Relasi Kuasa Dalam Politik Sunda.

NONUN PAi)'"j

~) ~asa
4

() Rab!!.

5
20

o Mar

G

.

21
Apr

()


7
22

0

.

8
23
Mei

Kal/li~.~

9

() Jun

24

11

25

0

.

Jll/lIat

10
Jul

.

Ags

13

27

0


U

Sabtu

12
26

0

(-~';;;;"'"'
.i~ ))

Sep

28

0

Mil99U

14
15
29
30

Okt

0

Nov

0
,.--.

16

~
31

Des


RELASI KUASA
r

I,

,

"

.

I

---

-~

Hurip gustina, waras abdina
Rea harta rea harti, rea ketan rea keton


Ungkapan di atas merupakan gambaran para pemimpin yang telah
mampu menciptakan rasa keadilan merata kepada. rakyatnya, mendistribusikan kemakmuran kepada khalayak. Ungkapan itu diambil
dari roman sejarah-politik pangeran Kornel karangan R Memed
Sastrahadiprawira yang diterbitkan Bala!Pustaka pada tahun 1930.
Disamping itu, pengarang yang sama juga menerbitkan roman
Hantr;Jero pada tahun 1928.
OLEH ASEP SALAHUDIN

roman, yang seperti dokumen sejarah dalarn bentuk
sastra, ini memiliki karakteristik sarna: menggarnbarkan
penguasa Sunda tempo dulu.
Roman pertama tampak lebih realis,yaitu muatan fakta lebih menonjol daripada
fiksinya. Adapun roman kedua, Mantri
Jero, kebalikannya.
Tentu sajaroman seperti ini dibuat dengan tendensi utama: menghadirkan falsafah dari sebuah daerah yang menjadi
latar geografis roman itu. Dalarn hal ini
adalah falsafah politik Ki Sunda. Tidak
heran seandainya kedua roman ini acap
kali dijadikan rujukan ketika seseorang

berbicara tradisi politik KiSunda,di sarnping naskah kuno Sanghiyang Siksakandang Karesian, Bujangga Manik, dan
Pantun Lutung Kasarung.
Tarnpakjelas dalarn roman itu, bagaimanaseorangpangeran (raja), walaupun
dia termasuk terosing ratu rembesing
kusumah, sarna sekali tidak gumenak.
Karena tidak gumenak, dia marnpu menyelami aspirasi dan kehendak rakyat sebagaimana terangkum dalarn ungkapan
menak lobasocana,rimbil cepilna.Mencintai rakyat yang papa (nyaah kanu masakat) sekaligus mencintai tanah air dengan tuntas seperti tecermin dari ungkapan yang menyiratkan kecintaan akan
tanah airini: lemah em,baligeusanngajadi dan banjarkarangpamidangan.

-- --

- -- - - ---

Kliping

Humos

WHUR

Satu hallagi filsafatpolitik yang dapat

kita tangkap dari Pangeran Komel adalah kesediaan dirinya untuk selalu mendengar kejemihan kata hati, istilah Jurgen Habermas dalarn The Structural
Transfonnation of the PublicSphere, kata hati ini sebagaimodal sosialuntuk melakukan komunikasi partisipatoris di ruang publik (public sphere). Komunikasi
seperti ini dalarn praktiknya tidak pernah memberikan toleransi bagi ketidakjujuran, keculasan, pengkhian~tan dan
dusta. Selalu ada ruang dialog untuk
mencapai kesalingpengertian. "Nalar
publik" (masyarakat) diberi kesempatan
untuk berbicara dan meinberikan pengawasan kepada negara. Kita simak selengkapnya ujaran Pangeran sebagaimana dikutip Suwarsih Warnaen dan kawan-kawan (1985):
"...kudu percaya kana kayakinan hate sorangan, sanajan ceuk batur salah, tapi lamun
ceuk kayakinan hate sorangan bener, asal cukup
ikhtiar ulah sok galideur, sabab saksi nomor hiji

Ur,pod

2009

- --

anu bakal,walahkeun
kuan maneh


goreng benang
tapi hate
nyieun

jeung ngabenerkeun

teh nyaeta:
disimbutan

mah moal

kasalahan

ku omongan

benang

di paling.

moal pinanggih


maan, salilana berewit
panyakit,

hate. Sanajan

kala-

kalakuan
bo~ong,
Lamun

jeung kasuge-

dina ati, tungtungna

anu bakal ngaruksak

jadi


kana pikiran je-

ung badan."

