PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBELAJARAN DAN LAYANAN BIMBINGAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH PENYELENGGARA PERINTIS PENDIDIKAN INKLUSIF.

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK .....................................................................................................
ABSTRACT ………………………………………………………………...
KATA PENGANTAR ....................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

i
ii
iii
v
ix
xi
xii

BAB I


PENDAHULUAN .......................................................................
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................
C. Pertanyaan Penelitian ...........................................................
D. Tujuan Penelitian ..................................................................
E. Manfaat Penelitian ................................................................
F. Kerangka Penelitian ..............................................................

1
1
7
8
9
10
11

BAB II

KERANGKA
KONSEPTUAL

BIMBINGAN
DAN
KONSELING BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH
PENYELENGGARA PERINTIS PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Pendidikan Inklusif ...............................................................
1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ................................
2. Sekolah Inklusif………………………………………..
3. Kebijakan Yang Berhubungan dengan Pendidikan
Inklusif …………………………………………………
B. Ketunanetraan .......................................................................
1. Definisi Tunanetra ..........................................................
2. Penyebab Terjadinya Ketunanetraan ..............................
3. Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan .....................
4. Pembelajaran bagi Anak dengan Ketunanetraan ............
C. Bimbingan dan Konseling ....................................................
1. Esensi Layanan Bimbingan dan Konseling ....................
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling ..................................
3. Fungsi Bimbingan dan Konseling ..................................
4. Asas dan Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling ......
5. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Keseluruhan

Layanan Pendidikan Sekolah .........................................
6. Komponen Program Bimbingan dan Konseling .............

ix

15
15
15
29
32
37
37
40
42
48
51
51
54
57
60

65
67

x

D. Bimbingan dan Konseling bagi Tunanetra ...........................
1. Interview Awal ...............................................................
2. Etika Disabilitas ..............................................................
3. Faktor Lingkungan .........................................................
E.

BAB III

Penerapan Konsep Bimbingan dan Konseling dalam
Pembelajaran ……………………………………………….
1. Penerapan Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
dalam Pembelajaran …………………………………….
2. Penerapan Azas-azas Bimbingan dan Konseling dalam
pembelajaran ……………………………………………


69
71
73
74

75
76
77

METODE PENELITIAN .............................................................
A. Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................
B. Subyek Penelitian .................................................................
C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen
Penelitian ..............................................................................
D. Teknik Analisis Data ............................................................

81
81
82


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
A. Hasil Penelitian .....................................................................
B. Pembahasan ..........................................................................

87
87
138

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................
A. Kesimpulan ............................................................................
B. Rekomendasi .........................................................................

150
150
154


DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................

157
161

83
85

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Keadaan Sekolah Luar Biasa di Jepang pada tahun 2005

27

Tabel 2.2


Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor

75

Tabel 4.1

Penjelasan Guru

96

Tabel 4.2

Aksesibilitas Lingkungan Belajar

98

Tabel 4.3

Aksesibilitas Sumber Belajar


100

Tabel 4.4

Mobilitas Dalam Interaksi Dengan Guru & Teman Sebaya

102

Tabel 4.5

Perlakuan Dari Lingkungan Belajar

105

Tabel 4.6

Azas Kerahasiahan

107


Tabel 4.7

Azas Kesukarelaan

109

Tabel 4.8

Azas Keterbukaan

110

Tabel 4.9

Azas Kegiatan

112

Tabel 4.10


Azas Kemandirian

113

Tabel 4.11

Azas Kekinian

114

Tabel 4.12

Azas Kedinamisan

115

Tabel 4.13

Azas Keterpaduan

116

Tabel 4.14

Azas Keharmonisan

117

Tabel 4.15

Azas Keahlian

118

Tabel 4.16

Azas Alihtangan

119

Tabel 4.17

Layanan Dasar

122

Tabel 4.18

Layanan Responsif

124

Tabel 4.19

Pelayanan Perencanaan Individual

126

Tabel 4.20

Pelayanan Dukungan Sistem

128

Tabel 4.21

Materi Layanan Bimbingan dan Konseling

130

Tabel 4.22

Layanan Bimbingan dan Konseling

134

Tabel 4.23

Aksesibilitas Layanan Bimbingan dan Konseling

136

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1

Kerangka Penelitian

14

Gambar 2.1

Pandangan Tradisional Pilihan Pemberian Layanan Pendidikan

16

Gambar 2.2

Evolusi Pilihan Penempatan bagi Anak-anak dengan Kelainan

22

Gambar 2.3

Pilihan Sekolah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Jepang

26

Gambar 2.4

Sistem Persekolahan di Jepang

28

Gambar 2.5

Pendidikan Inklusif dalam Konteks yang Lebih Luas

30

Gmabar 2.6

Questions to be Adressed in the Initial Interviews

84

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar
pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari
diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan
internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan
mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara
hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang
kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan
tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan
bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan
untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990.
Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa
semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang
sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa
memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada.
Menindak lanjuti konferensi tersebut, pada tanggal 7 sampai 10 Juni 1994 lebih
dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional
bertemu di Salamanca, Spanyol, untuk memperluas tujuan PUS (EFA) dengan
mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk
menggalakan pendekatan pendidikan inklusif (inclusive education), agar sekolahsekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan
1

