John Lie dan Wajah Tionghoa.

Pikiran Rakyat
o Se/asa
456
20

21

o Mar

OApr

0

Rabu

8

7
22

. Kamis0 Jumato Sabtu 0 Mlnggu

9
10
11
!3) 13 14 15

23

OMei

OJun

24

25

26

27

0 Jul 0 Ags OSep


28

OOkt

29

8Nov

30

16

ODes

John Lie dan Wajah--- --Tionghoa
AI

_


=

_

Oleh YULlUS TANDYANTO
ENJELANG Hari Pahlawan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan
Bintang Mahaputera Adipradana pada
Alm. Laksda TN! (purn.) Jahja Daniel
Dharma (John Lie) di Istana Negara,
("PR", 9/11). Setidaknya, penganugerahan gelar tersebut membuka wacana
kesatuan lintas etnik, agama, dan golongan dari keberadaan Tionghoa --istilah lain dari Cina, kiau-seng (peranakan), hoa-kiau (perantauan), tenglang
(hokkien), tengnang (tiochiu), thongnyin (hakka)-- di Indonesia.
John Lie 1Jeng 1Joan alias Jahja Daniel Dharma (1911-1988)memulai kariernya sebagai mualim pada kapal pelayaran niaga milik Belanda (Koninklijke
Paketvaart-Maatschappij -KPM). Kemudian, ia bergabung dengan Angkatan !.aut Indonesia dan bertugas membersihkan ranjau yang ditanam Jepang sewaktu menghadapi Sekutu. Selanjutnya, ia
dipercaya untuk mengamankan bertonton karet, teh, dan hasil bumi lainnya
untuk ditukarkan dengan beragam senjata di Manila, Penang, Bangkok, Rangoon, New Delhi,dan Singapura. Kelak, senjata-senjata tersebut digunakan
tentara Indonesia untuk melawan Belanda yang ingin menguasai kembali republik ini (Intisari, Juli 2009).
Kepiawaian John Lie menakhodai
kapal cepat PPB 58 LB, The Outlaw,
kera:e. membuatyelanda

terke~oh di

M

Kliplng

Humas

perairan Malaka. Bahkan, kelicinan
The Outlaw sempat menjadi buah bibir
BBC dan media internasional. Majalah
UFE, 26 September 1949, yang menyuguhkan artikel dengan foto-foto
eksklusif beIjudul Guns -Bibles- are
Smuggled to Indonesia.
Dalam "Bahasa Menunjukkan Bangsa" (2005: 120), Alif Danya Munsyi
mencatat, munculnya stereotip orang
Tionghoa berkaitan dengan kebijakan
pemerintah kolonial pada abad ke-19
yang mengatur kewarganegaraan penduduk Tiongpoa (Timur Asing) di Hindia Belanda. Staatblaad 44 pada 28 Juli 1850, yang lantas menjadi Burgelijk
Wetboek (semacam KUH Perdata), rupanya menyulitkan masyarakat Tionghoa pada sisi sosial dan ekonomi. Empat tahun kemudian, muncul peraturan Regeringsreglement. Dalam pasal

109, kewarganegaraan di Hindia Belanda dibagi menjadi tiga golongan yakni,
Eropa (Europeanen), Tionghoa (Vreemde Oosterlingen), dan Bumiputra
(Inlanders). Peraturan ini mendudukkan golongan Tionghoa pada posisi
yang khusus ketimbang Bumiputra.
Th. Sumartana dalam "Seribu Tahun Nusantara" (2000: 668) memaparkan, penggolongan ini mengarah
pada pertikaian aritara Tionghoa dan
BUII.1iputra (Jawa) yang disebabkan
oleh masalah-masalah etnosentrisme
dan ekonomi, khususnya persaingan
dagang. Semangat
nasionalisme
yang
..~
~
~--

Unpad

2009


31

tumbuh di awal abad ke-20,.khususnya
pengaruh Sun Yat Sen di kalangan
Asia, mengembuskan kesadaran baru
bagi golongan Tionghoa (Tiong Hoa
Hwee Koan) akan hak-hak mereka di
tanah jajahan. Golongan Tionghoa merasa dianaktirikan dengan orang Jepang yang kala itu disejajarkan dengan
orang Eropa. Di saat yang sarna,
nasionalisme Tionghoa juga memberi
pengaruh pada kesadaran orang Jawa
akan nasionalisme Bumiputra.
Di sisi lain, persaingan dagang antara pedagang Bumiputra dan Tionghoa
makin ketat, terutama sejak didirikan
Sarekat Dagang Islam di Solo. Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode
1909-1916, IWF Idenburg mencatat,
bentrokan horizontal antara JawaTionghoa tidak bisa dihindari. Berbagai
koran pada masa itu juga mencatat, golongan Tionghoa berkampanye untuk
memusuhi Sarekat Islam. Keadaan ini
merupakan tujuan politik kolonial untuk mengadu domba masyarakat.

Dalam beberapa dekade berikutnya,
benih-benih pertikaian tersebut memunculkan stigma tentang orang Tionghoa pada kebanyakan masyarakat di
kalangan akar rumput. MuncuJ gagasan, orang Tionghoa hanyalah kaum
pendatang, bukan orang Indonesia.
Mereka juga diidentikkan dengan pedagang (partikelir) yang piawai dan hanya mementingkan puaknya sendiri.
Stigma ini potensial memicu pertikaian
rasial seperti tragedi 10 Mei 1963 di sekitar Jawa Barat dan kerusuhan Mei
1998 di beberapa wilayah Indonesia.
Sosok John Lie
-- menggambarkan ru~

pa yang lain dari wajah Tionghoa. Setidaknya tingkah laku John Lie di pentas
militer menginspirasikan dua hal pada
generasi sekarang dan mendatang. Pertama, pengabdian yang utuh pada tanah air Indonesiajustru membebaskan
sekat-sekat etnik, agama, dan golongan. Seringkali sekat-sekat etnik, agama,
dan golongan melunturkan kalau tidak
merusak semangat kesatuan untuk
membangun bangsa. Pembangunan
bagi ibu pertiwi membutuhkan segala
upaya termasuk ragam etnik, agama,

dan golongan sebagai kekhasan yang
memperkaya dan mengokohkan.
Kedua, setiap orang Indonesia diajak
mengambil bagian dalam menyelesaikan urusan bangsa yang pelik. Tidak
sekadar mengamati dan berkomentar.
Namun, menyelami permasalahannya,
berpikir adil, dan bekerja keras pada
bidang kehidupan yang digelutinya baik politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, militer, lingkungan, agama, kesehatan, dan ragam lainnya. Tentu menanggalkan kepentingan diri atau golongan
untuk kepentingan nesia yang indo tak
semudah membalikkan telapak tangan.
Kiprah John Lie menjadi salah satu
mutiara sejarah yang perlu digaungkan
bagi generasi saat ini untuk menentukan identitas bangsa mendatang. Ada
kalanya kita perlu bercermin untuk
memungut kembali mutiara-mutiara
sejarah yang telah terlupakan oleh
bangsa ini. Bercermin untuk memperbaiki diri, tidak sekadar bersolek.***

Penulis, mahasiswa Jurnalistik
Fikom

Unpad.
~-'
,
..:>--=---

._