Filologi Bahasa Bima sistematis, terstruktur, dan terarah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki banyak sekali suku, ras, maupun bahasa
dengan dialek yang beragam. Ada suku Minang yang berbahasa Minang dengan
dialeknya masing-masing, ada suku Jawa yang berbahasa daerah Jawa dan Sunda
dengan masing-masing dialeknya, ada suku bima yang berbahasa mbojo, sambori,
donggo, tarlawi, kolo dengan dialeknya, dan lain-lain.
Menurut sejarah perkembangannya, bahasa bima dibagi dalam 2 kelompok
yaitu : Kelompok bahasa Bima lama, meliputi: Bahasa Donggo, dipergunakan
oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah barat teluk
meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, Doridungga. Bahasa Tarlawi
dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pergunungan
Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, Kalodu. Bahasa Kolo
dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di desa Kolo di sebelah timur
Asakota. Kelompok bahasa Bima baru, lazim disebut nggahi Mbojo.
Bahasa Bima baru atau nggahi Mbojo dipergunakan oleh masyarakat
umum di Bima dan berfungsi sebagai bahasa ibu. Bagi masyarakat Bima lama,
bahasa Bima berfungsi sebagai bahasa pengantar guna berkomunikasi dengan
orang lain di luar kalangan mereka dan juga digunakan untuk keperluan adat
istiadat yang digunakan saat upacara-upacara adat. Sebagai alat komunikasi yang

digunakan sehari-hari, masyarakat penutur bahasa bima menggunakan bahasa
daerahnya untuk berbagai macam keperluan atau kegiatan.
Aksara bahasa Bima banyak persamaan dengan aksara Makasar kuno dan
apabila kedua aksara tersebut dibandingkan dengan aksara sansekerta, maka dapat
dipastikan asal usul keduanya berasal dari aksara sansekerta (Zollinger) Menurut
tingkatannya bahasa Bima dibagi dalam 3 tingkat, yaitu tingkat halus/bahasa
istana, tingkat menengah yaitu bahasa sehari-hari dan tingkat rendah/kasar.

Contoh kata . Pada tingkat halus atau bahasa istana dalam bahasa
bima kata saya disebut sedangkan pada tingkat menengah dan tingkat
rendah atau kasar disebut . Berbeda dengan kata . Pada tingkat halus
atau bahasa istana dalam bahasa bima kata dia disebut sedangkan pada
tingkat menengah dan tingkat rendah atau kasar disebut . Kata dalam
tidk memiliki arti hanya sebagai pelengkap untuk memperhalus dalam
berkomunikasi dengan orang yang lebih dewasa.
Dari uraian pada latar belakang di atas, kami mengambil judul “Sistem
Fonologi Bahasa Bima” sebagai tema pokok dalam melakukan penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, peneliti membuat rumusan sebagai
berikut:

1. Bagaimanakah fonem dan fona dalam bahas Bima?
2. Bagaimanakah distribusi fonem dalam bahasa Bima?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memiliki tujuan atas penelitiannya tersebut.
Adapun tujuan dari penelitian ini ada 2 macam, yakni tujuan umum dan tujuan
khusus.
1.3.1

Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimanakah
fonem dan fona dalam bahas Bima? Serta Bagaimanakah distribusi fonem dalam
bahasa Bima?
1.3.2

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.


Menemukan dan mendeskripsikan variasi fonem dan fona dalam bahasa
Bima

2.

Menemukan dan mendeskripsikan distribusi fonem dan fona dalam
bahasa Bima

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian "Sistem Fonologi Bahasa Bima" ini adalah
1. menunjang pemahaman kebahasaan di bidang variasi fonologi bahasa
Bima
2. penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi para peneliti yang akan
datang yang juga berminat pada penelitian yang sejenis
3. penelitian ini bertujuan untuk memperkaya ilmu pengetahuan
khususnya bahasa; dan
4. upaya untuk melestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Bima

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI


2.1

Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan telaah atas teori terkait dengan tema penelitian

(Marietta,

2011:29).

