Reposisi Islam di tengah

Reposisi Islam di tengah “Perang peradaban”
Oleh : Emha faiq*)
Serangan Amerika terjadap Afghanistan dengan mengatasnamakan peperangan terhadap
terorisme global, telah menimbulkan sejumlah persoalan kompleks dan spekulasi yang
beragam. Di sebagian besar belahan dunia Islam, tindakan sepihak Amerika tersebut
direaksi dengan sangat keras. Bahkan, jika upaya upaya damai dari sengketa ini tidak
segera diciptakan, maka genocide di berbagai dunia Islam terhadap bangsa Amerika atau
barat pada umumnya, dan sebaliknya, ibarat bom waktu yang sewaktu waktu siap
meledak.
Respon yang paling kuat menyatakan bahwa apa yang saat ini tengah berlangsung
sebenarnya merupakan rangkaian panjang dari perang peradaban antara Islam dan Barat
yang tak kunjung berakhir. Tentunya kita masih ingat dengan sejarang panjang perang
salib. Karena itu , menjadi tidak menghernkan. Ketika kondisi ini oleh sebagian besar
umat Islam dianggap sebagai tindakan yang bermotif agama, tepatnya , dendam Kristen
terhadap Islam. Namin , pendapat semacam ini tidak bisa serta merta dibenarkan, karena
sebagian dunia Islam yang lain, malaysia misalnya, melalui Mahathir Mohammad
berkeyakinan bahwa serangan Amerika terhadap Afghanistan sebeanrnya mencerminkan
ketakautan negara adikuasa tersebut akan kepentingan ekonominya.
Tetapi sisi lain yang menarik untuk dicermati dari serangkaian peristiwa ini adalah suatu
kebutuhan untuk melakukan reposisi Islam di tengah era yang ditengarai sebagai peran
peradaban itu. Reposisi ini menjadi penting karena selama Barat secara sepihak mengenal

Islam hanya dengan satu wajah. Islam adalah agama teroris, terbelakang dan tidak
beradab. Keyakinan itu nampaknya tidak akan pudar begitu saja, apalagi, tak lama
sesudah tragedi 11 September itu berlangsung, Silvio Berlusconi,, perdana menteri Italia,
menyatakan bahwa bagaimanapun juga , Barat adalah peradaban yang superior dan Islam
adalah komunitas yang kurang beradab.
Di samping itu, pasca runtuhnya komunisme di Eropa timur, kesan Islam sebagai musuh
barat semakin kuat. Bassam Tibi (1998) pernah mengidnetifikasi gejala ini.Ketika
komunisme masih berdiri dengan kokoh, tulisnya, praktis, Barat memiliki dua musuh
yang menjadi ganjalan bagi hegemoninya. Kedua muisuh tersebut adalah komunisme di
satu sisi , dan Islam di sisi lain.Kesadaran akan adanya dua musuh besar inilah yang
kemudian menjadikan Barat menyadari untuk melakukan unifikasi posisi dan
kekuatannya. Persoalan menjadi lain ketika komunisme runtuh. Islam kemudian menjadi
satu satunya komunitas yuang secara bersama sama dimusuhi oleh Barat. Messkipun jauh
sebelum itu Islam telah menjadi musuh Barat, tetapi intensitas p[ermusuhan itu semakin
tinggi, ketika komunisme yang sama sama menjadi musuh Barat telah hancur.
Berkaitan dnegan persoalan inilah, maka reposisi itu menjadi penting. Bahwa mengubah
citra Islam di mata barat,tidak bisa dilakukan dengan cara cara reaktif dan reaksioner
seperti yang selama ini berlangsung. Jika itu terus terjadi, maka kesan Barat terjadap
Islam sebagai agama terbelakang dan tak berperadaban menjadi semakin kuat. Barangkali
menjadi relevan untuk mengkaji kembali thesisi Hassan Hanafi yang populer disebut

Oksidentalisme.
Secara teoritis, tulis Hanafi, oksidnetalisme adalah suatu cabang filsafat yang bermaksud
mendudukkan superioritas Barar pada batas batas kewajarannya. Selama ini, dengan
senjatata orientalisme, kapitaslisme dan imperialisme, Barat telah menjelma menjadi

suatu konstruk perdaban yang tak terkalahkan. Kondisi ini juga berarti Barat
menganggap kebudayaan kebudayaan dan peradaban-peradaban lain sebagai kebudayaan
inferior, tak terkecuali peradaban Islam.
Karena itu, melawan barat, di satu sisi dan reposisi islam di sisi yang lain, tidak bisa
dilakukan dengan pertarungan kekuatasn fisik atau paradigma materialistik lainnya,
Dalam keyajkinan Hanafi. Barat hanya bisa “dilawan” dengan melakukan pembaharuan
pola pikir umat Islam. Kenyataannya, selama ini umat Islam terjebak dalam pola pikir
yang fatalistik, naratif adan asketik.. kecenderungan ini, diakui atau tidak, telah
menjadikans sebagian besar umat islam terjebak pada sikap yang apologetik dalam
memahami islam. Islam selalu dipahami sebagai ajaran final yang absolut yang dengan
begitu tidak perlu lagi berdialektika dengan realitas zaman.
Karena itulah, Hanafi menawarkan formula kepada umat Islam untuk keluar dari
kungkungan pemikiran yang seperti ini. Formula ini dirumuskan sebagai “sikap kita
terhadap tradisi”,”sikap ktia terhadap Barat” dan”sikap kita terhadap realitas”.
Ketiga agenda di atas, menurut Hanafi (1999) mengisyaratkan terjadinya proses