2

pendidikan khusus. Dalam Pernyataan Salamanca tersebut ada enam hal yang
ditekankan, yaitu: (1) hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan
temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat
mengikuti sekolah, (2) hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya
dalam kelas-kelas inklusif, (3) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan
yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual, (4) pengayaan dan
manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan
pendidikan inklusif, (5) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan
berkualitas yang bermakna bagi setiap individu, dan (6) keyakinan bahwa
pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya
pada keefektifan biaya.
Tanpa adanya akselerasi, sasaran tidak bisa tercapai dan ketidakseimbangan
antar negara semakin terbentang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan dasar akan
pendidikan merupakan hal yang penting (Fasli Djalal, 2002:1). Menyadari akan
pentingnya pendidikan, para partisipan yang tergabung dalam World Education
Forum bertemu di Dakar, Senegal bulan April 2000 dan mengikrarkan akan
pentingnya pendidikan untuk semua. Komitmen ini merupakan penguatan atas
Deklarasi Dunia mengenai PUS (EFA) yang diselenggarakan di Jomtien, tahun
1990. Komitmen dalam pertemuan Dakar terdiri dari enam tujuan pendidikan,
sebagai berikut: (1) meningkatkan dan memperluas pendidikan anak-anak secara
menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang kurang beruntung, (2) semua anak-anak
pada tahun 2015 khususnya perempuan, anak-anak dengan kondisi yang
memprihatinkan dan yang merupakan etnis minoritas harus bisa memperoleh dan
menempuh pendidikan dasar berkualitas baik secara cuma-cuma, (3) program yang
bersifat keahlian dan tepat guna akan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan

3

pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa, (4) pada tahun 2015 diharapkan
akan ada peningkatan sekitar 50% untuk tingkat baca tulis orang dewasa,
khususnya wanita, dan akses yang menunjang keseimbangan akan pendidikan yang
berlanjut untuk semua orang dewasa, (5) menghilangkan isu gender dalam
pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keseimbangan
gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Hal ini akan berfokus pada akses
seimbang dan menyeluruh untuk wanita dalam pendidikan dasar yang berkualitas
baik, dan (6) memperbaiki semua aspek dalam kualitas pendidikan sehingga semua
hasilnya bisa dinikmati oleh semua pihak, terutama dalam baca tulis, menghitung
dan keterampilan siap pakai. Dari ke enam tujuan pendidikan tersebut jelaslah
bahwa pendidikan harus diselenggarakan untuk semua. Kata semua anak secara
literal dan jelas ditujukan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang
kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan layanan pendidikan khusus.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab VI Pasal 32 dikemukakan, bahwa: (1)
pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) pendidikan
layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) ketentuan mengenai
pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Apabila dicermati, maka isi yang terkandung di dalam pasal ini telah
sejalan dengan pernyataan Salamanca. Ayat 1 mengakomodasi tentang pendidikan

4

bagi anak yang berkebutuhan khusus permanen, sedangkan ayat 2 bagi anak yang
berkebutuhan khusus temporer.
Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikan khusus belum ditetapkan, tetapi
berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) draft akhir Bab II Pasal 12
tentang Pendidikan Terpadu dan Inklusif dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan
terpadu dan inklusif bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik
berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem
persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikannya,
(2) pendidikan terpadu dan inklusif dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi, (3) penyelenggaraan pendidikan terpadu dan inklusif
dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan
kemampuan sekolah, (4) sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan
inklusif perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang
diperlukan peserta didik berkelainan, (5) peserta didik yang mengikuti pendidikan
terpadu dan inklusif berhak mendapatkan penilaian secara khusus sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan, (6) pemerintah
mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu
dan inklusif, dan (7) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) diatur oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah.
Selain Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pendidikan
inklusif, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Dikdasmen, Dit PLB membuat
kebijakan dan pengembangan program PLB yang di dalamnya mengakomidasi
tentang pendidikan inklusif, sebagai berikut:
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yan mengikutsertakan anak-anak
yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak
sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian

5

dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang
kondusif.
Upaya pendidikan inklusif harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi
bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep
inklusi ini juga diperkuat adanya konvensi tentang hak-hak anak luar biasa
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang
secara penuh sesuai dengan potensi yang dimiliki di tengah-tengah
masyarakat.
Berdasarkan isi yang terkandung dalam kebijakan di atas jelaslah bahwa
pendidikan inklusif bukan hanya isu internasional tetapi juga isu nasional. Hal ini
terbukti dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan
inklusif sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus.
Keinginan tersebut adalah keinginan yang wajar dari pemerintah, mengingat jumlah
anak berkebutuhan khusus yang bersekolah relatif masih sedikit. Data resmi
Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan yang
sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari
populasi anak penyandang disabiltas di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat
PSLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak berkebutuhan khusus
yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikannya.
Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya
angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih
buruknya sistem pendataan.
Salah satu populasi anak berkebutuhan khusus permanen adalah anak tunanetra.
Dengan kondisi kelainan yang dimiliki anak tunanetra, secara empirik
menunjukkan bahwa wujud pendidikan inklusif yang ada di Indonesia sampai saat
ini banyak diikuti oleh anak-anak tunanetra. Secara historis, pendidikan inklusif di
Indonesia sudah dimulai dengan pendidikan integrasi yang diperuntukkan bagi
siswa tunanetra tahun 1978-an. Sampai dengan saat ini telah banyak tunanetra yang

6

secara akademis berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum.