Kesuma

(2007:36

dalam

Muhammad

2011:108)


menyebutkan bahwa terdapat tiga fungsi kajian pustaka, yaitu (1) untuk
memastikan pernahnya masalah yang lagi diteliti dilakukan oleh peneliti lain; (2)
apakah masalah yang diteliti dikaji secara komperhensif, lengkap dan hasinya
memuaskan atau tidak; dan (3) mengungkapkan kekhasan atau perbedaan masalah
yang akan diteliti.
2.2

Konsep

2.2.1

variasi fonem dan fona
Variasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah 1. tindakan atau hasil

perubahan dari keadaan semula; selingan; 2. bentuk (rupa) yang lain; yang
berbeda bentuk (rupa); 3. hiasan tambahan; 4. wujud pelbagai manifestasi, baik
bersyarat maupun tidak bersyarat dari suatu satuan.
Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme
Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” „memoir tentang
sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo eropa „ yang terbit pada tahun 1878,

mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari
bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya.
Dalam bukunya yang lain “Cours de Linguistique Generale” „Kuliah
Linguistik umum‟, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai studi tentang bunyi
– bunyi bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang
dimaksud olehnya hanyalah unsure – unsure yang terdengar berbeda oleh telinga
dan yang mampu menghasilkan satuan – satuan akustik yang tidak terbatas dalam
rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa Saussure menggunaklan criteria

yang semata – mata fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya
hanya pada poros sintagmatik.
Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada sebuah kata yang
penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu membedakan
kata itu dengan yang lain.
Menurut Dardjowidjojo (2005:38), kriteria yang dipakai untuk membentuk
bunyi vokal adalah (1) tinggi-rendahnya lidah, (2) posisi lidah, (3) ketegangan
lidah, dan (4) bentuk bibir. Vokal [e] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan
posisi lidah dinaikkan setengah atau biasa disebut tengah-depan. Sedangkan,
vokal [u] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan posisi lidah bagian belakang
(dorsum) dinaikkan hingga hampir menyentuh langit-langit lunak (velum/velar).

Variasi fonologis adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan
tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena penutur berasal dari
kelompok sosial yang berbeda dan faktor keadaan alam, yaitu letak wilayah
tempat tinggal penutur.
Variasi fonologis dalam pemakaian Bahasa Ende juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor tersebut.
Pendapat lain menyatakan bahwa variasi fonologi adalah variasi
pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi
tersebut terbentuk karena letak wilayah tinggal penutur dan kelompok sosial
penutur yang berbeda, sehingga menimbulkan pengucapan fonem yang berbeda.
Nadra dan Reniwati (2009:23) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
variasi fonologis adalah variasi bahasa yang terdapat dalam bidang fonologi, yang
mencakup variasi bunyi dan variasi fonem.
Contoh variasi fonologis antara lain terjadi penambahan bunyi, pelesapan
bunyi, pergeseran bunyi, dan sebagainya. Dalam bahasa Ende, penambahan bunyi
terjadi seperti pada kata dimana muncul bunyi glotal (penghamzahan)
antara fonem vokal [a] dan [e] atau dalam bidang linguistik bunyi ini ditulis
seperti tanda tanya (?). sedangkan pelesapan bunyi terjadi pada kata yang
artinya kalian, dimana fonem vokal [i] dilesapkan atau dihilangkan ketika diikuti


kata ganti orang seperti menjadi atau . Juga kata
menjadi seperti terjadi pada kata menjadi yang artinya
lakukanlah atau buatlah.
2.2.2

Morfem
Morfem (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah satuan bentuk bahasa

terkecil yang mempunyai makna secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas
bagian bermakna yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, morfem adalah kesatuan
yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya.
Menurut Ramlan (2009:32), morfem adalah satuan gramatik yang paling
kecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya. Ada
pula yang mendefinisikan morfem sebagai bentuk bahasa yang dapat dipotongpotong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi
menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika
dipotong lagi tidak mempunyai makna.
Satuan bahasa merupakan komposit antara bentuk dan makna. Oleh karena
itu, untuk menetapkan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan didasarkan pada
kriteria bentuk dan makna itu (Chaer, 2008:13).
Contoh morfem seperti kata yang dapat dipotong-potong

menjadi sebagai prefiks (imbuhan awalan), sebagai kata asal,
sebagai sufiks (imbuhan akhiran), sebagai konsfiks (imbuhan gabungan),
dan sebagai kata jadian (proses pengimbuhan). Pecahan-pecahan
tersebut di atas itulah yang disebut sebagai morfem, baik sebagai morfem bebas
maupun morfem terikat.
2.2.3

