RKPD Kota Bogor 2012 bab iii rkpd2012

(1)

BAB III

RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor

Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah adalah Laju Pertumbuhan PDRB. Indikator ini menunjukkan perkembangan / pertumbuhan produk yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Untuk lebih jelas melihat Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut Sektor Lapangan Usaha disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini :

Tabel 3.1

Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 – 2009 (%).

Kode Sekt or Lapangan Usaha PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

PDRB Atas Dasar Harga Konstan

2008 2009 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pertanian

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan

Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa 7,84 7,90 19,89 14,34 13,61 15,11 28,18 18,58 10,44 7,83 7,91 20,18 14,37 13,65 14,50 28,46 18,80 10,64 3,18 1,88 6,32 6,82 4,09 5,18 7,17 7,44 5,22 3,19 1,20 6,34 6,87 4,10 5,08 7,29 7,65 5,25 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 17,90 17,98 5,98 6,01

Untuk melihat perkembangan Laju Pertumbuhan PDRB pada kurun waktu


(2)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

2005 2006 2007 2008 2009

Grafik 1. Perkembangan Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Tahun 2005 - 2009 (%)

PDRB ATAS DASAR HARGA BERLAKU PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN

Dari grafik 1 terlihat bahwa pada tahun 2005 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan angka positif sebesar 18,04 persen, sebaliknya Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan hanya mencapai 6,12 persen.

Dapat kita perhatikan dari tahun ke tahun harga relatif meningkat dan stabil maka perlahan keadaan mulai membaik dan telah terjadi peningkatan produk riil di tahun 2009 jika dibandingkan keadaan pada tahun 2005. Untuk melihat perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB antar Sektor Tahun 2009 disajikan pada grafik 2.

7.83 7.91

20.18 14.37

13.65 14.5

28.46 18.8

10.64

3.19 1.2

6.34 6.87 4.1

5.08 7.29

7.65 5.25

1. Pertanian 2.Pertambangan 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan … 7. Pengangkutan dan Komunikasi

8. Keuangan, Sewa&Jasa … 9. Jasa-jasa

Grafik 2. Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Antar Sektor Tahun 2009 (%)


(3)

Berdasarkan grafik 2 terlihat bahwa untuk PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan Sektor yang paling tinggi pertumbuhannya yaitu sebesar 28,46 % dan Sektor yang pertumbuhannya paling rendah adalah Sektor Pertanian sebesar 7,83 % diikuti Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 7,91 %.

Dilihat dari PDRB Atas Dasar Harga Konstan, Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan paling tinggi pertumbuhannya yaitu 7,65 % dan sektor yang pertumbuhannya paling rendah adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian yaitu 1,20 % diikuti Sektor Pertanian dan Sektor Bangunan masing-masing sebesar 3,19 % dan 4,10 %.

PDRB Atas Dasar Harga Konstan mencerminkan perubahan PDRB tanpa dipengaruhi oleh harga yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk itu jika dilihat berdasarkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan, sub Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Sub Sektor Bank, Lembaga Keuangan bukan Bank, Jasa Penunjang Keuangan, Sewa Bangunan, Jasa perusahaan dengan angka pertumbuhan masing-masing sebesar 1,29 %, 12,18 % 11,27 % dan 6,51 %.

Untuk lebih jelasnya gambaran kemajuan ekonomi suatu daerah biasanya dilakukan pengelompokkan Sektor ekonomi yang terdiri atas :

1. Sektor Primer, yaitu Sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya. Yang termasuk kelompok ini adalah Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian.

2. Sektor Sekunder, yaitu Sektor yang mengolah bahan mentah atau

bahan baku baik berasal dari Sektor Primer maupun dari Sektor Sekunder menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Sektor ini mencakup Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Minum dan Sektor Bangunan (Konstruksi).

3. Sektor Tersier atau dikenal sebagai Sektor Jasa, yaitu Sektor yang

tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk Jasa. Sektor yang tercakup adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan,


(4)

Persewaan dan Jasa Perusahaan serta Sektor Jasa-jasa.

Bila Lapangan Usaha dikelompokkan ke dalam kelompok Sektor Primer, Sekunder dan Tersier, maka Laju Pertumbuhan Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2009, masing-masing 7,83 %, 18,67 % dan 17,68 %. Pengaruh harga yang cenderung meningkat dan tinggi di Sektor Sekunder, yaitu Sektor Industri Pengolahan mengakibatkan Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder cukup tinggi. Sedangkan Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2009 masing-masing 3,17 %, 5,98 % dan 6,05 %.

