMUM

A. Pemilihan Umum

1. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum

Pada dasarnya yang dimaksud dengan pemilu adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.46 Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 (selanjutnya ditulis UU 15/2011)tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 (selanjutnya ditulis UU 8/2012)tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilihan Umumadalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.47

Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari yang semula berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”menunjukan terjadinya

47

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101;Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5246) Dan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316).


(41)

perubahan gagasan yang begitu mendasar tentangkedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya mengatur tentang kekuasaan tertinggi.48

Moh.Kusnardi dan Harmailly Ibrahim mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyatyang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

49

Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945 sekaligus juga diiringi dengan perubahan terhadap cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Salah satu contoh yang dapat dikemukan bahwa Presiden sebagai penyelenggara salah satu cabang kekuasaan negara pada awalnya dipilih oleh MPR.Sedangkan berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen,

Rakyatlah yang menentukan corak dan bagaimana cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyat jugalah yang menetukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.Berdasarkan hal tersebut maka diadakanlah pemilihan umum yang yang bertujuan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dimana rakyat memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi mereka.

48

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004, hlm. 4.

49


(42)

Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR.Begitu juga mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara kekuasaaan negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Semua anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu.Tidak seorangpun anggota DPR dan DPD yang ditunjuk sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelum reformasi, di mana anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu.

Sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, dalam sistemdemokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalammerencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukanpengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan dengan ketentuan UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan. Perbedaan yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.50

50

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, 2007, hal. 292.

Pertama, kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sekarang tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek saja (ordening subject), yaitu MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat. Dalam rumusan yang baru, semua lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan


(43)

rakyat. Kedua, pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan undang-undang dasar tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut ketentuan undang-undang dasar..Secara langsung penjelmaan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat itu adalah melalui pemilihan umum langsung untuk menetukan pemegang jabatan publik pada suatu lembaga negara yang harus dilakukan secara berkala dan teratur.

.Ada beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk dilaksanakan secara berkala.51Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan selalu sama untuk jangka waktu yang panjang, dalam artian bahwa kondisi kehidupan rakyat itu bersifat dinamis sehingga aspirasi mereka akan aspek kehidupan bersama juga akan berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Mungkin saja terjadi dalam jangka waktu tertentu rakyat menghendaki agar corak dan jalannya pemerintahan harus berubah, hal ini dapat kita pahami dengan melihat proses amandemen UUD 1945.Dan dapat dihubungkan dengan teori resultan dari K.C. Wheare yang menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki aspek pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi.52

51

Ibid., hlm. 171.

52

K.C. Wheare , op.citKonstitusi-Konstitusi Modern... hal.104.

Kedua, disamping pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena dinamika dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia.Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dapat juga disebabkan karena


(44)

pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula belum tentu memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Dan keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud untuk menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun di cabang kekuasaan legislatif.

2. Tujuan pemilihan umum

Secara menyeluruh, tujuan penyelenggaraan pemilu itu ada 4 (empat)53

a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;

, yaitu :

b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

c. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Harus dimaklumi, kemampuan seseorang dalam melaksanakan apapun adalah bersifat terbatas.Di samping itu pula, jabatan pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban dan tanggung jawab, bukan merupakan hak yang harus dinikmati. Jadi, sudah seharusnya seseorang tidak boleh menduduki suatu jabatan tanpa ada kepastian berapa lama ia duduk di jabatan tersebut. Dibutuhkan suatu

53

Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 418-419.


(45)

siklus jabatan yang dinamis untuk mencegah kekuasaan yang permanen dan menjadi sumber malapetaka, hal ini dikarenakan dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itulah, pergantian kepemimpinan harus dipandang sebagai suatu keniscayaan untuk memelihara amanah yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.

Dalam pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu di cabang kekuasaan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan terlaksananya pemilu yang teratur dan berkala maka pergantian pejabat yang dimaksud juga berjalan secara teratur dan berkala pula.54

Suatu kewajaran apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lingkungan eksekutif maupun di lingkungan legislatif.Pergantian pejabat yang dimaksudkan disini adalah pergantian yang terjadi secara legalatau terjadi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.Dan di dalam negara

54


(46)

demokrasi pergantian pejabat pemerintah itu ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui pemilu yang diselenggarakan secara periodik.