Bahasa dan Bahasa Daerah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bahasa ialah 1. sistem lambang

bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengiden-tifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yang
baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: budi bahasa atau perangai serta tutur
kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan

tinggi rendah asal atau keturunan). Sedangkan, bahasa daerah adalah bahasa yang
lazim dipakai di suatu daerah; bahasa suku bangsa (Kamus Besar Bahasa
Indonesia offline).
Bahasa merupakan sistem tanda bunyi ujaran yang bersifat arbitrer atau
sewenang -wenang (Subroto, 2007:12 dalam Muhammad, 2011:40). Kridalaksana

(1983) dan juga dalam Koentjono (1982) dalam Muhammad (2011:40)
menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang
digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasikan diri.
Ada pula yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda bunyi yang
disusun berdasarkan kesepakatan bersama yang digunakan sebagai alat
komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial.
2.2.4

Bahasa Bima
Secara historis orang Bima atau Dou Mbojo dibagi dalam 2 kelompok,

yaitu kelompok penduduk asli yang disebut Dou Donggo yang menghuni kawasan
bagian barat teluk, tersebar di gunung dan lembah. Dari penelitian Zollinger
(1847) berpendapat bahwa Dou Donggo (Donggo Di) dan penduduk Bima di
sebelah timur laut teluk Bima (Dou Donggo Ele) menunjukkan karakteristik yang
jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah, kecuali beberapa corak yang
menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima di sebelah timur Teluk Bima.
Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada
dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibukota ada ras bangsa yang lebih

tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian dengan oranhg Bugis dan
Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda. Penelitian terhadap anggota masyarakat
Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan persamaan dengan orang
sasak Bayan di Lombok. Orang Donggo dan Sasak Bayan memiliki kesamaan ciri
yaitu berambut pendek bergelombang, keriting, dan warna kulit agak gelap.
Kelompok kedua yang lazim disebut orang Bima atau Dou Mbojo
menghuni kawasan pesisir pantai dan merupakan suatu ras bangsa campuran

dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut lurus sebagai orang Melayu di
pesisir pantai.
Dalam catatan para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina)
sebagai asal-usul dari penduduk di pesisir pantai. Banyak kata-kata benda dalam
bahasa Bima yang memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno, utamanya
yang masih dipergunakan oleh sisa penduduk asli yang tersimpan dalam bahasa
Donggo, bahasa Tarlawi dan Bahasa Kolo. Hanya kadang-kadang pengucapannya
sudah berubah atau pengucapannya tetap tapi artinya berbeda. Perubahan tersebut
terjadi karena hubungan yang sulit atau terputus sehingga komunikasi antar
penduduk induk sumber bahasa terputus pula. Akibatnya pengucapan atau arti
bahasa asli tesebut berkembang dalam corak yang berbeda antara satu dengan
lainnya.
Contoh persamaan bahasa Bima dengan bahasa Jawa Kuno antara lain:

Bahasa Bima Bahasa Jawa Kuno Bahasa Indonesia

Ama

Ama

Ayah

Imba

Imba

Meniru

Uma

Umah

Rumah

Kica

Kica

Kera

Kuta

Kuta

Pagar

Jaga

Jaga

Jaga

Joli

Joli

Usungan

Ringa

Renga

Dengar

Teta

Teta

Ayah

Do‟o

Dooh

Jauh

2.3 Teori
Dalam sebuah penelitian tentu seorang peneliti membutuhkan data yang
akurat serta rill. Data yang akurat dan rill ini akan dijadikan peneliti sebagai
acuan dalam menganalisis penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
teori yang sesuai dengan penelitiannya untuk dijadikan acuan atau pedoman untuk
menganalisis tiap data yang diteliti. Teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar
fokus penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan teori
juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan
sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis
untuk memberikan penjelasan mengenai sejumlah fenomena (Liang, 1984:57
melalui Kesuma (2007:37 dalam Muhammad, 2011:109).
Dengan melihat definisi yang diutarakan oleh Kridalaksana, Muhammad
(2011:109) berpendapat bahwa teori tidak hanya sekedar hipotesis, tetapi lebih
pada penjelasan berdasarkan konsep dan argumen tentang suatu fenomena,
misalnya bahasa.
Dalam penelitian bahasa, yang berobjekkan fonem, morfem, kata, frase,
klausa, kalimat, teks, wacana, makna, pengguna, dan penggunaan bahasa dapat
dijelaskan oleh teori, yaitu teori bahasa (Muhammad, 2001:111).