Dari komposisi Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan ini menunjukkan bahwa jika tanpa dipengaruhi oleh harga maka telah terjadi pergeseran perilaku Sektoral, dimana pada tahun-tahun sebelumnya Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder menunjukkan laju yang tinggi yaitu seperti pada tahun 2005, Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder 6,19 % sedangkan Sektor Primer sebesar 4,30 % dan Sektor Tersier 6,09 %. Pada tahun 2006, Sektor yang pertumbuhannya tercepat adalah Sektor Tersier (sektor Perdagangan, hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan Perusahaan dan Jasa perusahaan, dan Jasa-Jasa). Sejak tahun 2006 hingga 2007, Sektor tersier mengalami laju pertumbuhan tercepat yaitu masing-masing sebesar 6,45 % dan 6,20 %, disusul sektor Sekunder dan Primer, Sedangkan tahun 2008 hingga 2009 sektor tersier mengalami pertumbuhan tercepat yaitu sebesar 6,02%, 6,05 % dan 6,02 %, kemudian disusul oleh sektor sekunder dan primer masing-masing sebesar 5.98 % dan 3,17%. Tampaknya peran serta masyarakat dalam bidang ekonomi telah menunjukkan arah kepada proses yang diharapkan.

Untuk melihat Laju Pertumbuhan menurut Sektor Primer, Sekunder, dan Sektor Tersier dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut :


(5)

Tabel 3.2

Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan menurut Kelompok Sektor

Tahun 2008 – 2009 (%)

No .

KELOMPOK SEKTOR

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

PDRB Atas Dasar Harga Konstan

2008 2009 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (6) (7)

1

2

3

PRIMER SEKUNDER TERSIER

7, 84

18,38

17,70

7,83

18,67

17,68

3,17

5,95

6,02

3,17

5,98

6,05 PRODUK DOMESTIK

REGIONAL BRUTO 17,90

17,9

8 5,98 6,01

Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder PDRB Atas Dasar Harga Berlaku pada tahun 2005 menunjukkan laju tertinggi sebesar 22,25 % yang diikuti Sektor Tersier sebesar 16,15 % dan Sektor Primer sebesar 10,79 %. Sedangkan pada tahun 2009, Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku tertinggi ada pada Sektor Sekunder yaitu sebesar 18,67 %. Laju Pertumbuhan Sektor Tersier Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2005 sebesar 16,15 %. Namun pada tahun 2006 hanya sebesar 16,82 % dan terus mengalami kenaikan laju pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya yaitu sebesar 17,49 % pada tahun 2007, 17,70 % pada tahun 2008 dan 17,68 % di tahun 2009.

Ketika keadaan ekonomi mulai berangsur normal, pada tahun 2005 Sektor Sekunder memperlihatkan laju sebesar 22,25 % dan 18,12 % tahun 2006. Namun pada tahun 2007, laju pertumbuhannya lebih besar yaitu sebesar 18,88 % dan turun kembali di tahun 2008 sebesar 18,38 % sedangkan pada tahun 2009 kembali mengalami kenaikan menjadi sebesar 18,67 %.

Laju Pertumbuhan Sektor Tersier Atas Dasar Harga Berlaku dari tahun 2005 tumbuh yaitu sebesar 16,15 % kemudian 16,82 % pada


(6)

tahun 2006 dan 17,49 % pada tahun 2007 serta tahun 2008 naik sebesar 17,70 %, kemudian sedikit mengalami penurunan sebesar 17,68 % di tahun 2009. Untuk tahun 2009 Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2009 tumbuh dengan angka pertumbuhan tertinggi dibandingkan sektor lainnya sebesar 18,67 % kemudian diikuti sektor tersier sebesar 17,68 % dan yang terakhir sektor primer sebesar 7,83 %.

Untuk Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan ( umumnya disebut “Laju Pertumbuhan Ekonomi” / LPE ) yang tidak dipengaruhi harga, terlihat bahwa untuk lima tahun terakhir Laju Pertumbuhan Sektor Primer lebih rendah dibandingkan Sektor lainnya. Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder (Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Minum serta Bangunan) pada tahun 2005 sebesar 6,19 %, pada tahun 2006 sebesar 5,44 % dan pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 5,95 %. Pada tahun 2009 laju pertumbuhannya sebesar 5,98 %.

Pada tahun 2004 laju pertumbuhan Sektor Sekunder sebesar 6,19 %, lebih rendah dari angka pertumbuhan secara umum 6,12 %. Begitu pun pada tahun 2005 memperlihatkan laju pertumbuhannya sebesar 5,44 %, lebih tinggi dari angka pertumbuhan secara total sebesar 6,03 %. Sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder lebih kecil dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), yaitu sebesar 5,98 % dimana LPE 2009 adalah 6,01 %.

Keadaan pada tiga tahun terakhir ini cukup baik, terlihat dari peningkatan Laju Pertumbuhan yang cukup cepat untuk Sektor Sekunder dan Tersier. Untuk Sektor Primer (Sektor Pertanian) di Kota Bogor, walaupun bukan Sektor yang memberikan kontribusi Utama bagi PDRB kota Bogor, bahkan jika dibandingkan Sektor Sekunder dan Sektor Tersier lainnya dimana kontribusi Sektor Primer kecil, kemungkinan hal ini disebabkan lebih digalakkannya Agro Industri dan peningkatan pelayanan jasa-jasa dan perdagangan di Kota Bogor


(7)

