ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA PENANDA DARI EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri L.) Isolasi Dan Elusidasi Struktur Senyawa Penanda Dari Ekstrak Meniran (Phyllanthus Niruri L.).

ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA PENANDA
DARI EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:
NORMAIDAH
K 100110129

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2015
1

2

ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA PENANDA
DARI EKSTRAK MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
ISOLATION AND STRUCTURE ELUCIDATION OF ANALYTICAL
MARKER OF MENIRAN EXTRACT (Phyllanthus niruri L.)

Erindyah R. Wikantyasning*#, Muhammad Da’i*, Normaidah*, AndiSuhendi*
*Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl. A. Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102
#E-mail: erindyah.rw@ums.ac.id
Abstrak
Dalam upaya pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar, senyawa
penanda sangat dibutuhkan dalam standardisasi. Ekstrak P. niruri memiliki berbagai
senyawa penanda seperti fillantin, hipofillantin, dan korilagin. Isolasi senyawa dari
fraksi polar P. niruri menggunakan kromatotron belum pernah dikembangkan. Pada
percobaan ini dilakukan isolasi dan elusidasi struktur untuk mendapatkan senyawa
penanda dari herba P. niruri L..
Herba P. niruri L. diekstraksi dengan metode maserasi dalam metanol.
Ekstrak difraksinasi menggunakan n-heksan, etil aetat, dan metanol : air (2 : 5 v/v).
Isolasi senyawa fraksi polar metanol : air dari ekstrak P. niruri L. dilakukan
menggunakan kromatotron dengan fase diam silika gel 60 GF254 dengan ketebalan 1
mm, jari-jari 7 cm, dan fase gerak kloroform : metanol sistem gradien. Fraksi yang
didapat selanjutnya dielusidasi struktur menggunakan ESI-LC-MS, 1H-NMR, dan
13
C-NMR.
Maserasi menghasilkan ekstrak dengan rendemen 18,65% b/b. Isolasi pertama

menghasilkan 8 fraksi dan isolasi kedua menghasilkan 17 fraksi. Fraksi 1.8 (18 mg)
diprediksi mengandung alkaloid dengan BM 221,104989 g/mol dan belum murni.
Dari penelitian ini belum didapatkan senyawa penanda.
Kata kunci: Phyllanthus niruri L.; senyawa penanda; kromatotron; ESI-LC-MS;
NMR.
Abstract
In the development of herbal medicineinto astandardized herbal medicine, a
marker compoundis needed forstandardization. P. niruri extract has various marker
compounds such as phyllanthin, hypophillantin, and corilagin. Isolation of
compounds from polar fraction using kromatotron P. niruri has not been developed.
This experiment was conducted to isolate and characterize to obtain analytical
marker from P. niruri L. herbs.
P. niruri L. herbs was extracted by maceration method in methanol. Extract
of P. niruri L. was then fractionated using n-hexane, ethyl acetate, and

3

methanol:water (2:5 v/v). The methanol:water fraction was then isolated using
chromatotro) with the stationary phase silica gel 60 GF254 with a thickness of 1 mm,
finger 7 cm and a mobile phase gradient system of methanol: chloroform. Isolates

structure was further elucidated using ESI-LC-MS,1H-NMR, dan13C-NMR.
The maseration process yielded extract with a yield of 18.65% w/w. First
isolation generated 8 fractions and second isolation generated 17 fractions.
Fraction1.8 produce as much as 18 mg as alkaloids with molecular weight
221.104989 g/mol and wasnot pure. This research has not obtained a marker
compound.
Keywords: Phyllanthus niruri L.; marker compound; chromatotron; ESI-LC-MS;
NMR.
 