dialektika antara ego dengan the other dalams realitas sejarah tertentu. Yang dimaksud
dnegan ego disisni merupakan terjemahan dari istilah Arab al-ana (saya). Namun kata ego
merujuk pada diri umat islam. Sedangkan the other merujuk pada pihak lain atau orangorang diluar umat Islam.
Agenda pertama -masih menurut Hanafi.”sikap kita terhadap tradisi lama”, meletakkan
ego pada sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya; agenda kedua,”sikap kita
terhadap tradisi barat”, meletakkan ego pada posisi yang berhadapan dengan the other
kontemporer, terutama kebudayaan Barat pendatang; sedangkan agenda ketiga,”sikap kita
terhadap realitas”,atau,”teori interpretasi”, meletakkan ego pada suatu tempat dimana ia
melakukan observasi langsung terhadap realiatasnya yang lalu untu menemuka teks
sebagai bagian dari elemen elemen realitas tersebut, baik teks agama yang
terkodifikasikan dalam kitab kitab suci maupun teks oral trasdisional yan terdiri dari kata
kata mutiara dan pepatah. Dua agenda pertama berdimensi peradaban, sedangkan agenda
ketiga adalah realitas. Barangkali rumusan yang paling relevan disini adalah yang kedua.
Dalam kehidupan modern masa kini, tradisi Barat telah menjadi pendatang utama dalam
kesadaran kebangsaan kita dan menjadi salah satu sumebr pengetahuan bagi perdaban
ilmiah dan rasional kita (hanafi, 1999).
Selain itu, pengaruh Barat juga tidak bisa dihindari dalam berbagai dimensi kehidupan
modern seluruh jagad ini (Amstrong, 2001).Karena itu, bersikap frontal terhadap Barat ,
disamping akan berhadpan dengan relaitas kehidupan kontemporer secasra global juga
akan menjadikan diri kita tidak kreatif dan inovatif.

Maka reposisi yang dimaksud , sebenarnya bisa juga dilakukan dengan menghidupkan
kembali wacana Islamisasi pengetahuan yang pernah berkembang satu dasawarsa silam,.
Tentu saja,upaya ini dimaksudkan untuk menajdikan Islam sebagai kekuatan
:imperialisme Bawah Sadar “ yang secara intrinsik akan mempengaruhi seluruh dimensi
kehidupan dunia. Apalagi, dalam bidang ekonomi, misalnya, kita tidak memungkiri
bahwa hegemoni kapitalisme menajdi satu kondisi yang tak terelakkan. Bahkan,
meminjam bahasa Adam Swarz, kapitalisme Barat telah menjadi unsur kemakmuran
gllobal masyarakat dunia.
Di sinilah dilema itu terjadi, sebagai satu komunitas peradaban di luar peradaban barat,
ktia senantiasa mengecam barat dengan segala kompleksitas persoalan yang

ditimbulkannya. Tetapi sulit bagi kita untuk menghindari kenyataan itu. Idealnya, Islam
mampu menciptakan relitas relitas tandingan yang mampu menyadarkan Barat akan
superioritas semu yang telah dibangunnya selama ini. Tetapi alih alih melakukan itu,
islam, tulis Tony Prasetiantono, justru ikut memperkuat sistem ekonomi kapitalis, secara
tidak sadar.
Singkat kata, reposisi Islam tersebut , bsia dirumuskan ke dalam beberapa bidang
strategis: pertama, membangun kesadaran dalam diri umat islam bahwa melawan
peradaban Barat harus dilakukan dengan membangun kembali konstruksi pemikiran yang
rasional,oilmiah, dan tidak naratif. Apalagi dengan cara cara realktif dan reaksioner

seperti yang selama ini berlangsung. Kedua,, mengambil sikap proporsional terhadap
barat. Barat sebagai sebuiah peradaban yang tidak mutlak benar, tetapi secara
metoidologis, umzt Islam mesti mengakui keunggulan mereka. Artinya, disini harus ada
pemilahan wilayah yang bisa dibenarkan dan wilayah yang perlu ktia bantah, bukan
memutlakkan dalam kutub ekstrem.”benar” atau “salah” . disini sikap yang kita pakai
adalah obyektif-relaistis.Ketiaga, membangun basis ekonomi yan gkuat.. kasrena salah
satu fakltor ketergantungan negarta negara islam terhadaop Barat sebagian besar terletak
pada bidan gekonomi. Dalam hal ini Indonesia merupakan contoh uyang tidak
terbantahkan akan ketergantungan terhadap Barat (IMF). Di samping itu, hal ini juga
dimaksudakan untuk membentuk satu sistem ekonomi yagn tidak kapitalistik yang
hanaya berpihak kepada kelompok yang kuat. Karena jika hal ini terjadi,, maka tetap
akan melahirkan kepincangan dan lagi-lagi impresi terhadap islam akan membusuk.
Terakhir, mengembangkan sikap beradab dalam menghadapi seluruh aksi aksi sepihak
Barat terdadap Islam.Sehingga pada akhirnya dunia akan menilai, manakah yang lebih
beradab : Islam atau barat.hal; ini pula yang akan menjadi jawaban atas tuduhan
Berlusconi di atas. Wallahu a’lam bi-al shawab.
*) penulis adalah mantan ketua Umum PC.IRM Paciran-Lamongan, aktivis LS Religion
and sosial studies (RsSIST) Malang dan sedang studi S1 di UMM
Sumber: SM-09-2002