Demang Dongkol
Tentu saja dalam praktiknya tidak sedikit juga menak dan raja yang menjadikan laku menak loba socana, rimbil eepilna hanya sebagai sebuah kepura-puraan.

Demokrasi yang seolah-olah. Masyarakat hanya sebagai atas nama dan setelah
itu yang tersisa adalah muslihat, kecurangan, pengkhianatan, dan basilat Negara hanya dijadikan lumbung untuk
memperkaya diri dan keluarganya.Negara hanya alat yang harus berkhidmat bukan kepada rakyat, melainkan terhadap
hasrat nafsu berkuasa yang dangkal dan
sesat.
Perilaku seperti ini tempo hari diperagakan oleh Patrakusmuh dan Demang
Dongkol.Perilaku dan kiprah politik menyimpang (milrun~ pada gilirannya telah menciptakan suasana Sumedang
menjadi kacau. Sumedang dikepung keadaan instabilitas, yakni kondisi yang
menggelisahkan dan saling curiga satu
sama lain (sahengharenghen~, beragam
krisis ekonomi (werit), ketakutan dan kecemasan (loba karisi jeung karempan),
kekhawatiran (loba kahariwan~, dan ketenteraman yang punah (leungit katentreman).
.
Sudah menjadi hukum alam, ketika
perilaku menyimpang ini yang dominan,
.

sejatinya khatamnya kerajaan, kekuasaan, dan orde itu tinggal menungguwaktu.
Sejarah telah mengajarkan tentang hal
ini. Hikayat selalu berulang ketika kesalahan yang sama diperagakan. Hal ini sudah bisa diprediksi sebagaimana diprediksikannya Pajajaran yang akan dianeksasi Mataram atau Indonesia dijajah Belanda dan Jepang. Prediksi seperti ini dalam tradisi Sunda disebut uga,seperti uga
kejatuhan Sumedangitu sendiri.
Sumedang

ngarangrangan

Geus cunduk

kana

waktu,

enggeus

datang

kana mangsa
Dayeuh

luhur kantun

catur, Kutamaya

taya

daya
Bandung

heurin ku tangtug

Kearifan perenial
Namun, dalam pengalaman sejarah,
pengetahuan prediktif ini tidak pernah
dijadikan sebagaisatu teladan. Yangacap
mencuat justru kiprah politik yang lebih
dungu dari keledai: jatuh dalam lubang
yang sarna untuk kesekian kali. Korupsi
dan tindakan basilat lainnya diyakini
menjadi awal dari runtuhnya sebuah orde,tetapi keyakinan ini hanya sebatas kesadaran kognitif, tidak pernah diresapkan di layarbawah sadarmenjadi satukeinsafan, apalagi menjadi tindakan. Pantas seandainya sastrawan kenamaan
Milan Kundera mencatatkan bahwa perjuangan yang bakiki adalah tatkala seseorang berhadapan untuk melawan lupa.Lupa terhadap hawa napsu yangmenjadi muasal kehancuran.
Sanajan

geus

kahalang

ku mangpirang-pi-

rangjaman
Ganti taun ganti bulan
Kaayaan bumi alam meh teu aya robahna
Kitu deui hawa napsuna je/ema teu aya pisan mendingna

Alhasil, kearifan politik yang diteladankan dalam Pangeran Komel sudah
selayaknya dijadikan pedoman oleh politisi Sunda khususnya dan politisi basis
kulturallain pada umumnya sebagai satu
pijakan utama untuk membangun relasi
kekuasaan yang berkeadaban. Kekuasaan yang berkhidmat kepada kepentingan
orangbanyak.
Kearifan perenial ini menjadi mendesak untuk diperhatikan,justru
ketika saat ini banyak politisi yang sasabdan kasurupan. Menjadi sangat kontekstual justru ketika Tatar Pasundan di kepungpara
bupati, wali kota, dan anggota legislatif
yang banyak berurusan dengan kejaksaan karena tindakan dan kiprahnya yang
sudah melawati jalur yang wajar: pindah .
eaipindah pilempangan.
ASEP SALAHUDIN
Pengamat KebudayaanSunda;
MahasiswaS-3 Unpad Bandung

---

-----