PENDAHULUAN
Ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) yang berasal dari famili
Euphorbiaceae berkhasiat sebagai hepatoprotektif (Asha, 2011), antitumor (Jia et al.,
2013), antidiabetes (Coman et al., 2012), sitotoksik (Harish dan Shivanandappa,
2006) serta memiliki aktivitas antioksidan (Chirdchupunseree dan Pramyothin, 2010).
Di Indonesia, P. niruri telah diproduksi dan dipasarkan sebagai fitofarmaka dalam
bentuk kapsul dan pada penelitian selanjutnya akan dilakukan formulasi dalam
bentuk nanoemulsi sebagai obat herbal terstandar. Dalam upaya pengembangan jamu
menjadi obat herbal terstandar, menurut Kepala BPOM Indonesia dalam
HK.00.05.41.1384 tahun 2005 harus melalui berbagai tahap uji dan salah satunya
adalah standarisasi bahan baku hingga dalam bentuk sediaan.

Dalam standarisasi suatu sediaan farmasi dengan bahan dasar ekstrak
tanaman diperlukan senyawa penanda atau chemical marker yang umumnya
merupakan senyawa mayor (senyawa utama) ataupun senyawa aktif dari tanaman
yang bersangkutan (Wahyuno, 2005). P. niruri dalam beberapa penelitian
menggunakan korilagin (Colombo et al., 2009), fillantin, dan hipofillantin
(Bhattacharyya et al., 2013) sebagai active marker. Beberapa senyawa penanda P.
niruri kebanyakan dalam penelitian dilakukan isolasi sendiri seperti fillantin,
hipofillantin (Tripathi et al., 2006; Murugaiyah & Chan, 2007), filtetralin, nirantin
(Murugaiyah & Chan, 2006), nirurisida (Qian-Cutrone et al., 1996), dan korilagin
(Colombo et al., 2009).

4

Pada penelitian Qian-Cutrone et al. (1996), menggunakan kromatografi
kolom dengan fase daim Sephadex LH-20 mendapatkan nirurisida sebanyak 12 mg.
Rendemen dari senyawa penanda tersebut terbilang sedikit. Teknik isolasi
menggunakan kromatografi sistem radial (kromatotron) belum pernah dilakukan
untuk mengisolasi P. niruri. Kromatotron dapat mengisolasi lebih cepat, dapat
mengisolasi senyawa yang tidak memiliki gugus kromofor, fase gerak yang
digunakan dapat berupa sistem gradien dengan mudah, dan harga yang relatif rendah

dibanding teknik isolasi lainnya (Kulkarni et al., 2011).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengisolasi
senyawa penanda yang terkandung di dalam ekstrak metanol herba P. niruri
menggunakan kromatotron dan mengelusidasi struktur isolat tersebut. Diharapkan
isolat yang didapat mampu memberikan kemurnian lebih dari 95% sehingga dapat
digunakan sebagai

senyawa penanda dalam validasi metode penetapan kadar

ekstrakP. niruri dalam sediaan nano emulsi yang dikombinasi dengan ekstrak
sambiloto (Andrographis paniculata (Burm f.) Ness.).

METODE PENELITIAN
Bahan
Simplisia kering herba meniran (P. niruri) yang dibeli dari Toko Herba Akar
Sari-Solo, metanol teknis, metanol pro analisis, etil asetat pro analisis, kloroform pro
analisis,aseton pro analisis, akuabidestillata, serbuk Silika gel 60 GF254 1.07730.0500
Merck, lempeng KLT Silika gel 60 F254 Merck, gas Nitrogen, CD3OD, metanol grade
HPLC, Asetonitril grade HPLC, asam fosforik 0,1%, dan asam asetat 0,3%.
Alat

Bejana

maserasi;

alat-alat

gelas;

bejana

kromatografi

lapis

tipis,

kromatografi radial (kromatotron); lampu UV portable 254nm dan 366 nm;
timbangan analitik; oven; rotary evaporator; Alliance® HPLC Waters e2695,
detector PDA Alliance® HPLC Waters e2998dengan kolom C18 Cosmosil Packed
Column (150 mm, diameter 4,6 µm), NMR JEOL JNM-ECS400 Mhz (Institute of