Adapun teori yang digunakan sebagai acauan peneliti dalam menganalisis
data, yakni teori fonologi tentang morfofonemik. Chaer (2009:1) memberikan
batasan bahwa fonologi adalah sebuah ilmu kajian linguistik yang mempelajari,
membahas, membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi
oleh alat-alat ucap manusia (artikulator). Lebih lanjut, Abdul Chaer (2003:102
dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan, secara etimologi istilah
“fonologi” ini dibentuk dari kata fon yang berarti “bunyi” dan logi yang berarti
ilmu. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan ilmu
yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Objek kajiannya adalah
fon atau bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator).
Muhammad (2011:126) menyatakan bahwa fonologi adalah cabang ilmu
linguistik yang mengkaji atau menelaah cara-cara mengatur dan menggunakan
bunyi bahasa alamiah.
Fonologi menguraikan pola-pola bunyi dan jenis bunyi yang dihasilkan
oleh penutur bahasa yang dipelajari. Selain itu, fonologi menelaah urutan-urutan
fonem suatu bahasa.
Verhaar (1984:36 dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan bahwa
fonologi

merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-

bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna
leksikal dalam suatu bahasa. Bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di sini
adalah bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.
Fonologi adalah salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji
dan menganalisis bunyi ujaran pada suatu bahasa dengan cara mempelajari
bagaimana bunyi ujaran itu dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator),
bagaimana bunyi ujaran itu sebagai getaran udara, bagaimana bunyi ujaran itu
diterima oleh telinga manusia, dan bagaimana bunyi ujaran itu dalam fungsinya
sebagai pembeda makna.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, morfofonemik adalah telaah
tentang perubahan-perubahan fonem yang terjadi sebagai akibat pertemuan
(hubungan) morfem dengan morfem lain.

Morfofonemik (disebut juga morfonologi atau morfofonologi) adalah
kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat
dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun
proses komposisi (Chaer, 2008:43). Umpamanya, perubahan bentuk dalam proses
afiksasi yakni pelesapan fonem yang terjadi pada prefiks ber- pada kata dasar
„renang‟ yang secara ortografis berubah dan diterima oleh masyarakat penutur
Bahasa Indonesia sebagai „berenang‟ dan bukan „berrenang‟. Bunyi [r] yang ada
pada prefiks ber- dilesapkan pada saat terjadi perubahan morfologi. Hal yang
sama juga terjadi pada kata dasar „sejarah‟ dengan sufiks asing „-wan‟ yang
melesapkan fonem /h/ pada kata dasar „sejarah‟ yang secara ortografis berubah
dan diterima menjadi „sejarawan‟ dan bukan „sejarahwan‟.
Selain pelesapan, dalam proses morfologi (morfofonemik) juga dikenal
dengan beberapa jenis perubahan, yakni adanya pemunculan fonem, peluluhan
fonem, perubahan fonem, dan pergeseran fonem.
Menurut Chaer (2008:44), pelesapan fonem adalah hilangnya fonem
dalam suatu proses morfologi.
Dalam bahasa daerah Ende, pun terjadi proses morfologi (morfofonemik).
Sebagai contoh, kata „tea‟ yang artinya „matang‟, mengalami proses pemunculan
fonem, antara bunyi vokal [a] dan bunyi vokal [e], yakni munculnya bunyi glotal
atau hamzah. Lumrahnya, penulisan bunyi glotal atau hamzah ini dalam fonologi
dilambangkan dengan tanda baca tanya yang ditulis miring (?). Pemunculan
fonem ini lazimnya terdapat pada kata yang memiliki bunyi vokal rangkap seperti
/aa, ae, ai, au, ao, ea, ee, ei, eu, eo, ia, ie, ii, io, iu, oa, oe, oi, oo, ua, ue, ui, uu, uo/.
Adapun proses pelesapan fonem dalam Bahasa Ende (BE) tidak seperti
yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Lesapnya fonem dalam BE tidak terdapat
pada prefiks (awalan), melainkan pada kata atau morfem itu sendiri yang secara
konvensional, baik disengaja atau tidak disengaja, digunakan oleh penutur BE.
Kata „kai‟ yang artinya dia dilesapkan menjadi „ki‟ atau kata „abe‟ yang artinya
mereka dilesapkan menjadi „be‟ dan beberapa kata lainnya.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian bisa diartikan: (a) apakah suatu penelitian itu
kuantitatif atau kualitatif (Nunan, 1992:4 dalam Marietta, 2011:12) atau (b)
apakah penelitian itu penelitian ruangan atau lapangan (Blaxter, Hughes dan
Thight, 2001:91-97 dalam Marietta, 2011:12).
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian tentang Variasi Fonologis
Morfem Bahasa Ende menggunakan pendekatan kualitatif deskripif dimana data
yang diambil berupa kata-kata, yakni tuturan atau dialek yang biasa digunakan
oleh penutur asli Ende dalam kesehariannya untuk berkomunikasi.
Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa
deskripsi objek penelitian. Dengan kata lain, wujud data penelitian kualitatif
adalah kata-kata, gambar, dan angka-angka yang tidak dihasilkan melalui
pengolahan statistika. Data yang deskriptif ini bisa dihasilkan dari transkrip (hasil)
wawancara, catatan lapangan melalui pengamatan, foto-foto, video-tape, dokumen
pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi yang lain.
Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Moleong (2010:4) yang diadopsi oleh
Muhammad, (2011:30) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya, Berg (2007:3) yang
diadopsi oleh Djam‟an (2010:12) dalam Muhammad (2011:30) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif, “Refers to the meaning, concept, definitions,
characteristic, metaphors, symbols, and descriptions of thing”. Menurut definisi
ini, penelitian kualitatif ditekankan pada deskripsi objek yang diteliti.
Muhammad (2010:23) dalam Muhammad (2011:31) menyebutkan bahwa
salah satu fenomena yang dapat menjadi objek penelitian kualitatif adalah

