HUBUNGAN ANTARA PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS DENGAN GIZI KURANG TERHADAP KEJADIAN Hubungan Antara Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian Hepatitis Imbas Obat Di Balai Besar Kesehatan Paru
HUBUNGAN ANTARA PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA PASIEN
TUBERKULOSIS DENGAN GIZI KURANG TERHADAP KEJADIAN
HEPATITIS IMBAS OBAT DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MASYARAKAT SURAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh :
MOHAMMAD REZA AZHARI
J500110015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA PASIEN
TUBERKULOSIS DENGAN GIZI KURANG TERHADAP KEJADIAN
HEPATITIS IMBAS OBAT DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MASYARAKAT SURAKARTA
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Mohammad Reza Azhari, Riana Sari, Endang Widhiyastuti
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menjadi masalah
kesehatan serius di negara maju maupun berkembang termasuk di Indonesia baik
dari segi morbiditas maupun mortalitas.Obat Anti Tuberkulosis utama seperti
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid adalah obat yang paling banyak digunakan
dalam pengobatan TB dan obat-obat tersebut memiliki potensi hepatotoksik. Di
Indonesia 50% penderita hepatitis akut merupakan akibat dari reaksi obat terhadap
hati.Kurang gizi memiliki resiko untuk mengakibatkan penyakit seperti TB.
Keadaan kurang gizi pada pasien TB, akan meningkatkan resiko hepatotoksik
karena kurang gizi tersebut mengakibatkan hepar menjadi lebih lambat dalam
proses metabolisme OAT, kemudian toksisitas meningkat.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengobatan tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap
kejadian hepatitis imbas obat.
Metode Penelitian: Desain penelitian menggunakan observasional analitik,
dengan pendekatan cross sectional. Jumlah responden penelitian sebanyak 35
pasien tuberkulosis gizi kurang. Teknik pengambilan sampel dengan cara
purposive sampling. Data dianalisis dengan uji Chi-Square dengan program SPSS
17.0 for Windows.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,005) yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengobatan tuberkulosis pada pasien
tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbasobat.
Kesimpulan: Ada hubungan antara pengobatan tuberkulosis pada pasien
tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat di
BBKPM Surakarta.
Kata kunci :Pengobatantuberkulosis, gizikurang, hepatitis imbasobat.
Pendahuluan.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan
serius di negara maju maupun berkembang termasuk di Indonesia baik dari segi
morbiditas maupun mortalitas. Hingga sampai saat ini, belum ada negara yang
terbebas dari TB. Hal ini membuat TB menjadi perhatian dunia. Kelompok usia
yang sering menjadi penderita TB adalah kelompok usia produktif antara 15
hingga 50 tahun. Di Indonesia pada tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat
5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika selatan, dan Nigeria.
Peringkat ini sudah mengalami banyak penurunan setelah sebelumnya pada tahun
2007, Indonesia berada di peringkat ke 3 terbanyak setelah India dan China
(Depkes, 2011).
Saat ini beberapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digunakan dalam bentuk
gabungan atau kombinasi untuk pengobatan TB. Obat Anti Tuberkulosis
mempunyai 2 tingkatan, yaitu OAT utama (first line) dan obat TB lain (second
line). Obat Anti Tuberkulosis utama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
etambutol dan streptomisin. Obat Anti Tuberkulosis lain adalah viomisin,
etionamid, kanamisin, sikloserin dan kapriomisin, yang akan digunakan jika
terjadi Multidrug Resistance. Obat Anti Tuberkulosis utama seperti isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid adalah obat yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan TB dan obat-obat tersebut memiliki potensi hepatotoksik. Apabila
obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi, maka toksisitas akan jauh lebih
meningkat. Di Amerika Serikat, sekitar 2000 kasus gagal hati akut karena
hepatotoksik, dan di Indonesia 50% penderita hepatitis akut merupakan akibat dari
reaksi obat terhadap hati (Pandit., et al 2012)
Kaitan antara TB
dan gizi kurang telah diketahui sejak lama. Dahulu
penyakit ini sering diilustrasikan dengan pasien gizi kurang. Sebuah penelitian di
India Selatan pada tahun 2006 mengatakan pasien gizi kurang 11 kali lipat lebih
rentan untuk menderita infeksi TB. Melalui penelitian Leonnorth pada tahun 2010
mengatakan kondisi gizi kurang meningkatkan risiko infeksi TB hingga 3 kali
lipat. Penelitian oleh Richard Semba et al menjelaskan bagaimana gizi kurang
dapat meningkatkan risiko TB. Gizi kurang dapat mengganggu pertahanan
epitelial sehingga memudahkan kuman TB untuk masuk selain itu, defisiensi
makro dan mikronutrien akan menurunkan kemampuan sistem imun yang
dimediasi oleh sel. Keadaan kurang gizi pada pasien TB, akan meningkatkan
resiko hepatotoksik karena kurang gizi tersebut mengakibatkan hepar menjadi
lebih lambat dalam proses metabolisme OAT, kemudian toksisitas meningkat
(Krisnasari., et al 2010).