5

Tropical Disease-UNAIR Surabaya), LC-MS Mariner, software MestReNova 10.0.014381.
PersiapansimplisiaP. niruri
Simplisia kering herba P. niruri yang akan diisolasi dibeli dari Toko Herba
Akar Sari, Jl. Dr. Rajiman 112, Solo.
Persiapan ekstrak P.niruri
586,79 g herba P. niruri kering yang telah disortir,dimaserasi 3 kali dalam
methanol sebanyak4,5 L sambil dilakukan pengadukan. Ektrakcair yang didapat
dievavorasi menggunakan rotary evavorator hingga didapat ekstrak kental. Dihitung
rendemen ekstrak yang didapat.
Fraksinasi pertama menggunakan corong pisah
Ditimbang lebih kurang 22 g ekstrak kentaldan dilarutkan dengan metanol :
air (2 : 5 v/v) sebanyak 25,76mL. Disonikasi selama 10 menit. Kemudian dipartisi
dalam corong pisah menggunakan n-heksan pro analisis sebanyak 4 kali
(20→20→10→20 mL).dan dipisahkan fraksi n-heksan yang terletak di bagian atas.
Dilanjutkan dengan partisi menggunakan etil asetat pro analisis sebanyak 4 kali
(25→20→50→10 mL) dan dipisahkan fraksi etil asetat yang terletak dibagian atas.
Masing-masing fraksi dibiarkan menguap pada suhu ruang. Ditimbang dan dihitung

masing-masing hasil fraksinasi.
Optimasi Fase Gerak
Dilakukan optimasi fase gerak terhadap ketiga fraksi yang didapat
menggunakan kombinasi fase gerak metanol : etil asetat (2 : 9 → 2 : 8 → 3 : 7 → 1 :
2→ 5 : 5→ 2 : 1→ 7 : 3→ 8 : 2→ 9 : 2 v/v), kloroform : etil asetat : metanol (4 : 3 :
3→ 1 : 1 : 1 → 2 : 4 : 4 v/v), n-heksan : kloroform (8 : 2 → 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 :
6 v/v), n-heksan : etil asetat (8 : 2 → 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 : 6→ 2 : 8→ 1 : 9 v/v),
kloroform : metanol (9 : 1→ 8 : 2→ 7 : 3→ 6 : 4→ 5 : 5→ 4 : 6 v/v), dan air :
metanol (6 : 4 v/v).
Isolasi Menggunakan Kromatografi Sistem Radial (Kromatotron)
Ditimbang seksama 1 g fraksi kental metanol : air (2 : 5 v/v) dan dilarutkan
ke dalam 2 mL metanol. Dibuat lempeng kromatotron dengan melarutkan lebih
kurang 50 g serbuk serbuksilika gel 60 GF254 1.07730.0500 Merck ke dalam 100 mL

6

akuades dingin, digojog kuat sampai terbentuk bubur, dituang di atas lempeng
kromatotron, didiamkan mengering pada suhu ruang. Setelah kering, lempeng
diaktifkan dengan memanaskannya di dalam oven bersuhu 1050C selama 10 menit.
Disiapkan lempeng dengan ukuran jari-jari 7 cm dan ketebalan 1 mm. Dikondisikan

lempeng dengan dialiri n-heksan pro analisis sebanyak 80 mL, ditunggu sampai nheksan keluar dari kromatotron. Dibiarkan sedikit menguap, dimasukkan sampel
melalui pipa fase gerak dengan putaran yang rendah. Didiamkan sampai sampel
teradsorbsi pada lempeng kromatotron. Dielusi kromatotron menggunakan fase gerak
kloroform : metanol (9 : 1 v /v ) sebanyak 50 mL. Dilanjutkan dengan rasio 8 : 2 v/v
sebanyak 200 mL, dan terakhir dengan rasio 5 : 5 v/v sebanyak 40 mL. Ditampung
fraksi sesuai dengan fluoresensi yang terbentuk dengan pengamatan visual
menggunakan lampu UV 366 nm. Ditunggu sampai semua pelarut menguap pada
suhu kamar serta dengan bantuan gas nitrogen.
Analisis Isolat MenggunakanKromatografi Lapis Tipis (KLT)
Isolat yang didapat dilakukan analisis menggunakan KLT dengan fase diam
lempeng TLC Silica gel 60 F254 Merck dan fase gerak kloroform : metanol (8 : 2
v/v) dengan panjang elusi 4 cm. Digabungkan isolat yang didapat jika memiliki profil
nilai Rf yang sama. Setelah digabungkan, dianalisis kembali menggunakan fase gerak
kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) dan metanol : aseton (2 : 8 v/v).
Analisis Isolat Menggunakan Liquid Chromatoghraphy-Mass Spectrum (LC-MS)
Dilarutkan sampel sebanyak 1 mg dalam metanol grade HPLC, dielusi
dengan fase gerak metanol dan asam asetat 0,3% sistem isokratik, mode full-scandari
100 sampai 1200 m/z dengan temperatur kolom HPLC 1400C dan kecepatan alir 0,05
mL/menit.
Analisis Isolat Menggunakan Spektroskopi NMR