peristiwa komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan,
makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur,
peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data merupakan bahan untuk menjawab pertanyaan, memecahkan
permasalahan atau membuktikan hipotesis penelitian (Marietta, 2011:15).
Sedangkan, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) data adalah
keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau
kesimpulan). Dan, Muhammad (2011:168) berpendapat bahwa data merupakan
perangkat untuk menjawab soal-soal penelitian.
Mengenai bentuk data, Nunan (1992:231) dan Blaxter, Hughes dan Thight
(2001:296-297) dalam Marietta (2011:16) menyatakan bahwa data dapat berupa
angka, yang disebut data kuantitatif, dan yang bukan angka, yang disebut data
kualitatif.
Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yakni data
yang bukan angka atau berupa kata-kata verbal (lisan). Data kata-kata verbal
(lisan) disini maksudnya adalah tuturan, ujaran, perkataan, atau pembicaraan yang
dilakukan oleh penutur bahasa Ende sebagai data tunggal penelitian. Data lisan
merupakan data yang sifatnya benar-benar nyata dan asli.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data terkait dengan dari siapa, apa, dan mana informasi mengenai
fokus penelitian diperoleh. Dengan kata lain, sumber data berkaitan dengan lokasi
dan satuan penelitian atau observation unit. Jadi, sumber merupakan asal-usul dari
apa, siapa, dan mana data diperoleh. Data dapat juga dihasilkan karena
menggunakan metode penyediaan data, seperti wawancara, pengamatan
(observasi), itrospeksi, dan dokumen (Muhammad, 2011:167).

Sumber data merupakan asal data yang diperoleh dalam penelitian. Sumber data
dalam penelitian ini adalah sumber lisan, yakni diambil dari percakapan atau
pembicaraan dari penutur asli bahasa Ende yang menggunakan bahasanya untuk
berkomunikasi sehari-hari selain bahasa kedua, bahasa Indonesia. Sumber data
didapatkan dengan cara peneliti melibatkan diri dengan masyarakat penutur yakni
dengan bercakap-cakap dan mendengarkan setiap percakapan yang dilakukan.
Pengambilan sumber data lisan bertujuan agar memudahkan peneliti
mendapatkan data yang benar-benar asli dari penutur bahasa Ende sendiri karena
data lisan merupakan hal pokok yang dikaji dalam penelitian ini. Setiap kata yang
diucapkan–kata-kata yang menurut peneliti memiliki variasi pada struktur
fonologis akan dicatat atau direkam sebagai sumber data penelitian.
Menurut Moleong (2010:396), yang dikutip oleh Muhammad (2011:170)
menyarankan

