Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkesulit (1)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan
sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat
menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa
mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang
justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar
merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa. Kesulitan
belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk
mencapai hasil belajar sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan
masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari kesulitan belajar?
2. Faktor apa saja yang menimbulkan anak kesulitan belajar?
3. Bagaimana karakteristik anak berkesulitan belajar?
4. Sebab-sebab apa saja yang menjadikan anak kesulitan belajar?
5. Bagaimana identifikasi anak berkesulitan belajar?
6. Pelayanan dan bimbingan seperti apa yang dibutuhkan anak

berkesulitan belajar?
7. Seperti apakah masalah dan dampak dari anak berkesulitan belajar?
C. Tujuan
Dari uraian rumusan masalah tersebut, terdapat tujuan yang ingin
dicapai dari penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari kesulitan belajar.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab anak berkesulitan belajar.
3. Untuk mengetahui karakteristik anak berkesulitan belajar.

1

4. Untuk mengetahui pelayanan dan bimbingan anak berkebutuhan
khusus.
5. Untuk mengetahui identifikasi anak berkesulitan belajar.
6. Untuk mengetahui pelayanan dan bimbingan anak berkesulitan
belajar.
7. Untuk mengetahui masalah dan dampak dari anak berkesulitan
belajar bagi keluarga dan penyelenggaraan pendidikan.

2


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesulitan Belajar
Dalam berbagai literatur psikologi, khususnya yang berkenaan dengan
literatur anak luar biasa, istilah anak berkesulitan belajar lebih sering di
sebut kelompok learning disabilities. Siapakah yang dimaksud dengan
anak berkesulitan belajar? Untuk mengetahuinya, marilah kita amati kasus
dengan ilustrasi berikut ini.
Nano, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang
menunjukkan

ketidakemampuan

dalam

berkonsentrasi

terhadap pekerjaan sekolah kecuali dalam beberapa menit
saja. Secara konstan dia selalu keluar dari tempat duduknya

dan

mengganggu

temannya.

Ketika

dia

melakukan

konsentrasi, dia seringkali tertahan (fiksasi) terhadap halhal

detil

yang

tak


berarti,

misalnya

dia

hanya

memperhatikan bagian kecil dari gambar ketimbang
memperhatikan gambar itu secara keseluruhan. Dia
menunjukkan kekacauan di dalam permainan di lapangan.
Dia tidak mampu melempar dan menangkap bola dengan
tepat dan terkoordinasi sebagaimana anak lain seusianya.
Dia bersifat impulsif untuk menyakiti anak lain tanpa alasan
yang jelas. Nano adalah seorang anak yang berkesulitan
belajar, dia tidak mampu lekukan tugas-tugas akademik
kendatipun fakta menunjukkan bahwa dia memperoleh skor
inteligensi dalam rentang rata-rata.
Dari kasus di atas tampak bahwa anak berkesulitan belajar tidak
termasuk ke dalam kelompok anak luar biasa. Mereka termasuk ke dalam

kelompok tersendiri yang disebut learning disabilities atau berkesulitan
belajar atau ketakcakapan belajar. Di dalam dunia pendidikan luar biasa
masalah kesulitan belajar merupakan bidang garapan yang masih relatif

3

muda, belum menjadi bidang garapan yang cukup kuat, walaupun
perdebatan dan kontroversi dalam bidang ini sudah terjadi sejak lebih dari
20 tahun yang lalu. Karena kekeliruan konsep dan pemahaman anak
berkesulitan belajar seperti itu sering dijuluki sebagai ‘anak teka-teki’,
anak ‘berpenyakit aneh’ atau ‘suatu dilema’.
Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa
Inggris “Learning Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata
disability diterjemahkan ”kesulitan”

untuk memberikan kesan optimis

bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain learning
disabilities adalah learning difficulties dan learning differences. Ketiga
istilah tersebut memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak,

penggunaan istilah learning differences lebih bernada positif, namun di
pihak lain istilah learning disabilities lebih menggambarkan kondisi
faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar. Tidak kurang dari 40 istilah telah
diusulkan untuk menggambarkan atau merujuk kepada apa yang disebut
dengan anak berkesulitan belajar. Dan tidak kurang dari 38 definisi telah
dirumuskan untuk mengartikan istilah berkesulitan belajar. Banyak istilah
atau sebutan yang sering digunakan di dalam berbagai literatur untuk
merujuk anak yang mengalami kesulitan belajar khusus antara lain sebutan
berikut ini.
Attention deficit disorder
Clumsy child syndrome
Perceptual handicap
Brain injury
Minimal brain dysfunction
Dyslexia
Dyslogic syndrome
Learning disorder
Educational handicap
Mild handicap