Sebanyak 5 mg isolat dilarutkan ke dalam CD3OD dan ditambahkan dengan
TMS, kemudian dianalisis menggunakan NMR 400 Mhz dan 500 MHz. Ditunggu
sampai analisis selesai. Dilakukan analisis terhadap peak yang didapat.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Herba P. niruri kering dimaserasi dengan metanol karena metanol
merupakan pelarut umum yang digunakan selain etanol untuk ekstraksi (Saifudin,
2014). Disamping itu, pada penelitaian Tripathi et al. (2006), rendemen kandungan
fillantin dan hipofillatin terhadap beberapa spesies Phyllanthus dari ekstraksi
menggunakan pelarut metanol dengan perlakuan yang sama lebih banyak dibanding
menggunakan pelarut heksan, kloroform, maupun etil asetat. P. niruri yang
dihasilkan pada penelitian ini didapatkan ekstrak kental berwarna coklat kehitaman
yang berbau lemah dengan rendemen 18,65% b/b dari 586 g.
22 g ekstrak kental dilarutkan ke dalam metanol : air (2 : 5 v/v) dan
dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan n-heksan dan etil asetat. Fraksi n-heksan,
etil asetat, dan metanol : air (2 : 5 v/v) didapatkan masing-masing 6,06 g isolat kental
berwarna hitam kehijauan; 13,48 g isolat kental berwarna hitam kecoklatan; dan 8,12
g isolat kental coklat kemerahan.

Dalam pengisolasian suatu senyawa menggunakan teknik kromatografi,
perludilakukan pengoptimasian agar didapatkan pemisahan yang baik. Pada optimasi
fase gerak terhadap semua fraksi, didapatkan pemisahan yang baik dari fraksi
metanol : air maupun dari fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan menggunakan fase
gerak campuran kloroform : metanol dari 9 : 1 v/v, 8 : 2 v/v; dan 7 : 3 v/v, namun
terdapat tailing pada fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan. Pada fraksi metanol : air,
pemisahan dengan fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 8 : 2 v/v dan 7 : 3 v/v
teridentifikasi ada 2 bercak dengan Rf masing-masing 0,325 berfluoresensi biru dan
0,625 berfluoresensi kuning lemah untuk fase gerak kloroform : metanol dengan rasio
8 : 2 v/vserta 0,725 berfluoresensi biru dan 0,925 berfluoresensi kuning lemah untuk
fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 7 : 3 v/v.
Isolasi ini menggunakan fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 9 : 1
v/v tidak didapatkan isolat. Fase gerak ini digunakan untuk pengkondisian lempeng
setelah dimasukkan sampel. Pada fase gerak kloroform : metanol dengan rasio 8 : 2
v/v didapatkan 8 faraksi. Fraksi 1.1 dan 1.2 teridentifikasi 4 bercak dengan nilai Rf
masing-masing 0,54 (fluoresensi kuning kehijauan); 0,67 (fluoresensi lemah);
0,81(fluoresensi kuning kuat); dan 0,94 (fluoresensi kuning muda kuat). Fraksi 1.3

8

sampai 1.7 memiliki profil yang sama, yakni teridentifikasi 3 bercak dengan nilai Rf
masing-masing 0,54 (fluoresensi biru kehijauan); 0,67 (fluoresensi lemah); dan 0,81
(fluoresensi kuning lemah). Fraksi1.8 teridentifikasi memberikan 1 bercak dengan
nilai Rf 0,54 (fluoresensi biru kehijauan) (Gambar 1).