Berbagai tantangan yang akan dihadapi Kota Bogor di tahun 2012 tentunya tidak terlepas dari perekonomian nasional dan Propinsi Jawa Barat yang masih akan dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu pengelolaan arus modal (capital inflow) dan nilai tukar (exchange rate) dimana harga-harga komoditas terus merangkak naik. Disisi lain adanya pasar bebas akan menyebabkan semakin beratnya industri kecil di Kota Bogor dalam melakukan persaingan dunia. Persaingan ini tidak hanya dalam hal produk tapi juga menyangkut SDM di Kota Bogor. Tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih cukup tinggi juga akan terus mewarnai tantangan perekonomian Kota Bogor di tahun 2012. Hal inilah yang turut berpengaruh terhadap perekonomian Kota Bogor. Pada tahun 2012 perekonomian Kota Bogor diperkirakan akan lebih baik dari perkiraan awal dari tumbuh 5,27 % menjadi 6,03 %. Pemulihan ini terutama disebabkan oleh berhasilnya intervensi pemerintah diberbagai bidang yang telah mendorong sisi permintaan dan mengurangi ketidakpastian dan terjadinya resiko sistemik pada pasar keuangan.

Pencapaian Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor tahun 2009, tahun 2010 dan tahun 2011 sebagaimana tertuang dalam tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor Tahun 2009-2011.

Indikator Tahun

2009 *2010 **2011

1. Jumlah Penduduk 946.204 950.334 973.113

− Laki-laki 481.559 484.791 496.411

− Perempuan 464.645 465.543 476.702

2. Kepadatan Penduduk (per Km2) 7.985 8.009 8.212

3. Jumlah Rumah Tangga (KK) 238.902 239.945 245.696

4 Penduduk Miskin (%) 17,46 17,02 16,71

5 IPM 75,47 75,52 75,71

a. Indeks Pendidikan 87,54 87,54 87,74

Angka Melek Huruf (%) 98,75 98,75 98,77

Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 9,77 9,77 9,85


(8)

Angka Harapan Hidup (tahun) 68,77 68,86 68,95

c. Indeks Daya Beli 65,91 65,91 66,16

Purchasing Power Parity (Rp) 645.22 645,22 646.27

6. Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2,83 2,70 2,39

7. Pengangguran terbuka (%) 18,52 18.00 18

8. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.01 5,27 6,11

9. PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) 11.904.599,66 14.058.351,26 16.459.940,44

10. Jumlah Investasi (Juta Rp) 932.295. 977.295. 1.022.295,

11. Inflasi (%) 2,16 6,57 6

Sumber BPS Kota Bogor Tahun 2011

Sedangkan perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bogor dan Provinsi Jawa Barat tahun 2009 – 2011 adalah sebagaimana tabel 3.4 dibawah ini :

Tabel 3.4

Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bogor dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2011 No

. Keterangan

2009 *2010 **2011

Jabar Bogor Jabar Bogor Jabar Bogor

1 Indeks Kesehatan 71,6 72,95 72,1 73,10 72,7 73,25

2 Indeks Pendidikan 81,1 87,54 81,8 87,74 82,1 87,74

3 IndeksBeli Daya 62,1 65,91 62,8 65,91 63,5 66,16

IPM 71,6 75.47 72,3 75,52 72,8 75,71

Adapun proyeksi Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor tahun 2012 dan Rencana Pencapaian Indikator Makro Ekonomi berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah pada tahun 2014 adalah sebagaimana tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5

Proyeksi Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor Tahun 2012

Indikator Tahun

**2012

RPJMD 2014


(9)

3. IPM 75.86 80,73

a. Indeks Pendidikan 87,94

-−Angka Melek Huruf (%) 98,80 99,66

Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 9,93 12.00

b. Indeks Kesehatan 73,40

-−Angka Harapan Hidup (tahun) 69,04 74,5

c. Indeks Daya Beli 66,24

-−Purchasing Power Parity (Rp) 646.62 647,50

4. Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2,39 2,71

5. Pengangguran terbuka (%) 18,00 4,91

6. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,03 6,43

7. PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) 18.103.221.00

-8. Jumlah Investasi (Juta Rp) 1.022.295,00 1.386.930,00

9. Inflasi (%) 6 6

Sumber :BPS Kota Bogor dan Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMD 2010-2014

3.2 Arah Kebijakan Keuangan Daerah

3.2.1. Proyeksi Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 13, pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun terkait.

Pendapatan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dikelompokkan atas: a) PAD, yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD pada umumnya terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang Sah; b) Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari dana penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana perimbangan


(10)

terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus; c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah meliputi hibah, dana darurat, DBH pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota, dana penyesuaian dan otsus, serta bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemda lainnya.