Banyaknya

tunanetra yang telah berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum secara
konseptual dapat ditelusuri beberapa argumentasi yang memperkuat prospektif anak
tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah inklusif. Pertama dari sisi
akademis, bahwa adanya hambatan penglihatan (visual handicapped), tidak
memberikan pengaruh signifikan untuk menghambat aksesibilitas akademis anak
tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum. Hardman, et.al (1992: 28),
menjelaskan bahwa kapasitas inteligensi anak tunanetra sama dengan anak-anak
melihat, kalaupun ada hambatan terletak pada pengembangan fungsi kognitifnya
(cognitive function development). Kedua dari sisi keterampilan sosial (social skills),
bahwa keterbatasan fungsi penglihatan tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap keterampilan sosial anak tunanetra, dimana pada batas-batas tertentu anak
tunanetra relatif dapat mengembangkan keterampilan sosial dengan lingkungan.
Ketiga dari mobilitas, dimana dengan setting pendidikan inklusif banyak
memberikan peluang bagi tunanetra untuk melakukan mobilitas bersama siswa lain
(siswa melihat) dan hal ini akan memberikan pengayaan terhadap penguasaan dasar
orientasi dan mobilitas.
Dari paparan tersebut, maka secara konseptual kebijakan pemerintah Indonesia
untuk mengembangkan pendidikan inklusif sebagai salah satu layanan pendidikan
yang memiliki perspektif, sangat memungkinkan untuk diikuti oleh anak tunanetra.
Dari perspektif isu-isu internasional, bahwa keikutsertaan anak tunanetra dalam
mengikuti pendidikan inklusif merupakan wujud dari Education for All (EFA),
human right, dan pernyataan Salamanca - sebagai kesepakatan internasional tentang
pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di
dalamnya anak tunanetra.

7

B. Rumusan Masalah
Pendidikan inklusif memiliki landasan formal baik yang berskala internasional,
nasional, maupun lokal. Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkebutuhan
khusus dididik bersama-sama dengan anak-anak lainnya untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan, bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus
perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak pada umumnya untuk
mendapatkan layanan pendidikan di sekolah terdekat.
Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya anak
tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, tetap dalam batas-batas
tertentu memerlukan layanan pendidikan khusus, termasuk dalam layanan
bimbingan dan konseling. Hasil penelitian Mega (2005: 89), memunculkan temuan
bahwa faktor utama kegagalan siswa tunanetra dalam menyelesaikan studi di
sekolah inklusif, banyak ditentukan oleh faktor-faktor non akademis, seperti
rendahnya motivasi, persepsi yang salah tentang lingkungan, pembentukan konsep
diri pada siswa tunanetra, dan kurang terampilnya siswa tunanetra dalam
mengembangkan interaksi sosial, seperti dengan teman sebaya, dengan guru, dan
orang-orang baru di sekolah. Selain itu temuan lapangan juga menunjukkan bahwa
intervensi pendidikan di sekolah inklusif yang belum mengakomodir karakteristik
tunanetra, diakibatkan masih rendahnya pemahaman tentang ketunanetraan, baik
menyangkut aspek filosofis, konseptual, maupun teknikal.

8

Berdasarkan fenomena di atas, tampak belum adanya kesejalanan antara
penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dengan prinsip pendidikan inklusif,
khususnya dalam pengembangan layanan bimbingan dan konseling. Berangkat dari
permasalahan tersebut, menggiring perlunya pemikiran akademis-ilmiah akan arti
pentingnya

layanan

bimbingan

dan

konseling

yang

kontekstual dengan

permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif.
Berangkat dari kerangka berpikir tersebut, permasalahan pokok penelitian ini
adalah: “Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam
pembelajaran dan

layanan

bimbingan

bagi

siswa tunanetra

di sekolah

penyelenggara perintis pendidikan inklusif?”

C. Pertanyaan Penelitian
Untuk menjabarkan rumusan masalah di atas, perlu dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Permasalahan apa saja yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti
pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?
b. Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan
oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?
c. Bagaimana penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan
oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?
d. Apa kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

9

e. Bagaimana rumusan program bimbingan dan konseling serta strategi intervensi
untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif?
f.

Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling
terhadap kegiatan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan
konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan layanan
bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.
2. Tujuan Khusus
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data lapangan
yang berkenaan dengan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Permasalahan

yang

dihadapi

siswa

tunanetra

ketika

mengikuti

pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
b. Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh
guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif.
c. Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh
konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.