Gambar1. Hasil analisis dari isolasi pertama fraksi polar menggunakan kromatotron dengan fase diam
silika gel 60 F254 dengan panjang elusi 4 cm ddan fase gerk kloroform : metanol (7 : 3 v/v) yang dilihat
dengan sinar UV 366 nm

Fraksi 1.8 dianalisis menggunakan metode KLT dengan fase diam Silika gel
60 F254 Merck dan fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) dan metanol
aseton (2 : 8 v/v) serta panjang elusi 4 cm. Dari elusi didapatkan masing-masing 1
(satu) bercak namun masih memiliki bercak yang dapat berfluoresensi pada totolan
awal serta pada elusi menggunakan kloroform : metanol (9 : 1 → 8 : 2 v/v) masih
terdapat tailing (Gambar 2).

Gambar2. Hasil analisis fraksi 1.8 menggunakan KLT dengan fase gerak (A) kloroform : metanol (9 : 1
v/v), (B) kloroform : metanol (8 : 2 v/v), dan (C) metanol : aseton (2 : 8 v/v) panjang elusi 4 cm pada sinar
UV 366 nm

Selanjutnaya, hasil analisis fraksi 1.8 menggunakan ESI-LC-MS. Dengan
LC mode +ESI ECC Scan. Fraksi 1.8 memiliki waktu retensi 0,86 menit dan terdapat
9

peak lain dengan intensitas rendah yang memiliki waktu retensi 1,778 menit (Gambar
10). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi 1.8 masih belum murni.

Gambar3. Hasil analisis LC menunjukkan peak terbesar memiliki waktu retensi 0,860 menit dengan
metode dari Institute of Tropical Disease-UNAIR Surabaya

Pada LC-MS menggunakan ion positif (H+) dengan mode +ESI-MFE-MS,
peak dengan waktu retensi 0,860 menit memberikan base peak pada 222,1127 m/z
yang berbobot molekul 221,104989 g/mol dengan rumus formula C12H15NO3. Double
bond eqivalency (DBE) dari fraksi 1.8 sebanyak 6 (Gambar 4).
A

B

Gambar4.Hasil ESI-LC-MS fraksi 1.8 dengan waktu retensi 0,860 menit memiliki base peak 222,1127 m/z
menggunakan ion positifESI-MFE-MS pada LC-MS dengan metode dari Institute of Tropical DiseaseUNAIR Surabaya (A) dan hasil spektra ESI-LC-MS isobubbialin dengan ion positif (Zhou et al., 2012) (B)

10

Pada penelitian Houghton et al. (1996), ditemukan dua senyawa alkaloid
sekurinega dari Phyllanthus amarus yang yaitu epibubbialindan isobubbialin
berbentuk serbuk kristal. Pada Phyllanthus niruroides juga terdapat senyawa
niruroidina yang berbentuk padatan amorf (Babady-Bila et al., 1996). Menurut Zhou
et al. (2012), P. niruri mengandung isobubbialin dengan spektra ESI-LC-MS pada
Gambar 11 yang menunjukkan perbedaan pola fragmentasi. Pada penelitian Zhu et al.
(2011), P. niruri mengandung epibubbialin. Dari kesemua isolat tersebut memiliki
rumus molekul C12H15NO3 dengan berat molekul 221,105 g/mol. Fraksi 1.8 berupa
plek berwarna coklat yang kelarutannya lemah pada kloroform maupun metanol.
Fraksi 1.8 diprediksi mengandung senyawa alkaloid yang memiliki
karakteristik berbeda dibanding isobubbialin, epibubbialin, dan niruroidin pada hasil
analisis menggunakan 1H-NMR400 MHz yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
analisis, lingkungan kimia, pola spin-spin kopling dan integradsi isolat 1.8 dengan
yang lainnya tidak menunjukkan kemiripan (Saifudin, 2014) dan dari data yang
diperoleh menunjukkan ketidakstabilan hasil analisis. Ini disebabkan karena fraksi
1.8 masih belum murni, sehingga data yang diperoleh belum dapat diinterprestasikan.
Perbedaan hasil 1H-NMR dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar5. Struktur epibubbialin (A), isobubbialin (B), dan niruroidina (C)

