Relasi kuasa dalam dinamika wacana dan gerakan Keistimewaan Yogyakarta.

(1)

xi

ABSTRAK

Leonardo Budi Setiawan (2013). Relasi Kuasa dalam Dinamika Wacana dan

Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan

Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Wacana Keistimewaan Yogyakarta secara umum ditafsirkan sebagai

Penetapan raja-raja di Yogyakarta menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah

Istimewa Yogyakarta. Wacana ini membuat adanya dorongan

kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian disebut Gerakan Keistimewaan

Yogyakarta. Dinamika gerakan ini berkembang di tengah konflik penafsiran

tentang sejarah Yogyakarta.

Di tengah polemik ini, penafsiran mengenai makna Keistimewaan

Yogyakarta semakin berkembang. Semua penafsiran tersebut menggunaakan

penafsiran sejarah. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui genealogi

keistimewaan Yogyakarta sebagai upaya untuk memberikan penafsiran secara

kritis tentang tema ini, bukan sekedar menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi.

Dalam realitas yang terjadi dalam gerakan keistimewaan, dinamika yang

tercipta adalah penciptaan teknologi politik tertentu yang bertujuan mendapatkan

dukungan rakyat untuk memperkuat daya. Di sisi lain, ada hubungan-hubungan

unik yang tercipta di tengah resistensi di dalam gerakan sosial.

Oleh karena itu, analisis relasi kuasa ini diharapkan bisa memberikan

kontribusi bagi kajian terhadap fenomena gerakan politik lokal dan hubungannya

dengan sistem pemerintahan.


(2)

xii

ABSTRACT

Leonardo Budi Setiawan (2013). Power Relation towards the dynamics of

discourse and movement of Yogyakarta Speciality. Yogyakarta: Magister Ilmu

Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

The Discourse of the Specialness of Yogyakarta is commonly interpretated

as establishment of Kings of Yogyakarta as governor and vice governor of The

Special District of Yogyakarta. This discourse has raised massive groups called

The Movement of the Specialness of Yogyakarta. The movement dynamics has

developed in the midst of conflict to interpret the history of Yogyakarta.

The polemics are raised in the interpretation about the meaning of the

Specialness of Yogyakarta. Thus, every argument based on the matter of history.

Therefore, understanding the genealogy is very significant as an effort to make a

critical interpretation. Then, history is not about legitimation.

Based on the experience in the movement, there was a creation of certain

Tecnology of Politics in order to gain

people’s support. In other dimension,

unique relations were created in the resistence.

This analysis of the relation of power is aimed to give contribution

towards studies of local political movement and its relation to government.


(3)

 

RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta

Oleh

Leonardo Budi Setiawan 096322002

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2013


(4)

RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta

Oleh

Leonardo Budi Setiawan 096322002

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2013


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

vi

 


(10)

vii

 

PENGANTAR

Rasanya, sampai pada titik ini, banyak sekali pihak yang saya ucapkan terimakasih. Menuliskan lembar ini menjadi bagian tersulit dibanding dengan menuliskan lembar-lembar lain dalam tesis ini. Tapi, justru bagian inilah yang terpenting karena tanpa keberadaan pihak-pihak yang telah membantu saya, tesis ini tidak pernah akan terwujud. Pertama, saya sangat bersyukur karena keputusan saya mendaftar Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, sangat didukung oleh keluarga. Keluarga saya (Bp. Drs. A. Ngadina Hadiwiratmo, Ibu C.A. Siti Bugiati, S.Pd., G. Irawan Setyanto H., serta keluarga besar) adalah rumah (house sekaligus home), tempat saya beristirahat saat lelah dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, keluarga kedua saya yaitu gerombolan sahabat yang mungkin menjadikan rumah saya sebagai rumah kedua. Untuk Fransisca Emi Hartanti yang telah menemani selama hamper tujuh tahun, selesainya tesis ini berarti menjadi tahap selanjutnya untuk perjalanan kita.

Saya mengucap terimakasih untuk para pengajar di IRB yang saya jumpai di dalam kelas (Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel; Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum; Dr.G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; Dr. Budiawan; Dr. Hary Susanto, SJ). Saya juga sangat berterima kasih dengan para staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah.


(11)

viii

 

Secara khusus saya mengucapkan terimakasih pada Romo Banar (Dr.G. Budi Subanar, SJ ) dan Romo Budi (Dr.Alb.Budi Susanto, SJ) yang telah membaca dan mengkritik ratusan halaman tulisan yang telah saya ketik. Kritik para pembimbing tersebut membuat saya semakin terlatih untuk menulis. Pendewasaan oleh kritik adalah hal yang saya dapatkan dari proses ini. Maka, saya baru mengerti bahwa kerja penelitian yaitu: kecermatan dalam pengamatan dan pembacaan, ketekunan dalam pemilahan dan pemilihan, serta ketertiban dalam penulisan dan pelaporan.

Penulisan Tesis ini tidak akan pernah terjadi jika tanpa Pak Widihasto yang bersedia meluangkan waktunya. Wawancara dengan beliau membuat saya menemukan banyak informasi yang kemudian saya kembangkan sebagi temuan data. Saya mengucap terimakasih pada beliau yang juga telah mengantarkan saya kepada informan-informan lain.

Pembelajaran saya di IRB tidak hanya membuat saya mendapatkan banyak ilmu tapi juga persahabatan. Saya bersyukur telah mempunyai kawan-kawan satu angkatan; Abed, Agus, Mei, Rino, Probo, Virus, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus. Tuhan memberkati dan menjaga langkah kalian.

Saya merasa, selesainya Tesis ini bukanlah sebuah hasil akhir sejak saya mulai menuliskannya dua tahun yang lalu. Tesis ini adalah sebuah awal penelitian akan sebuah tema yang telah membuat saya gelisah selama beberapa tahun terakhir. Hal yang sangat berharga dari proses ini yaitu: ‘Menulis adalah bekerja untuk keabadian’.


(12)

ix ABSTRAK

Leonardo Budi Setiawan (2013). Relasi Kuasa dalam Dinamika Wacana dan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Wacana Keistimewaan Yogyakarta secara umum ditafsirkan sebagai Penetapan raja-raja di Yogyakarta menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Wacana ini membuat adanya dorongan kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian disebut Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Dinamika gerakan ini berkembang di tengah konflik penafsiran tentang sejarah Yogyakarta.

Di tengah polemik ini, penafsiran mengenai makna Keistimewaan Yogyakarta semakin berkembang. Semua penafsiran tersebut menggunaakan penafsiran sejarah. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui genealogi keistimewaan Yogyakarta sebagai upaya untuk memberikan penafsiran secara kritis tentang tema ini, bukan sekedar menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi.

Dalam realitas yang terjadi dalam gerakan keistimewaan, dinamika yang tercipta adalah penciptaan teknologi politik tertentu yang bertujuan mendapatkan dukungan rakyat untuk memperkuat daya. Di sisi lain, ada hubungan-hubungan unik yang tercipta di tengah resistensi di dalam gerakan sosial.

Oleh karena itu, analisis relasi kuasa ini diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi kajian terhadap fenomena gerakan politik lokal dan hubungannya dengan sistem pemerintahan.


(13)

x

ABSTRACT

Leonardo Budi Setiawan (2013). Power Relation towards the dynamics of discourse and movement of Yogyakarta Speciality. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

The Discourse of the Specialness of Yogyakarta is commonly interpretated as establishment of Kings of Yogyakarta as governor and vice governor of The Special District of Yogyakarta. This discourse has raised massive groups called The Movement of the Specialness of Yogyakarta. The movement dynamics has developed in the midst of conflict to interpret the history of Yogyakarta.

The polemics are raised in the interpretation about the meaning of the Specialness of Yogyakarta. Thus, every argument based on the matter of history. Therefore, understanding the genealogy is very significant as an effort to make a critical interpretation. Then, history is not about legitimation.

Based on the experience in the movement, there was a creation of certain Tecnology of Politics in order to gain people’s support. In other dimension, unique relations were created in the resistence.

This analysis of the relation of power is aimed to give contribution towards studies of local political movement and its relation to government.


(14)

xi DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... v

MOTTO ` ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7


(15)

xii

 

F. Tinjauan Pustaka ... 12

G. Metodologi Penelitian ... 16

H. Skema Penulisan ... 17

  BAB II. SUAKA KEDAULATAN ... 18

A. Otoritas Bertingkat ... 19

1. Perebutan Pusat Kekuasaan ... 21

2. Negara Vasal di Jawa ... 25

3. Kontrak Politik ... 27

B. Raja di dalam Republik ... 31

C. Mempertanyakan Daerah Istimewa ... 32

D. Lahirnya Gerakan ... 34

1. Mobilisasi Massa. ... 36

2. Terbentuknya Dikotomi Sosial. ... 45

BAB III. MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN ... 48

A. Gelombang Baru Pro Penetapan ... 52

1. Konsolidasi antar Pihak. ... 52

2. Aktor-aktor Gerakan. ... 60


(16)

xiii

 

B. Mengembangkan Ideologi Keistimewaan ... 65

1. Budaya Adiluhung. ... 67

2. Negara Berdaulat ... 68

3. Jasa Besar Sang Raja ... 68

C. Siasat Perlawanan Gerakan ... 70

1. Koalisi Taktis ... 70

2. Memancing Media dengan Aksi Simbolik ... 75

3. Reproduksi Sejarah ... 78

4. Penciptaan Musuh Bersama ... 82

BAB IV. RELASI KUASA ... 88

A. Negara dan Kedaulatan ... 94

1. Kedaulatan Semu ... 95

2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme. ... 98

3. Pergeseran Kuasa Jawa. ... 103

4. Kontrak (Politik) Pernikahan ... 106

5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi ... 111

B. Pemerintah dan Rakyat ... 116

1. Hubungan Rakyat dan Raja ... 116


(17)

xiv

 

3. Kelas Priyayi Baru ... 121

4. Menguasai rakyat ... 122

5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa ... 125

C. Meributkan Wacana Kebenaran ... 128

1. Menafsir Demokrasi ... 128

2. Wajah Jahat Liberalisme ... 132

BAB V. PENUTUP ... 138

     DAFTAR PUSTAKA ... 141


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam suatu sesi, saat sidang kabinet pada tahun 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berujar, “Namun, negara kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”. Tiba-tiba, pernyataan ini menjadi perhatian media. Tema Keistimewaan Yogyakarta menjadi “bola panas” yang dilontarkan presiden tahun itu. Paska pernyataan tersebut, berbulan-bulan sesudahnya, gelombang protes dan aksi massa terus bergulir.

Di Yogyakarta, tema keistimewaan mulai menjadi perhatian publik pada tahun 1998, tepat peristiwa reformasi yang memicu berkembangnya aspirasi yang sebebas-bebasnya, muncullah kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung terpusatnya jabatan politik dengan posisi kultural raja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Singkatnya, posisi gubernur sudah seharusnya dimiliki oleh raja yang berkuasa turun-temurun.