Pemilu kemudian disebut juga bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan (elected public officials). Dalam hal tersebut di atas, memungkinkan disini bermaksud bahwa tidak harus selalu berarti ketika terjadi pemilihan umum harus terjadi pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang Presiden di Indonesia atau Amerika Serikat dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud memungkinkan disini berarti bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan yang sama bagi peserta pemilu untuk menang atau kalah. Pemilu yang demikian itu hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil).

Tujuan ketiga dan keempat dari pemilihan umum itu adalah juga untuk melasanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi para warga negara. Untuk menentukan jalannya negara, rakyat sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara secara dengan benar dan sebaik-baiknya menurut Undang – undang Dasar adalah hak konstitusional warga negara dan merupakan hak yang sangat fundamental. Oleh karena itu penyelenggaraan pemilu, di samping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan


(47)

hak-hak asasi warga negara sendiri.. Demikian pula di lingkungan kekuasaan eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota.

B. Pemilukada

Perihal mengenai pemilu diatur secara tersendiri dalam Bab VIIB UUD 1945tentang Pemilihan Umum. Dalam bab tersebut dinyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.55

1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang pesertanya adalah partai politik;

Pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945, pemilu yang dimaksudkan oleh konstitusi adalah pemilu untuk memilih:

56

2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang pesertanya adalah perseorangan;57

3. Presiden dan Wakil Presiden yang pesertanya adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum;58

55

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

56

Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.

57

Ibid.

58


(48)

4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pesertanya adalah partai politik.

Selain ketentuan diatas pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan adanya ketentuan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis.59

Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multitafsir, harus dikaji secara mendalam dan komprehensif tentang pengaturan pemilukada sehingga penerapannya dapat memberikan manfaatbagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Menurut Ibnu Tricahyo berdasarkan tafsir sistematis dan historis maka demokratis adalah pemilihan langsung.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini oleh UUD 1945 diamanatkan dalam undang-undang. Makna perkataan demokratis sesuai dengan ketentuan konstitusi tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme yang ditempuh untuk melaksanakan pemilihan tersebut.

60

59

Pasal 18 UUD NRI 1945

60

Ibnu Tricahyo,”Menata Managemen Pemilihan Kepala Daerah”, Makalah, Pada lokakarya MPR.

Selain itu dapat dilihat dari tafsirsosiologis bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap hal tersebut, sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam


(49)

membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilukada.61

Pengaturan pemerintahan daerah sebagai penjabaran pasal 18 ayat (4) UUD1945, dituangkan dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerahyang telah mengalami revisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan juga telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari demokrasi representatif bergeser ke demokrasi partisivatif. Demokrasi secara umum dimaknai “dari, oleh, danuntuk rakyat”, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya ditentukan oleh rakyat baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Maka kemudian oleh pembentuk undang- undang makna demokratis itu ditafsirkan sebagai pemilihan secara langsung yang diimplementasikan dalam UU 32/2004 sebagai pengganti UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

61

Amancik, Model Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 Dalam Rangka Otonomi Daerah, Jurnal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.


(50)

PemerintahNomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketentuan ini mengatur bahwa kepala daerah dan wakil Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Penafsiran “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah “dipilih secaralangsung oleh rakyat”, sehingga pemilukada kemudiandikategorikan juga masuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelahterbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.62 Akhirnya sejak Juni 2005, pemilukada, baik gubernur, bupati dan walikotadilakukan secara langsung.Pemilukada sendiri diartikan sebagai pemilu untuk memilih kepala daerah danwakil kepala daerah secara langsung dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan UUD 1945.63