Fraksi 1.8 pada

13

C-NMR berfrekuensi 400 MHz dengan pelarut CD3OD

terdeteksi beberapa peak dengan intensitas yang sangat rendah dan data tersebut tidak
dapat diinterprestasikan (Gambar 14). Menurut Saifudin (2014), pelarut sangat
berperan penting dalam menentukan hasil NMR. Pelarut dapat mempengaruhi
kemunculan spektra. Ini dikarenakan pada prosesnya, analit tidak terlarut sempurna.
DMSO (dimetil sulfoksida) merupakan salah satu pilihan pelarut yang digunakan
apabila analit tidak dapat melarut pada pelarut lain.

11

Table 1. Analisis 1H-NMR Epibubbialin (A)dan Isobubbialin (B1) pada 1H-NMR 400 MHz dalam CDCl3
(Houghton et al., 1996), Isobubbialin pada 1H-NMR 500 MHz dalam CD3OD (Zhu et al., 2011) (B2) (Zhou
et al., 2012) (B3), niruroidina pada 1H-NMR 500 MHz dalam CDCl3 (Babady-Bila et al., 1996), dan fraksi
1.8 pada1H-NMR 400 MHz dalam CD3OD (dalam ppm)

A

B1

B2

B3

C

2-1

Fraksi 1.8
2-2
2-3
8,82 m
8,81 m
8,72 s
8,66 m
8,66 m

7,46 s
7,07 s

5,80 t

5,83 t

6,72 m
6,46 m
6,24 m

6,72 m
6,46 m
6,24 m

5,20 s
5,13 s

5,20 s
5,13 s

5,83 t

5,75 t

5,74 t
5,67 s

5,34 brs

5,40 brs
5,18 s

4,45 br ddd
4,25 dd

4,20 dd

4,20 dd

3,82 m

3,82 m

4,65 s
4,59 s
4,43 s

4,05 dd
3,99 s
3,80 d
3,72 d

3,74 m
3,64 d

3,32 prt
3,18 prt

3,13 m
3,08 m

3,02 m
2,98 dt

2,68 dt
2,38 dd
2,22 m
2,12 m
1,92 m
1,88 dd
1,70 m

3,27 s

3,27 s

3,06 m
3,02 m
2,96 dt

3,06 m
3,02 m
2,96 dt

2,80 dt

2,80 dt

2,35 dd
2,24 m
2,18 m
1,97 m
1,91 m

2,35 dd
2,24 m
2,18 m
1,97 m
1,91 m

1,74 m

1,74 m

3,26 ddd

3,57 t
3,44 d
3,28 s
3,21 s

3,15 m
3,12 m
3,02 ddd
2,91 m
2,89 m
2,81 dd

2,28 s
1,97 m
1,91 m
1,79 m
1,36 ddd

2,02 s

1,48 s
1,29 s
1,15 s
1,00 s
0,95 s
0,86 s

12

Gambar6. Hasil analisis 13C-NMR fraksi 1.8 dengan CD3OD menggunakan instrumen berfrekuensi 400
MHz

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kekurangan penulis, di
antaranya adalah penulis tidak melakukan analisis KLT 2 (dua) dimensi. Metode
KLT 2 (dua) dimensi dengan fase gerak yang telah teroptimasi dapat memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan hanya dengan 1 (satu) dimensi. Selain itu, penulis
juga tidak melakukan uji titik leleh yang merupakan salah satu metode untuk
menentukan kemurnian dari suatu analit (Wilbraham, 1992). Setelah hanya
didapatkan satu bercak yang tidak meninggalkan bercak pada tempat penotolan, maka
perlu dilanjutkan kembali menggunakan metode HPLC/LC dengan kondisi
teroptimasi sebelumnya.
Suatu senyawa dapat dikatakan sebagai senyawa penanda apabila senyawa
tersebut merupakan senyawa mayor atau senyawa yang memiliki aktivitas biologis
(Wahyuono, 2005). Senyawa yang terdeteksi dari fraksi 1.8 merupakan suatu alkaloid
yang didukung dengan hasil ESI-LC-MS yang menunjukkan adanya atom N yang
merupakan ciri khas dari alkaloid (Saifudin, 2014). Namun data penulis belum cukup
untuk menentukan struktur yang terkandung di dalamnya mengingat fraksi yang
didapat juga belum murni yang terlihat dari masing-masing kromatogram dari kedu
fraksi yang dianalisis.
Ketidakmurnian dari fraksi yang didapat menyebabkannya tidak dapat
digunakan sebagai senyawa penanda untuk penelitian selanjutnya. Ketidakmurnian
tersebut dapat dikarenakan tidak adanya pengaturan volume yang terukur dari tabung
13