Pertanyaan tentang bentuk Keistimewaan Yogyakarta ini pertama kali muncul saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono (HB) IX pada tahun 1989. Ada problematisasi terkait dengan posisi gubernur yang setelah meninggalnya HB IX. Masalah ini tidak berlangsung lama setelah Adipati Paku Alam (PA) VIII yang tadinya adalah wakil Gubernur, bergeser menjadi pejabat Gubernur. 10


(19)

tahun sesudahnya, status keistimewaan mulai benar-benar dipertanyakan ketika PA VIII meninggal tahun 1998. Saat itu PA VIII menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta, menggantikan posisi HB IX yang meninggal. Dalam masa pemerintahan baru paska Orde Baru, tercetus ide dari pemerintahan pusat untuk mencalonkan figur lain, lepas dari kedua pribadi HB X maupun PA IX. DPRD propinsi DIY sempat mengadakan pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur.

Dorongan kuat untuk memperjelas keistimewaan Yogyakarta terlihat dari menguatnya mobilisasi massa pada tahun 1998. Seiring dengan terbukanya kebebasan beraspirasi paska Reformasi 1998, kelompok-kelompok masyarakat di Yogyakarta mengorganisir massa untuk menyatakan tuntutan agar jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dipegang oleh dua raja yang secara kultural masih mempunyai kharisma yang kuat.

Paska pengerahan massa yang diorganisir oleh perangkat desa pada tahun 1998, mobilisasi massa terus terjadi. Momentum suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur menjadi saat yang tepat bagi ribuan massa untuk menyampaikan protes.

Pengembangan gagasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi semakin kompleks. Banyak pengembangan gagasan dengan perspektif historis, hukum, dan politik. Tema ini tidak sekedar menjadi persoalan teknis suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur. Berkembanglah ragam kajian yang multiperspektif untuk mengeksplorasi legitimasi-legitimasi fundamental tentang Keistimewaan Yogyakarta dan derivasi penafsirannya.

Pada perkembangannya, dikenal istilah Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Saat perhatian publik meningkat atas isu ini, media massa


(20)

memunculkan istilah pro penetapan untuk menyebut pihak-pihak baik pribadi maupun kelompok yang beraspirasi bahwa esensi dari keistimewaan adalah penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur. Istilah ini masih terkesan ambigu. Mengingat konsep keistimewaan masih menjadi area luas, banyak pihak bisa menafsirkan arti maupun mengusulkan bentuk-bentuk Keistimewaan Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu penyebutan yang lebih relevan dan spesifik untuk menunjuk pada aktor-aktor tertentu. Maka, sebutan Pro Penetapan dan Pro Pemilihan pada akhirnya tercipta menjadi dua dikotomi yang meramaikan perdebatan keistimewaan ini.

Yang lebih marak yaitu arus pewacaanaan Keistimewaan Yogyakarta yang semuanya menggunakan perspektif historis. Mendadak, sejarah menjadi sudut pandang yang terkesan mutlak untuk melihat esensi Keistimewaan Yogyakarta. Bambang Purwanto (2003) mengatakan bahwa tema Keistimewaan Yogyakarta telah terbebani oleh sejarah. Artinya, dalam problematika tentang Keistimewaan Yogyakarta, semua argumentasi mendasarkan pada penafsiran atas sejarah.1

Dari sisi pewacanaan, Keistimewaan Yogyakarta adalah telah menjadi spektrum yang berkembang. Walaupun pada awalnya, wacana ini ditanggapi oleh publik pada tahun 1998 dengan fokusnya pada penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur, pembahasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi lebih meluas. Semakin banyak pihak yang mencoba menggali bentuk-bentuk alternatif keistimewaan yang tidak terkait dengan politik praktis penentuan jabatan kepala

1Dalam “Keistimewaan yang sarat beban Sejarah,” sebagai pengantar dalam buku

Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh para peneliti IRE, Bambang

Purwanto mengungkapkan bahwa cara berpikir untuk memahami eksistensi Provinsi DIY telah “terjebak dalam perangkap sejarah”. Sejarah tidak dilihat sebagai alat untuk memahami perubahan dan kesinambungan secara prosesual tapi lebih menjadi beban. Lihat: Bambang Purwanto (2003). “Keistimewaan yang sarat beban sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.).


(21)

daerah/gubernur

Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh Rose (2004) dalam The Power of Freedom bahwa imajinasi politik saat ini penuh dengan percampuran-percampuran yang tidak biasa dan aneh sehingga banyak hal tidak akan relevan lagi dimasukan dalam kategori-kategori politik yang konvensional.

Terkait dengan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta, kelompok masyarakat ini tidak bisa ditempatkan dalam kategori politik tertentu seperti ekstrem kiri atau kanan. Gerakan Keistimewaan Yogyakarta melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, tapi pada saat bersamaan gerakan ini juga mendukung kekuasaan lokal sebagai alternatif yang terkesan bersebrangan dengan pemerintah pusat.

Anderson (2001) melalui bukunya yang fenomenal Imagined Communities, mengatakan bahwa bangsa adalah kumpulan komunitas yang merumuskan diri mereka. Apa relevansi pernyataan Anderson ini? Penafsiran historis yang menjadi dasar argumentasi kelompok-kelompok dalam tubuh besar Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejarah kemudian menjadi pintu masuk untuk menafsirkan konsep bangsa dan negara. Artinya, sampai pada saat ini, persoalan definisi tentang bangsa, negara, ataupun negara-bangsa masih belum selesai dijawab tuntas, atau tidak akan pernah pernah tuntas. Lebih dalam lagi, melalui sejarah, berkembang pertanyaan-pertanyaan tentang bangsa dan negara untuk menyelesaikan persoalan politik lokal di Yogyakarta.

Masalah dinamika politik lokal sangat memberikan pengaruh yang luas yang cepat menyebar. Van Klinken (2010) membeberkan fakta bahwa eksistensi kesultanan di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi kesultanan-kesultanan lain di


(22)

Indonesia untuk mendapatkan legitimasi politik yang lebih luas dengan mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. Dari gejala ini terbaca bahwa ada dorongan untuk mempertaruhkan modal kultural di ranah kekuasaan untuk mendapatkan modal politik.

Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa wacana ini bukan sekedar isu otonomi daerah yang juga terjadi di daerah lain. Soewarno (2011) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk keistimewaan Yogyakarta terletak pada ranah: kepemimpinan, pertanahan, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pada lima bentuk ini, bentuk pertama hanya ada di Yogyakarta. Sedangkan, pada bentuk yang lain bisa terjadi di daerah-daerah lain. Jadi, menghilangkan bentuk pertama dari lima ragam keistimewaan ini sama saja dengan menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta.2

Penelitian ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi praktis atau kesimpulan legal-yuridis, namun lebih dekat mengungkap dinamika wacana dan gerakan serta hubungan rumitnya dalam relasi kekuasaan. Di tengah ragam penelitian tentang keistimewaan Yogyakarta, penulisan penelitian ini mengambil fokus pada terciptanya relasi kuasa dalam gerakan sosial dan wacana yang membentuknya. Dengan catatan khusus, perspektif Foucault diaplikasikan untuk melihat hubungan-hubungan kuasa ini.

Lebih khusus tentang gagasan soal negara ataupun bangsa, selalu menarik mengingat bahasan ini menjadi berkembang. Benedict Andeson melalui Imagined Communities memberikan penjelasan bahwa negara (state) bukanlah bangsa

2P.J. Soewarno. “Sultan HB X dan jabatan gubernur,” dlm. Monarki Yogya Inskonstitusional?, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm 134.


(23)

(nation). Sedangkan bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) oleh sejumlah orang yang merasa diikat oleh sejarah, bahasa, budaya, dan teritori yang sama. Dikenal pula negara bangsa (nation-state) yang menjadi umum kita kenal saat ini, dimana kebangsaan menjadi sumber pembentukan suatu organisasi negara yang dijalankan oleh aparatur.

Sudut pandang dalam penulisan ini kurang dikembangkan oleh penulisan-penulisan kajian-kajian Keistimewaan Yogyakarta yang cenderung terseret dalam kotak dikotomi ‘pro’ dan ‘kontra’, dengan terburu-buru memberikan solusi-solusi praktis soal penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur sebagai pintu akhir model keistimewaan. Disisi lain, penulisan ini adalah suatu upaya untuk tidak menyerah pada definisi-definisi kaku, yang pada hakikatnya definisi selalu berkembang dan tidak pernah selesai.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana genealogi Wacana Keistimewaan Yogyakarta?

2. Bagaimana mekanisme-mekanisme kuasa pada konstelasi antar subyek? 3. Bagaimana produksi pengetahuan soal kebenaran?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Menjabarkan perkembangan wacana kedaulatan monarki di Jawa, khususnya di Yogyakarta dari masa pra-kolonial, kolonial, dan paska-kolonial untuk mencermati hubungan-hubungan kekuasaan yang melingkupinya. Pemaparan ini sekaligus memberikan alternatif cara membaca sejarah secara kritis dengan metode genealogi agar masa lalu


(24)

menjadi pengetahuan yang menjadi pijakan untuk masa kini dan kebijakan masa depan, bukan sekedar legitimasi politik.

2. Memaparkan bagaimana dinamika Gerakan Keistimewaan Yogyakarta yang terwujud melalui kelompok Pro Penetapan saat mempengaruhi pewacanaan tentang Yogyakarta. Pemaparan ini sekaligus membongkar bagaimana sebuah gerakan menciptakan strategi, teknik, dan mekanisme kuasa sebagai perwujudan perlawanan terhadap pemahaman dan pihak tertentu yang bersebrangan.

3. Mengurai bagaimana produksi pengetahuan tentang kebenaran dalam konteks relasi kuasa yang terwujud melalui hubungan-hubungan rumit antara Wacana Keistimewaan Yogyakarta, bertumbuhnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Bagi pengembangan Kajian Budaya dan ilmu sosial-humaniora yaitu ikut mengaplikasikan sudut pandang keilmuan dalam melihat fenomena masyarakat. Secara khusus, penelitian ini penting bagi kajian politik lokal untuk memperkaya sudut pandang saat melihat fenomena sosial-politik dan kemunculan sebuah gerakan sosial.

Untuk masyarakat yang ingin lebih memperdalam pengetahuan mengenai sejarah Yogyakarta, penulisan ini bisa menjadi alternatif. Sedangkan, bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penentu kebijakan, penelitian ini bermaksud memberikan kontribusi pemahaman agar ada sudut pandang yang kritis.


(25)

E. KERANGKA TEORITIS

Foucault menawarkan sudut pandang yang cukup luas untuk menganalisis wacana dengan cara menggambarkan strukturnya dan membedah aspek-aspeknya. Formulasi teori ini bertujuan menjabarkan bagaimana perspektif wacana, kuasa, dan pemerintahan yang berlangsung dalam problematika Keistimewaan Yogyakarta.