Kacung Marijan mengatakan pemilukada langsung padadasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal denganberbagai kemajuan, tetapi juga memunculkan fenomena ”ekonomipolitik bayang-bayang” dengan calon hanya bermodalkan politikdan modal ekonomi. Calon tersebut kemudiantidak otonom dengan kekuatan ekonomi dan politik yangmendukungnya. Ia mengutip Peter Evan (1995), yang mengatakanpemerintah daerah memiliki jaringan

(embeddedness) dengankekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang

62

A. Mukhtie Fadjar, Pemilu yang Demokratis..., op.cit, hlm.6.

63

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721)


(51)

mendukungnya.64

Dengan pemilihan langsung,rakyat merupakan pelaku utama dan penentu kekuasaan di daerah.Rakyat semula hanya sebagai penonton proses demokrasi lokalyang didominasi para elit (DPRD dan partai politik). Denganpemilukada langsung, rakyat yang memilih siapa yang memimpindan mewakilinya di daerah. Pembajakan otoritas rakyat oleh parapemimpin atau wakilnya diharapkan tidak terjadi denganpemilukada langsung. Lewat pemilihan secara luber dan jurdil pemilihjuga akan bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan. Diharapkan program-programdari calon akan lebih baik dan akan mengimplementasikannya secara nyataketika dipilih rakyat secara langsung. Selain itu para pemimpin hasilpemilihan langsung akan lebih mendengar suara pemilih sehinggapraktik money politic serta reduksi oleh elit-elit politik akanmenghilang dengan dikembalikannya kedaulatan kepada rakyat.

Mahalnya biaya politik saat ini yang dikeluhkan dalam pemilukadalangsung terkait erat dengan praktik kecurangan ini dan faktorkedekatan dengan masyarakat sebagai modal pencalonan belumsebagai hal utama yang diusung oleh para calon.

65

64

Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung), (Surabaya: Eureka-Pusdeham, 2006), hlm. 83-118

65

Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Perintis Press, 1985), 98-107.

Secara teori, kepala daerah yang dipilih langsung cenderung akan menggunakan keterwakilannyasecara “delegate”, yaitu berusaha merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakanyang menjadi pilihan dan keinginan pemilih. Sedangkan jika tidak langsung,akan cenderung mengarah pada fungsi keterwakilan “trustee”, yaitu menjalankan kewenangan sesuai apayang diyakini,


(52)

terlepas dari pemilih atau mengarah pada fungsi “politico”, membuat keputusan politikberdasarkan situasi yang berkembang.66

C. Perselisihan Hasil Pemilukada

Berbeda dengan pemilu-pemiluyang berlangsung sebelum perubahan UUD 1945 yang tidak dapatdiuji hasilnya oleh peserta pemilu, sesudah perubahan UUD 1945, pemilu yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihanumum yang bersifat “nasional, tetap, dan mandiri”, dapat diujihasilnya oleh peserta pemilu di MKsebagai “perselisihan hasil pemilu”.UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruanglingkup mengenai apa yang dimaksud dengan “perselisihan hasilpemilu” seperti yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakniUndang-Undang No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 24/2003) sebagaimana telah diubah Undang-Undang No.8 Tahun 2011(selanjutnya ditulis UU 8/2011) TentangMK. Dalampasal 74 ayat (2) UU 8/2011 memberikan pengertian bahwaperselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai “penetapanhasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU”yang mempengaruhi :

a. terpilihnya calon anggota DPD;

b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran keduapemilihan

Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

c. perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

66


(53)

Kalau kita cermati, ketentuan Pasal 74 ayat (2) tersebut hanyaberkaitan dengan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, danDPRD serta perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden,belum menjangkau mengenai perselisihan hasil pemilukada. Hal itu dapat dimengerti, karena yang menjadi kewenangan konstitusional MK saat itu hanyalah untuk memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana dimaksudPasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pada dasarnya adalah hasil pemilu yang dimaksuddalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilu anggota DPR, DPD, presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

MK sejak tahun 2008 diberikan kewenanganmengadili sengketa

pemilukada yang semula dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).67Kewenangan

mengadili perkarapemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukumdan ketetanegaraan, dimana putusan MK adalah final danmengikat (final and binding). Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu.Keberadaan lembaga MK yang mengadili juga merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu dengan penyelesaian sengketa dengan prosedur dankeputusan yang adil dan cepat.68

Ruang lingkup ”sengketapemilukada” sesuai kewenangan yang dimiliki

MK, yaitu: Pertama,penyimpangan dalam proses dan tahapan pemilukada

67

Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut.