fase gerak dan terlalu cepatnya perputaran rotor dari kromatotron menyebabkan
pengadsorbsian fase gerak pada lempeng kromatotron tidak menyebar sempurna
keseluruhan sisi analit, sehingga pada saat masuk ke dalam penampungan senyawa
yang memiliki rotasi pendaran berbeda masuk secara bersamaan.
Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan isolasi kembali. Pada fraksi 1.8
perlu dilakukan pengisolasian dari fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7, karena dari fraksi 1.2
sampai fraksi 1.7 memiliki profil hasil KLT yang sama. Pengisolasian fraksi 1.2
sampai fraksi 1.7 dapat dilakukan dengna berbagai pelarut yang memiliki polaritas
berbeda pula.
Dalam analisis senyawa menggunakan LC-MS, perlu dilakukan optimasi
kondisi terlebih dahulu sebelum dilakukan elusi. Sehingga pada hasil kromatogram
tidak didapatkan senyawa yang tertumpuk dalam satu peak. Mode EI (electron
impact) perlu dilakukan jika mendapatkan peak hasil kromatogram yang tidak
melebar,

karena

mode

EI

merupakan

mode

ionisasi

keras

yang

dapat

memfragmentasi senyawa menjadi fragmen-fragmen yang khas sehingga mudah
dalam menentukan struktur senyawa.
Pada analisis menggunakan NMR, perlu dilakukan penggatian pelarut
dengan harapan analit dapat terlarut sempurna dan intensitas spektra yang dihasilkan
cukup besar sehingga hasil tersebut dapat diinterprestasikan. Salah satu pelarut yang
perlu dilakukan optimasi adalah DMSO (dimetil sulfoksida) karena pelarut ini
merupakan pilihan jika analit tidak dapat melarut pada pelarut lain (Saifudin, 2014).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkanhasilpenelitian, dapatdisimpulkanbahwapenelitian ini belum
menghasilkan senyawa penanda. Fraksi 1.8 masih berupa senyawa campuran dengan
polaritas yang hampir sama. Salah satu senyawa yang diprediksi terkandung dalam
fraksi 1.8 pada waktu retensi 0,86 menit merupakan senyawa alkaloid dengan rumus
formula C12H15NO3 yang memiliki BM 221,104989 g/mol, namun struktur kimia dari
senyawa tersebut belum dapat diinterprestasikan.

14

Saran
Pada fraksi 1.2 sampai fraksi 1.7 perlu dilakukan isolasi kembali
menggunakan beberapa pelarut dengan polaritas berbeda serta perlu dilakukan
analisis ulang dengan LC-MS mode EI dan atau NMR menggunakan pelarut DMSO
atau pelarut lain yang telah teroptimasi pada fraksi yang telah diisolasi kembali.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan kepada Hibah Bersaing DIKTI tahun 2013
sebagai pihak yang membiayai penelitian penulis dan terima kasih kepada Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah menyediakan fasilitas
penulis dalam melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Ardrey, R. E., 2003, Liquid Chromatoghraphy-Mass Spectrometry: an Introduction,
New York, John Wiley & Sons.
Asha, V., 2011, 9 Hepatoprotective Effects of Plants in the Family Phyllanthaceae,
Phyllanthus Species: Scientific Evaluation and Medicinal Applications,
157.
Babady-Bila, Gedris, E. T. & Herz, W., 1996, Niruridine, A Norsecurinine-Type
Alkaloid from Phyllanthus niruroides, Phytochemistry, 41(5), 1441-1443.
Bhattacharyya, S., Pal, P. B. & Sil, P. C., 2013, A 3573xa0 kD Phyllanthus niruri
Protein Modulates Iron Mediated Oxidative Impairment to Hepatocytes
via the Inhibition of ERKs, p38 MAPKs and Activation of PI3k/Akt
Pathway, Food and Chemical Toxicology, 56, 119-130.
Chirdchupunseree, H. & Pramyothin, P., 2010, Protective Activity of Phyllanthin in
Ethanol-treated Primary Culture of Rat Hepatocytes, Journal of
ethnopharmacology, 128, 172-176.
Coman, C., Rugina, O. D. & Socaciu, C., 2012, Plants and Natural Compounds with
Antidiabetic Action, Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj-Napoca,
40.