Foucault mengungkap bahwa kuasa terwujud dalam pengetahuan, yang menjadi dasar menentukan kebenaran. Pengetahuan adalah sebuah sistem yang menggerakkan dan mengatur prosedur yaitu; produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan tindakan-tindakan pewacanaan.

Pengetahuan dengan sengaja diciptakan untuk menguasai dengan dijadikan alat untuk menaklukkan. Misalnya, pengetahuan tersebut menjadi legitimasi bagi kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lainnya. Cara bekerja kekuasaan dalam pengetahuan adalah penggolongan normal dan abnormal. Sekelompok orang normal dengan dalil ilmiah, menentukan norma dan menyingkirkan abnormalitas. Orang-orang yang dianggap abnormal menjadi obyek terdominasi. Mereka menjadi sasaran dari praktek-praktek normalisasi melalui institusi atau pengetahuan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan mendefinisikan dikotomi kaku sehingga kekuasaan terbentuk menjadi permainan benar dan salah.

Sifat kuasa itu menyebar, tidak tunggal. Daya-daya kuasa ada di setiap hubungan-hubungan sosial. Kuasa tidak hanya daya yang mensubordinasi sekelompok orang atau institusi-institusi yang beroperasi di ranah politik. Kuasa


(26)

juga dipahami sebagai sebuah proses yang menggerakkan dan mengaktifkan bentuk-bentuk aksi, relasi atau susunan sosial.

Menganalisis dengan sudut pandang Foucault yaitu berpikir secara konstruktivistik terhadap pengetahuan dengan membedah bangunan pengetahuan tertentu. Hubungan erat antara kekuasaan dan pengetahuan menunjukkan adanya problematisasi dalam setiap aspek kehidupan. Problematisasi tersebut tidak alamiah melainkan konstruksi dari relasi kuasa yang membingkainya secara historis. Oleh karena itu Foucault menawarkan suatu metode yang disebut genealogi.

Genealogi adalah alternatif pendekatan atau cara berpikir dengan cara menyusun konstitusi objek dengan latar belakang sejarah yang kemudian membentuk konsep yang ada pada saat ini.3 Singkatnya, genealogi dimaknai sebagai berikut; 1) Metode penelusuran historis. Metode ini tidak bertujuan untuk mengetahui jalinan sejarah yang linear dan evolutif. Sebaliknya, genealogi berurusan dengan pengetahuan yang spesifik dan terkait lokalitas tertentu. 2) Penelusuran sejarah yang investigatif. Genealogi tidak menaruh perhatian pada sejarah subyek yang seakan berkembang alamiah, sebagaimana menjadi ciri khas penelusuran sejarah pada umumnya. Genealogi justru mencurigai semua hal yang seakan-akan sudah lazim. 3) Sejarah masa kini. Genealogi tidak sekedar menarasikan sejarah, tapi sejarah menjadi alat untuk menelusuri masa kini.

Foucault sendiri merumuskan tujuan genealogi yaitu pengungkapan karakter masa kini yang berkait erat antara pengetahuan dengan aksi politik.

3Michel Foucault. “About the Beginnings of the Hermenuetics of the Self: Two Lectures at Dartmouth.” Political Theory (1993): 198-227.


(27)

Sebenarnya Foucault mengungkap dua manfaat genealogi. Pertama, mengetahui masa kini dengan memahami produksi-produksi pengetahuan yang menjadi karakter realitasnya. Kedua, dengan genealogi, realitas ini ditransformasikan dengan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemikiran dan tindakan. Seakan Foucault ingin menganjurkan untuk melihat realitas masa kini dan merefleksikannya dengan mempertanyakannya.

Dalam genealogi, Foucault menaruh perhatian pada teknik atau teknologi, yaitu mekanisme yang tersusun dalam praktek-praktek untuk membentuk subyek dengan pengelolaan atau manipulasi tertentu. Foucault menyatakan (1993: 203) bahwa ada tiga tipe utama teknik, yaitu; 1) teknik-teknik yang membuat seseorang untuk memproduksi, mentransformasi, dan memanipulasi banyak hal, 2) teknik-teknik yang membuat seseorang menggunakan sistem tanda, 3) teknik-teknik-teknik-teknik untuk menentukan perilaku orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu. Teknik-teknik ini disebut; Teknik-teknik produksi, Teknik-teknik manipulasi objek, Teknik-teknik signifikansi atau komunikasi, dan teknik dominasi. Teknik tersebut misalnya terwujud dalam pernyataan-pernyataan yang secara lisan maupun tulisan yang mewakili pendapat resmi.

Teknik-teknik ini terangkai bersama dalam relasi yang kompleks. Melalui analisis pada teknik-teknik, mekanisme-mekanisme penting untuk mengartikulasikan kuasa yang menyusun subyek agar tersubyektivasi. Maka, menjadi penting untuk menengarai teknik-teknik ini serta mekanismenya. Caranya, dengan mengurai teknologi politik yaitu; teknik, strategi, dan rasionalitas suatu pihak tertentu. Teknologi politik ini bisa diketahui dengan


(28)

Pendisiplinan adalah tujuan yang ingin dicapai dari aplikasi teknologi diri. Daya-daya pendisiplinan tersebar dimana saja untuk mengorganisir dan mengatur ‘tubuh-tubuh’ individu agar rapi dan teratur. Teknik ini nampak dalam keseharian seperti yang terlihat dalam sekolah, rumah sakit, penjara, dan barak militer, yaitu saat subyek diproduksi seakan-akan mereka yang mengatur diri mereka sendiri untuk melayani tujuan tertentu.

Jadi, dengan mengetahui teknik-teknik yang bekerja untuk ‘membentuk’, sehingga kita memahami bagaimana kita hidup dan berpikir. Teknik-teknik ini membentuk subyek dengan: 1) memproduksi dan mengorganisir lingkungan dimana para individu hidup, 2) menyusun sistem simbol yang signifikan dengan tujuan memaksa individu untuk menciptakan pemahaman yang masuk akal untuk diri mereka sendiri berdasarkan skema konseptual tertentu, dan 3) menekan dengan kontrol langsung terhadap aksi dan kebiasaan manusia dengan cara yang akhirnya membentuk pengalaman keseharian, tingkah laku, dan kebiasaan individu dalam konteks masyarakat tertentu.

Teknik pembentukan diri pasti terjadi dalam setiap peradaban. Teknik-teknik ini terbentuk nyata menjadi prosedur yang menganjurkan atau menetapkan aturan-aturan tertentu untuk membentuk individu dalam rangka untuk membentuk identitasnya, mengelolanya, dan merumuskannya dalam istilah-istilah tertentu (Foucault 1997: 87). Proyek yang ingin dicapai oleh Foucault dengan mengurai teknik-teknik pembentukan diri yaitu kembali pada tujuan genealogi, memahami sejarah pembentukan subyek yang selalu terkait dengan konteks wacana kuasa yang membentuknya.


(29)

F. TINJAUAN PUSTAKA

Musim semi penerbitan tema Keistimewaan Yogyakarta mulai marak paska reformasi. Beberapa peneliti menuliskan Yogyakarta dengan sudut pandang sejarah, hukum, dan pemerintahan. Tinjauan ini menjabarkan tentang beberapa penelitian yang relevan. Dari berbagai terbitan, saya membuat beberapa pengelompokan berdasarkan tendensi argumennya. Pertama, argumen yang tegas memberikan kesimpulan bahwa pemaknaan utama atas Keistimewaan Yogyakarta yaitu pada penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan dan Adipati Paku IX Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Kedua, argumen-argumen yang tidak secara jelas menyatakan pendapat soal penetapan. Ketiga, argumen yang menyatakan bahwa konsep keistimewaan tidak ditafsirkan sebagai penetapan gubernur dan wakil gubernur.

Demokratisasi adalah salah satu kata kunci dalam penulisan tema Keistimewaan Yogyakarta. Heru Wahyukismoyo (2004) dalam Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi menjabarkan tentang proses demokratisasi di dalam Kasultanan Yogyakarta melalui beberapa fase, yang secara signifikan dirintis oleh Sultan HB IX di lingkup istana. Sebelumnya, sebuah karya yang terkenal telah ditulis oleh Selo Soemardjan, yaitu Perubahan Sosial di Yogyakarta. Dalam karya tulis tersebut, Soemardjan merinci bagaimana demokratisasi mengalami perubahan dalam konteks birokrasi. Walaupun pemerintahan Sultan HB IX melakukan perubahan birokrasi, saat memasuki masa republik, perubahan terjadi lagi terutama dalam birokrasi pemerintahan masyarakat desa.4


(30)

Penulisan dengan perspektif yang lebih kritis tentang demokratisasi adalah buku berjudul Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Buku yang ditulis oleh para peneliti pemerintahan tersebut memberikan gambaran bahwa isu ini tidak semata-mata soal kepemimpinan raja-raja yang mempunyai hak khusus sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui penetapan. Ada tiga isu pokok, yaitu posisi kraton dalam konstelasi politik daerah, politik pertanahan, dan otonomi daerah. Dengan eksplisit, dinyatakan pula bahwa, posisi gubernur dan wakil gubernur yang dipilih melalui pemilihan adalah salah satu bentuk dari demokratisasi.5

Dimensi politik identitas juga mulai dibicarakan. Gejala primordialisme mulai meningkat. Kesadaran akan identitas menjadi orang Yogyakarta memicu berkembangnya kelompok dari kawasan pedesaan. Paguyuban-paguyuban perangkat desa menyatakan bahwa keistimewaan adalah urusan warga asli. Mulai tercipta dikotomi identitas kultural antara warga asli dan pendatang.6

Ragam kajian tentang daerah mengungkapkan bahwa gejolak-gejolak antara pemerintah pusat dengan daerah, bermula dari reformasi 1998 yang membuka saluran aspirasi sebesar-besarnya setelah runtuhnya Orba. Kelompok-kelompok yang mempunyai karakteristik dan tujuan beragam mulai bermunculan. Mereka mempengaruhi perbincangan politis soal negara dan demokrasi. Gagasan

5Lihat: Abdur Rozaki & Titok Hariyanto(ed).2003. Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE.

6Wawan Mashudi. 2009. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY,” dlm. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik.


(31)

tentang bangsa, negara, dan daerah mulai dipertanyakan dengan gugatan atas identitas, legitimasi negara, penindasan kultural, dan penjajahan politis.

Beberapa peneliti menjabarkan tentang fenomena menguatnya kekuatan politik terwujud melalui Gerakan Adat untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal. Beragam komunitas adat melakukan resistensi dengan berkoalisi. Gejala ini terlihat dari terbentuknya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).7 Ada kekecewaan terhadap model-model universal kemajuan yang terwujud dalam proyek-proyek politik seperti Nasionalisme dan Sosialisme. Chaney (1994) dan Jameson (1998) mengungkapkan gerakan adat yang muncul di berbagai penjuru Indonesia mencerminkan putaran balik budaya (cultural turn) dalam dunia intelektual. Keragaman budaya dipertahankan dan menyebabkan pergeseran politik praktis. Situasi ini memunculkan simpati pada kelompok-kelompok berbasis indigenitas dan etnisitas.