agar

seorang

peneliti

memeriksa

keabsahan

data

secara

komperhensif. Keabsahan data mencakup metode pengumpulan data yang
diterapkan di lokasi penelitian, seperti perpanjangan keikutsertaan dalam
melakukan penelitian.
Sebelum turun ke lapangan untuk mendapatkan sumber data tersebut
terlebih dahulu peneliti membuat daftar kata-kata yang sesuai dengan penelitian
sehingga memudahkan peneliti mendapatkan data dan mempercepat waktu proses
penelitian.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metode adalah cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam

penelitian

kualitatif, ada

tiga

cara

atau

metode

untuk

mengumpulkan data. Pertama adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengamati apa-apa yang diteliti atau metode pengamatan atau metode simak.
Data yang dihasilkan dengan menggunakan metode ini berupa transkrip, catatan

lapangan, narasi, dan deskripsi. Kedua adalah metode wawancara atau metode
cakap atau interviewing method. Data yang dihasilkan oleh metode ini dengan
menerapkan teknik-teknik tertentu adalah transkrip wawancara, rekaman, atau
catatan lapangan. Ketiga adalah dengan menggunakan metode dokumen dimana
dokumen menjadi satuan penelitian yang di dalamnya terdapat satuan analisis.
Untuk memperoleh data yang memadai, dalam penelitian bahasa
diterapkan beberapa metode pengumpulan data, yakni (1) metode simak
(pengamatan/observasi); (2) metode cakap (wawancara), dan (3) metode
introspeksi (Muhammad, 2011:194).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode simak dan metode cakap. Metode simak (pengamatan/observasi) adalah
metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan
terhadap penggunaan bahasa (Muhammad, 2011:194). Metode simak digunakan
untuk menyimak penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk teknik
Simak Bebas Libat Cakap.
Sedangkan metode cakap (wawancara) adalah metode pengumpulan data
dengan melakukan percakapan dengan para informan (Muhammad, 2011:195).
Teknik dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik pancing yang
diikuti dengan teknik lanjutan yakni teknik cakap semuka. Pada pelaksanaan
teknik cakap semuka, peneliti langsung melakukan percakapan dengan pengguna
bahasa sebagai informan.
Peneliti juga menggunakan kata-kata yang telah didaftarkan sebelumnya
pada beberapa lembar kertas untuk ditanyakan kepada penutur bahasa Ende
mengenai penggunaannya pada komunikasi sehari-hari, baik tempat maupun
situasi digunakannya kata-kata tersebut. Hal ini dilakukan mengingat penggunaan
kata-kata tersebut pada tempat dan situasi di dalam kalimat yang tidak serta merta
ada dalam pembicaraan atau percakapan saat penelitian dilakukan. Selain itu juga
mengingat waktu penelitian yang terbatas sehingga dibuatkan daftar kata untuk
memudahkan dan mempercepat jalannya penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sejalan dengan metode yang disebutkan di atas, yakni metode simak dan
metode cakap, maka teknik yang digunakan adalah teknik Simak Libat Cakap.
Pada teknik ini, peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil
menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak para informan
dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog (Mahsun, 2007:246 dalam
Muhammad, 2011:194).
Selain itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap
yang merupakan dasar dari metode simak (pengamatan/observasi). Teknik sadap
disebut teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan
diwujudkan dengan penyadapan, dalam arti penelitian dalam upaya mendapatkan
data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa
orang yang menjadi informan (Mahsun, 2007:242 dalam Muhammad, 2011:194).
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara
melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9).
Menurut Patton (1988) dalam Kaelan (2005:209), yang dikutip oleh
Muhammad (2009:221) menyatakan bahwa analisis data merupakan suatu proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian besar.
Subroto (2007:59 dalam Muhammad 2011:222) menyatakan bahwa
menganalisis berarti mengurai atau memilah-bedakan unsur-unsur yang
membentuk satuan lingual atau mengurai suatu satuan lingual ke dalam
komponen-komponennya.
Muhammad (2011:222) dengan menyimpulkan pendapat dari Subroto
(2007) dan Sudaryanto (1993) berpendapat bahwa analisis data merupakan suatu
aktivitas mengurai atau memburaikan data untuk melahirkan kaidah atau kaidahkaidah yang berkenaan dengan fokus penelitian dengan menggunakan metode,
teknik, dan alat.