Metode.
Penelitian merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian ini dilakukan pada penderita tuberkulosis dengan gizi kurang
baik laki-laki maupun perempuan berusia 21-59 tahun yang menjalani pengobatan
di BBKPM Surakarta dan tercatat dalam rekam medik tahun 2014 bulan Januari
sampai Oktober, pada tanggal 2 Februari 2015.
Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Umur Responden
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur.
Umur
Gizi Kurang
21-29
10 orang
30-39
7 orang
40-49
3 orang
50-59
15 orang
Total
35
Sumber : Data Sekunder, 2014
%
28,5
20
8,57
42,8
100
Berdasarkan data pada Tabel 2 tersebut, persentase pasien
tuberkulosis yang gizi kurang, terbanyak pada kelompok umur 50-59
tahun sebesar 42,8% dan paling rendah pada kelompok umur 40-49
tahun sebesar 8,57%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan di BBKPM Surakarta
paling banyak berusia 50-59 tahun.
b. Jenis Kelamin
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Frekuensi
23
12
%
65,7%
34,2%
Total
35
100%
Sumber : Data Sekunder 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 3 di
atas, persentase jenis kelamin laki-laki sebesar 65,7% dan jenis
kelamin perempuan sebesar 34,2%. Dapat disimpulkan bahwa lakilaki lebih banyak daripada perempuan.
c. Hubungan
Antara
Pengobatan
Tuberkulosis
Pada
Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian HIO.
Tabel 4. Distribusi Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian
HIO.
Variabel
HIO
%
Tidak
HIO
%
%
Total
HIO
19
54,2
35
100%
Status Gizi
Gizi Kurang
16
45,7
Sumber : Data Sekunder 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4 di
atas, gizi kurang yang menderita HIO sebanyak 16 orang dengan
presentase 45,7% dan gizi kurang yang tidak menderita HIO sebanyak
19 orang dengan presentase 54,2%.
2. Analisa Bivariat
Hubungan
Antara
Pengobatan
Tuberkulosis
Pada
Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian Hepatitis Imbas
Obat bisa diketahui dengan cara analisis data menggunakan SPSS 17.0
for Windows dengan uji chi-square, hasil dari uji tersebut dapat dilihat
pada tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Hasil uji Chi-Square Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian HIO.
HIO
HIO
Tidak
gizi
kurang
Status Gizi
Kurang
Total
Count
Expected
Count
Count
Expected
Count
Count
Expected
Count
Tidak
HIO
Total P-Value
3
32
35
9.5
25.5
35.0
16
19
35
9.5
25.5
35.0
19
51
70
19.0
51.0
70.0
P=0.000
Sumber : Data primer , 2014
Dari hasil analisis data di atas menggunakan uji Chi-Square, nilai
expected lebih dari 5 jadi data tersebut layak untuk di uji chi-square serta
didapatkan nilai p sebesar 0.000 sehingga hubungan antara pengobatan
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap
kejadian hepatitis imbas obat dikatakan bermakna karena nilai p kurang
dari 0,05.
Pembahasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur 50-59 tahun adalah
pasien TB terbanyak yang menjalani pengobatan. Hal ini sama dengan pendapat
Mukhsin (2009) yang menyebutkan bahwa umur penderita mempengaruhi
metabolisme, imunitas, dan efek kerja obat (OAT). Hasil sama juga ditunjukkan
pada penelitian Utami (2009) bahwa umur 50-59 tahun adalah pasien TB
terbanyak yang menjalani pengobatan. Hal ini dimungkinkan karena penderita
pernah terkena TB di usia muda, tetapi karena kelalaian dalam pengobatan, faktor
biaya dan lain-lain maka penyakit baru terdeteksi pada umur tersebut (Utami,
2009).
Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah
pasien TBgizi kurang laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hasil serupa
juga diperlihatkan dalam penelitian yang dilakukan Utami (2009) bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih banyak jumlah pasien TB gizi kurangnya dibandingkan
perempuan. Hal ini karena laki-laki memiliki tingkat kesadaran untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya lebih rendah dari pada perempuan (Utami, 2009).
Hasil analisis bivariat pengobatan TB pada pasien tuberkulosis dengan gizi
kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat menggunakan uji Chi-Square, nilai
expected lebih dari 5 jadi data tersebut layak untuk di uji chi-square serta
didapatkan nilai p sebesar 0.000 sehingga hubungan antara pengobatan
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian
hepatitis imbas obat dikatakan bermakna.
Hasil serupa juga diperlihatkan dalam penelitian lain yang dilakukan oleh
Rusmawati dan kawan-kawan tahun 2009 di RS. Dr.Sardjito, RS.Soeradji
Tirtonegoro, RSUD Muntilan, Wates dan Banyumas pada bulan Januari 2001
sampai November 2006 pada 31 kasus pasien dewasa menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna pada kejadian hepatitis imbas obat berdasarkan usia, jenis
kelamin, maupun status gizi. Tetapi setelah dilakukan analisis sub bagian,
kejadian hepatitis imbas obat pada pasien dengan status gizi kurang didapatkan
hasil yang bermakna.
Hasil sama ditunjukkan oleh Pratomo (2012) bahwa status nutrisi berperan
sebagai penentu kesudahan hasil klinis penderita TB. Kebutuhan nutrisi yang
cukup sangatlah penting bagi tubuh, salah satu diantaranya untuk menghasilkan
suatu kumpulan asam amino tripeptida yang disebut glutation. Cadangan glutation
yang berada di hepar berfungsi sebagai detoksifikasi racun yang nantinya akan
diubah menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan dalam urin.
Dalam studi yang dilakukan oleh Pandit et al.,(2012) mengatakan bahwa
toksisitas akan jauh lebih meningkat apabila diberikan dalam pengobatan secara
kombinasi dan status gizi pasien yang kurang, karena daya kerja hepar akan
menjadi berat. Seseorang dengan status gizi kurang akan mengalami penurunan
kadar glutation, kemudian orang tersebut lebih mudah mengalami trauma
oksidatif apabila cadangan glutation berkurang. Menurunnya kadar glutation
hepar menyebabkan meningkatnya hepatotoksisitas zat yang metabolitnya secara
normal akan didetoksifikasi melalui ikatan dengan glutation dan mengubahnya
menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan dalam urin dan empedu. Ekskresi melalui
empedu memungkinkan terjadinya xenobiotik pada hepar sehingga menimbulkan
efek hepatotoksik.
Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian Dikromo (2011) ketika
melakukan penelitian di poliklinik paru Rumah Sakit Persahabatan dengan sampel
83 orang, mengatakan bahwa kejadian hepatitis imbas obat tidak hanya
dipengaruhi oleh status gizi, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
interaksi OAT-ARV, penyakit hepar sebelumnya, dan infeksi HIV pada pasien itu
sendiri.
Penelitian ini mengeksklusikan penderita TB dengan penyakit penyerta lain.
Meskipun penelitian ini telah dilakukan dengan sebaik mungkin, namun masih
ada kekurangan sebab variabel perancu masih ada yang belum bisa dikendalikan
misalkan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari berbeda setiap penderita TB,
sehingga akan mempengaruhi status gizi dan keadaan hepar, selain itu faktor
sosial ekonomi juga berpengaruh dalam hal daya beli makanan dan juga
pengobatan yang di lakukan masing-masing pasien tersebut. Pasien dengan faktor
sosial ekonomi yang tinggi akan mengkonsumsi makanan yang lebih bergizi
daripada pasien dengan sosial ekonomi rendah. Dalam pengobatan juga demikian,
pasien dengan sosial ekonomi tinggi akan mendapat pengobatan yang lebih baik
daripada pasien dengan sosial ekonomi rendah.