4

Neurological impairment
Hyperactivity
Hyperkinesis
Definisi lain dikemukakan oleh Samuel A. Kirk (1971) bahwa
Children Listed under the caption of specific learning disabilities are
children who cannot be grouped under the traditional categories of
exceptional children, but who show significant retardation in learning to
talk, or who do not develop normal visual or auditory perception, or who
have great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make
arithmetic calculations.
Haring (1974) menambahkan, “learning disability is a behavioral
deficit almost always associated with academic performance and that can
be remediated by precise individual instruction programming”.
Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan
bahwa learning disability (ies) tidak digolongkan ke dalam salah satu
keluarbiasaan seperti yang dibahas sebelumnya, melainkan merupakan
kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih didefinisikan sebagai

gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di dalam
proses belajar. Meskipun gangguan ini bisa terjadi di dalam berbagai
tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Anak-anak yang
berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental
dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan
keterlambatan dalam kemampuan perseptual-motorik tertentu atau
kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai
mempelajari mata-mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca,
berhitung, dan mengeja.
Keragaman jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami seorang anak
memang menimbulkan adanya klasifikasi yang cermat tentang kesulitan
belajar ini. Oleh karena itu muncul berbagai istilah atau sebutan bagi
kesulitan belajar seperti telah diutarakan di atas. Akan tetapi di dalam

5

kenyataan, kesulitan yang satu seringkali dibarengi oleh kesulitan lain
sehingga terjadi tumpang tindih antar kesulitan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau
learning disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada

keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan
tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat
menimbulkan gangguan proses belajar.
B. Faktor-Faktor yang Menimbulkan Kesulitan Belajar
Kephart (1967) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar ini dalam
tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan
pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti
dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis, dan toksik. Kondisi seperti ini
dapat menimbulkan gangguan fungsi otak yang diperlukan untuk proses
belajar pada anak dan remaja. Demikian pula anak-anak yang mengalami
disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction) pada saat lahir akan
menjadi masalah besar pada saat anak mengalami proses belajar.
1. Faktor Gangguan Emosional
Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan
belajar

terjadi

karena


adanya

trauma

emosional

yang

berkepanjangan yang mengganggu hubungan funsional sistem urat
syaraf. Dalam kondisi seperti ini perilaku-perilaku yang terjadi
seringkali seperti perilaku pada kasus kerusakan otak.Namun
demikian tidak semua trauma emosional menimbulkan gangguan
belajar.
2. Faktor Pengalaman
Faktor ‘pengalaman’ yang dapat menimbulkan kesulitan belajar
mencakup faktor-faktor seperti kesenjangan perkembangan atau
kemiskinan pengalaman lingkungan. Kondisi ini biasanya dialami
oleh anak-anak yang terbatas memperoleh rangsangan lingkungan
yang layak, atau tidak pernah memperoleh kesempatan menangani
peralatan dan mainan tertentu, dimana kesempatan semacam itu


6

dapat mempermudah anak dalam mengembangkan keterampilan
manipulatif dalam penggunaan alat tulis seperti pensil dan
ballpoint.
rangsangan

Kemiskinan
auditif

pengalaman

menyebabkan

lain
anak

seperti
kurang

kurangnya
memiliki

perbendaharaan bahasa (berkata-kata) yang diperlukan untuk
berpikir logis dan bernalar. Biasanya kemiskinan pengalaman ini
berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi orang tua sehingga
seringkali berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi yang
pada akhirnya dapat mengganggu optimalisasi perkembangan dan
keberfungsian otak.
Bagan 8.1 menelusuri tahapan kesulitan belajar, yang diklasifikasikan
ke dalam empat tataran, dari mulai penyebab sampai hasil.Tataran I
menunjukkan penyebab asli, baik yang terjadi pada saat kelahiran maupun
setelah lahir. Hasil dari tataran I ini terwujud dalam tataran II yang
mungkin berupa kerusakan otak, ketidakseimbangan kimiawai, hambatan
emosional, kesenjangan kematangan, dan/atau kemiskinan pengalaman
yang dapat menimbulkan kesulitan dalam persepsi, pembentukan konsep,
memori, dan proses lainnya sebagaimana tampak dalam tataran III.
Kesulitan-kesulitan yang terjadi pada tataran III menghasilkan berbagai
gaya belajar sebagaimana tampak pada tataran IV. Jika ditilik dari proses
tersebut maka suatu kesulitan belajar bisa disebabkan oleh faktor ganda.