Berdasarkan data series kurun waktu 2009-2011, secara keseluruhan pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan, begitu juga dengan kelompok dana perimbangan yang menunjukkan kecenderungan peningkatan baik secara nominal dan persentase kontribusi terhadap pendapatan daerah, seperti terlihat pada tabel 3.6 berikut ini :

Tabel 3.6

Realisasi dan Proyeksi/Target Pendapatan Kota Bogor Tahun 2009 – 2012

U R A I A N APBD 2009 (Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) PENDAPATAN DAERAH PENDAPATAN ASLI DAERAH

Pajak Daerah 56,027,944,313.00 66,504,761,353.00 122,900,000,000.0 0

141,667,564,000

Retribusi Daerah 36,491,852,284.00 34,681,146,445.00 34,670,595,911.00 32,288,903,970

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

11,773,311,932.00 15,137,968,088.00 13,359,865,000.00 14,860,668,944

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah

11,628,552,298.00 11,164,213,945.00 11,022,574,582.00 11,466,574,582

JUMLAH PENDAPATAN ASLI DAERAH 115,921,660,827. 00 127,488,089,831. 00 181,953,035,4 93 200,283,711,496 DANA PERIMBANGAN

Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil Bukan Pajak

130,310,453,989.00 148,687,621,387.00 97,847,944,30 6

106,147,132,399

Dana Alokasi Umum 439,246,348,000.00 426,093,607,000.00 473,156,910,00 0

472,888,338,000

Dana Alokasi Khusus 21,019,000,000.00 9,756,700,000.00 11,366,600,00 0 11,366,600,000 JUMLAH DANA PERIMBANGAN 590,575,801,989. 00 584,537,928,387. 00 582,371,454,3 06 590,402,070,399 LAIN-LAIN PENDAPATAN


(11)

Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya

69,820,845,541.00 74,603,608,447.00 80,008,704,00 0

80,008,704,000

Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus

11,460,525,000.00 49,448,383,700.00 120,366,021,20 0

120,366,021,200

Tunj. tambahan

penghasilan sertifikasi dan non sertifikasi guru PNSD

36,073,002,840

Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT)

1,037,455,468

Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya

40,245,955,600.00 53,121,470,000.00 41,486,445,000

JUMLAH LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH

121,527,326,141. 00

180,173,427,1 47

200,374,725,2 00

283,971,628,508

JUMLAH PENDAPATAN DAERAH

828,024,788,957. 00

892,199,445,3 65

964,699,214,999 1,074,657,410,40 3

Dari berbagai komponen pendapatan daerah, sumber utama penerimaan daerah yang berpotensi besar adalah pajak restoran, menunjukkan peningkatan. Namun disisi lain terdapat penerimaan yang tetap atau terjadi penurunan salah satunya yaitu pada pajak reklame dan retribusi IMB, penurunan penerimaan dari pajak reklame akibat dilarangnya pemasangan reklame rokok sedangkan untuk retribusi IMB akibat adanya pembatasan ruang untuk komersil sehubungan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang mengharuskan RTH 30 %. Hal ini dapat digunakan sebagai tanda bahwa perlu dilakukan segera upaya-upaya terobosan untuk mencari sumber-sumber alternative pendapatan lainnya yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber penerimaan daerah, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan dari pajak daerah yang bersifat “limitative”. Untuk itu Pemerintah Kota Bogor menggali potensi pendapatan dari pajak hiburan.

Dari tahun ke tahun penerimaan dari pajak daerah menunjukkan tren meningkat. Hal ini, antara lain disebabkan adanya potensi komponen dana bagi hasil pajak bersumber dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota dan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga terjadi pelimpahan kewenangan pemungutan pajak dari Provinsi ke Kabupaten / Kota, yaitu untuk Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah,


(12)

dimana setiap pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah dikenakan pajak sebesar 20% dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimana dikenakan pajak sebesar 5%. Sedangkan komponen Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) masih memperlihatkan tren yang stabil.

Untuk tahun 2012, diproyeksikan pendapatan daerah mencapai Rp. 1.074.657.410.403.00, dibandingkan target tahun 2011 sebesar Rp. 964.699.214.999, maka terdapat peningkatan pendapatan daerah sebesar Rp. 109.958.195.404,00 Proyeksi pendapatan daerah Tahun 2012 ini telah mempertimbangkan peningkatan penerimaan dari sektor pajak yang mengalami kenaikan tarif sesuai dengan Undang-Undang 28 Tahun 2009 dan pajak dari BPHTB yang telah dialih-kelolakan kepada Kabupaten/Kota.

3.2.2 Arah Kebijakan Pendapatan Daerah

Kebijakan Keuangan Daerah tahun anggaran 2012 yang merupakan potensi daerah dan sebagai penerimaan Kota Bogor sesuai urusannya diarahkan melalui upaya peningkatan pendapatan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah dan dana perimbangan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah:

1. Memantapkan Sistem Operasional Pemungutan Pendapatan Daerah;

2. Meningkatkan Pendapatan Daerah dengan intensifikasi;

3. Meningkatkan koordinasi secara sinergis di bidang Pendapatan Daerah dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan SKPD Penghasil;

4. Meningkatkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah dalam upaya peningkatkan kontribusi secara signifikan terhadap Pendapatan Daerah;


(13)

6. Meningkatkan peran SKPD Penghasil dalam peningkatan pelayanan dan pendapatan.

7. Meningkatkan pengelolaan asset dan keuangan daerah.

Adapun kebijakan pendapatan untuk meningkatkan Dana Perimbangan sebagai upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah adalah sebagai berikut :

1. Mengoptimalkan upaya intensifikasi pemungutan PBB, Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh OPDN), PPh Pasal 21;

2. Meningkatkan akurasi data Sumber Daya sebagai dasar perhitungan

pembagian dalam Dana Perimbangan;

3. Meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dalam

pelaksanaan Dana Perimbangan.