10

d. Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
e. Rumusan program dan strategi intervensi bimbingan dan konseling untuk
memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif.
f. Kontribusi penerapan prinsip bimbingan dan konseling terhadap kegiatan
belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dalam tataran teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat ke arah pengembangan filosofis konseptual tentang penerapan konsepkonsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan belajar bagi siswa
tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Pandangan
filosofis dimaksudkan untuk memberikan pandangan mendasar (grounded
theory) tentang bagaimana seharusnya program bimbingan dan konseling bagi
siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif
dirumuskan dan dilaksanakan. Pandangan konseptual meletakan prinsip-prinsip
pengembangan program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan
kontribusi sebagai berikut:

11

a.

Bagi

Dinas

Pendidikan,

hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

menyumbangkan pemikiran bagi para pembuat kebijakan dalam bidang
Pendidikan Luar Biasa pada khususnya, tentang pentingnya program
bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
pendidikanm inklusif.
b.

Bagi Kepala Sekolah Umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan tentang bagaimana merumuskan program bimbingan
dan konseling bagi siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan di
sekolahnya.

c.

Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
pemikiran operasional tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep
bimbingan dan konseling dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

d. Bagi Konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
pemikiran operasional untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling sesuai dengan kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

F. Kerangka Penelitian
Paradigma baru tentang layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
telah menempatkan pendidikan inklusif sebagai model alternatif layanan
pendidikan yang memiliki perspektif, baik dari sisi yuridis, konseptual, maupun
operasional. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pearpoint & Forest dalam Fern
Aefsky (1995: 5), bahwa: “beberapa guru percaya bahwa inklusi akan
menghilangkan labeling, pendidikan khusus, dan kelas khusus tetapi tidak akan

12

menghilangkan dukungan dan layanan yang diperlukan oleh anak-anak di sekolah
umum”. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pendidikan inklusif membantu
perkembangan semua anak dengan cara yang berbeda-beda (Heston, M., 2004:2)
Ketika inklusi yang baik dilaksanakan, anak yang memerlukan inklusi tidak
berada sendirian. Dalam kurikulum inklusif termasuk di dalamnya keterlibatan
orang tua, siswa dalam membuat pilihan, dan banyaknya keterlibatan orang lain
(Heston, M., 2004:1). Hal inilah yang menggambarkan arti penting layanan
pendidikan yang melibatkan kerjasama semua pihak. Kerjasama kemitraan dalam
penanganan pendidikan bagi anak tunanetra di sekolah inklusif, merupakan
implementasi dari konsep pendekatan multidisipliner. Misalnya, ketika guru
pembimbing melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, maka ia tidak bisa
berjalan sendiri melainkan harus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti
dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), guru kelas, psikolog, dokter, bahkan
orang tua.
Pendidikan

inklusif

memiliki

peranan

strategis

dalam

memfasilitasi

pengembangan potensi yang dimiliki siswa tunanetra. Smith, D.J (1998: 21),
mengemukakan bahwa: ”sangat memungkinkan bagi siswa-siswa yang masih muda
yang memiliki kecacatan untuk lebih mudah diakomodasi dalam seting integrasi,
karena kurikulum di sekolah dasar memberikan tantangan yang tidak begitu banyak
bagi anak-anak seperti ini. Selanjutnya sekolah tingkat lanjutan pertama dan
lanjutan atas diperuntukkan bagi siswa-siswa penyandang kecacatan yang usianya
lebih tua”. Selanjutnya program pendidikan segegrasi dapat mengakibatkan rendah
diri anak dalam statusnya di dalam masyarakat yang mungkin dapat berpengaruh
terhadap perasaan dan pikirannya dalam melakukan sesuatu. Rasa rendah diri

13

berpengaruh terhadap motivasi anak untuk belajar dan ada kecenderungan untuk
tertinggal dalam perkembangan mental dan belajarnya (Aefsky, F., 1995;15).
Salah satu komponen utama dalam layanan pendidikan bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah layanan bimbingan dan
konseling. Fokus dari layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di
sekolah

penyelenggara

perintis

pendidikan

inklusif,

adalah

memfasilitasi

pengembangan fungsi-fungsi psikologis siswa tunanetra dalam upaya mengatasi
permasalahan pembelajaran dan sekaligus mengembangkan potensi anak tunanetra.
Secara empirik, layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif belum berjalan sebagaimana mestinya.
Kenyataan ini mengharuskan layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan
berdasarkan analisis kontekstual karakteristik siswa tunanetra dan pengelolaan
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
Kerangka penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, divisualisasikan dalam
gambar berikut:

14

TUNANETRA

• Permasalahan

GURU

• Penerapan

pembelajaran
siswa tunanetra
• Kebutuhan siswa
tunanetra tentang
layanan
bimbingan dan
konseling

konsep-konsep
bimbingan dan
konseling dalam
pembelajaran
yang dilakukan
oleh guru

KONSELOR

• Penerapan
layanan
bimbingan dan
konseling yang
dilaksanakan
oleh konselor

Rekomendasi program bimbingan
dan konseling bagi siswa tunanetra
di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif

Gambar 1.1
Kerangka Penelitian

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Mencermati karakteristik permasalahan yang akan diteliti, maka pendekatan
yang dinilai relevan untuk digunakan adalah pendekatan gabungan antara
kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengungkap
pengalaman nyata yang dialami oleh para responden dalam implementasi
pendidikan inklusif di lapangan. Pendekatan ini merupakan latar belakang
pendalaman bagi penelitian kualitatif. Untuk melakukan pendalaman (indepth)
terhadap data kuantitatif yang diperoleh dari hasil penelitian, maka dilakukan
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan maksud untuk
melakukan pendalaman (indepth) terhadap keadaan yang sebenarnya di lapangan
melalui pegamatan dan wawancara tehadap responden. Sebagaimana pendapat yang
dikemukakan Nasution (1982:5) bahwa inti dari penelitian kualitatif adalah
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan lingkungan
mereka, dan berusaha memahami bahasa serta tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif
dilaksanakan dengan memfokuskan pada upaya untuk mendeskripsikan dan
menganalisis aspek-aspek sebagai berikut: (1) Permasalahan apa saja yang dihadapi
siswa tunanetra ketika mengikuti pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?, (2) Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan
konseling yang dilakukan oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah
81

82
penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, (3) Bagaimana penerapan layanan
bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor pada siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, (4) Apa kebutuhan siswa
tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif?, (5) Bagaimana rumusan program serta strategi
intervensi bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa
tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, dan (6)
Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling terhadap
kegiatan belajar anak tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif?.

Hasil dari analisis empiris tersebut, kemudian dianalisis dengan

menggunakan rujukan konsep bimbingan dan konseling dalam seting layanan
pendidikan inklusif bagi anak tunanetra. Berdasarkan analisis empirik-konseptual
dimaksud, kemudian direkomendasikan program bimbingan dan konseling yang
sesuai bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

B. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki berbagai
karakteristik, unsur, nilai yang berkaitan dengan kegiatan tunanetra dalam
mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah Atas (SMA) penyelenggara perintis
pendidikan inklusif. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, maka subyek dalam
penelitian ini meliputi siswa tunanetra, guru, dan konselor yang berada di beberapa
SMA penyelenggara perintis pendidikan inklusif di Kota Bandung dan sekitarnya.

83
C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian
1.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
kuesioner, wawancara, dan observasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut
digunakan dengan harapan saling melengkapi dalam memformulasikan rumusan
yang diharapkan.
a. Kuesioner
Teknik ini dipergunakan untuk mengungkap berbagai pendapat siswa
tunanetra, guru, dan konselor. Kuesioner bagi siswa tunanetra bertujuan
untuk

mengungkap permasalahan pembelajaran yang dihadapi dan

kebutuhan layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif. Bagi guru, kuesioner bertujuan untuk
mengungkap penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang
dilakukan oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif, dan kuesioner bagi konselor
bertujuan untuk mengungkap penerapan layanan bimbingan dan konseling
yang dilaksanakan oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
b. Observasi
Partisipasi pengamat (peneliti) dalam melakukan observasi dapat dilakukan
dalam berbagai kondisi, seperti yang dikemukakan oleh Nasution, S. (1996:
61), bahwa “terdapat tingkatan dalam melakukan observasi, yaitu partisipasi
nihil, partisipasi aktif, dan partisipasi penuh” dalam penelitian. Hal tersebut
sangat dimungkinkan karena penelitian berada di lingkungan kerja peneliti.

84
Dengan

demikian,

diperoleh

banyak

keuntungan

terutama

dalam

pengumpulan data dan informasi. Dalam kaitan ini keuntungan diperoleh
karena peranan peneliti tersamar bagi orang yang menjadi subyek penelitian
sehingga dapat memperoleh informasi secara maksimal (Nasution, S., 1996:
64). Teknik observasi digunakan untuk mengamati secara langsung kegiatan
yang dilakukan tunanetra dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam
kegiatan observasi ini, ditujukan untuk pertama mengamati kegiatan
tunanetra dalam mengikuti pembelajaran di kelas maupun mengikuti
aktivitas di luar kelas dalam lingkungan sekolah, seperti cara mengajukan
pertanyaan,

mengajukan

ide/pendapat

dan

diskusi

kelas,

belajar

bersama/tugas kelompok, dan perlakuan khusus yang diberikan guru
terhadap tunanetra dalam proses pembelajaran. Pengamatan atau observasi
ini dilaksanakan dalam suasana pembelajaran di kelas dan aktivitas tunanetra
di luar kelas pada lingkungan sekolah di beberapa SMA penyelenggara
perintis pendidikan inklusif di Kota Bandung. Kedua, mengamati guru dalam
menerapkan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran
bagi siswa tunanetra, dan ketiga, mengamati konselor dalam memberikan
layanan bimbingan dan konseling dalam belajar siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
c. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk menggali dan memperoleh data atau informasi
yang lebih mendalam dan relevan dengan masalah yang diteliti. Kegiatan
wawancara ini ditujukan untuk mengungkap informasi dari responden
tentang kegiatan-kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan tunanetra

85
dalam pembelajaran, upaya yang dilakukan tunanetra untuk mengatasi
kesulitan dalam menyampaikan dan menerima gagasan, menggunakan
sumber belajar, persiapan dan pelaksanaan ujian pada tunanetra, layanan
pendidikan yang diharapkan tunanetra, dan perlakuan khusus yang diberikan
guru kelas serta guru bimbingan dan konseling terhadap siswa tunanetra.
Melalui wawancara ini juga akan terungkap dari guru tentang konsep-konsep
bimbingan dan konseling yang diterapkannya dalam pembelajaran bagi siswa
tunanetra, serta dari konselor diharapkan akan terungkap layanan bimbingan
dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif.
2. Pengembangan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan penjabaran dari setiap pertanyaan
penelitian yang telah dirumuskan. Kisi-kisi instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada lampiran.