7

Dengan menilik faktor-faktor diatas, faktor pada tataran I dan II lebih
banyak menyangkut aspek medis, biologis, atau sosiologis sehingga
bidang medis akan lebih banyak terlibat dalam menangani masalah ini.
Pada tataran III akan lebih banyak melibatkan ahli diagnostik dan ahli
psikologi; sedangkan pada tataran IV akan lebih banyak melibatkan guru
dan ahli pendidikan. Untuk kepentingan layanan pendidikan dan
psikologis di dalam diagnosis dan remedial, keragaman gaya belajar
seperti tampak pada tataran IV harus menjadi fokus utama penyembuhan.
8

Gaya belajar seperti tampak pada tataran IV merupakan hal baru tetapi
merupakan dimensi yang amat penting dalam memahami faktor kesulitan
belajar. Sebagai contoh seorang anak yang mempunyai gaya belajar auditif
tentu tidak akan efektif mencerna informasi yang disajikan melalui
rangsangan visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekeliruan
dalam gaya penyajian dapat menimbulkan kelambanan atau kegagalan
yang dialaminya dalam belajar seyogyanya melakukan analisis tugas dan
perilaku anak sebagai dasar pengembangan program pengajaran yang
sepadan dengan gaya belajar dan gaya kognitif anak.
C. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
Anak yang berprestasi rendah (underachiviers) umumnya kita temui di
sekolah

karena

tidak

menguasai

mata

pelajaran

tertentu

yang

diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Sebagian
besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran yang sangat rendah ditandai
pula dengan hasil tes IQ berada di bawah rerata normal. Untuk golongan
ini disebut dengan istilah lain, yaitu slow learners. Pencapaian prestasi
rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfuncton,
dyslexia, atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang
berprestasi rendah disebut dengan istilah spesific learning disability.
1. Aspek Kognitif
Kasus kesulitan membaca (dyslexia) yang sering ditemukan di
sekolah merupakan contoh klasik dari kekurangan keberfungsian aspek
kognitif anak berkesulitan belajar. Tidak jarang anak yang mengalami
kesulitan

membaca

menunjukkan

kemampuan

berhitung

atau

matematika yang tinggi. Kasus semacam tadi membuktikan bahwa
anak berkesulitan belajar memiliki kemampuan kognitif yang normal,
akan tetapi kemampuan tersebut tidak berfungsi secara optimal
sehingga terjadi keterbelakangan akademik (academic retardation)
yakni terjadinya kesenjangan antara apa yang mestinya dilakukan anak
dengan apa yang dicapainya secara nyata.

9

2. Aspek Bahasa
Di dalam proses belajar kemampuan berbahasa merupakan alat
untuk memahami dan menyatakan pikiran. Oleh karena itu pula aspek
kemampuan bahasa seringkali tidak dipisahkan dari aspek kognitif
karena proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses kognitif.
Tampak jelas bahwa masalah kemampuan berbahasa anak akan
berpengaruh signifikan terhadap kegagalan belajar.
3. Aspek Motorik
Masalah motorik merupakan masalah yang umumnya dikaitkan
dengan kesulitan belajar. Masalah motorik anak berkesulitan belajar
biasanya

menyangkut

keterampilan

motorik-perseptual

yang

diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancangan
atau pola. Kemampuan ini sangat diperlukan menggambar, menulis,
atau menggunakan gunting. Keterampilan tersebut sangat memerlukan
koordinasi yang baik antara tangan dan mata yang dalam banyak hal
koordinasi tersebut tidak dimiliki anak berkesulitan belajar.
4. Aspek Sosial dan Emosi
Dua karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosialemosional anak berkesulitan belajar ialah: kelabilan emosional dan keimpulsif-an. Kelabilan emosional ditunjukkan oleh sering berubahnya
suasana hati dan tempramen. Ke-impulsif-an merujuk kepada
lemahnya pengendalian terhadap dorongan-dorongan berbuat.
D. Sebab-Sebab Anak Kesulitan Belajar
1. Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction)
Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu
kondisi gangguan syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini
bisa didapatkan dalam berbagai macam kombinasi kesulitan seperti:
persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian perhatian,
impulse(dorongan), atau fungsi motorik.
Sekalipun sistem seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman
kanak-kanak, tetapi untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada

10

saat anak memasuki sekolah dasar. Mereka mungkin menghadapi
kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca, mengeja,
dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun
abstrak; penampilannya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi
dalam bidang tertentu dan rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering
menunjukkan

gejala

kurang

mampu

memusatkan

perhatian,

ketidakstabilan emosi, frustrasi, dan sikap permusuhan.
Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal
ialah:
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep


Kelemahan dalam membedakan ukuran.



Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah.



Kelemahan tilikan ruang.



Kelemahan orientasi waktu.



Kelemahan dalam memperkirakan jarak.



Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.



Kelemahan memahami keutuhan.

b. Gangguan bicara dan komunikasi


Kelemahan membedakan stimulus auditif.



Perkembangan bahasa yang lamban.



Seringkali kehilangan pendengaran.



Seringkali berbicara tak teratur.

c. Gangguan funsi motorik


Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.



Hiperaktivitas.



Hipoaktivitas.

d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik


Ketidakcakapan membaca.



Ketidakcakapan berhitung.



Ketidakcakapan mengeja.



Ketidakcakapan menulis dan menggambar.

11



Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.



Kebimbangan memahami instruksi.

e. Karakteristik emosional


Impulsif.



Eksplosif.



Kelemahan kendali emosi dan dorongan.



Toleransi rendah terhadap frustasi.

f. Gangguan proses berpikir


Ketidakcakapan berpikir abstrak.



Umumnya berpikir konkret.



Kesulitan membentuk konsep.



Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.



Keterbatasan rentang memori.



Seringkali berpikir autistik.

2. Aphasia
Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal
menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3
tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena
faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau
faktor lingkungan.
Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang
cukup

kompleks.Secara

garis

besar

simptom

aphasia

digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama berikut ini.
a. Receptive aphasia


Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.



Tidak dapat melacak arah.



Kemiskinan kosakata.



Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.



Tidak dapat memahami apa yang dia baca.

12

dapat

b. Expressive aphasia


Jarang bicara di kelas.



Kesulitan dalam melakukan peniruan.



Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.



Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).



Ketidakcakapan menggambar dan menulis.

c. Inner aphasia


Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit
berpikir abstrak.



Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan.



Lamban merespon.

3. Dyslexia
Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis
lain gangguan belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam
dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada dunia pendidikan dalam
mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami
kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum
yang sering ditampilkan anak disleksa ialah:


Kelemahan orientasi kanan-kiri.



Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti “dia”
dibaca “aid”



Kelemahan keterampilan jari.



Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.



Kelemahan memori.



Kesulitan auditif.



Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali
objek, kata, atau huruf.



Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol
visual kedalam simbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata
secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang
dilihatnya.

13

4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik
Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk
kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi
tanpa mengaitkan dengan aspek motorik.Persepsi itu sendiri berfungsi
membedakan

stimulus

sensoris,

yang

pada

gilirannya

harus

diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna.Seorang anak
membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan
tetapi jika kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara
persepsi dan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini menjadikan
anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu
menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan
bahkan

anak

tidak

dapat

mendengar

dan

melihat

secara

normal.Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik
ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.
Simptom umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang
mengalami kelemahan perseptual atau perseptual-motorik ialah:


Kemiskinan koordinasi visual-motorik.



Gangguan keseimbangan badan pada waktu berjalan maju,
mundur, dan menyamping.



Kurang terampil dalam melompat.



Kesulitan mengamati diri dalam konteks ruang dan waktu.



Kesulitan melakukan gerak ritme normal; saat menulis cenderung
mengurangi atau menambah ukuran, bentuk, warna, ketebalan.



Kesulitan dalam mengikuti konsistensi objek; d menjadi b.

E. Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Keragaman definisi kesulitan belajar membawa keragaman pula dalam
orientasi filosofis tentang identifikasi dan pengajaran bagi anak
berkesulitan belajar. Meskipun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi
bagi seluruh anak berkesulitan belajar perlu diketahui dan dipahami.
Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah:

14

1. Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat
dipahami oleh anak.
2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidaktidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang mengetahui
masalah kesulitan belajar.
3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan
hal-hal berikut:
a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak
tidak mampu mencapai prestasi sesuai dengan usia dan tingkat
kecakapan dalam satu atau lebih bidang:
 Ekspresi lisan
 Mendengarkan pemahaman
 Ekspresi tulisan
 Keterampilan membaca dasar
 Membaca pemahaman
 Perhitungan matematis, atau
 Berpikir matematis
b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami kesulitan
belajar jika kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan
oleh:
 Hambatan visual, pendengaran, atau motorik
 Keterbelakangan mental
 Gangguan emosional
 Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomis.
4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan:
a) Kesulitan belajar khusus apa yang dialami anak,
b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan,
c) Perilaku-perilaku yang relevan yang tercatat selama dilakukan
pengamatan,

15

d) Hubungan antara perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik
anak,
e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan,
f) Kesenjangan antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi
tanpa pendidikan dan layanan khusus,
g) Pertimbangan tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan,
budaya, dan ekonomi.
F. Pelayanan dan Bimbingan Anak Berkesulitan Belajar
1. Berbagai Pilihan Penempatan
Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan
pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu
dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan,
kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan
keterampilan social dan akademik anak. Suatu tim yang menangani
anak berkesulitan belajar biasanya menganjurkan untuk memilih suatu
sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan beberapa tipe
pelayanan.
Menurut Lerner (1988: 141) ada tiga sistem penempatan yang
banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang
sumber (resource room), dan kelas regular (regular class). Menurut
Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika Serikat
memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber,
dan 15 persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan
dibahas pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang
sumber, dan kelas regular.
a. Kelas khusus
Sekolah yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya
menempatkan 10 atau 20 anak berkesulitan belajar dalam satu
kelas, pengelompokan, dapat didasarkan atas taraf kesulitan atau
faktor-faktor lain. Ada dua macam kelas khusus yang biasa

16

digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar dan kelas
khusus untuk bidang studi tertentu.
Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar anak berkesulitan
belajar diajar oleh guru khusus. Mereka berinteraksi dengan anak
yang tidak berkesulitan belajar hanya pada saat beristirahat. Jenis
pelayanan ini adalah yang paling bersifat membatasi pergaulan
anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan
belajar dalam sistem pendidikan integratif.
Dalam kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak
belajar bidang studi yang tidak dapat mereka ikuti di kelas regular.
Untuk bidang-bidang studi seperti olahraga, musik, kerajinan
tangan, dan bidang studi lain yang dapat dilakukan bersama anak
yang tidak berkesulitan belajar, mereka melakukan bersama.
Sebagian besar dari waktu yang digunakan di dalam kelas khusus
jenis ini umumnya untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung,
dan kadang-kadang juga tentang keterampilan sosial atau aspek
khusus dari bahasa.
Sistem pemberian pelayanan dalam kelas khusus tidak hanya
memiliki

keuntungan

tetapi

juga

memiliki

kekurangan.

Keuntungan dari sistem pemberian pelayanan ini adalah : (1)
pembelajarannya menjadi lebih efektif karena pengelompokannya
homogen dan (2) anak berkesulitan belajar lebih banyak
menperoleh pelayanan yang bersifat individual dari guru. Adapun
kekurangan dari sitem pemberian pelayanan ini adalah : (1) anak
berkesulitan belajar sering memperoleh cap negatif yang dapat
mengganggu kepercayaan diri, sikap negatif dari keluarga, dan
harapan untuk berhsil yang rendah dari guru; dan (2) anak
berkesulitan belajar cenderung hanya dapat berimitasi dengan
sesama mereka.

17

b. Ruang sumber
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah
untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang
membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di
dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan berbagai media
pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya
berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti
membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial
dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan
pendidikan

bagi

anak

berkesulitan

belajar.

Guru

sumber

diharapkan juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi
konsultan bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber
biasanya menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.
Pemberian

pelayanan

dalam

bentuk

sumber

memiliki

keuntungan tetapi juga kekurangan. Kelebihannya adalah (1) anak
yang memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial
memperoleh bantuan dari guru yang terlatih dan (2) anak
berkesulitan belajar tetap berada di dalam kelas regular sehingga
mereka dapat bergaul dengan anak yang tidak tergolong
berkesulitan belajar. Adapun kekurangan sistem pemberian
pelayanan jenis ini adalah (1) meningkatkan jumlah waktu
terbuang untuk pindah dari kelas regular ke ruang sumber, (2)
mengurangi kemampuan guru kelas atau guru regular untuk
menangani anak secara individual, (3) meningkatkan kemungkinan
adanya inkosnsistensi pendekatan pembelajaran, (4) meningkatkan
jumlah spesialis yang bekerja untuk anak yang dapat menimbulkan
pelayanan yang terpecah-pecah, dan (5) dapat meningkatkan
konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.