3.2.3. Arah Kebijakan Belanja Daerah

Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama, termasuk penanganan 4 program prioritas Kota Bogor yaitu: Transportasi, Kebersihan, Pedagang Kaki Lima dan Kemiskinan.

Belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pada dasarnya terdapat dua jenis belanja menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.


(14)

Dalam menentukan besaran belanja yang dianggarkan senantiasa akan berlandaskan pada prinsip disiplin anggaran, yaitu prinsip kemandirian yang selalu mengupayakan peningkatan sumber-sumber pendapatan sesuai dengan potensi daerah, prinsip prioritas yang diartikan bahwa pelaksanaan anggaran selalu mengacu pada prioritas utama pembangunan daerah, prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran yang mengarahkan bahwa penyediaan anggaran dan penghematan sesuai dengan skala prioritas.

Belanja penyelenggaraan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik, pemanfaatan alokasi belanja diupayakan agar bisa efisien, efektif, dan proporsional.

Berpedoman pada prinsip-prinsip penganggaran, belanja daerah tahun 2012 disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan memperhatikan prestasi kerja setiap Satuang Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsinya. Ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanan anggaran serta menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dalam belanja program/kegiatan. Kebijakan belanja daerah tahun 2012 tetap diarahkan untuk mendukung pencapaian target IPM 80,73 pada tahun 2014, diperlukan perencanaan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pencapaian IPM 80,73. Dengan perencanaan anggaran yang konsisten dan fokus, diproyeksikan pencapaian 80,73 diarahkan untuk memperkuat bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, dan suprastruktur.

Kebijakan belanja daerah tahun 2012 diupayakan dengan pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif, antara lain melalui:


(15)

1. Esensi utama penggunaan dana APBD adalah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat oleh karena itu akan terus dilakukan peningkatan program-program yang berorientasi pada masyarakat.

2. Meningkatkan kualitas anggaran belanja daerah melalui pola penganggaran yang berbasis kinerja dengan pendekatan program pembangunan yang disertai system pelaporan yang makin akuntabel. 3. Mengalokasikan anggaran untuk 4 (empat) prioritas Pembangunan:

Kemiskinan, Transportasi, PKL, Kebersihan;

4. Mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari total belanja daerah tahun 2012 tidak termasuk alokasi anggaran untuk kegiatan yang belum selesai tahun sebelumnya (multi years), dalam rangka peningkatan indeks pendidikan meliputi Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah (AMH dan RLS), sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

5. Meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan, menuju 10% sesuai

UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan guna peningkatan kualitas dan aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan dalam rangka peningkatan indeks kesehatan masyarakat, terutama untuk keluarga miskin serta kesehatan ibu dan anak.

6. Sesuai dengan Inpres Nomor 3 Tahun 2010, tentang pembangunan yang berkeadilan, yang bertujuan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan pencapaian target MDGs.

7. Mengalokasikan kebutuhan belanja fixed cost, regular cost, dan

variable cost secara terukur dan terarah.

8. Dalam upaya meningkatkan kinerja BUMD Kota Bogor, maka dialokasikan dana penyertaan modal kepada BUMD dalam anggaran RAPBD 2012 sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan dana.

9. Peningkatan efektivitas penggunaan dana PPMK dan PNPM P2KP oleh masyarakat dalam mendukung kualitas pelayanan publik dan sinkronisasi implementasi antara rencana pembangunan Kota Bogor dengan masyarakat melalui kelurahan;


(16)

Berdasarkan hasil analisis dan perkiraan sumber-sumber pendapatan daerah dan realisasi serta proyeksi pendapatan daerah 3(tiga) tahun terakhir, arah kebijakan belanja daerah, dituangkan dalam table 3.7 sebagai berikut:

Tabel 3.7

Realisasi dan Proyeksi Belanja Daerah

NO U R A I A N APBD 2009

(Rp)

APBD 2010 (Rp)

APBD 2011 (Rp)

TARGET 2012 (Rp) II. BELANJA DAERAH

2.1. BELANJA TIDAK LANGSUNG 2.1.1

.

Belanja Pegawai 357,368,859,024 467,833,382,206. 521,744,732,314.00 550,204,933,535

belanja Bunga - - 1,244,494,845.00 1,244,494,847

Belanja Hibah 18,971,000,000 15,825,365,924. 27,885,445,000.00 29,090,105,000

Belanja Subsidi 1,437,035,600.00 1,437,035,600

2.1.5 Belanja Bantuan Sosial 59,802,094,705 88,100,168,167 58,152,948,380.00 71,884,768,380

2.1.6 Belanja bagi Hasil kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes

-

2.1.7 Belanja Bantuan Keuangan kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes

13,232,500,000 12,132,500,000. 935,731,977.00 935,731,977

2.1.8 Belanja Tidak Terduga 1,788,637,300 2782968160 4,500,000,000.00 4,500,000,000

JUMLAH BELANJA TIDAK LANGSUNG

451,163,091,029 586,674,384,457 615,900,388,116.00 659,297,069,3 39

2.2. BELANJA LANGSUNG 2.2.1

.

