Ketika Budaya Ikut Bersalah.

[(OMPAS
C

Selasa
4
5
6
20
21

OMar

OApr

o Rabu

C
22
OMe;

0


.:) Kam;s

8
23

9

OJun

10
24

.

o

Jumar
Sabru
11

12
13
25
26
27
28

OJul

0 Ags OSep

M;nggu
14

15
29

OOkt

ONov


16
30

31

ODes

BANGSA

Ketika Bl!-daya
Ikut BersaZah
Pada pertengahan tahun 1970-an, Koentjaraningrat
pernah menulis secara populer tentang beberapa
sikap mental bangsa Indonesia. Pertama, "suka
menerabas': yakni tindakan untuk mencapai tujuan
sesegera mungkin tanpa berusaha setahap demi
setahap.
Oleh BUDI RAJAB


P

ada periode 70-an itu muItulah mungkin suatu bentuk
lai bennunculan saudabudaya yang berstruktur longgar
gar-saudagar baru yang
(loose structure) yang tidak babesar. Namun, kemunculan menyak memiliki nonna dan mereka itu terjadi lewat hubungan
kanisme yang mengatur relasi
kolusif dengan para pejabat nesosial horizontal yang memunggara. Pada.birokrasi pemerinkinkan di antara warga masyatahan juga terlihat banyak. perakat saling mengontrol. Siapa
gawai negeri yang ingin segera
yang berbuat salah atau benar
naik pangkat dan mendapat fatidak mendapat hukuman (punisilitas melalui hubungan kronishment) dan ganjaran (reward)
istik dengan atasan mereka.
yang jelas.
Kedua, tidak disiplin, tidak
Dengan kuatnya posisi lapistaat peraturan atas dasar kesaan atas dalam pengawasan inidaran pribadi. Kalaupun tampak
lah bentuk masyarakat paternaberdisiplin, sifatnya sangat temlistik, yang dicirikan oleh relasi
porer, karena takut kepada ataspatron-klien, hubungan baan, tetapi saat pengawasan dari
pak-anak buah, yang meriematas kendur, hilanglah hasrat
patkan bapak sebagai patron
untuk menaati peraturan. Keyang berposisi dominan termatiga, tidak bertanggung jawab,

suk dalam juga penguasaan
mengingkari janji. Dan kalaupun
sumber daya ekonomi dan politik. Sementara itu, anak buah
kemudian terlihat ada tanggung
jawab, lagi-Iagi sifatnya tempohanya menjadi subordinat yang
dalam kebutuhan ekonomi dan
rer, umpamanya karena ada
teguran dan kontrol dari atas.
kedudukan sosialnya tergantung
Satu dekade kemudian, Modari patron.
chtar Lubis dalam ceramahnya
Berlangsung hingga kini
di Taman Ismail Marzuki juga
melihat sifat manusia Indonesia
Membuka hasil penelitian
yang jauh dari disiplin, tidak
mengenai masyarakat Indonesia
mutakhir, di antaranya dari
bertanggung jawab, serta tidak
memiliki rasa penyesalan atau

Hans-Dieter Ever (2000), Romalu ketika berbuatsalah. Bah- . bert Hefner (1999,2002), Niels
kan, Lubis menambahinya deMulder (1999,2000), Donald K
ngan sifat-sifat munafik, otoriEmerson (2000), Hans Antl6v
ter, egoistik, hipokrit, materia(2000), Henk Schulte (2002),
listik, mendahulukan prestise
dan James Siegel (2001), terdaripada prestasi, hipokrit, dan
nyata budaya yang berstruktur
oportunistik.
longgar dan hubungan sosial
Dalam menjelaskan kenapa
yang paternalistik di negeri ini
masyarakat Indonesia seperti
masih menonjol. Bagi mereka
itu, Koentjaraningrat dan Lubis
umumnya, peran historis negara
"menyalahkan" nilai budaya ma- ikut memperkuat hubungan
syarakat sendiri yang berorienpatronase itu. Bahkan, negara
tasi vertikal. Tergantung dari pi- secara.sengaja menempatkan dihak yang di atas sehingga tidak
ri sebagai patron masyarakat.
membuka dan memberi peluang