Masyarakat lokal menghidupkan kembali simbol-simbol budaya sebagai resistensi pada kuasa negara dan ideologi pembangunan Orba. Kebangkitan para raja ini menciptakan ranah dimana saling tarik ulurnya kaum komunitarian dan kaum liberal. Dalam Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal (van klinken, 2010) terungkap bahwa para raja memainkan peran simbolik dalam dinamika politik daerah.

Para intelektual kelas menengah di daerah-daerah melakukan renegosiasi kekuasaan. Yang direnegosiasi yaitu kompetensi birokratis, kekuasaan politik, pengaturan ekonomis, dan redefinisi identitas kelompok. Dengan perubahan

7Henley& Davidson. “Konservatisme Radikal: Aneka Wajah Politik Indonesia,” dlm.


(32)

politik dan ekonomi yang cepat ini, mereka mengkonseptualkan diri mereka, keterikatan pada daerah, dan hubungannya dengan Indonesia.Walaupun tercipta bentukan identitas daerah yang unik, pada saat yang sama terwujud sebuah budaya nasional. Maka, munculah ambivalensi, kompleksitas, dan kontradiksi.

Problema politik Identitas muncul di kajian-kajian tentang Mentawai dan Minangkabau. Myrna Eindhoven (2007) menuliskan bahwa etnisitas mulai menjadi motif dalam perubahan politik. Saat desentralisasi dimulai, orang-orang Mentawai asli mengambil kesempatan untuk mencapai tujuan politik.Ideologi etnik ‘asli’ kemudian menjadi senjata ampuh.8 Franz dan Keebet von Benda-Beckman (2007) menulis tentang sistem adat nagari di Minangkabau yang melibatkan para aktor politik daerah dan partisipan di tingkat propinsi, nasional, dan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa nagari sangat signifikan bagi konstruksi identitas Minangkabau.9

Nordholt menulis tentang Ajeg Bali (ketahanan Bali). Perubahan-perubahan politis di Bali ini dilihat dalam konteks Indonesia secara luas.10 Ekspresi atas perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah ini dinyatakan dengan cara yang serupa (Nordholt: 2007).

8Myrna Eindhoven. 2007 “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca Orde Baru,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.).

Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 87 – 115.

9Franz & Keebet von Benda-Beckman. 2007. “Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 543 – 576.

10Henk Schulte Nordholt. 2007. “Bali: Sebuah Benteng Terbuka,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 505 – 542.


(33)

G. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian kualitatif ini adalah penelitian menggunakan analisis wacana kuasa dengan perspektif Foucauldian. Dua pendekatan diaplikasikan sekaligus yaitu pengamatan langsung dan analisis wacana.

Sumber data terdiri dari dua sumber yaitu: 1) hasil wawancara dengan nara sumber, beberapa aktivis gerakan serta dilengkapi dengan catatan lapangan. sumber-sumber kepustakaan berupa literatur historis tentang sejarah Yogyakarta, dan 2) Sumber literatur mengenai informasi tentang pergerakan kelompok penetapan.

Teknik Pengumpulan Data menggunakan dua pendekatan yaitu; 1) Wawancara mendalam dan Pengalaman langsung di lapangan. 2) Pengumpulan literatur data historis dan dan informasi tertulis tentang kejadian-kejadian tertentu dari media massa dan dokumen-dokumen.

Teknik pengolahan data menggunakan metode analisis wacana kuasa Foucauldian. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault, untuk mengetahui teknologi politik, analisis harus memilah dan menempatkannya dalam ranah-ranah khusus yang terkait dengan pengalaman fundamental tertentu.11 Oleh karena itu, dari berbagai data yang terkumpul saat penelitian, akan dipilih dan dipilah menjadi narasi peristiwa, kejadian, dan pemikiran tertentu. Narasi tersebut yang menjadi pijakan untuk menganalisis dengan memetakan mekanisme kuasa yang bekerja

11Disampaikan oleh Foucault dalam kuliah terbuka tentang Kuasa Pastoral dan Rasio Politik, , “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik” (1979). Dlm Carette, Jeremy R. (ed.). Agama, Seksualitas, Kebudayaan (terj.). Yogyakarta: Jalasutra., hlm 195.


(34)

H. SKEMA PENULISAN

Penyajian tulisan hasil penelitian berjudul Relasi Kuasa dalam Dinamika Gerakan dan Wacana Keistimewaan Yogyakarta ini dibagi atas lima bab. Sistematika penulisannya sebagai berikut : Bab I yaitu Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan Pustaka, dan Metodologi Penelitian.

Bab II berjudul Suaka Kedaulatan, menuliskan lingkup historis tentang sejarah kedaulatan dan pemerintahan di Yogyakarta. Bab ini menarasikan sejarah kerajaan di Yogyakarta yang bertransformasi dari waktu ke waktu. Bagian akhir bab ini menceritakan hasil penelusuran saya tentang narasi awal mula terbentuknya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.

Bab III berjudul Menguatnya Kelompok Pro Penetapan, memaparkan hasil temuan data penelitian. Bab ini adalah deskripsi mengenai kejadian tertentu dalam kelompok Pro Penetapan yakni Sekber Keistimewaan.

Bab IV, Relasi Kuasa, adalah tulisan analisis atas temuan data. Penulisan analisis ini dibagi dalam beberapa bagian yang disesuaikan dengan ranah-ranah yang lebih spesifik.

Bab V menjadi penutup sekaligus Refleksi kritis saya sebagai seorang peneliti.


(35)

BAB II

SUAKA KEDAULATAN

Selama ini sejarah menjadi argumen utama untuk memperdebatkan eksistensi Keistimewaan Yogyakarta. Tanpa bermaksud menjadikan sejarah sebagai kata keramat, sejarah akan menjadi kata kunci untuk menelusuri perkembangan makna.12 Perdebatan mengenai Keistimewaan Yogyakarta terkesan menjadi bagaimana menafsirkan sejarah. Hal ini wajar, karena status daerah istimewa sangat terkait dengan eksistensi monarki yang hidup di Jawa selama ratusan tahun. Maka, deskripsi historis ini menjadi proses awal untuk menelusuri keberadaan Yogyakarta yang berlatar belakang kerajaan. Oleh karena itu, sangat signifikan untuk menjabarkan sejarah pemikiran tentang kedaulatan monarki di Yogyakarta yang kemudian tetap bertahan pada paska pemerintahan kolonial, serta saat ini hidup dalam ruang lingkup kedaulatan negara penerus (Successor State) bernama Republik Indonesia.

Bab ini menjadi penjabaran historis tentang bagaimana struktur pemerintahan di masa lalu yang memungkinkan kedaulatan ‘saling menumpuk’. Artinya, tidak ada kekuasaan yang benar-benar tunggal dan tak terbagi. Dalam konteks hubungan politik, kerajaan penguasa tidak pernah benar-benar ‘mematikan’ kerajaan-kerajaan kecil. Penguasa baru yang datang silih berganti

12Kalimat ini mengembangkan argumen Bambang Purwanto (2003) yang berpendapat bahwa kata “sejarah” menjadi kata keramat kedua setelah “istimewa” dalam polemik soal Keistimewaan Yogyakarta. Lihat: Purwanto, Bambang. 2003. “Keistimewaan yang sarat beban sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm. xi - xxiv.


(36)

selalu menempatkan penguasa-penguasa dalam suatu suaka yang memungkinkan mereka tetap hidup untuk memerintah rakyat dan mengelola wilayahnya.

Penelusuran latar belakang historis ini dimulai dengan narasi tentang keberlangsungan kedaulatan negara13 pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kemudian, berlanjut dengan mengungkap kembali momentum-momentum yang terkait dengan pengalaman problema kekuasaan serta bagaimana hubungan antar pihak yang tercipta di dalamnya.

A. OTORITAS BERTINGKAT

Bahasan tentang Yogyakarta ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kasultanan Yogyakarta)14 yang telah hidup lama. Kerajaan ini mempunyai akar sejarah ratusan tahun dengan kerajaan-kerajaan Jawa jauh sebelum kapal-kapal dagang bangsa Eropa memasuki Nusantara. Otoritas bertingkat sudah menjadi model politik sejak masa pra

13Istilah‘negara’ dalam penulisan ini mempunyai dua pemahaman. Pertama, negara (state) untuk menyebut sebuah entitas politik termasuk kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu. Kedua, negara (dalam cetak miring) adalah sebuah konsep wilayah dalam Kerajaan Mataram.

Negara adalah wilayah inti yang secara langsung diperintah oleh raja-raja Mataram. Istilah ini juga untuk membedakannya dengan satuan wilayah lainnya seperti negaragung, mancanegara, dan

pasisiran.

14Nama awal dari Yogyakarta adalah Ngayogyakarta. Pada perkembangannya penyebutan disederhanakan menjadi Yogyakarta saja. Tidak ada sumber-sumber yang memberikan penjelasan tentang penghilangan suku kata Nga- tersebut. Maka, dalam penulisan ini, nama


(37)

kolonial. Perwujudan otoritas bertingkat oleh beberapa penulis sejarah dikatakan serupa dengan konsep otonomi daerah.15

Sistem bertingkat tersebut terdapat dalam keberadaan daerah-daerah otonom dalam suatu Negara yang berbentuk kerajaan. Daerah otonom ini disebut sebagai vasal yang artinya daerah taklukkan atau Negara jajahan. Kata ini juga mempunyai makna sebagai suatu kondisi yang menunjukkan keterikatan atau ketertundukkan.Vasal juga bisa diartikan sebagai daerah yang mempunyai pemerintahan otonom (Dependent State) atau Negara Bagian. Hubungan antara vasal dengan kerajaan induk diwujudkan dengan kesetiaan vasal melalui persembahan upeti dan audiensi (pisowanan) secara periodik. Kesetian vasal pada negara induk diukur dari upeti (wulu bekti) yang diberikan oleh para raja vasal saat pisowanan tiga kali setahun pada saat hari besar keagaamaan (Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulud Nabi).16 Ketidaksediaan vasal dalam pemenuhan dua hal ini berarti ada dorongan untuk separatisme yang berujung pada konflik atau perpecahan.17

Onghokham menuliskan bahwa kekuasaan pemerintah pusat pada masa kerajaan-kerajaan Jawa hanya menjadi ‘bayangan’. Artinya, pemerintah pusat,

15Agus Supangat dkk (2003) dalam Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari

Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), menuliskan

bahwa akar konsep tentang otonomi daerah sudah ada sejak masa pra kolonial. Gejala ini nampak dalam hubungan pusat dan daerah. Pada masa lalu, daerah tidak mengalami pengaturan langsung dari pusat pemerintahan.

16Lihat Penjelasan Sartono Kartodirdjo, Alexander Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo (1987) dalam Perkembangan Peradaban Para Priyayi. Secara praktis, kekuasaan raja di pusat hanya menjadi ‘bayangan’ karena tidak memegang kendali secara langsung atas pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil di luar negaragung.