68

Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, (Jakarta: Partnership, 2008), 28-29.


(54)

akanberpengaruh atas hasil akhir yang mengharuskan MK tidak bolehmembiarkannya dan dinilai juga untuk menegakkan keadilan.Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilanprosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkankeadilan substantif (substantive justice). Kedua, pengalihankewenangan dari MA ke MK bermakna bahwa MK sebagaiperadilan konstitusi diberikan mandat sebagai pengawal konstitusidan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabilberdasarkan konstitusi.69

69

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada..., op.cit., hlm.120

Jadi MK tidak hanya bertindak sebagai kalkulator hasil penghitungan pemilukada namun masuk kedalam proses yang menentukan hasil pemilukada itu sendiri.


(55)

BAB III

KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM RUANG LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA

A. Konsep Negara Hukum

Negara hukum dalam bahasa Inggris disebut the rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat. The rule of law dan rechtstaat di Eropa adalah sistem hukum yang berbeda70.The rule of law berkembang di Inggris dan negara-negara Anglo Saxon lainnya sementara rechtsstaat berkembang di negara Eropa kontinental, akan tetapi keduanya memiliki ciri utama yakni pembatasan terhadap kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Pembatasan tersebut dilakukan dengan hukum dan menjadi dasar paham konstitusionalisme modern, oleh karena itu konsep negara hukum disebut juga sebagai negara konstitusional atau constitutional state.71

Pemikiran tentang negara hukum pertama kali dimulai oleh Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah negara yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik pula, kemudian disebutnya dengan istilah Nomoi.72

70

JimlyAsshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_In donesia.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2012

71

Ibid..

72

Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana Jakarta, 2003, hal 88.

Kemudian pemikiran Plato dipertegas muridnya Aristoteles, menurutnya negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan


(56)

konstitusi dan berkedaulatan hukum.73Sebuah filosofi Romawi kuno menyatakan

ubi societas ibi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum.74 Pada abad ke 17 pemikiran mengenai negara hukum menjadi populer karena keadaan sosial politik di Eropa yang didominasi absolutisme.Muncullah keinginan-keinginan untuk merombak struktur sosial politik yang tidak menguntungkan golongan pandai dan kaya menjadi negara hukum yang liberal.75 Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perumusan yang berbeda-beda.Konsep negara hukum Eropa kontinental dipelopori oleh Immanuel Kant dan Julius Stahl.Imanuel Kant berpandangan bahwa negara hukum berfungsi sebagai penjaga malam (nacthwachers staat), artinya negara hanya menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar.Urusan mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan. Pandangan Imanuel Kant ini memberikan gambaran negara “liberal“ dimana urusan individu warganya tidak boleh dicampuri oleh negara.76

1.pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

Di sisi lain konsep Stahl tentang negara hukum memiliki empat unsur pokok yakni :

2.pemisahan kekuasaan;

3.pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);

73

Nukthoh Arfawie,Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 14.

74

Ibid.

75

Muhamad Tahir Azhary, op.cit., hal. 89.

76


(57)

4.Adanya peradilan administrasi untuk mengadili perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah.77

Gagasan Stahl ini dinamakan negara hukum formil karena lebih menekankan kepada negara yang diatur oleh undang-undang.

Di inggris perkembangan konsep negara hukum dipelopori oleh A. V. Dicey yang disebut sebagai The rule of law, dimana dia menekankan pada tiga unsur utama yakni:

1. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum);

2. Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara;

3. Constitution based on individual right, artinya konstitusi bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya menegaskan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.

