Reposisi Pendidikan.

Pikiran Rakyat
o Selasa o Rabu
456
20

21

o Mar

8Apr

7
22
OMei

8
23

.

0


Kamis
9

10
24

OJun

Jumat

25

o Sabtu
12

11
26

13

27

OJul 0 Ags OSep

28
OOkt

Reposisi Pendidikan
Oleh SUWANDI SUMARTIAS
EPUfASI dan eksistensi negara kini berada dalam titik
nadir kehancuran karena dibangun atas sistem hukum yang sungguh
karut marut. Semua elemen politik formal kelembagaan (eksekutif, legislatif,
dan yudikatit) tak ubahnya kumpulan
dari bongkahan tulang dan daging yang
tak memiliki komitmen dan moralitas
dalam mengusung kelangsungan sebuah negara. Cepat atau lambat, perilaku ''busuk" para elite yang kini mencuat di berbagai media dan masyarakat
hanyalah masalah waktu menunggu
ambruknya bangunan negara ini. Produk kebijakan negara pada semua elemen kelembagaan temyata mengandung cacat hukum yang luar biasa kronis. Politik negara dalam wujud kebijakan di berbagai departemen tak juga
mampu memberi solusi dari keterp1:lrukan. Fenomena mafia dalam berbagai jenis yang sedang gencar-gencamya
menjadi wacana hangat di masyarakat

sebenamya bukanlah kasus baru, tetapi
karena ketiadaan political will elite negara yang sedang berkuasalah yang jadi
penyebab utamanya.
Negara tampil bukan lagi sebagai
pengelola amanah rakyat untuk keluar
dari krisis kepercayaan, bahkan menjadi sosok sebagai "perompak" atas rakyatnya (robber and neglect state).
Bahkan kini muncul wacana di komunitas tertentu, .apanya yang harus diubah, kita sudah merdeka, banyak
gedung, rumah, dan mobil-mobil
mewah bertebaran di mana pun, kita
sudah nyaman dan tak ada konflik apa
pun. Republik ini sudah menjadi
bangsa modem lebih dari Amerika dan
Eropa, termasukjumlah "mafianya".
Jika dengan cara selama ini bisa hidup
nyaman dan mewah, termasuk dengan
menjadi makelar, mafia kasus, serta
menjadi "poli-tikus", maka orang yang
tidak ingin seperti itu salah sendiri.
Di tengah-tengah tenggelamnya reputasi negara di mata rakyatnya, paling
tidak secercah harapan dapat dibangun

kembali sistem penyelenggataan pendidikan dalam berbagai dimensi (infra
dan suprastruktur, kendati harus mulai
dari titik nol. Momentum ini menjadi
teramat penting seiring pascapembataIan UU Badan Hukum Pendidikan oleh
Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret
2010. Rencana Mendiknas untuk merancang peraturan pemerintah (PP)
yang baru tetap memiliki komitmen
untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan, khususnya
substansi tentang prinsip-prinsip
otonomi, akuntabilitas, transparansi,
dan efisiensi. Wacana tidak jelasnya
kurikulum, mahalnya buku ajar, biaya,
rendahnya gaji para pendidik dan tenaga kependidikan, sertajenis-jenis
komersialisasi dan pragmatisme pendidikan lainnya sudah lama menjadi
rahasia umum. Namun setiap upaya

perubahan sistem masih dihadapkan
pada para elite birokrasi yang bemuansa mafia.
Reposisi pendidikan formal dan nonformal merupakan upaya strategis yang
menjadi pilihan utama dalam upaya

memutus mata rantai keperpurukan
dan krisis mental bangsa ini. Optimisme ini perlu penyegaran dan penguatan kembali oleh para ilmuwan
dan atau teknokrat pendidikan, karena
hampir di seluruh dunia perubahan suatu negara diawali dengan pembenahanjperbaikan (reposisi) yang komprehensif dalam ranah pendidikan. Dan
hanya dunia pendidikan yang mampu
melahirkan SDM berkualitas dan
berkarakter moralis dan idealis. Faktor
tingginya keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh peserta didik
tidak akan memadai dalam menghadapi gempuran-gempuran globalisasi yang teramat konsumeris dan
materialistis. Pendidikan telah kehilangan makna yang hakiki akibat depersonalisasi dan mekanisasi hidup kaum
modem. Manusia bersatu dengan
mesin dan telah mengakibatkan hilangnya identitas pribadi sebagai
manusia. Hannah Arendt (1979) dalam
'The Human Condition", melakukan
analisis yang cemerlang tentang depersonalisasi sebagai manusia ideal klasik
yang terbalik, dengan merujuk pada
kontemplatif, deliberated, dan kekuatan konstruktif lebih unggul dari
sekedar fungsi biologis. Manusia modem, secara nyata telah kehilangan
daya tarik untuk kontemplasi dan lebih
banyak memenuhi kebutuhan materi.

Sebagai konsekuensinya, manusia
menjadi turun derajatnya menjadi "binatang laborans" yang teIjebak pola
produksi dan konsumsi, tak memiliki
makna sebagai manusia yang berpikir,
berper~aan, dan bemurani.
Pembangunan manusia seutuhnya
sebagai amanat UUD 1945 dan hak
asasi manusia menjadi antiklimaks
seiring maraknya mafia hukum, makelar kasus, dan tindakan kolutiflainnya
di tubuh birokrasi. Meminjam pemikiran Bryant & White (1