17Agus Supangat (ed.). 2003. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), hlm. 7-11.


(38)

yakni raja dan para pejabat tidak memerintah secara langsung vasal sebagai daerah taklukan. Daerah-daerah pinggiran tersebut tidak pernah ‘menikmati’ pemerintahan oleh raja di pusat pemerintahan melainkan secara nyata, rakyat mengalami pemerintahan raja-raja kecil yaitu para bupati.18

1. Perebutan Pusat Kekuasaan

Perebutan kekuasaan menjadi hal yang lazim dalam dinamika politik kerajaan-kerajaan di Jawa sebelum masa kolonial. Perebutan kekuasaan berbentuk penaklukaan dan suksesi. Jadi, pada dasarnya, di dalam peta kekuasaan di Jawa, benih-benih perebutan kekuasaan sudah berkembang.

Setelah melemahnya kerajaan besar Majapahit, Demak yang awalnya hanya sebuah kabupaten atau kadipaten19 yang statusnya hanya vasal, mempunyai kesempatan untuk berkembang. Demak menjadi kerajaan dan Majapahit runtuh. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini menandai babak baru dalam sejarah kekuasaan di Jawa.20

18Ong Hok Ham (1983). Rakyat dan Negara, hlm. 90.

19Kabupaten adalah sebuah daerah yang dipimpin oleh seorang Bupati, sedangkan Kadipaten dipimpin seorang Adipati. Di dalam literatur tentang kerajaan-kerajaan Jawa, sebagaimana dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi

daerah-daerah yang dipimpin oleh raja-raja bawahan ini disebut Kabupaten, kadang juga disebut kadipaten. Setelah memasuki masa terpecahnya kerajaan Mataram menjadi empat kerajaan, kabupaten adalah daerah pemerintahan yang dibawah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

20Semenjak pemerintahan Raden Patah dengan Kerajaan Demak di Jawa, ada empat kejadian penting yaitu; 1) Mulainya jaman kerajaan Islam. 2) Berdirinya masjid Demak. 3) Penyerangan pasukan Jawa atas orang Portugis di Malaka. 4) Mulainya tradisi restu para wali bagi seseorang untuk menjadi raja di Jawa. Lihat: Moedjanto (2002) Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Penerbit USD. hlm. 43


(39)

Suksesi biasanya menjadi benih perpecahan. Menurut catatan sejarah, konflik sering bermula dari perselisihan antar bangsawan dan berujung pada perang perebutan tahta. Selain itu, dengan melemahnya kerajaan induk, kerajaan-kerajaan vasal yang hidup di lingkup kekuasaannya berpeluang untuk mengambil alih pusat kekuasaan.21

Sebuah vasal bisa menguat dan mengalahkan negara induknya. Hal ini menjadi titik pijak untuk problema-problema kekuasaan yang terjadi setelahnya. Kejadian melemahnya Majapahit yang digantikan oleh Demak terulang kembali. Demak mulai melemah, membuat Pajang, salah satu vasalnya, untuk mengambil alih pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan Jawa yang berpindah ke Pajang ternyata tidak abadi. Berkembanglah Mataram, dengan rajanya Panembahan Senapati yang membalikkan keadaan. Mataram bertumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan berhasil menaklukkan Pajang. Perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram menjadikan Pajang dan Demak sebagai vasal. Mataram semakin menguat, pada masa Sultan Agung, pasukan Mataram melakukan penyerbuan terhadap koloni Belanda di Jayakarta (Batavia).

Secara perlahan, kolonialisme menanamkan kekuasaannya dalam kerajaan-kerajaan di Jawa.22 Koloni Belanda ini awalnya adalah vasal di dalam

21Moedjanto (2002), ibid, yang secara khusus meneliti tentang sejarah suksesi pada kerajaan-kerajaan di Jawa memulai bahasannya pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan-kerajaan Islam, dan datangnya kolonialisme. Bukan suatu kebetulan bahwa rentetan suksesi dari masa kerajaan ini sangat berhubungan. Dan terlihat bahwa, faktor suksesi selalu menjadi penyebab utama dari pergeseran kekuasaan kerajaan pusat ke kerajaan bawahan.

22Melalui serangkaian perjanjian-perjanjian yang terjadi pada tahun 1705, 1733, 1743, dan 1746 Mataram mulai termutilasi dengan kehilangan wilayah-wilayahnya. Dan pada akhirnya, perjanjian tahun 1749 yang ditandatangani oleh Paku Buwono II menyatakan bahwa Mataram menyerahkan kedaulatan ke tangan VOC, menandai periode pemerintahan kolonial. Lihat:


(40)

Kerajaan Mataram. Pada perkembangannya, VOC (Kompeni) berbalik menjadikan Mataram sebagai vasal (Moedjanto, 2002). Kedatangan pihak asing ini menjadi titik pijak perubahan politik di Jawa dalam hal perebutan kekuasaan. Kecenderungan berkonflik menjadi salah satu faktor lemah sehingga strategi

Devide et Impera, yang memecah kekuasaan, berlaku secara efektif.

Campur tangan Kompeni dalam kehidupan politik menyebabkan Mataram melemah. Kompeni memanfaatkan situasi di tengah konflik para bangsawan saat terjadi perkara suksesi, dengan memberikan dukungannya pada salah satu pihak. Pemberian dukungan ini disertai dengan perjanjian bahwa Kompeni akan mengambil alih sebagian wilayah tertentu. Kejadian inilah yang menyebabkan Mataram kehilangan daerah-daerahnya; mancanegara dan pesisiran, yang kemudian menjadi daerah administratif pemerintahan kolonial. Kerajaan Mataram juga terpecah melalui perjanjian-perjanjian politik. Pada akhirnya, daerah-daerah ini hidup dibawah kendali kompeni baik secara langsung maupun tidak langsung.

Intervensi Kompeni dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal di Jawa tidak terhindarkan lagi karena pihak asing ini menunjukkan daya tawar yang kuat dengan perdagangan dan bantuan persenjataan yang membuat pemerintah kerajaan lokal berasa bergantung pada keberadaan Kompeni. Maka, dengan mudahnya raja meminta bantuan Kompeni saat menghadapi masalah-masalah yang mengancam kedaulatan negara.

Walaupun kedaulatan Mataram sudah jatuh ke tangan Kompeni, konflik internal tetap terjadi. Perjanjian politik kembali disepakati pada tahun 1755 yang

Moedjanto (1987) Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius.


(41)

disebut sebagai Perjanjian Giyanti. Hasilnya, Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah perjanjian ini, nama Mataram tidak lagi digunakan. Kompeni melarang dua pecahan kerajaan menggunakan nama Mataram dengan tujuan untuk melemahkannya (Moedjanto, 2002).

Konflik bermula dari protes Raden Mas Sujono / Pangeran Mangkubumi terhadap raja Mataram, Susuhunan Paku Buwono II. Sebelumnya, telah terjadi pemberontakan oleh seorang pangeran yaitu Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Sesuai dengan janji Susuhunan PB II, Mangkubumi seharusnya mendapatkan jatah kepemilikan tanah karena telah memenangkan perang. Atas anjuran Patih Pringgalaya dan Gubernur Van Imhoff, Susuhunan PB II urung menepati janji. Hal inilah yang membuat Mangkumi bergabung dengan Said untuk memulai pemberontakan melawan kerajaan Mataram dan Kompeni. Perang 9 tahun ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti.

Konflik masih terjadi dan berujung pada pembagian wilayah. RM Said menuntut hak atas penguasaan wilayah. Kembali lagi, Kompeni dan perwakilan pihak-pihak yang berseteru berkumpul dalam Perjanjian Salatiga tahun 1757. Perjanjian ini menjadi legalisasi dalam pembentukan sebuah Kerajaan baru bernama Kadipaten Mangkunegaran. Pangeran Said naik tahta, bergelar Adipati Mangku Negara I yang berkuasa atas separuh wilayah Kasunanan Surakarta. Disintegrasi terjadi lagi di Kasultanan Yogyakarta. Inggris pada tahun 1813 membentuk sebuah kerajaan baru bernama Kadipaten Pakualaman, atas balas jasa kepada Pangeran Nata Kusuma yang telah membantu Pasukan Inggris


(42)

menaklukkan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma naik tahta bergelar Paku Alam I. Sampai pada terbentuknya Kadipaten Pakualaman, kerajaan besar Mataram telah terpecah menjadi empat kerajaan dibawah subordinasi pemerintah kolonial.

2. Negara Vasal di Jawa

Dalam keberadaan vasal terlihat ada jenjang hirarki dalam kedaulatan penguasa dan negara yang telah ditaklukkan. Maka, sistem ini menunjukkan adanya raja atasan dan raja bawahan. Raja atasan bisa disebut kaisar dalam kebudayaan Eropa, China atau Jepang. Sedangkan raja bawahan dalam tradisi Jawa menyebut diri mereka Adipati atau Bupati.23

Pemecahan kekuasaan melalui pembagian wilayah kerajaan membuat kerajaan-kerajaan kecil ini mempunyai pengelolaan yang rentan konflik. Walaupun Mataram sudah dibagi secara teritorial menjadi Mataram Timur (Surakarta) dan Mataram Barat (Yogyakarta), masing-masing kerajaan mempunyai wilayah enclave. Kasultanan Yogyakarta mempunyai daerah kantong di dalam wilayah Kasunanan Surakarta di sebelah timur, demikian juga sebaliknya. Moedjanto menilai hal ini adalah kebijakan kolonial yang bermaksud memecah belah Mataram agar terus berkonflik. Sedangkan Onghokham menilai bahwa pembagian wilayah yang tersebar ini menyesuaikan logika penguasaan raja-raja Jawa pada masa lalu yang menggunakan konsep cacah (keluarga petani). Seorang penguasa feodal/raja-raja kecil yaitu para pangeran dan bupati atau para

23Dalam Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dkk, istilah ‘bupati’ menjelaskan sebuah jabatan politik atas daerah-daerah di wilayah mancanegara

dan pasisir yang tidak lagi menjadi wilayah bawahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

Yogyakarta tapi sudah menjadi wilayah administratif kolonial. Sedangkan ‘Adipati’ menjadi sebutan untuk gelar tertinggi yang dimiliki oleh para bangsawan di mancanegara dan pasisir. Seorang Bupati mempunyai gelar Adipati.