D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah gabungan
dari analisis data kuantitatif dan kualitatif.
Untuk data kuantitatif, teknik analisis data yang dipergunakan adalah dengan
mempergunakan statistika deskriptif yaitu dalam bentuk prosentase. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sugiyono (2003) bahwa “teknik analisis
data penelitian secara deskriptif dilakukan melalui statistika deskritif, yaitu statistik
yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud

86
membuat generalisasi hasil penelitian. Temasuk dalam teknik analisis data statistik
deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase,
frekuensi, perhitungan mean, median atau modus.”
Analisis data kualitatif dilakukan pada waktu peneliti masih berada di lapangan
dan setelah proses pengumpulan data, yaitu peneliti meninggalkan lapangan. Pada
saat penelitian dilakukan, analisis data dilakukan dengan cara merekam data
lapangan, melakukan member check kepada sampel penelitian, melakukan
triangulasi, dan melakukan penyempurnaan analisis, kemudian menyusun
kecenderungan-kecenderungan yang timbul sesuai dengan proses dan jenis data
yang diperoleh untuk mendapatkan makna yang terkandung di dalam data.
Analisis data setelah peneliti meninggalkan lapangan dilakukan dengan cara
mereduksi data dan menunjukkan data sehingga hubungan data akan terlihat dan
membentuk kesatuan yang utuh serta dapat ditarik kesimpulan.

BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Berikut akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang diformulasikan
berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan di bawah ini dibuat
sesuai dengan urutan butir-butir pertanyaan seperti yang sudah dikemukakan dalam
bab sebelumnya:
1. Keberadaan tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif
merupakan salah satu kondisi nyata dari implementasi pendidikan inklusif yang
sudah dicanangkan pemerintah. Dalam mengikuti pendidikan di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif, mereka menghadapi berbagai
permasalahan yang muncul. Dalam pembelajaran dan tugas-tugas yang harus
diselesaikan, mereka menghadapi kesulitan dalam memahami keseluruhan
penjelasan dari guru terutama penjelasan atau tugas yang memerlukan kesan
visual. Aksesibilitas lingkungan belajar dan sumber belajar, misalnya
penggunaan fasilitas sekolah dan ketersediaan buku-buku pelajaran, merupakan
beberapa kendala lainnya ketika mereka di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan

inklusif.

Keterampilan

orientasi

dan

mobilitas

merupakan

keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh tunanetra, dengan memiliki
keterampilan ini tunanetra dapat melakukan interaksi dengan baik di
lingkungannya, juga sebagai modal dasar dalam melakukan penyesuaian sosial
di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
2. Ditinjau dari perspektif guru, asesmen merupakan tindakan yang sebaiknya

150

151

pertama kali dilakukan sebelum melakukan pembelajaran terhadap siswa
tunanetra. Berdasarkan hasil asesmen ini guru akan memahami betul potensi
yang dimiliki anak, kekurangan anak, dan kebutuhan pembelajaran anak. Dalam
beberapa konsep-konsep bimbingan dan konseling, nampaknya guru sudah mulai
menerapkan hasil asesmen ini dalam pembelajaran. Mereka berpendapat bahwa
informasi dari tunanetra sangat penting dan mereka bisa memilah dan memilih,
mana informasi yang harus di share dengan orang lain dan mana yang harus
dirahasiahkan. Para guru juga menerima siswa tunanetra apa adanya, bahkan
memfasilitasi tunanetra untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan di
kelasnya. Mereka yakin bahwa keterlibatan tunanetra dalam berbagai aktifitas
dapat menumbuhkan keyakinan dan kemandirian individu tunanetra. Para guru
yakin bahwa pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi tunanetra harus
menganut prinsip keterpaduan dan keharmonisan, karena dengan membawakan
salah satu peran dari berbagai konsep-konsep bimbingan dan koseling dapat
menjadikan bahan masukan yang berarti bagi guru untuk menangani siswa
tunanetra di kelasnya. Mereka memahami bahwa konseling harus ditangani oleh
ahlinya, dan referal merupakan tindakan yang dapat dilakukan untuk menerima
atau mengirim siswa yang tidak mampu ditanganinya.
3. Layanan bimbingan dan konseling yang diberikan oleh konselor kepada siswa
tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif secara
substansial belum menyentuh aspek ketunanetraannya. Meskipun demikian para
siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif sudah
merasakan layanan bimbingan dan konseling baik berupa pelayanan dasar,
pelayanan responsif, pelayanan perencanaan individual, maupun pelayanan
dukungan sistem. Pelayanan dasar merupakan bentuk layanan yang menjadi

152

fokus

perhatian

bagi

siswa

tunanetra

di

sekolah

inklusif.