18

c. Kelas Regular
Jenis pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk
mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, yaitu anak yang
berkesulitan belajar dan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak berkesulitan
belajar

diciptakan

suasana

belajar

koperatif

sehingga

memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar
maupun yang tidak berkesulitan belajar. Suasana belajar kopereatif
diciptakan untuk menghindari terjadinya duplikasi pemberian
pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual diberikan
kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan
belajar maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak
berbakat (gifted and talented). Dalam kelas regular semacam ini,
berbagai metode untuk kedua jenis anak digunakan bersama.
Sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular
memiliki banyak keuntungan tetapi juga memiliki banyak
kekurangan. Berbagai keuntungan dari sistem ini adalah:
 Anak berkesulitan belajar akan menggunakan anak yang tidak
berkesulitan belajar sebagai model perilaku mereka;
 Mengelola anak berkesulitan belajar di kelas regular lebih
murah daripada menyediakan mereka pelayanan dan situasi
khusus;
 Anak yang tidak berkesulitan belajar dapat menjadi lebih
mudah memahami adanya perbedaan antarindividu; dan
 Guru regular dimungkinkan untuk menjadi lebih dapat
menyesuaikan pembelajaran mereka dengan karakteristik
individual semua anak.

19

Adapun berbagai kekurangan sistem pemberian pelayanan
dalam bentuk kelas regular adalah :
 Anak berkesulitan belajar kurang memperoleh pelayanan
individual;
 Anak berkesulitan belajar masih mungkin memperoleh cap
negatif dari anak yang tidak berkesulitan belajar;
 Anak berkesulitan belajar mungkin akan sering gagal karena
sulitnya bahan dan tugas;
 Anak berkesulitan belajar akan dirugikan karena memperoleh
pelayanan PLB yang sistematis dan latihan keterampilan dasar
yang cukup, dan
 Semangat juang (morale) guru kelas atau guru regular mungkin
akan terpengaruh secara negatif karena banyak di antara
mereka yang tidk dipersiapkan untuk menangani anak
berkesulitan belajar.
2. Hubungan Orang Tua Dan Guru
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu
memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak
mereka yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga
macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan
belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima kenyataan, (2)
kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana
adanya.
Sikap menolak atau tidak dapat menerima kenyataan sering
diperlihatkan dalam bentuk adanya hubungan saying-benci dan
menerima-menolak anak. Hubungan sayang-benci merupakan sikap
ambivalensi, kadang-kadang sayang dan kadang-kadang benci
terhadap anaknya yang tergolong berkesulitan belajar. Begitu pula
dengan sikap menerima-menolak, orang tua di suatu saat dapat
menerima anak sebagaimana adanya tetapi di saat lain menolak. Sikap
orang tua yang membenci dan menolak anak berkesulitan belajar tidak
20

hanya dapat menghambat anak untuk menyesuaikan diri dengan
kesulitannya tetapi juga menghambat komunikasi di dalam keluarga
sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak aman pada
anak. Bentuk reaksi kompensasi yang berlebihan tampak dari adanya
kecenderungan orang tua untuk bersikap tidak realistic, kaku atau
keras, dan memberikan perlindungan yang berlebihan. Orang tua yang
semacam ini itu sering memperlihatkan semangat yang berlebihan,
memberikan latihan secara terus-menerus, dan mengharapkan anaknya
dapat menjadi superior. Sikap orang tua semacam ini dapat
mengakibatkan anak menjadi cerdas berlebihan sehingga pada
gilirannya menghambat pencapaian belajar yang optimal.
Orang tua yang bersikap menerima anak berkesulitan belajar apa
adanya adalah yang paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara optimal. Sesunguhnya sulit untuk menjelaskan
apa yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya. Menurut
Robinson seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99), yang dimaksud
dengan menerima anak adalah menghargai apa yang dimiliki anak,
menyadari kekurangannya, dan aktif menjalin hubungan yang
menyenangkan dengan anak. Bertolak dari penghargaan atas apa yang
dimiliki anak dan penerimaan atas apa yang tidak dimiliki anak, orang
tua menjalin hubungan yang wajar dan berupaya mengembangkan
potensi yang masih dimiliki oleh anak untuk mempersiapkan tugasnya
di masa depan. Menurut Wortis seperti dikutip oleh Mercer (1979: 99),
ada dua indikator dari orang tua yang menerima anak apa adanya, yaitu
(1) tetap melakukan aktivitas kehidupan yang normal dan (2) berupaya
mempertemukan anak dengan kebutuhannya.
Menurut Mercer (1979: 95), sikap menerima anak apa adanya
adalah tahapan akhir dari penyesuaian orang tua dalam menghadapi
anaknya yang berkesulitan belajar. Ada lima tahapan penyesuaian
orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan belajar, yaitu
(1) menyadari adanya masalah, (2) mengenal masalah, (3) mencari