(43)

raja yang bergelar Adipati, Susuhunan, dan Sultan memperlihatkan seberapa besar pengaruhnya dengan banyaknya jumlah pengikut. Maka, bisa dimengerti mengapa pembagian wilayah antara Yogyakarta dan Surakarta banyak enclave.24

Sebutan ‘Sultan’ sebenarnya tidak lazim untuk seorang Sultan. Baru pada saat VOC menaklukkan Mataram, gelar Sultan menjadi gelar untuk seorang Raja bawahan. Gelar yang diadopsi dari timur tengah ini diyakini sebagai gelar raja yang tinggi, melebihi gelar-gelar lain yang berkembang dalam tradisi Jawa. Gelar ini juga menjadi legitimasi bagi Kerajaan Yogyakarta untuk menyaingi Kerajaan Surakarta. Gelar ‘Sultan’ yang diperoleh dari timur tengah ini dipercaya menjadi gelar yang lebih prestisius dibandingkan dengan gelar ‘Sunan’ yang digunakan oleh raja di Surakarta.25

Untuk selanjutnya, kerajaan-kerajaan penerus Mataram (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman) juga menjadi negara-negara vasal dalam lingkup kekuasaan pemerintah kolonial. Ketika pemerintah kolonial berganti, mulai dari VOC (kumpeni/Kerajaan Holland), Hindia Perancis (Kerajaan Belanda-Perancis, pada masa Gubernur Daendels), EIC (East Indian Company)/Hindia Timur (Kerajaan

24Ong Hok Ham (1983) dalam “Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi” mengungkapkan bahwa konsep cacah ini tetap menjadi dasar dalam pembagian wilayah. Hal ini bertentangan dengan Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa yang lebih menonjolkan peran kolonial dalam pembagian wilayah. Bagi Moedjanto tersebarnya wilayah

enclave adalah strategi politik untuk memelihara perseteruan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

25Dengan terkesan memberikan penilaian, Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam

Sejarah Jawa mengungkapkan bahwa pemilihan gelar ‘Sultan’ oleh Pangeran Mangkubumi

menempatkannya lebih unggul daripada raja Surakarta yang menggunakan gelar ‘Sunan’. Sebelumnya, saat masih melakukan pemberontakan, Mangkubumi sudah mengangkat diri menjadi seorang raja dengan gelar ‘Sunan’. Moedjanto juga memberikan penjabaran bahwa gelar Sultan dalam masyarakat Jawa saat itu menjadi sebutan untuk raja yang paling tinggi melebihi gelar lain seperti Sunan atau Panembahan.


(44)

Inggris/pada masa Gubernur Rafles), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), Angkatan Darat XVI (Kekaisaran Jepang), keberadaan kerajaan-kerajaan ini tetap menjadi vasal.

Pemerintah Hindia Belanda, menempatkan kerajaan-kerajaan pecahan Mataram ini pada daerah yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan kolonial di Jawa. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dimasukan dalam sebuah karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berada di wilayah Karesidenan Yogyakarta.26 Kedua karesidenan ini disebut Voorstenlanden yang artinya wilayah raja-raja. Dalam prakteknya, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap mempunyai struktur-struktur pemerintahan. Bersama dengan apparatus pemerintahan Hindia Belanda kedua kerajaan ini mengelola daerah karesidenan Yogyakarta.

3. Kontrak Politik

Kontrak Politik ialah kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah kolonial kepada pihak kerajaan untuk menundukkannya sekaligus menetapkannya sebagai vasal. Sebuah kontrak politik ditandatangani bersama oleh seorang calon sultan dengan Gubernur Jendral VOC. Sejak penandatangan kontrak tersebut, putra

26Dalam masa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman meleburkan kedaulatannya dalam Kasultanan Yogyakarta. Sebagai sebuah vasal yang tunduk pada Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman mempunyai dua pilihan yaitu, memilih berdaulat penuh, atau mengikuti kebijakan kerajaan induk. Konflik di kerajaan tetangga juga terjadi dengan ketidaksepahaman antara Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten Pakualaman justru meleburkan kekuasaannya kedalam Kasultanan Yogyakarta. PA VIII menyatakan bahwa integrasi Pakualaman ke dalam Kasultanan menjadi satu wilayah, tidak pernah disesalinya walaupun pernah ada yang menyatakan kritik atas keputusannya tersebut.


(45)

mahkota tersebut mendapatkan hak untuk mengelola kerajaan dan diangkat menjadi raja walaupun secara resmi, kedaulatan dipegang oleh pemerintah kolonial. Singkatnya, Kontrak Politik adalah instrumen penundukan kepada sebuah negara dengan menjadikannya vasal.

Sebagai sebuah kesepakatan, kontrak politik tidak menunjukkan hubungan kesetaraan. Kesepakatan ini lebih menunjukkan pola hubungan antara pemegang kuasa atasan dengan pemegang kuasa bawahan.27 Maka terlihat bahwa hubungan kerajaan-kerajaan di Jawa adalah daerah taklukan kolonial.

Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, kontrak politik disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yang disebut kontrak panjang (korte verklaring) dan kontrak panjang disebut (lange contracten). Daerah-daerah yang mendapatkan kontrak panjang ini mempunyai struktur pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam kontrol pemerintah kolonial. Sedangkan, vasal yang menyepakati kontrak pendek, kekuasaannya lebih terbatas.

Dibalik kontrak ini tersimpan agenda tersembunyi, yaitu pengurangan wewenang raja secara perlahan. Akibatnya, sampai pada permulaan abad ke-20, hanya tersisa dua kerajaan yang mendapatkan kontrak panjang yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kerajaan ini ditempatkan dalam dua sistem pemerintahan bernama karesidenan yang diperintah oleh residen kolonial. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang menandatangani kontrak panjang bisa disebut ‘separuh

27Moedjanto (1994) dalam Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman

menegaskan bahwa Kontrak Politik ini bukanlah perjanjian antar negara merdeka. Maka menjadi jelas bahwa kontrak politik ini adalah kesepakatan antara negara/kerajaan pemenang dan negara/kerajaan yang kalah.


(46)

dijajah’. Keempat kerajaan yang menempati daerah vorstenlanden ini menempati wilayah sebesar 7% di Jawa.28

Pangeran Dorojatun (Bendoro Raden Mas Dorojatun) sempat tidak menyepakati butir-butir yang tertera dalam kontrak tersebut sehingga membuat Yogyakarta mengalami kekosongan tahta selama beberapa bulan sepeninggal Sultan HB VIII. Akhirnya, kontrak tersebut ditandatangani oleh sang putra mahkota menjadi Sultan HB IX pada tahun 1940. Kontrak Politik tahun 1940 ini menjadi Kontrak Politik terakhir antara Kasultanan dengan pemerintah kolonial.

Yogyakarta, sejak masa kolonial, dari HB I sampai HB IX terikat dengan kontrak politik. Kontrak ini mengandung substansi bahwa adanya pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Belanda. Secara resmi, kedaulatan Kasultanan Yogyakarta berada dibawah ‘kekaisaran’ Belanda melalui pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan eks-Mataram, seperti Yogyakarta disebut sebagai pengelola ‘titipan’ kedaulatan negara yang dipegang oleh Kerajaan Belanda.

Kontrak politik pada hakikatnya cukup signifikan dalam kehidupan legal-politis di Yogyakarta. Bahkan, awal berdirinya kerajaan Yogyakarta juga didahului sebuah kontrak politik. Jika kontrak politik disebut sebagai bentuk legitimasi. Muatannya jelas; kerajaan-kerajaan ini tidak bisa dikatakan berdaulat penuh. Kekuasaan tertinggi tetap berada pada kekuasaan yang menaunginya.

28Ungkapan “dijajah tidak langsung” tertulis dalam tulisan Mohammad Roem dalam Atmakusumah (ed.). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(47)

Kedaulatan ditentukan dalam kontrak politik. Melalui kontrak politik ini, sultan diakui legitimasinya sebagai raja yang memerintah atas wilayahnya.

Mekanisme pengelolaan pemerintahan dalam negara vasal disusun oleh pemerintah kolonial dengan memberikan hak pada penguasa setempat dengan penyertaan pejabat kolonial. Kerajaan mendapatkan intervensi dengan menempatkan seorang Patih yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Seorang Patih (Pepatih Dalem), yang dalam bahasa Belanda disebut Rijks-Bestuurder

mempunyai kesetiaan ganda, untuk Raja dan Gubernur Jendral pemerintah kolonial.29 Pemerintah kolonial melihat posisi ini cukup strategis sehingga merekayasa dengan kontrak politik untuk kepentingan mereka.

Pembagian otoritas dalam pemerintahan monarki bisa memunculkan masalah yang rentan konflik internal. Raja sebagai kepala negara bisa berkonflik dengan Patih yang mengelola pemerintahan. Di Kasultanan Yogyakarta, pemilihan seorang Patih harus mendapatkan restu dari pemerintah kolonial. Persoalan ini pernah menimbulkan konflik antara Sultan dengan Patih yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Dengan tujuan untuk mengurangi campur tangan Belanda, Sultan HB IX tidak lagi mengangkat patih baru setelah patih sebelumnya meninggal.

29Sebenarnya jabatan Patih sudah ada sebelum masa kolonial. Jabatan seorang patih setara dengan Perdana Menteri di negara-negara yang masih mempertahankan bentuk monarki seperti Inggris.


(48)

B. RAJA DI DALAM REPUBLIK

Narasi tentang Yogyakarta pada tahun 1946-1949 menjadi periode favorit yang menjadi perhatian para pengkaji sejarah Keistimewaan Yogyakarta. Pada narasi tersebut juga secara langsung menunjukkan peran Sultan HB IX dalam keberlangsungan pemerintahan baru Republik Indonesia saat menghadapi situasi kritis.

Bagaimana peran Sultan HB IX dalam masa kritis pemerintahan Republik Indonesia ini terekam dalam buku Taktha untuk Rakyat. Dokumentasi tertulis tersebut menceritakan bagaimana pengOrbanan Sultan HB IX secara material pada tahun 1946 -1949. Bersama dengan Adipati PA VIII, kedua raja ini diyakini menjadi salah satu faktor utama penyelamat pemerintahan Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.

Dengan melemahnya pemerintahan militer pasukan Jepang di Jawa, pemerintah-pemerintah daerah swapraja mengalami kegamangan tersendiri. Tidak ada kejelasan tentang masa depan pemerintahan di wilayah besar bekas Hindia Belanda. Yogyakarta menjadi daerah swapraja pertama yang menyatakan ucapan selamat atas terbentuknya negara Indonesia, dua hari setelah proklamasi.

Lebih dari dua minggu setelahnya, dua raja di Yogyakarta ini mengeluarkan amanat bahwa ‘Nagari’ Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sebuah Daerah Istimewa dari ‘Negara’ Republik Indonesia.30 Pernyataan ini

30Walaupun dua istilah, ‘Nagari’ dan ‘Negara’, mempunyai arti yang sama, Sultan HB IX menggunakan keduanya secara berbeda. Nagari, digunakan untuk menyebut Yogyakarta yang memang sebuah vasal. Sedangkan Negara digunakan untuk menyebut Republik Indonesia,sebagai satuan kekuasaan yang berkuasa diatasnya.


(49)

menunjukkan bahwa keberadaan Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintahan negara baru bernama Indonesia. Pada saat yang sama, Yogyakarta menjadi swapraja pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia yang masih belum jelas peluang hidupnya karena lahir ditengah status quo.