Karena

ketunanetraannya mereka menghadapi berbagai permasalahan ketika mengikuti
pendidikan dalam seting inklusi, permasalahan tersebut sangat variatif terutama
yang berhubungan dengan bidang pribadi-sosial, akademik, dan karir.
4. Hasil penelitian yang berhubungan dengan kebutuhan siswa tunanetra akan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa tunanetra menginginkan
terfasilitasinya mereka oleh guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan di bidang pribadi-sosial, akademik, dan karir.
Dengan bantuan guru bimbingan dan konseling mereka mengharapkan dapat
merumuskan tujuan hidup, merancang masa depan, dan membuat keputusankeputusan yang terkait dengan perencanaan masa depannya. Secara umum para
siswa tunanetra mengharapkan adanya kontribusi yang positif dari guru
bimbingan dan konseling dalam memfasilitasi mereka menyelesaikan masalah
dengan cepat dan tepat.
5. Dari kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap tunanetra
didukung oleh data yang diperoleh dari guru dan konselor serta sesuai dengan
permasalahan nyata yang dihadapi oleh siswa tunanetra dalam mengikuti
pendidikan di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, maka rumusan
program bimbingan dan konseling bagi tunanetra dalam seting ini dibagi ke
dalam tiga bagian sesuai dengan temuan-temuan sebelumnya, yaitu: program
bimbingan pribadi-sosial, akademik, dan karir. Program bimbingan pribadisosial, isi program menekankan pada penyediaan konsultasi dalam membantu
siswa tunanetra untuk memahami posisi diri secara wajar dan peluang yang ada
dalam lingkungan perkembangan, sehingga pada akhirnya dapat menumbuhkan

153

rasa percaya diri yang wajar untuk dimilikinya perilaku adaptif pada tunanetra.
Program bimbingan akademik, isi program menekankan pada penyediaan
konsultasi untuk mengatasi permasalahan atau kesulitan dalam menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran, mencari dan menggunakan buku sumber atau referensi
lainnya, dan menumbuhkan motivasi kepada siswa tunanetra yang berada di
ujung keputusasaan akibat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran.
Program bimbingan karir, isi program menekankan pada pemberian layanan
informasi mengenai Perguruan Tinggi (PT), langkah-langkah yang harus
dipersiapkan dalam memasuki PT, dan cara-cara belajar di PT serta pemberian
informasi tentang berbagai pekerjaan yang memungkinkan untuk dapat dimasuki
oleh siswa tunanetra, seperti bekerja sebagai tenaga operator, penterjemah, guru,
pemijat, pemusik, peternak, petani, dan sebaginya. Adapun strategi intervensi
dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut: (1) peningkatan efektifitas fungsi konselor dalam
mengungkap permasalahan dan kebutuhan individual siswa, (2) usaha sinergi
peran guru atas dasar masalah yang dihadapi oleh siswa, dan (3) kolaborasi
dengan orang tua, guru orientasi dan mobilitas, pekerja sosial, dokter, atau
tenaga lainnya apabila ada masalah teknis yang berhubungan dengan
ketunanetraan.
6. Perenapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran siswa
tunanetra di sekolah inklusif sangat bekontribusi positif terhadap para siswa
tunanetra. Dengan penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang
diterapkan dalam pembelajaran, mereka merasa nyaman, aman, termotivasi, serta
semakin percaya diri, bahwa dirinya bisa berbuat sesuatu sekecil apapun yang
dapat mereka lakukan. Akhirnya muncul pada diri mereka keinginan

154

membangun sikap hidup mandiri untuk menyongsong masa depan yang lebih
baik.

B. Rekomendasi
1. Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus merentang dari
yang bersifat segregatif, integratif, sampai inklusif. Dari ketiga bentuk layanan
tersebut, tunanetra selalu menjadi peserta didik yang pertama kali terlibat di
dalamnya. Tahun 1901 SLB yang pertama kali didirikan adalah SLB bagi
tunanetra di Bandung. Pendidikan integrasi yang mulai diperkenalkan oleh HKI
di Indonesia pada tahun 1978, pilot project-nya fokus ke siswa tunanetra.
Demikian juga halnya dengan pendidikan inklusif pada tahun 2000-an melalui
program Braillo-nya dimulai dengan tunanetra. Dari perjalanan panjang
tersebut, nampaknya belum pernah ada program layanan bimbingan dan
konseling yang secara khusus diperuntukkan bagi tunanetra. Padahal kalau kita
lihat permasalahan yang dihadapi oleh tunanetra ketika berada dalam seting
manapun selalu ada, baik yang disebabkan karena alasan internal maupun
eksternal. Dari penelitian ini terungkap, bahwa guru bimbingan dan konseling
sudah memberikan layanan kepada tunanetra tetapi secara substansial belum
menyentuh aspek ketunanetraannya. Dalam implementasi pendidikan inklusif
keberadaan tunanetra di sekolah umum lambat atau cepat, sedikit atau banyak,
pasti akan ditemukan dan harus dihadapi oleh guru bimbingan dan konseling.
Sehubungan dengan itu untuk mempersiapkan calon guru bimbingan dan
konseling sesuai dengan kebutuhan dan tututan lapangan dewasa ini, terutama
dalam konteks inklusi, pendidikan guru dalam jabatan (pre-service training)
perlu untuk melakukan reorientasi kurikulumnya. Dalam kurikulum pendidikan