Kesimpulan.
Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hubungan
yang bermakna antara pengobatan tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan
gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat.
Daftar pustaka.
Alsagaff, Hood., 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
tuberkulosis. Surabaya, Universitas Airlangga Press , 19-21.
Amin, Zulkifli dan Bahar, Asril., 2009. Pengobatan TB termutakhir. In : Buku
Ajar IPD. Jakarta. Interna Publishing.
B.Njoku, Dolores., 2014. Drug-Induced Hepatotoxicity: Metabolic, Genetic and
Immunological Basis, International Journal of Molecular Science, 2014
(15), 6991-9.
Bihari Gupta, Khrisna; Gupta, Rajesh; Atreja, Atulya; Verma, Manish dan
Vishukorma, Suman., 2009. Tuberkulosis and Nutrition, Lung India, 26(1),
9-11.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI., 2009.
Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. http://staff.ui.
ac.id/systm/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf.
Diakses
19
Oktober 2014. 1-14.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2011. TBC Masalah Kesehatan
Dunia. http://depkes.go.id. Diakses: 16 September 2014. 1-2.
Djojodibroto, Darmanto., 2007. Penyakit Parenkim Paru. Jakarta, Buku
Kedokteran EGC, 151-68.
Krisnasari, Diah., 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk, Mandala of health, 4(1), 60-8.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2010. Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/11/bukusk-antropometri-2010.pdf. Diakses: 16 September 2014. 38-40.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2013. Pedoman Manajemen Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat.
Http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/67_PMK%2010.%2013%20ttg%2
0Pengendalian%20tuberkulosis%20resisten%20obat.pdf.
Diakses:
17
September 2014. 31-86.
Padit, Aashish; Sachdeva, Tarun dan Bafna, Pallavi., 2012. Drug-Induced
Hepatotoxicity: A Review, Journal of Applied Pharmaceutical Science,
02(05), 233-43.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia., 2013. Hepatitis Imbas Obat. http://
http://pphi-online.org/alpha/?s=hepatitis+imbas+obat. Diakses: 11 Oktober
2014. 1-2.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia., 2010. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. http://Jurnal-tuberkulosis-indonesia-vol17-okt2010.pdf. Diakses
15 Oktober 2014. 2-4.
Persatuan Dokter Paru Indonesia., 2006. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan
Tuberkulosis
di
Indonesia.
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses: 31 Oktober 2014. 1-42.
Pratomo, Iriandi Putra; Burhan, Erlina dan Tambunan, Victor., 2012. Malnutrisi
dan Tuberkulosis, J Indon Med Assoc, 62(6), 231-4.
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbang Kesehatan
Jakarta.,2013.Mycobacterium Penyebab Penyakit Tuberkulosis Serta
Mengenal
Sifat-Sifat
Pertumbuhannya
di
Laboratorium.
http://bbtklppjakarta.
pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375257799-edit-mycobacteriumbtkl-untuk-majalah-2013.pdf. Diakses 10 oktober 2014. 1-6.
Rusmawati; Naning, Roni dan Ismail, Djauhar., 2009. Gizi Kurang sebagai Faktr
Resiko Hepatitis Drug Induced karena Obat Anti Tuberkulosis, Jurnal
Biomedika, 1(1), 45-9.
Tujios, S dan Fontana, R.J., 2011. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury:
from bedside to bench, Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 2011(8), 202-11.
Utami A.S., 2009. Mayoritas Usia Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil
Pemeriksaan Radiologi di Bagian Radiologi RSUP.DR.Sardjito. Fakultas
Kedokteran UGM. Skripsi
World Health Organitation., 2010. Countdown to 2015 Global Tuberculosis
Report
2013
Supplement.
http://www.stoptb.org/assets/documents/global/plan/tb_global/
plantostopTB2011.pdf. Diakses: 13 Oktober 2014. 21-2.