Meski pada pertengahan
1950-an ada embrio untuk beruntuk tumbuhnya ragam organisasi yang pola hubungannya
kembangnya masyarakat sipil
egaliter serta adanya saling keyang relatif egaliter, kekuatan
percayaan dan pengendalian di
politik dominan di masa itu berantara warganya.
anggapan bahwa bentuk masya-

rakat demikian kurang sesuai
dengan budaya Indonesia sehingga dalam waktu singkat dibalikkan kembali ke corak paternalistik.
Apalagi saat rezim Orde Barn
menggenggam kekuasaan, negara langsung menempatkan diri
sebagai patron yang otoriter.
Memang secara formal ada lembaga sosial, ekonomi, dan politik
yang mewadahi pengelompokan
masyarakat-seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Himpunan Kerukunan Tani
IndonesiajHimpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HKTIjHNSI), atau Korps Pegawai Negeri
Republik Indonesia (Korpri)tetapi institusi-institusi itu dibentuk secara korporatis dan
tunggal.

Refonnasipada akhir 1990an pun ternyata tidak memunculkan sikap-sikap kedisiplinan,
tanggung jawab, dan penghargaan.atas proses pada lembagalembaga kemasyarakatan dan
kenegaraan. Otonomi daerah
yang sudah berlangsung
delapan tahun belum menelurkan kebijakan strategis yang
mengubah budaya yang longgar
dan hubungan sosial yang paternalistik.
Penguatan modal sosiC!lI
Saat ini, hidup di negeri ini
masih ditandai oleh hal-hal yang
stigmatik di atas. Kita masih
tetap dihadapkan pada tindakan
hyper-pragmatis, mediokeritas,
atau aji mumpung. Tak hanya di
jalan raya, di institusi pendidikan, di instansi pemerintahan, legislatif dan yudikatif, tetapi juga
di lembaga keagamaan dan kemasyarakatan. Bahkan, dalam
keluarga.
Dalam terminologi sosiologis,
modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini Sangat lemah. Di sini modal sosial memlnjuk pada nilai, nonna, dan
mekanisme yang ada dalam kebudayaan yang berfungsi sebagai rujukan dan pegangan untuk

saling bekerja sarna, memercayai, dan mengendalikan di antara warga masyarakat.
Terutama dalam kaitannya
dengan pengendalian, modal sosial yang kuat, berarti nilai, norma, dan mekanisme kontrol
yang ada dalam kebudayaan itu

efektif, dan ini akan memunculkan kedisiplinan, tanggung
jawab, dan rasa malu. Sebaliknya, modal sosial yang lemah
menunjuk pada nilai, norma,
dan mekanisme kontrolnya yang
tidak aplikatif sehingga menampakkan i}etidaktertiban dan tidak adanya saling percaya.
Mungkin untuk bisa sampai
pada modal sosial yang kuat,
ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, negara mesti
konsisten dalam menerapkan
aturan bagi aparatnya: melanggar atau yang patuh serta yang
berkinerja jelek atau yang berprestasi harns mendapat sanksi
dan ganjaran setimpal. Hubungan patronase di lembaga-lembaga negara harns dikikis, prestasi
aparat dinilai atas dasar meritokrasi, bukan loyalitas kepada
atasan.
Kedua, aparat hukum di lapangan mesti bertindak konsisten. Bila ada yang melanggar jangan diselesaikan "di bawah

tangan", tetapi agar penegak hukum mau menerapkan aturan
perlu ganjaran. Salah satu penyebab mereka enggan berlaku
konsisten karena reward material dan sosialnya kurang memadai. Tentu reward harns diperbaiki sebagaimana punishment mesti tegas diterapkan.
Ketiga, berbagai lembaga, semacam ornop atau LSM, berperan tidak hanya melakukan
pengawasan kerja dan kinerja
negara, tetapi perlu pula mendorong perubahan budaya masyarakat ke arab yang egaliter,
meritokratis, disiplin, dan toleran. Dan akhirnya adalah pendidikan, mulai dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, menjadi perangkat dasar dalam
pembentukim modal sosial yang
kuat. Terutama pada sisi afektif.
Di mana generasi muda tak hanya mengenal, tetapi juga menjalankan nilai-nilai budaya dasar
di atas, respek pada kreasi dan
prestasi, dan kejujuran di atas
semuanya.
Dengan itu semua, mungkin
Koentjaraningrat dan Mochtar
Lubis dapat tersenyum di alam
"sana". Dan lirih berterima kasih, "usahaku tidaklah sia-sia".
BUm RAJAB
Staf Pengajar Jurusan

Antropologi, FISIP UNPAD