Pada saat ini konsep rechtsstaat yang dikembangkan Julius Stahl dikombinasikan oleh The International Commission of Jurists dengan konsep the rule of law yang dikembangkan A. V. Dicey menjadi prinsip-prinsip penting dari negara hukum, yakni:

1.Negara harus tunduk pada hukum;

2.Pemerintah menghormati hak-hak individu;

77


(58)

3.Peradilan yang bebas dan tidak memihak.78

Jadi, baik konsep rule of law maupun rechtstaat eksisitensi suatu negara haruslah tunduk terhadap supremasi hukum bukan terhadap negara itu.Titik Triwulan Tutik berpendapat “..., maka negara hukum hakikatnya adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali.Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis.Kekuasaan negara didalamnya harus tunduk pada “aturan main”.”79

Salah satu instrumen penting di dalam suatu negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen untuk menyelenggarakan peradilan guna mewujudkan kepastian hukum dan keadilan.

Kedaulatan hukum menempatkan negara harus tunduk di hadapan hukum. Kedaulatan negara tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum.

80

78

Jimly Ashidiqie, Konstitusi Dan Konstitusialisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal. 12.

79

Titik Triwulan Tutik, Konstuksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 62.

80

Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Berbagai konvensi Internasional, seperti: Universal Declaration of Human Rights , International Covenant Civil and Political Rights, International Bar Association Code of Minimum Standard of Judicial Independence , Beijing Statement of Independence of Judiciary in the Law Asia Region juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu komponen utama dalam suatu negara hukum. Konvensi dimaksud bahkan


(1)

B. Saran

Adapun saran dari penulis adalah :

1. Penulis berpandangan bahwa pengalihan wewenang penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari MA kepada MK adalah sudah tepat dikarenakan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dipandang lebih cakap dan mampu menangani perselisihan yang timbul sebagai bagian dari proses demokrasi.

2. Penulis berpandangan bahwa harus lebih dibangun sinergi kerja antar lembaga penyelenggara negara dengan penyelenggara pemilu itu sendiri dalam hal ini KPU agar tegas dan berani dalam melakukan eksekusi terhadap putusan yang telah dikeluarkan MK terkait perselisihan yang terjadi.


(2)

Daftar Pustaka

Abdul Ghoffar, KejujurandalamBingkaiHakMemilih-Dipilih (PelajarandariPemilukada Bengkulu Selatan), JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, SekertariatJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

A. AhshinThohari, Komisi yudisial dan reformasi peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarkat (ELSAM), Jakarta, 2004.

Akil Mochtar, Mahkamah Konstitusi dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Jakarta, 2010.

Amancik, Model PemilihanKepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 DalamRangkaOtonomi Daerah, Jurnal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.

A Mukthie Fadjar,Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum, Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, 2009.

Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008.

Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta, Perintis Press, 1985.

Bewa Rawagino, Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Bandung, 2007.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 219.

Hendra Sudrajat, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor , Agustus 2010.

H. M Thallah, Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan persepektif pemikiran hans kelsen, Jurnal hukum no. 3 vol 16, Bandung, 2009.

Juli 2013.


(3)

diakses tanggal 17 Agustus 2013.

IbnuTricahyo,”MenataManagemenPemilihanKepala Daerah”, Makalah, Padalokakarya MPR.

J. Van Kandan J.H. Beekhuis, PengantarIlmuHukum( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.

J.S. Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994.

JimlyAsshiddiqie, Perkembangan Dan KonsolidasiLembaga Negara PascaReformasi, CetakanKedua, SekretariatJendralMahkamahAgung RI, Jakarta, 2006.

JimlyAsshiddiqie, Pokok-PokokHukum Tata Negara Indonesia PascaReformasi, BIP, Jakarta, 2007.

JimlyAshidiqie, Konstitusi Dan Konstitusialisme Indonesia, SekretariatJendraldanKepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

JimlyAshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_H ukum_Indonesia.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2012.

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi Dan PeranMahkamah Konstitusi DalamSistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Surakarta, 2009.

Janedjri M. Gaffar, “MeretasDemokrasiSubstantif”, Seputar Indonesia, 27 Desember 2010.

Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung), Surabaya, Eureka-Pusdeham, 2006.