21

penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5)
menerima anak apa adanya.
Kesadaran terhadap adanya masalah biasanya muncul pada saat
orang tua melihat adanya gejala-gejala penyimpangan yang negatif
pada anak. Gejala-gejala tersebut antara lain adalah (a) belum dapat
duduk pada usia sembilan bulan, (b) belum dapat berjalan pada usia 18
bulan atau dua tahun, (c) belum dapat bicara satu kata yang dapat
dimengerti pada usia tiga tahun, (d) sering pandangannya kosong, (e)
tangannya kaku dan canggung, (f) sering terantuk dan jatuh, (g)
memberikan reaksi yang keras terhadap peristiwa yang remeh, (h)
tidak mudah tertawa, dan (i) tidak menyukai permainan sembunyisembunyi atau cilukba. Jika ibu mengetahui gejala-gejala awal tersebut
biasanya akan memberitahukan kepada ayah, dan mereka umumnya
mulai menyadari tentang adanya masalah pada anak mereka.
Menyadari adanya masalah tersebut biasanya orang tua berusaha
mencari informasi professional kepada guru TK atau kepada dokter
anak.
Setelah orang tua memperoleh informasi dari dokter bahwa
anaknya memiliki penyimpangan yang dapat mengganggu proses
belajar, orang tua biasanya memberikan reaksi yang bermacammacam. Reaksi tersebut dapat dapam bentuk pertengkaran orang tua,
berpindah-pindah dokter untuk meyakinkan hasil diagnosis (dokter
shopping), dan ada pula orang tua yang menggunakan mekanisme
pertahanan diri untuk mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh
keadaan yang tidak disukai. Pertengkaran orang tua biasanya terjadi
karena adanya perbedaan reaksi antara ibu dan ayah dalam
menghadapi masalah. berpindah-pindah dokter terjadi karena orang tua
ingin meyakinkan ketepatan diagnosis. Kesulitan-kesulitan, terutama
yang tergolong ringan, sering sukar didiagnosis pada masa usia
prasekolah.

22

Untuk mengurangi kecamasan, ada orang tua yang menggunakan
mekanisme pertahanan diri. Bentuk mekanisme pertahanan diri yang
paling umum dan paling primitif menurut Mercer (1979: 96) adalah
penyangkalan (denial). Orang tua mungkin mengatakan bahwa
anaknya memiliki kemampuan tinggi sehingga membuat tuntutantuntutan yang tidak realistik, misalnya dengan mengantarkan anak
mengikuti les piano, les menari, dan sebagainya. Mungkin orang tua
menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam bentuk memberikan
perlindungan yang berlebihan (overprotection) dengan melarang anak
berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan dan disukai anak.
Harapan

yang

berlebihan

dapat

menyebabkan

anak

menjadi

bergantung pada orang lain atau tidak mandiri. Pada tahap pengakuan
adanya masalah ini hendaknya orang tua diberi kesempatan untuk
menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapinya. Jika orang tua
telah siap untuk mengakui adanya masalah, maka ia baru dapat diajak
untuk menyiapkan perkembangan anak selanjutnya.
Setelah tahap mengakui adanya masalah, orang tua biasanya
memasuki tahap mencari penyebab. Menurut Robinson dan Robinson
(Mercer, 1979: 7), ada dua alasan orang tua mencari penyebab
kesulitan belajar. Pertama, dengan mengetahui penyebab diharapkan
dapat ditemukan jalan untuk memperbaiki atau mencegah kesulitan
belajar. Kedua, dengan mengetahui penyebab, diharapkan dapat
mengurangi beban berat perasaan berdosa. Orang tua mungkin menjadi
sangat frustasi karena penyebab kesulitan belajar sukar dipahami.
Diagnosis umumnya didasarkan pada manifestasi perilaku, bukan pada
dasar neurologic atau generic, dan di samping itu orang tua mungkin
menemukan berbagai teori yang berbeda-beda tentang penyebab
kesulitan belajar.
Tahapan berikutnya adalah mencari penyembuhan. Kebanyakan
orang tua mencari penyembuhan didasarkan atas pandangan etiologis
atau penyebab tertentu. Jika penyebabnya kekurangan vitamin,