TUBERKULOSIS DENGAN GIZI KURANG TERHADAP KEJADIAN
HEPATITIS IMBAS OBAT DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MASYARAKAT SURAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh :
MOHAMMAD REZA AZHARI
J500110015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA PASIEN
TUBERKULOSIS DENGAN GIZI KURANG TERHADAP KEJADIAN
HEPATITIS IMBAS OBAT DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU
MASYARAKAT SURAKARTA
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Mohammad Reza Azhari, Riana Sari, Endang Widhiyastuti
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menjadi masalah
kesehatan serius di negara maju maupun berkembang termasuk di Indonesia baik
dari segi morbiditas maupun mortalitas.Obat Anti Tuberkulosis utama seperti
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid adalah obat yang paling banyak digunakan
dalam pengobatan TB dan obat-obat tersebut memiliki potensi hepatotoksik. Di
Indonesia 50% penderita hepatitis akut merupakan akibat dari reaksi obat terhadap
hati.Kurang gizi memiliki resiko untuk mengakibatkan penyakit seperti TB.
Keadaan kurang gizi pada pasien TB, akan meningkatkan resiko hepatotoksik
karena kurang gizi tersebut mengakibatkan hepar menjadi lebih lambat dalam
proses metabolisme OAT, kemudian toksisitas meningkat.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengobatan tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap
kejadian hepatitis imbas obat.
Metode Penelitian: Desain penelitian menggunakan observasional analitik,
dengan pendekatan cross sectional. Jumlah responden penelitian sebanyak 35
pasien tuberkulosis gizi kurang. Teknik pengambilan sampel dengan cara
purposive sampling. Data dianalisis dengan uji Chi-Square dengan program SPSS
17.0 for Windows.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,005) yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengobatan tuberkulosis pada pasien
tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbasobat.
Kesimpulan: Ada hubungan antara pengobatan tuberkulosis pada pasien
tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat di
BBKPM Surakarta.
Kata kunci :Pengobatantuberkulosis, gizikurang, hepatitis imbasobat.
Pendahuluan.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan
serius di negara maju maupun berkembang termasuk di Indonesia baik dari segi
morbiditas maupun mortalitas. Hingga sampai saat ini, belum ada negara yang
terbebas dari TB. Hal ini membuat TB menjadi perhatian dunia. Kelompok usia
yang sering menjadi penderita TB adalah kelompok usia produktif antara 15
hingga 50 tahun. Di Indonesia pada tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat
5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika selatan, dan Nigeria.
Peringkat ini sudah mengalami banyak penurunan setelah sebelumnya pada tahun
2007, Indonesia berada di peringkat ke 3 terbanyak setelah India dan China
(Depkes, 2011).
Saat ini beberapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digunakan dalam bentuk
gabungan atau kombinasi untuk pengobatan TB. Obat Anti Tuberkulosis
mempunyai 2 tingkatan, yaitu OAT utama (first line) dan obat TB lain (second
line). Obat Anti Tuberkulosis utama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
etambutol dan streptomisin. Obat Anti Tuberkulosis lain adalah viomisin,
etionamid, kanamisin, sikloserin dan kapriomisin, yang akan digunakan jika
terjadi Multidrug Resistance. Obat Anti Tuberkulosis utama seperti isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid adalah obat yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan TB dan obat-obat tersebut memiliki potensi hepatotoksik. Apabila
obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi, maka toksisitas akan jauh lebih
meningkat. Di Amerika Serikat, sekitar 2000 kasus gagal hati akut karena
hepatotoksik, dan di Indonesia 50% penderita hepatitis akut merupakan akibat dari
reaksi obat terhadap hati (Pandit., et al 2012)
Kaitan antara TB
dan gizi kurang telah diketahui sejak lama. Dahulu
penyakit ini sering diilustrasikan dengan pasien gizi kurang. Sebuah penelitian di
India Selatan pada tahun 2006 mengatakan pasien gizi kurang 11 kali lipat lebih
rentan untuk menderita infeksi TB. Melalui penelitian Leonnorth pada tahun 2010
mengatakan kondisi gizi kurang meningkatkan risiko infeksi TB hingga 3 kali
lipat. Penelitian oleh Richard Semba et al menjelaskan bagaimana gizi kurang
dapat meningkatkan risiko TB. Gizi kurang dapat mengganggu pertahanan
epitelial sehingga memudahkan kuman TB untuk masuk selain itu, defisiensi
makro dan mikronutrien akan menurunkan kemampuan sistem imun yang
dimediasi oleh sel. Keadaan kurang gizi pada pasien TB, akan meningkatkan
resiko hepatotoksik karena kurang gizi tersebut mengakibatkan hepar menjadi
lebih lambat dalam proses metabolisme OAT, kemudian toksisitas meningkat
(Krisnasari., et al 2010).