15

Colombo, R. De L, B., Andrea, N., Teles, H. L., Silva, G. H., Bomfim, G. C., et al.,
2009. Validated HPLC method for the standardization of Phyllanthus
niruri (herb and commercial extracts) using corilagin as a phytochemical
marker. Biomedical chromatography : BMC, 23(6), 573–580.
Dehmlow, E. V., Guntenhöner, M. & Ree, T. V., 1999, A Novel Alkaloid from
Fluggea virosa: 14,15-Epoxynorsecurinine, Phytochemistry, 52(8), 17151716.
Harish, R. & Shivanandappa, T., 2006, Antioxidant Activity and Hepatoprotective
Potential of Phyllanthus niruri, Food chemistry, 95, 180-185.
Houghton, P. I., Woldemariam, T. Z., O'Shea, S. & Thyagarajan, S. P., 1996, Two
Securinega-Type Alkaloids from Phyllanthus amarus, Phytochemistry,
43(3), 715-717.
Jessica

& Gliment, 2002, Electrospary Ionization
dipresentasikan pada 17 September 2002.

Mass

Spectrometry,

Jia, L., Jin, H., Zhou, J., Chen, L., Lu, Y., Ming, Y. et al., 2013, A Potential AntiTumor Herbal Medicine, Corilagin, Inhibits Ovarian Cancer Cell Growth
Through Blocking the TGF-β Signaling Pathways, BMC complementary
and alternative medicine, 13, 33.
Kepala BPOM RI, 2005, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka, Jakarta, BPOM.
Murugaiyah, V. & Chan, K.-L., 2007, Determination of Four Lignans in Phyllanthus
niruri L. by A Simple High-Performance Liquid Chromatography
Method with Fluorescence Detection, Journal of Chromatography A,
1154, 198-204.
Qian-Cutrone, J., Huang, S., Trimble, J., Li, H., Lin, P., Alam, M., Klohr, S. E. &
Kadow, K. F., 1996, Niruriside, a New HIV REV/RRE Binding Inhibitor
from Phyllanthus niruri, J. Nat. Prod., 59, 196-199.
Saifudin, A., 2014, Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan Teknik
Pemurnian, Yogyakarta, Deepublish.
Tripathi, A. K., Verma, R. K., Gupta, A. K., Gupta, M. M. & Khanuja, S. P., 2006,
Quantitative Determination of Phyllanthin and Hypophyllanthin in
Phyllanthus species by High‐Performance Thin Layer Chromatography,
Phytochemical Analysis, 17, 394-397.

16

Wahyuono, S., 2005, Dari Obat Tradisional ke Obat Modern, Simposium dan
Seminar Pengembangan Obat Tradisional Indonesia, Yogyakarta,
Fakultas Farmasi-UGM.
Wilbraham, 1992, Pengantar Kimia Organik 1, Bandung, ITB-Press.
Zhou, M., Zhu, H., Wang, K. & Wei, W., 2012, Isolation and X-ray crystal structure
of a securinega-type alkaloid from Phyllanthus niruri Linn., Natural
Product Research, 26(8), 762-764.
Zhu, H., Wei, W., Zhou, M., Yang, D., Fan, X. & Liu, J., 2011, Chemical
Constituents of Phyllanthus niruri L., Natural Product Research, 23, 401403.

17