Tindakan pertama Sultan HB IX setelah menggabungkan wilayahnya ke Republik Indonesia yaitu menawarkan wilayahnya untuk ibukota negara setelah Jakarta tidak lagi memungkinkan sebagai pusat pemerintahan, mengingat sudah dikuasai pasukan Belanda. Konsekuensinya, Sultan HB IX menyediakan semua fasilitas agar pemerintahan tetap berjalan. Menurut penuturan Raja Yogyakarta ini, gaji pejabat pemerintahan Indonesia juga ditanggung oleh kerajaan.

Perannya yang sangat penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di masa kritis ini juga dihubungkan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Selama masa Orde baru, peristiwa penyerangan kekuaatan militer Belanda di Yogyakarta ini dipolitisir oleh Presiden Soeharto. Paska lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, sejarah kembali diluruskan dengan menempatkan pribadi Sultan HB IX sebagai pencetus gagasan peristiwa ini.

C. MEMPERTANYAKAN DAERAH ISTIMEWA

Di era Orde Baru, dari 27 propinsi di seluruh Indonesia, terdapat tiga propinsi yang berstatus istimewa atau khusus yaitu Daerah Istimewa Aceh (DIA), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada masa reformasi, dengan perubahan Undang-undang, DIA berubah menjadi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Otonomi khusus juga diberikan kepada


(50)

Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Jadi, sudah ada lima propinsi pada masa reformasi yang mempunyai status khusus atau istimewa.

Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ke dalam negara republik membuat Yogyakarta memiliki struktur pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Hal ini membuat struktur birokrasi di Yogyakarta juga ‘disesuaikan’. Selo Soemardjan merekam proses perubahan tersebut melalui karyanya yang terkenal,

Perubahan Sosial di Yogyakarta.

Maka, birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi. Pemerintah desa menjadi salah satu contoh, kepala desa yang tadinya bertanggung jawab dan mempunyai loyalitas pada Sultan. Sejak perubahan-perubahan ini, tidak ada struktur asli dalam pemerintahan kerajaan yang masih dipakai dalam pemerintahan daerah.

Akhirnya, perubahan dari masyarakat monarki ke masyarakat republik, kesan lama yang masih tertinggal yaitu dua pribadi raja, HB IX dan PA VIII yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep daerah istimewa, Yogyakarta menjadi terkesan istimewa dengan kedua rajanya yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Soewarno (2011) menuliskan, pada masa Orba, pernah ada upaya untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta. Gagasan yang bermula dari Presiden Soeharto ini kemudian dilaksanakan Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI melalui salah satu pasal RUU No 5/1974 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Rumusan dalam RUU tersebut akhirnya tidak jadi disepakati karena ditolak oleh Fraksi PDI


(51)

dan Fraksi PPP. Masih ada beberapa upaya lagi untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta setelahnya, saat Sultan HB IX tidak lagi bersedia menjadi Wakil Presiden dan saat meninggalnya Sultan HB IX.

Muncul beberapa isu lagi untuk menghapuskan keistimewaan. Yogyakarta tidak lagi istimewa setelah PA VIII meninggal dan penggabungan DIY dengan Provinsi Jawa tengah, adalah dua rumor yang beredar. Kedua isu ini tidak menjadi kenyataan karena rejim Orba terlanjur jatuh tahun 1998 saat PA VIII masih menjabat sebagai gubernur DIY.

D. LAHIRNYA GERAKAN

Dalam kajian-kajian mengenai gerakan sosial, mobilisasi massa biasanya menjadi penanda penting dari lahirnya sebuah gerakan sosial tertentu.31 Walaupun fenomena mobilisasi massa tidak selalu menjadi penentu utama, keberadaan sebuah gerakan sangat dipengaruhi membesarnya mobilisasi massa.

Bagi para aktivis pro penetapan, mobilisasi massa memang menjadi momentum untuk menyebut awal mula lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Akan tetapi ada versi yang berbeda tentang kapan persisnya gerakan ini dimulai. Mulyadi, ketua Ismaya menyatakan bahwa Gerakan Keistimewaan Yogyakarta mulai lahir semenjak lahirnya Ismaya pada bulan agustus tahun

31Hank Johnston dan Bert Klandermans. 1995. “The Cultural Analysis of Social Movements,” dlm. Social Movements and Culture.


(52)

1998.32 Hal ini menjadi versi yang dikritik oleh Hasto. Menurut Hasto, Gerakan Keistimewaan Yogyakarta pertama muncul pada saat pelaksanaan event yang kemudian lebih terkenal disebut Pisowanan Ageng, yang mana Hasto dan rekan-rekannya ikut terlibat merencanakan acara tersebut.33

Berdasarkan dua penuturan tersebut, maka terbaca bahwa penafsiran akan terlahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya satu versi. Baik Mulyadi maupun Hasto yang sama-sama mendukung Sultan HB X menyatakan bahwa pergerakan awal yang mereka lakukan pada tahun 1998 menjadi titik awal dimulainya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.

Pemaparan dibawah ini adalah kemunculan gerakan keistimewaan Yogyakarta sebagaimana terbaca dalam buku-buku populer yang membahas tema Keistimewaan Yogyakarta.34 Sebagaimana diungkapkan oleh buku-buku ini, pamor Sultan HB X mulai naik saat berlangsungnya gejolak mobilisasi massa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Oleh karena itu, perihal keterlibatan Sultan HB X dalam pengendalian massa dianggap menjadi titik peristiwa penting untuk menandai Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.

32Mulyadi, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan (2009). Godean, Sleman, Yogyakarta (2009).

33Wasana Putra, Widihasto, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011).

34Buku-buku yang ‘bertebaran’ saat mulai memanasnya tema Keistimewaan seakan menjadi bacaan wajib bagi para aktivis maupun pemerhati Keistimewaan Yogyakarta. Pewacanaan mengenai Keistimewaan Yogyakarta menjadi sangat dipengaruhi oleh narasi-narasi dalam buku-buku tersebut dan menjadi arus utama penafsiran.


(53)

1. Mobilisasi Massa35

Reformasi 1998 menandai sebuah masa transisi yang penuh ketidakpastian. Pengerahan massa di jalan menjadi peristiwa yang sangat lazim. Kelompok massa mahasiswa melakukan demonstrasi di setiap kota di Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, jalan-jalan di seluruh kota dipenuhi massa tanpa agenda yang jelas. Dan terjadilah perusakan massal, pembakaran aset bangunan dan kendaraan, serta penjarahan.36

Tanggal 20 Mei 1998, HB IX dan PA VIII, memberikan orasi di Alun-alun utara kraton Yogyakarta. Event ini menyebabkan ribuan massa berkumpul di tempat tersebut. Diyakini oleh banyak pihak, karena peristiwa ini, Yogyakarta tidak mengalami dampak kerusakan yang lebih parah karena kumpulan massa bisa dikendalikan dan tidak sampai memperluas dampak-dampak perusakan. Peristiwa yang kemudian lebih dikenal dengan Pisowanan Ageng.

Peristiwa ini menjadi titik penafsiran atas terbentuknya gerakan keistimewaan Yogyakarta. Pertama, pada momen ini, warga Yogyakarta dari berbagai elemen masyarakat tanpa terorganisir tumpah ke jalan. Dari puluhan tahun kehidupan sosial di Yogyakarta, baru pada momen tersebut muncul gerakan massa yang memobilisasi ribuan orang, meskipun peristiwa ini sangat terkait

35Pemaparan dalam Sub bab “Mobilisasi Massa” ini menjadi titik awal penafsiran tentang proses lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejauh belum ada pemahaman yang pasti, saya meminjam argumen pihak-pihak yang merepresentasikan golongan penetapan sebagaimana dituliskan dalam buku-buku tentang tema keistimewaan Yogyakarta.

36Menurut catatan Sudomo Sunaryo, di Yogyakarta, amuk massa juga sudah terjadi. Perusakan terjadi salah satunya di showroom mobil Timor, yang diketahui bersama milik Tomi Hutomo Mandalaputra (Tomi Soeharto), anak Presiden Soeharto. Lihat: Baskoro, Haryadi & Sunaryo, Sudomo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati


(54)

dengan tren demonstrasi pada tahun 1998. Kedua, faktor ketokohan dua raja di Yogyakarta sangat berpengaruh pada terjadinya pengumpulan massa. Terkesan bahwa peristiwa ini memperlihatkan pengaruh besar yang dimiliki kedua pemimpin kultural ini dalam daya tarik untuk mobilisasi massa.37

Peristiwa Pisowanan Ageng ini selalu dijadikan rujukan untuk menggambarkan bagaimana sikap hormat dan rasa tunduk kepada para raja, masih ada dalam dinamika masyarakat Yogyakarta. Terlebih lagi, ketokohan Sultan HB X yang cukup karismatik bagi masyarakat Yogyakarta. Berbagai media massa mengungkapkan bagaimana kelompok massa dapat ‘dikendalikan’ paska

Pisowanan Ageng ini.38

Pisowanan Ageng sebenarnya adalah peristiwa kultural dari tradisi masyarakat feodal di Jawa pada masa lalu. Pisowanan dilakukan oleh rakyat kepada penguasa sebagai bentuk dari sikap tunduk. Dengan menyebut pengerahan ribuan massa ke Alun-alun ini sebagai pisowanan, menunjukan adanya kesan yang kuat bahwa peristiwa ini sebuah pertemuan akbar dimana rakyat menghadap raja.

37Pada tahun 2003, terbit buku berjudul Pisowanan Ageng . Buku tersebut dianggap terlalu mengagungkan peran Sultan HB X sehingga terkesan menafikan peran kelompok-kelompok mahasiswa. Pada akhirnya, buku ini ditarik dari peredaran. Lihat: (Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik 2003/http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm). Akan tetapi, saat memasuki masa panasnya perdebatan soal Keistimewaan Yogyakarta, perbincangan mengenai Keistimewaan Yogyakarta kembali menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng 1998 sebagai titik tolak.

38Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo (2010) dalam Catatan Perjalanan

Keistimewaan Yogya menuliskan bahwa sejumlah media massa baik dalam negri maupun luar

negri melaporkan bahwa terkendalinya massa di Yogyakarta karena efek dari penyelenggaraan

event besar Pisowanan Ageng. Semenjak peristiwa itu, perusakan-perusakan fasilitas bisa menjadi menurun.


(55)

Beberapa bulan setelah Pisowanan Ageng bulan Mei 1998, PA VIII, yang menjabat sebagai gubernur DIY, meninggal dunia, menimbulkan permasalahan baru. Kekosongan jabatan memicu pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang berhak mengisi jabatan gubernur DIY. Mekanisme lama tetap dipertahankan yaitu pemilihan gubernur oleh DPRD sebagai lembaga legislatif.