155

guru sebaiknya terkandung materi pendidikan inklusif sebagai salah satu upaya
pengembangan kompetensi guru sesuai dengan tuntutan lapangan.
2. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa, Pasal 4 Ayat (1) mengemukakan bahwa Pemerintah
kabupaten/kota menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu sekolah
menengah pertama pada setiap kecamatan dan satu satuan pendidikan
menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Konsekuensi dari
adanya Permendiknas ini adalah bagaimana kesiapan para guru, khususnya guru
bimbingan dan konseling, di sekolah yang ditunjuk. Oleh karena itu nampaknya
Dinas Pendidikan harus terlebih dahulu mempersiapkan para gurunya termasuk
guru bimbingan dan konseling melalui program In-service Training tentang
pendidikan inklusif.
3. Kepala sekolah inklusif dituntut untuk lebih kreatif dalam melaksanakan
tugasnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi
pendidikan inklusif adalah pentingnya membangun jejaring (networking).
Dalam strategi intervensi yang diformulasikan di atas, bahwa strategi
kolaboratif merupakan salah satu yang perlu dilakukan dalam melakukan
intervensi kepada siswa tunanetra. Dalam strategi ini diperlukan pendekatan
integratif dengan adanya keterlibatan dari berbagai pihak, misalnya: orang tua,
instruktur O&M, ahli low vision, dan sebagainya.
4. Dari hasil penelitian terungkap, bahwa layanan bimbingan dan konseling yang
diberikan oleh konselor kepada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif secara substansial belum menyentuh aspek
ketunanetraannya. Hal ini bisa difahami karena seorang konselor belum dibekali

156

dengan pengetahuan tentang ketunanetraan. Sehubungan dengan itu, diperlukan
adanya kondisi yang dapat mengembangkan substansi ketunanetraan bagi guru
dan konselor.
5. Keberadaan tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif
perlu diperhatikan aspek mobilitas dalam interaksi dengan guru, teman sebaya,
dan personel lainnya di sekolah. Interaksi dengan teman sebaya di sekolah akan
sangat memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan siswa
tunanetra, baik dalam hal peningkatan sosialisasi, pengembangan konsep, dan
akhirnya terhadap rasa percaya diri siswa tunanetra. Dalam hal ini, guru
bimbingan dan konseling sebagai inti dalam melakukan kolaborasi dan
sosialisasi tunanetra dengan berbagai pihak, harus berperan sebagai social
engineer.
6. Implementasi pendidikan inklusif merentang pada semua jenjang pendidikan.
Demikian juga keberadaan siswa tunanetra akan merentang sesuai dengan
jenjang pendidikan tersebut. Permasalahan yang dihadapi oleh siswa tunanetra
dan keluarganya tidak dirasakan hanya oleh siswa tunanetra dan keluarga yang
berada di jenjang sekolah menengah atas. Sehubungan dengan itu untuk
membantu siswa dan keluarga tunanetra perlu adanya guru bimbingan dan
konseling di setiap jenjang pendidikan atau berdomisili di satu sekolah sebagai
pusat layanan konseling (counselling center) dengan membawahi beberapa
sekolah di suatu daerah dengan menjalankan fungsi sebagai konselor kunjung
(itinerant counsellor). Kondisi ini diharapkan dapat mengembangkan program
bimbingan dan konseling inklusif yang dapat mengakomodasi semua tanpa
terkecuali.

DAFTAR PUSTAKA

Aefsky, F. (1995). Inclusion Confusion: A Guide to Educating Students With Exceptional
Needs. California: Corwin Press, Inc., Thousand Oaks.
Ahman. (1998). Model Bimbingan Konseling Perkembangan di Sekolah Dasar. Disertasi.
Bandung: Program Pascasarjana, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Albert, P. (2003). Building Inclusive Schools: a professional learning package. East
Perth: Department of Education and Training.
Alcott, M. (2002). An Introduction to Children with special Educational Needs, Second
Edition. London: Hodder & Stoughton.
Armstrong, R., Armstrong, D., and Barton, L. (2000). Inclusive Education: Policy,
Contexts, and Comparative Perspectives. London: David Fulton Publishers.
Blocher, D.H. (1974). Developmental Counseling. 2 nd Ed. New York: John Wiley &
Sons.
Bogdan, Robert C., & Biklen, (1982). Qualitative Research for Education An
Introduction to Theory and Method., Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi
mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus. Konferensi Dunia tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus: Akses dan Kualitas, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pendidikan
dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-bangsa. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor
20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Menuju Inklusi, Deklarasi Lokakarya
Nasional. Bandung: Depdiknas.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu/Inklusif, Buku 2 tentang Identifikasi Anak Luar Biasa. Jakarta:
Depdiknas.
Direktorat Pendidikan Luar Bia