Belanja Pegawai 43,515,147,268. 45,943,819,584 2.2.2

.

Belanja Barang dan Jasa 173,749,148,757 158,124,717,210 2.2.3

.

Belanja Modal 108,449,608,948 165,939,883,691 JUMLAH BELANJA

LANGSUNG

325,713,904,973 370,008,420,485 4 20,921,900,086 482,024,750,504

JUMLAH BELANJA DAERAH

776,876,996,002 956,682,804,942 1,036,822,288,202 1,141,321,819,843

3.2.4 Arah Kebijakan Pembiayaan Daerah 3.2.4.1 Kebijakan Penerimaan Pembiayaan Daerah

Pembiayaan merupakan transaksi keuangan yang bertujuan menutupi selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembiayaan. Jika Pendapatan Daerah lebih kecil dari Belanja Daerah, maka terjadi


(17)

Daerah. Jika Pendapatan Daerah lebih besar dari Belanja Daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus dan harus digunakan untuk Pengeluaran Daerah. Oleh sebab itu, Pembiayaan Daerah terdiri Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah.

Pembiayaan daerah dalam kurun waktu 2010-2011, memperlihatkan bahwa penerimaan pembiayaan selama ini hanya bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (SiLPA). Besaran SiLPA yang relative besar ini, terutama disebabkan over target pendapatan dan efisiensi penggunaan anggaran. Besaran SiLPA menunjukkan tren menurun, yang dapat diartikan bahwa, disparitas

antara perencanaan pendapatan dan belanja daerah dengan

pelaksanaannya yang semakin mengecil menunjukkan bahwa proses perencanaan dilaksanakan dengan lebih cermat sehingga akan lebih baik pada tingkat pelaksanaannya.

Kebijakan pembiayaan dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan pembangunan daerah yang semakin meningkat akan berimplikasi pada kemungkinan terjadinya defisit anggaran. Untuk itu perlu dilakukan antisipasi dan dapat ditempuh melalui:

a. Sisa Lebih Anggaran tahun sebelumnya (SiLPA) dipergunakan sebagai sumber penerimaan pada APBD tahun berikutnya dan rata-rata SilPA akan diupayakan semakin menurun sebagai akibat dari optimalnya penganggaran dan pelaksanaan kegiatan. Rata-rata SiLPA diupayakan maksimum 5 % dari APBD tahun sebelumnya.

b. Penerimaan Pinjaman Daerah dari dalam maupun luar negeri melalui penerbitan obligasi daerah ataupun bentuk pinjaman lainnya untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik terutama pelayanan air minum.

c. Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang

bersumber dari pencairan dana cadangan, peruntukkan waktu penggunaan dan besarnya disesuaikan dengan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan, sedangkan penerimaan hasil

bunga/deviden dana cadangan dianggarkan pada lain-lain


(18)

Adapun realisasi dan proyeksi Penerimaan pembiayaan daerah tahun anggaran 2009- 2012 sebagaimana tabel 3.8 dibawah ini :

Tabel 3.8

Realisasi dan Proyeksi Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012

NO U R A I A N APBD 2009

(Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.1. PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 3.1.1 .

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya

132,416,563,328 154,938,553,017 96,500,774,205 97,655,357,44 0

Penerimaan Pencairan Dana Cadangan

- 32,000,000,000 - 3.1.4

.

Penerimaan Pinjaman Daerah

- 49,262,400,000 49,262,400,00 0

JUMLAH PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH

132,416,563,328 186,938,553,017 145,763,174,205 146,917,757,4 40

SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN TAHUN BERKENAAN

154,938,553,017 97,655,357,440

2.00

3.2.4.2Kebijakan Pengeluaran Pembiayaan Daerah

Realisasi dan proyeksi pengeluaran pembiayaan Daerah seperti pada tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

Realisasi dan Proyeksi Pengeluaran Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012

NO U R A I A N APBD 2009

(Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.2. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH - - 3.2.1 .

Pembentukan Dana Cadangan (pemilu) 15,000,000,00 0 - - 30.000.000.00 0 3.2.2 .

Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah

13,625,803,266 24,799,836,000 24,377,701,000 26,377,701,00 0

3.2.4 .