Ada yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur di tingkat DPRD. Persoalan ini memicu berkembangnya gerakan massa dari kawasan pedesaan. Terbentuklah Ismaya,39 sebuah asosiasi/paguyuban yang menghimpun seluruh lurah di empat kabupaten di DIY. Natasuwita, seorang lurah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan mantan Presiden Soeharto ini, sengaja menghimpun kelompok perangkat desa untuk mendukung penetapan Sultan HB X sebagai gubernur DIY.40 Sebagai sebuah organisasi yang menghimpun pemimpin pemerintahan tingkat bawah, tentu sangat memungkinkan untuk mengerahkan massa.41 Mobilisasi tidak lagi terkesan spontan seperti yang terjadi pada Pisowanan Ageng beberapa bulan sebelumnya. Ribuan massa secara terorganisir dimobilisasi oleh para lurah ini untuk melakukan demonstrasi di pusat keramaian Kota Yogyakarta.

39Ismaya adalah akronim dari Ing Sedya Mematri Aslining Ngayogyakarta. Nama ‘Ismaya’ juga merepresentasikan seorang tokoh dalam epik wayang.Ismaya adalah seorang dewa yang menjelma menjadi manusia melalui perwujudan Semar, pelayan para ksatria.

40Sebagaimana diungkapkan Mulyadi saat mengungkapkan tujuan dibentuknya Ismaya yaitu sebagai bentuk dukungan untuk mendukung Sultan HB X sebagai gubernur DIY. (Wawancara dengan H. Mulyadi di Godean, 2009)

41Paguyuban Ismaya yang merangkum para lurah di tingkat DIY, juga memiliki

underbow berupa paguyuban-paguyuban lurah di tingkat kabupaten. Paguyuban-paguyuban

tersebut yaitu; Tungguljati (Bantul), Bodronoyo (Kulon Progo), Suryondadari (Sleman), Semar (Gunung Kidul). Selain itu, paguyuban lurah ini juga menjalin jejaring kerjasama dengan paguyuban-paguyuban lain yang mempunyai kemiripan karakteristik. Jejaring ini dibangun paguyuban yang merangkum para dukuh (kepala dusun).


(56)

Pemicu dari gerakan para perangkat desa ini yaitu sikap Pemerintah pusat tentang penentuan gubernur DIY. Pemerintah saat itu berencana menunjuk calon lain. Ada tegangan yang terjadi antara kelompok masyarakat di Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Ini terkait siapa yang akan mengisi jabatan gubernur. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negri (Mendagri) Syarwan Hamid sedang menyiapkan figur yang diusulkan untuk mengisi jabatan gubernur. Sedangkan, di pembicaraan yang terjadi di DPRD Yogyakarta, ada nama yang diusulkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Sempat terjadi Pemilihan gubernur yang dilaksanakan di tingkat DPRD. Di sisi lain, di tingkat masyarakat, semakin membesar dukungan terhadap Sultan HB X agar menjabat sebagai gubernur Yogyakarta.

Paska pengangkatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, polemik bagaikan bola salju yang terus bergulir. Dua tahun setelah pengangkatan Sultan HB X sebagai gubernur, muncul tuntutan baru yaitu pengangkatan PA IX (yang menggantikan PA VIII) sebagai wakil gubernur. Paku Alam IX akhirnya mengalami pengangkatan sebagai wakil gubernur setelah melalui penetapan oleh menteri dalam negeri. Tapi sebelumnya, ribuan massa sudah mengucapkan ikrar untuk mengangkat PA IX sebagai wakil gubernur. Ribuan massa ini menyaksikan ketika seorang tukang becak yang mengikrarkan pengangkatan Paku alam sebagai wakil gubernur.

Dorongan untuk merumuskan keistimewaan Yogyakarta melalui RUU keistimewaan berpijak pada UU No 3/1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tuntutan ini memuncak dengan di bacakannya sebuah maklumat yang disebut; ‘Maklumat Rakyat Yogyakarta’ pada sebuah aksi massa.


(1)

tercipta kategori sistem pemerintahan yang umum dan khusus di propinsi-propinsi. Hal serupa juga terjadi di Papua. Seiring berjalannya waktu, konstruksi-konstruksi mapan soal pemerintahan mulai dipertanyakan. Benarkah sistem ini ideal? Pertanyaan semacam ini menjadi dorongan bagi kelompok-kelompok lokal kedaerahan untuk mempertanyakan sistem pemerintahan yang tidak cocok dengan situasi dan kondisi setempat.

Penelitian soal Keistimewaan Yogyakarta masih memungkinkan dikembangkan lagi. Dengan sudut pandang Kajian Budaya, Keistimewaan Yogyakarta menjadi ranah yang cukup luas untuk dianalisis. Pertama, peran para ‘pejuang keistimewaan’ paska diresmikannya UUK menjadi tema menarik dalam penelitian. Dengan meneliti para aktivis pro penetapan, maka akan diketahui dalam ranah apa saja mereka mengartikulasikan keistimewaan dalam situasi yang berbeda. Kedua, penelitian tentang bagaimana masyarakat, baik pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menafsirkan bentuk-bentuk keistimewaan penting dilakukan. Konsep keistimewaan masih menjadi lentur. Konsep ini menjadi ranah dimana setiap pihak di dalamnya memainkan peranan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, and Pusat Studi Kebudayaan UGM. Menjadi Jogja: Menghayati Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta, 2006.

Anderson, Benedict R. O'G. Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2001.

—. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.

Atmakusumah, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Barker, Chris. Cultural Studies: Theory & Practice. 3rd. London: SAGE Publications Ltd., 2008.

Baskoro, Haryadi, and Sudomo Sunaryo. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

—. Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik. Yogyakarta: Galang Press, 2011. Bei, Tato, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press

(Baciro), Yogyakarta, (14 Desember 2011).

Billig, Michael. "Rhetorical Psychology, Ideological Thinking, and Imagining Nationhood." In Social Movements and Culture, edited by Bert

Klandermans, & Hank Johnston, 64 – 81. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.

Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta, (1 Mei 2011).

Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta, (21 Mei 2011).

Eko, Sutoro. “Membuat Keistimewaan lebih istimewa.” Dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur Rozaki, & Titok Hariyanto. Yogyakarta: IRE, 2003.

Fasseur, C. “Dilemma zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hukum adat dan hukum Barat di Indonesia.” Dalam Adat dalam Politik


(3)

Indonesia, disunting oleh Jamie S. Davidson, David Henley, & Sandra Moniaga, 57-76. Jakarta: KITLV & YOI, 2010.

Felicianus, Julius, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011).

Foucault, Michel. Kegilaan dan Peradaban. . Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. —. Pengetahuan dan metode. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

—. Arkeologi Pengetahuan. . Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. —. Discipline and Punish. London: Allen Lane, 1977.

Foucault, Michel. “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik (1979).” Dalam Agama, Seksualitas, Kebudayaan, disunting oleh Jeremy R Carette, 193 – 224. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

—. Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Hadiwijoyo, Surya Sakti. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur

kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009.

Hamengku Buwono X. “Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?” naskah dengar pendapat dengan DPR RI. t.thn.

Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.

Jae Bong Park. Preventing Ethnic Violance in Indonesia: Civil Society Engagement in Yogyakarta during The Economic Crisis of 1998. PhD Thesis, University of New South Wales, 2008.

"jogja hip-hop foundation dianugerahi duta nagari Ngayogyakarta Hadiningrat." n.d.: http://www.cekricek.co.id/musik/item/753/.

Johnston, Hank. In A Methodology for Frame Analysis: From Discourse to Cognitive Schemata, edited by Bert Klandermans, & Hank Johnston, 217-240. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.

Kartodirdjo, Sartono. Tjatatan tentang segi-segi messianistis dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959.

Kartodirdjo, Sartono, A. Sudewo, and Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987.


(4)

"Kecewa RUUK DIY Wali Kota Turunkan Bendera Setengah Tiang." n.d.: http://www.tempo.co/read/news/2010/12/12/177298330/.

Kendall, Gavin, and Gary Wickham. Using Foucault’s Methods. London: Sage Publications Ltd., 1999.

Kusno, Abidin. Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2007.

Lofland, John. "Charting Degrees of Movement Culture: Task of The Cultural Cartographer ." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 188-. Minneapolis: University of Minnesota Press, n.d.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya 3. Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakata: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Maksum, Irwan Ridwan. "Otonomi Yogyakarta." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 159-163. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.

Masudi, Wawan. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY.” Dalam Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia, disunting oleh Widya P. Setyanto, & Pulungan Halomoan. Salatiga: Percik, 2009.

Melucci, Alberto. "The Process of Collective Identity ." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 41-64.

Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.

Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.

Moedjanto, G. "Eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 13-16. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.

—. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.

—. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan USD, 2002.

Mulyadi, interview by Leo Budi Setiawan. Yogyakarta, Godean, Sleman, (2009). OngHokHam. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis


(5)

OngHokHam. "Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi." Prisma XII no 8 (Agustus 1983).

—. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES & Penerbit Sinar Harapan, 1983. Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun. Kota Jogjakarta 200 tahun.

Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun– Sub Panitya Penerbitan, 1956.

Pour, Julius. “Sultan Yogya 40 Tahun Bertakhta.” Dalam Sepanjang Hayat bersama Rakyat: 100 tahun Hamengku Buwono IX, disunting oleh Julius Pour, & Nur Adji, 48-60. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012.

Purwanto, Bambang. “Keistimewaan yang sarat beban sejarah.” Dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur Rozaki, & Titok Hariyanto, xi-xxiv. Yogyakarta: IRE, 2003.

Rose, Nikolas. Powers of Freedom: Reframing Political Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Rozaki, Abdur, dan Titok Hariyanto, . Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, 2003.

Sagrim, Hamah, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Asrama Mahasiswa Papua, Muja-Muju, Yogyakarta, (5 November 2011).

Soemardjan, Selo. Selo Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Soewarno, P.J. "Keistimewaan Yogyakarta." In Monarki Yogya

Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 17-29. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.

Soewarno, P.J. "Sultan HB X dan Jabatan Gubernur." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 134-137. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.

Sri Paku Alam VIII. “Kontak dan Kerja Sama Erat Menyatukan Kesultanan dan Pakualaman.” Dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, disunting oleh Atmakusumah, 308-313. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

"Stefanus Widihasto Wasana Putra." n.d.

http://www.pemilu.asia/?opt=3&s=6&y=2004&id=39989.

Suara Merdeka. “Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik.” 14 Oktober 2003: http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm.


(6)

Supangat, Agus, ed. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII) . Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara, Universitas Diponegoro Semarang, 2003.

Swidler, Ann. "Cultural Power and Social Movements." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 25 – 40.

Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.

Syafifudin, Demang, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Baciro, Yogyakarta, (16 Desember 2011).

Wahyukismo, Heru. Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004.

Wasana Putra, Widihasto, interview by Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (December 14, 2011).

—. "Press Release Kirab Budaya Pengukuhan Yogyakarta Kota Republik ." n.d. http://www.facebook.com/notes/widihasto-wasana-putra/release-kirab- budaya-pengukuhan-yogyakarta-kota-republik-selasa-4-januari-2011-s/494628347660.

Yunianto, Tri. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan di Yogyakarta. Solo: Cakra Books, 2010.