Metode.
Penelitian merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian ini dilakukan pada penderita tuberkulosis dengan gizi kurang
baik laki-laki maupun perempuan berusia 21-59 tahun yang menjalani pengobatan
di BBKPM Surakarta dan tercatat dalam rekam medik tahun 2014 bulan Januari
sampai Oktober, pada tanggal 2 Februari 2015.
Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Umur Responden
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur.
Umur
Gizi Kurang
21-29
10 orang
30-39
7 orang
40-49
3 orang
50-59
15 orang
Total
35
Sumber : Data Sekunder, 2014
%
28,5
20
8,57
42,8
100
Berdasarkan data pada Tabel 2 tersebut, persentase pasien
tuberkulosis yang gizi kurang, terbanyak pada kelompok umur 50-59
tahun sebesar 42,8% dan paling rendah pada kelompok umur 40-49
tahun sebesar 8,57%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan di BBKPM Surakarta
paling banyak berusia 50-59 tahun.
b. Jenis Kelamin
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Frekuensi
23
12
%
65,7%
34,2%
Total
35
100%
Sumber : Data Sekunder 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 3 di
atas, persentase jenis kelamin laki-laki sebesar 65,7% dan jenis
kelamin perempuan sebesar 34,2%. Dapat disimpulkan bahwa lakilaki lebih banyak daripada perempuan.
c. Hubungan
Antara
Pengobatan
Tuberkulosis
Pada
Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian HIO.
Tabel 4. Distribusi Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian
HIO.
Variabel
HIO
%
Tidak
HIO
%
%
Total
HIO
19
54,2
35
100%
Status Gizi
Gizi Kurang
16
45,7
Sumber : Data Sekunder 2014.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4 di
atas, gizi kurang yang menderita HIO sebanyak 16 orang dengan
presentase 45,7% dan gizi kurang yang tidak menderita HIO sebanyak
19 orang dengan presentase 54,2%.
2. Analisa Bivariat
Hubungan
Antara
Pengobatan
Tuberkulosis
Pada
Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian Hepatitis Imbas
Obat bisa diketahui dengan cara analisis data menggunakan SPSS 17.0
for Windows dengan uji chi-square, hasil dari uji tersebut dapat dilihat
pada tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Hasil uji Chi-Square Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien
Tuberkulosis Dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian HIO.
HIO
HIO
Tidak
gizi
kurang
Status Gizi
Kurang
Total
Count
Expected
Count
Count
Expected
Count
Count
Expected
Count
Tidak
HIO
Total P-Value
3
32
35
9.5
25.5
35.0
16
19
35
9.5
25.5
35.0
19
51
70
19.0
51.0
70.0
P=0.000
Sumber : Data primer , 2014
Dari hasil analisis data di atas menggunakan uji Chi-Square, nilai
expected lebih dari 5 jadi data tersebut layak untuk di uji chi-square serta
didapatkan nilai p sebesar 0.000 sehingga hubungan antara pengobatan
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap
kejadian hepatitis imbas obat dikatakan bermakna karena nilai p kurang
dari 0,05.
Pembahasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur 50-59 tahun adalah
pasien TB terbanyak yang menjalani pengobatan. Hal ini sama dengan pendapat
Mukhsin (2009) yang menyebutkan bahwa umur penderita mempengaruhi
metabolisme, imunitas, dan efek kerja obat (OAT). Hasil sama juga ditunjukkan
pada penelitian Utami (2009) bahwa umur 50-59 tahun adalah pasien TB
terbanyak yang menjalani pengobatan. Hal ini dimungkinkan karena penderita
pernah terkena TB di usia muda, tetapi karena kelalaian dalam pengobatan, faktor
biaya dan lain-lain maka penyakit baru terdeteksi pada umur tersebut (Utami,
2009).
Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah
pasien TBgizi kurang laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hasil serupa
juga diperlihatkan dalam penelitian yang dilakukan Utami (2009) bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih banyak jumlah pasien TB gizi kurangnya dibandingkan
perempuan. Hal ini karena laki-laki memiliki tingkat kesadaran untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya lebih rendah dari pada perempuan (Utami, 2009).
Hasil analisis bivariat pengobatan TB pada pasien tuberkulosis dengan gizi
kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat menggunakan uji Chi-Square, nilai
expected lebih dari 5 jadi data tersebut layak untuk di uji chi-square serta
didapatkan nilai p sebesar 0.000 sehingga hubungan antara pengobatan
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan gizi kurang terhadap kejadian
hepatitis imbas obat dikatakan bermakna.
Hasil serupa juga diperlihatkan dalam penelitian lain yang dilakukan oleh
Rusmawati dan kawan-kawan tahun 2009 di RS. Dr.Sardjito, RS.Soeradji
Tirtonegoro, RSUD Muntilan, Wates dan Banyumas pada bulan Januari 2001
sampai November 2006 pada 31 kasus pasien dewasa menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna pada kejadian hepatitis imbas obat berdasarkan usia, jenis
kelamin, maupun status gizi. Tetapi setelah dilakukan analisis sub bagian,
kejadian hepatitis imbas obat pada pasien dengan status gizi kurang didapatkan
hasil yang bermakna.
Hasil sama ditunjukkan oleh Pratomo (2012) bahwa status nutrisi berperan
sebagai penentu kesudahan hasil klinis penderita TB. Kebutuhan nutrisi yang
cukup sangatlah penting bagi tubuh, salah satu diantaranya untuk menghasilkan
suatu kumpulan asam amino tripeptida yang disebut glutation. Cadangan glutation
yang berada di hepar berfungsi sebagai detoksifikasi racun yang nantinya akan
diubah menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan dalam urin.
Dalam studi yang dilakukan oleh Pandit et al.,(2012) mengatakan bahwa
toksisitas akan jauh lebih meningkat apabila diberikan dalam pengobatan secara
kombinasi dan status gizi pasien yang kurang, karena daya kerja hepar akan
menjadi berat. Seseorang dengan status gizi kurang akan mengalami penurunan
kadar glutation, kemudian orang tersebut lebih mudah mengalami trauma
oksidatif apabila cadangan glutation berkurang. Menurunnya kadar glutation
hepar menyebabkan meningkatnya hepatotoksisitas zat yang metabolitnya secara
normal akan didetoksifikasi melalui ikatan dengan glutation dan mengubahnya
menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan dalam urin dan empedu. Ekskresi melalui
empedu memungkinkan terjadinya xenobiotik pada hepar sehingga menimbulkan
efek hepatotoksik.
Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian Dikromo (2011) ketika
melakukan penelitian di poliklinik paru Rumah Sakit Persahabatan dengan sampel
83 orang, mengatakan bahwa kejadian hepatitis imbas obat tidak hanya
dipengaruhi oleh status gizi, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
interaksi OAT-ARV, penyakit hepar sebelumnya, dan infeksi HIV pada pasien itu
sendiri.
Penelitian ini mengeksklusikan penderita TB dengan penyakit penyerta lain.
Meskipun penelitian ini telah dilakukan dengan sebaik mungkin, namun masih
ada kekurangan sebab variabel perancu masih ada yang belum bisa dikendalikan
misalkan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari berbeda setiap penderita TB,
sehingga akan mempengaruhi status gizi dan keadaan hepar, selain itu faktor
sosial ekonomi juga berpengaruh dalam hal daya beli makanan dan juga
pengobatan yang di lakukan masing-masing pasien tersebut. Pasien dengan faktor
sosial ekonomi yang tinggi akan mengkonsumsi makanan yang lebih bergizi
daripada pasien dengan sosial ekonomi rendah. Dalam pengobatan juga demikian,
pasien dengan sosial ekonomi tinggi akan mendapat pengobatan yang lebih baik
daripada pasien dengan sosial ekonomi rendah.