Pemberian Pinjaman Daerah 49,262,400,000 49,762,400,00 0

JUMLAH PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH

28,625,803,266 24,799,836,000 73,640,101,000 106,140,101, 000


(1)

6. Meningkatkan peran SKPD Penghasil dalam peningkatan pelayanan dan pendapatan.

7. Meningkatkan pengelolaan asset dan keuangan daerah.

Adapun kebijakan pendapatan untuk meningkatkan Dana Perimbangan sebagai upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah adalah sebagai berikut :

1. Mengoptimalkan upaya intensifikasi pemungutan PBB, Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri (PPh OPDN), PPh Pasal 21;

2. Meningkatkan akurasi data Sumber Daya sebagai dasar perhitungan

pembagian dalam Dana Perimbangan;

3. Meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dalam

pelaksanaan Dana Perimbangan. 3.2.3. Arah Kebijakan Belanja Daerah

Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama, termasuk penanganan 4 program prioritas Kota Bogor yaitu: Transportasi, Kebersihan, Pedagang Kaki Lima dan Kemiskinan.

Belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pada dasarnya terdapat dua jenis belanja menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.


(2)

Dalam menentukan besaran belanja yang dianggarkan senantiasa akan berlandaskan pada prinsip disiplin anggaran, yaitu prinsip kemandirian yang selalu mengupayakan peningkatan sumber-sumber pendapatan sesuai dengan potensi daerah, prinsip prioritas yang diartikan bahwa pelaksanaan anggaran selalu mengacu pada prioritas utama pembangunan daerah, prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran yang mengarahkan bahwa penyediaan anggaran dan penghematan sesuai dengan skala prioritas.

Belanja penyelenggaraan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik, pemanfaatan alokasi belanja diupayakan agar bisa efisien, efektif, dan proporsional.

Berpedoman pada prinsip-prinsip penganggaran, belanja daerah tahun 2012 disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan memperhatikan prestasi kerja setiap Satuang Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsinya. Ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanan anggaran serta menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dalam belanja program/kegiatan. Kebijakan belanja daerah tahun 2012 tetap diarahkan untuk mendukung pencapaian target IPM 80,73 pada tahun 2014, diperlukan perencanaan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pencapaian IPM 80,73. Dengan perencanaan anggaran yang konsisten dan fokus, diproyeksikan pencapaian 80,73 diarahkan untuk memperkuat bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, dan suprastruktur.

Kebijakan belanja daerah tahun 2012 diupayakan dengan pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif, antara lain melalui:


(3)

1. Esensi utama penggunaan dana APBD adalah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat oleh karena itu akan terus dilakukan peningkatan program-program yang berorientasi pada masyarakat.

2. Meningkatkan kualitas anggaran belanja daerah melalui pola

penganggaran yang berbasis kinerja dengan pendekatan program pembangunan yang disertai system pelaporan yang makin akuntabel. 3. Mengalokasikan anggaran untuk 4 (empat) prioritas Pembangunan:

Kemiskinan, Transportasi, PKL, Kebersihan;

4. Mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari total

belanja daerah tahun 2012 tidak termasuk alokasi anggaran untuk

kegiatan yang belum selesai tahun sebelumnya (multi years), dalam

rangka peningkatan indeks pendidikan meliputi Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah (AMH dan RLS), sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

5. Meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan, menuju 10% sesuai

UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan guna peningkatan kualitas dan aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan dalam rangka peningkatan indeks kesehatan masyarakat, terutama untuk keluarga miskin serta kesehatan ibu dan anak.

6. Sesuai dengan Inpres Nomor 3 Tahun 2010, tentang pembangunan yang berkeadilan, yang bertujuan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan pencapaian target MDGs.

7. Mengalokasikan kebutuhan belanja fixed cost, regular cost, dan

variable cost secara terukur dan terarah.

8. Dalam upaya meningkatkan kinerja BUMD Kota Bogor, maka

dialokasikan dana penyertaan modal kepada BUMD dalam anggaran RAPBD 2012 sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan dana.

9. Peningkatan efektivitas penggunaan dana PPMK dan PNPM P2KP oleh masyarakat dalam mendukung kualitas pelayanan publik dan sinkronisasi implementasi antara rencana pembangunan Kota Bogor dengan masyarakat melalui kelurahan;


(4)

Berdasarkan hasil analisis dan perkiraan sumber-sumber pendapatan daerah dan realisasi serta proyeksi pendapatan daerah 3(tiga) tahun terakhir, arah kebijakan belanja daerah, dituangkan dalam table 3.7 sebagai berikut:

Tabel 3.7

Realisasi dan Proyeksi Belanja Daerah

NO U R A I A N APBD 2009 (Rp)

APBD 2010 (Rp)

APBD 2011 (Rp)

TARGET 2012 (Rp) II. BELANJA DAERAH

2.1. BELANJA TIDAK LANGSUNG

2.1.1 .