KasusPilkadaKotawaringin Barat RawanNularke Bkl

=viewarticle&ci=8&artid=7359, diakses 11 November 2010.

KomisiYudisialRepubik Indonesia,

BungaRampaiRefleksiSatuTahunKomisiYudisial, KomisiYudisialRepublik Indonesia, Jakarta, 2006.

Mahkamah Agung, Cetak biru mahkamah agung, Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2010.


(4)

Mahkamah Agung, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip), Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2011.

MaruararSiahaan, ImplementasiPutusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010

MengenaiPerselisihanHasilPemilihanUmumKepala Daerah KabupatenLamongan, JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011,

SekertariatJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2, April 2010.

Montesquieu, MembatasiKekuasaanTelaahMengenaiJiwaUndang-Undang, PT GramediaPustakaUtama, Jakarta, 1993.

Moh.KusnardidanHarmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, PS HTN Universitas Indonesia, Jakarta, 1983.

“MK MerampasKewenangan KPU dan PTUN, http://mediaindonesia.com/ webtorial/ tanahair/?bar_id=MTYwNTEx”, diakses 11 November 2010.

Muchsin, KekuasaanKehakiman Yang Merdeka Dan KebijakanAsasi, Cetakan I, STIH Iblam, Depok, 2004.

MuhamadTahirAzhary, Negara Hukum: SuatuStudiTentangPrinsip-PrinsipnyaDilihat Dari SegiHukum Islam, ImplementasinyaPada Negara MadinahdanMasaKini, Kencana Jakarta, 2003.

NandangAlamsahDeliarnoor,

TinjauanTeoretisYuridisSengketaPemilihanKepala Daerah (Pilkada), MakalahDisampaikandalamacara “SosialisasiPemilihanUmumGubernur Dan WakilGubernurJawa Barat 2008” bertempat di PusatPengembangan Islam Bogor (PPIB) padahariRabu, 26 Maret 2008, ataskerjasama KPUD ProvinsiJabardenganLemlit UNPAD.

NukthohArfawie,TelaahKritisTeori Negara Hukum, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2007.

Noorwahidah, SengketaPemilukadaKotawaringin Barat (AnalisisTerhadapPutusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010 dariPerspektifHukum Negara danHukum Islam), JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, SekertarianJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

Perkara No.3/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR , DPD Dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar 1945.


(5)

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994.

PutusanMahkamahKonstitusiNomorNomor: 072- 073 /PUU-II/2004 tanggal 25 Maret 2005.

PutusanMahkamahKonstitusiRepublik Indonesia Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 7 Juli 2010 (selanjutnyadisebutPutusan MK), hlm.193-194.

Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Jakarta: Partnership, 2008.

RizkyArgama, “Ramai-ramaiMatikanDemokrasi Daerah” demokrasi-daerah-broleh-rizky-argama, diakses 11 November 2010.

Rudratyo, Jurnal Konstitusi Vol II No.1, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009.

”SaksiAhliDukungPutusan MK KasusKotawaringin Barat”, http://www.jpnn.com /index.php?mib=berita.detail&id=68858 diakses 11 November 2010.

SamsulWahidin, HukumPemerintahan Daerah

MengawasiPemilihanUmumKepala Daerah, PustakaPelajar, Yoyakarta, 2008. “SengketaHasilPemiluKepala Daerah KeadilandanMasalahHukum”, Diskusipublik yang diselenggarakanolehDivisiAdvokasidanBantuanHukum DPP PartaiDemokratdan Seven Strategic Studies padatanggal 6 Agustus 2010.

SoewotoMulyosudarmo,

PembaharuanKetatanegaraanMelaluiPerubahanKonstitusi, AsosiasiPengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004.

TitikTriwulanTutik, KonstuksiHukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010.

Tri Karyanti, Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen, Majalah Informatika Vol 3: Universitas Aki, 2012.

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.


(6)

Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1985; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101;Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5246)

Undang-UndangNomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentangPenyelenggaraPemilu ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.

.

WidodoEkatjahjana, Telaah Kritik Tas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur, Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011.