Tahap analisis data merupakan upaya sang peneliti menangani langsung
masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1993:6).
Adapun tahap menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode dan teknik yang sesuai agar data yang dianalisis
kebenarannya dapat teruji dan valid.
3.5.1 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah cara yang digunakan peneliti dalam
menganalisis setiap data yang diperoleh dari lapangan atau tempat dilakukannya
penelitian dengan berdasarkan pada teori yang sesuai dengan judul penelitian.
Muhammad (2011:233), dengan mengutip kalimat atau berdasar pada
pengertian metode dalam kamus Oxford (2005) menyimpulkan bahwa metode
analisis data adalah cara menguraikan dan mengelompokkan satuan lingual sesuai
dengan pola-pola, tema-tema, kategori-kategori, kaidah-kaidah, dan masalahmasalah penelitian.
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode padan
atau identity method dan metode agih atau distributional method.
Metode padan merupakan cara menganalisis data untuk menjawab
masalah yang diteliti dengan alat penentu berasal dari luar bahasa. Artinya, aspek
luar bahasalah yang menentukan satuan lingual sasaran penelitian. Metode padan
atau identity method merupakan metode analisis data yang menggunakan alat
penentu di luar unsur bahasa (Djajasudarma, 1993:58 dalam Muhammad,
2011:196).
Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).
Sedangkan, metode distribusional menggunakan alat penentu dasar
bahasa. Metode distribusional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti
(Muhammad, 2011:196).

3.5.2 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan menguraikan, menjabarkan, menyelidiki,
memecahkan atau menganalisis permasalahan dalam hal ini data penelitian yang
telah dikumpulkan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu serta
berlandaskan pada teori yang sesuai.
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini
adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) atau dividing-key-factors technique.
Teknik Pilah Unsur Penentu yang selanjutnya disebut PUP dalam penelitian ini
merupakan teknik dasar untuk melaksanakan metode padan. Alat teknik ini adalah
kemampuan peneliti dalam memilah data. kemampuan yang dimiliki peneliti
bersifat mental, mengandalkan intuisi, dan menggunakan pengetahuan teoritis.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang telah diperoleh.

b.

Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan sehingga
memperjelas maksud dari data yang disajikan.

c.

Mengelompokkan setiap data (contoh kata-kata verbal yang mengalami
variasi fonologis) yang ada ke dalam masing-masing bagian sehingga
mempermudah analisis.

d.

Memberikan penjelasan terhadap setiap data yang telah dikelompokkan
tersebut serta memberikan penjelasan secara naratif mengenai
fenomena yang diteliti.

3.6 Teknik Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, selanjutnya data tersebut
disajikan. Penyajian data dilakukan dengan dua teknik, yakni teknik formal dan
teknik informal.
Menurut Sudaryanto (1993:31) dalam Muhammad (2011:172) menyatakan
bahwa ada dua cara penyajian data, yaitu dengan metode formal dan metode

informal. Kaidah-kaidah yang diperoleh melalui analisis itu disajikan dengan
menggunakan bahasa biasa, lambang, dan tanda.
Menurut Mahsun (2007:116 dalam Muhammad, 2011:196) hasil penelitian
data akan disajikan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode formal
dan metode informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis data
menggunakan perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang
dimaksud antara lain: tanda kurun biasa ((...)), tanda kurung siku ([...]), tanda
petik satu („...‟), tanda petik dua (“...”), dan tanda baca lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

2.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Cetakan III. Jakarta : Rineka Cipta.

3.

Wahyu, Asisda. 2013. Diktat Fonologi. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta

4.

http://udinsape.blogspot.com/2011/07/sistem-sapaan-dalam-bahasa-bimadengan_14.html, diunduh pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib.

5.

http://arifdocs.blogspot.com/2011/08/pengenalan-singkat-tentang-bahasabima_8670.html, diunduh pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib.

6.

http://dorokabuju.blogspot.com/2009/07/kamus-bahasa-bima.html, diunduh
pada tanggal 20 mei 2013, pukul 08:00 wib.

7.

Syamsuddin A.R. 2012. Bentuk Redundan dan Salinan pada Bahasa Bima.
Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

8.

Syamsuddin A.R. 1968. Tinjauan Singkat Tentang Semantik Bahasa BIMA
(Suatu Kemungkinan Sumbangan Bagi Bidang Pengajaran Bahasa Daerah
dan Bahasa Indonesia). Bandung : Tesis IKIP BandungMaesyarah. 2003.

9.

“Reduplikasi Sintaksis Bahasa Bima”. Skripsi. Mataram : FKIP Universitas
Mataram.