Belanja Pegawai 357,368,859,024 467,833,382,206. 521,744,732,314.00 550,204,933,535

belanja Bunga - - 1,244,494,845.00 1,244,494,847

Belanja Hibah 18,971,000,000 15,825,365,924. 27,885,445,000.00 29,090,105,000

Belanja Subsidi 1,437,035,600.00 1,437,035,600

2.1.5 Belanja Bantuan Sosial 59,802,094,705 88,100,168,167 58,152,948,380.00 71,884,768,380

2.1.6 Belanja bagi Hasil kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes

-

2.1.7 Belanja Bantuan Keuangan kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes

13,232,500,000 12,132,500,000. 935,731,977.00 935,731,977

2.1.8 Belanja Tidak Terduga 1,788,637,300 2782968160 4,500,000,000.00 4,500,000,000 JUMLAH BELANJA

TIDAK LANGSUNG

451,163,091,029 586,674,384,457 615,900,388,116.00 659,297,069,3 39 2.2. BELANJA LANGSUNG

2.2.1 .

Belanja Pegawai 43,515,147,268. 45,943,819,584 2.2.2

.

Belanja Barang dan Jasa 173,749,148,757 158,124,717,210 2.2.3

.

Belanja Modal 108,449,608,948 165,939,883,691

JUMLAH BELANJA LANGSUNG

325,713,904,973 370,008,420,485 4 20,921,900,086 482,024,750,504

JUMLAH BELANJA DAERAH

776,876,996,002 956,682,804,942 1,036,822,288,202 1,141,321,819,843

3.2.4 Arah Kebijakan Pembiayaan Daerah

3.2.4.1 Kebijakan Penerimaan Pembiayaan Daerah

Pembiayaan merupakan transaksi keuangan yang bertujuan menutupi selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembiayaan. Jika Pendapatan Daerah lebih kecil dari Belanja Daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang defisit dan harus ditutupi dengan Penerimaan


(5)

Daerah. Jika Pendapatan Daerah lebih besar dari Belanja Daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus dan harus digunakan untuk Pengeluaran Daerah. Oleh sebab itu, Pembiayaan Daerah terdiri Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah.

Pembiayaan daerah dalam kurun waktu 2010-2011, memperlihatkan bahwa penerimaan pembiayaan selama ini hanya bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (SiLPA). Besaran SiLPA yang relative besar ini, terutama disebabkan over target pendapatan dan efisiensi penggunaan anggaran. Besaran SiLPA menunjukkan tren menurun, yang dapat diartikan bahwa, disparitas

antara perencanaan pendapatan dan belanja daerah dengan

pelaksanaannya yang semakin mengecil menunjukkan bahwa proses perencanaan dilaksanakan dengan lebih cermat sehingga akan lebih baik pada tingkat pelaksanaannya.

Kebijakan pembiayaan dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan pembangunan daerah yang semakin meningkat akan berimplikasi pada kemungkinan terjadinya defisit anggaran. Untuk itu perlu dilakukan antisipasi dan dapat ditempuh melalui:

a. Sisa Lebih Anggaran tahun sebelumnya (SiLPA) dipergunakan

sebagai sumber penerimaan pada APBD tahun berikutnya dan rata-rata SilPA akan diupayakan semakin menurun sebagai akibat dari optimalnya penganggaran dan pelaksanaan kegiatan. Rata-rata SiLPA diupayakan maksimum 5 % dari APBD tahun sebelumnya.

b. Penerimaan Pinjaman Daerah dari dalam maupun luar negeri

melalui penerbitan obligasi daerah ataupun bentuk pinjaman lainnya untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik terutama pelayanan air minum.

c. Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang

bersumber dari pencairan dana cadangan, peruntukkan waktu penggunaan dan besarnya disesuaikan dengan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan, sedangkan penerimaan hasil

bunga/deviden dana cadangan dianggarkan pada lain-lain


(6)

Adapun realisasi dan proyeksi Penerimaan pembiayaan daerah tahun anggaran 2009- 2012 sebagaimana tabel 3.8 dibawah ini :

Tabel 3.8

Realisasi dan Proyeksi Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012

NO U R A I A N APBD 2009 (Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.1. PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 3.1.1 .

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya

132,416,563,328 154,938,553,017 96,500,774,205 97,655,357,44 0

Penerimaan Pencairan Dana Cadangan

- 32,000,000,000 - 3.1.4

.

Penerimaan Pinjaman Daerah

- 49,262,400,000 49,262,400,00 0

JUMLAH PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH

132,416,563,328 186,938,553,017 145,763,174,205 146,917,757,4 40

SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN TAHUN BERKENAAN

154,938,553,017 97,655,357,440 2.00

3.2.4.2Kebijakan Pengeluaran Pembiayaan Daerah

Realisasi dan proyeksi pengeluaran pembiayaan Daerah seperti pada tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

Realisasi dan Proyeksi Pengeluaran Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012

NO U R A I A N APBD 2009 (Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.2. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH - - 3.2.1 .

Pembentukan Dana Cadangan (pemilu) 15,000,000,00 0 - - 30.000.000.00 0 3.2.2 .

Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah

13,625,803,266 24,799,836,000 24,377,701,000 26,377,701,00 0

3.2.4 .

Pemberian Pinjaman Daerah 49,262,400,000 49,762,400,00

0 JUMLAH PENGELUARAN

PEMBIAYAAN DAERAH

28,625,803,266 24,799,836,000 73,640,101,000 106,140,101, 000