Kesimpulan.
Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hubungan
yang bermakna antara pengobatan tuberkulosis pada pasien tuberkulosis dengan
gizi kurang terhadap kejadian hepatitis imbas obat.
Daftar pustaka.
Alsagaff, Hood., 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
tuberkulosis. Surabaya, Universitas Airlangga Press , 19-21.
Amin, Zulkifli dan Bahar, Asril., 2009. Pengobatan TB termutakhir. In : Buku
Ajar IPD. Jakarta. Interna Publishing.
B.Njoku, Dolores., 2014. Drug-Induced Hepatotoxicity: Metabolic, Genetic and
Immunological Basis, International Journal of Molecular Science, 2014
(15), 6991-9.
Bihari Gupta, Khrisna; Gupta, Rajesh; Atreja, Atulya; Verma, Manish dan
Vishukorma, Suman., 2009. Tuberkulosis and Nutrition, Lung India, 26(1),
9-11.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI., 2009.
Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. http://staff.ui.
ac.id/systm/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf.
Diakses
19
Oktober 2014. 1-14.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2011. TBC Masalah Kesehatan
Dunia. http://depkes.go.id. Diakses: 16 September 2014. 1-2.
Djojodibroto, Darmanto., 2007. Penyakit Parenkim Paru. Jakarta, Buku
Kedokteran EGC, 151-68.
Krisnasari, Diah., 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk, Mandala of health, 4(1), 60-8.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2010. Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/11/bukusk-antropometri-2010.pdf. Diakses: 16 September 2014. 38-40.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2013. Pedoman Manajemen Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat.
Http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/67_PMK%2010.%2013%20ttg%2
0Pengendalian%20tuberkulosis%20resisten%20obat.pdf.
Diakses:
17
September 2014. 31-86.
Padit, Aashish; Sachdeva, Tarun dan Bafna, Pallavi., 2012. Drug-Induced
Hepatotoxicity: A Review, Journal of Applied Pharmaceutical Science,
02(05), 233-43.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia., 2013. Hepatitis Imbas Obat. http://
http://pphi-online.org/alpha/?s=hepatitis+imbas+obat. Diakses: 11 Oktober
2014. 1-2.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia., 2010. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. http://Jurnal-tuberkulosis-indonesia-vol17-okt2010.pdf. Diakses
15 Oktober 2014. 2-4.
Persatuan Dokter Paru Indonesia., 2006. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan
Tuberkulosis
di
Indonesia.
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses: 31 Oktober 2014. 1-42.
Pratomo, Iriandi Putra; Burhan, Erlina dan Tambunan, Victor., 2012. Malnutrisi
dan Tuberkulosis, J Indon Med Assoc, 62(6), 231-4.
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbang Kesehatan
Jakarta.,2013.Mycobacterium Penyebab Penyakit Tuberkulosis Serta
Mengenal
Sifat-Sifat
Pertumbuhannya
di
Laboratorium.
http://bbtklppjakarta.
pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375257799-edit-mycobacteriumbtkl-untuk-majalah-2013.pdf. Diakses 10 oktober 2014. 1-6.
Rusmawati; Naning, Roni dan Ismail, Djauhar., 2009. Gizi Kurang sebagai Faktr
Resiko Hepatitis Drug Induced karena Obat Anti Tuberkulosis, Jurnal
Biomedika, 1(1), 45-9.
Tujios, S dan Fontana, R.J., 2011. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury:
from bedside to bench, Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 2011(8), 202-11.
Utami A.S., 2009. Mayoritas Usia Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil
Pemeriksaan Radiologi di Bagian Radiologi RSUP.DR.Sardjito. Fakultas
Kedokteran UGM. Skripsi
World Health Organitation., 2010. Countdown to 2015 Global Tuberculosis
Report
2013
Supplement.
http://www.stoptb.org/assets/documents/global/plan/tb_global/
plantostopTB2011.pdf. Diakses: 13 Oktober 2014. 21-2.