23

mungkin akan disembuhkan dengan memberikan vitamin. Jika
penyebabnya disfungsi otak minimal, mungkin akan disembuhkan
dengan latihan-latihan perceptual motor, dan jika penyebabnya
pendidikan yang keliru, mungkin akan disembuhkan dengan
memanipulasi

lingkungan

perkembangan

yang

untuk

diinginkan.

mencapai

pertumbuhan

Macam-macam

dan

penyembuhan

tersebut sesungguhnya masih hipotesis dan karena itu guru hendaknya
memberikan informasi atau pengarahan yang cukup.
Tahapan terakhir penyesuaian orang tua dalam menghadapi anak
berkesulitan belajar adalah menerima anak sebagaimana adanya.
Setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya, biasanya orang tua
sampai pada tahapan akhir penyesuaian ini. Jika orang tua telah sampai
pada tahapan inilah pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar
biasanya dapat mencapai kemajuan.
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu
menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua –
guru dapat menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolah. Baik
orang tua maupun guru sering merasa khawatir saat hadir dalam
pertemuan semacam itu. Para orang tua umumnya khawatir terhadap
laporan guru tentang anak mereka sedangkan guru umumnya khawatir
terhadap reaksi negatif dari para orang tua. Pertemuan orang tua guru,
hendaknya dipandang oleh kedua belah pihak sebagai wahana untuk
membangun anak. Dengan melakukan koordinasi berbagai upaya,
orang tua guru dapat bekerja sama untuk membantu anak mencapai
kemajuan.
Dalam menyelenggarakan sutu pertemuan, guru hendaknya
berusaha meyakinkan orang tua bahwa mereka akan diajak
berkomunikasi dalam hubungan antarmanusia, bukan hubungan
dengan sistem yang impersonal. Guru hendaknya memperlihatkan
perhatian mereka terhadap anak dan penghargaan terhadap orang tua,
dan

bukan

memperlihatkan

24

kesombongan.

Berbagai

kesulitan

hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan menghindari istilahistilah teknis. Para orang tua umumnya ingin memahami sifat masalah,
dank arena itu data diagnostic dan pendekatan pembelajaran yang
digunakan hendaknya dijelaskan kepaa orang tua. Para orang tua
hendaknya juga dibantu untuk menjadi peka terhadap berbagai
kesulitan yang dihadapi oleh anak mereka di sekolah.
Para orang tua umumnya ingin mengetahui tentang bantuan yang
dapat mereka berikan kepada anak di rumah. Ada berbagai aktivitas
yang menurut Mercer (1979: 102) dapat dikerjakan oleh orang tua di
rumah untuk membantu anak, yaitu (1) melakukan observasi perilaku
anak, (2) memperbaiki perilaku anak, (3) mengajar anak.
Orang tua mempunyai lebih banyak waktu untuk bergaul dengan
anak sehingga mereka dapat lebih leluasa untuk melakukan observasi
perilaku anak bila dibandingkan dengan guru, dokter, atau konselor.
Oleh

karena

itu,

melatih

orang

tua

untuk mengembangkan

keterampilan melakukan observasi perilaku anak merupakan kegiatan
yang sangat bermanfaat bagi upaya membantu anak berkesulitan
belajar. Hasil observasi orang tua dapat dilaporkan kepada guru, dokter
atau konselor sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi
masalah kesulitan belajar anak. Adapun perilaku anak yang perlu
diobservasi oleh orang tua antara lain adalah berkaitan dengan
kemampuan anak bermain bersama kakak atau adiknya, jenis
permainan yang disukai, kebiasaan makan,kebiasaan tidur, dan benda
atau peristiwa yang ditakuti anak.
Anak berkesulitan belajar sering memperlihatkan banyak masalah
perilaku. Beberapa masalah perilaku yang paling umum adalah
hiperaktivitas,

kecanggungan

dan

emosi

yang

labil.

Untuk

memperbaiki perilaku tersebut, orang tua dapat mengikuti petunjukpetunjuk yang diberikan oleh guru bagi anak berkesulitan belajar,
dokter, atau psikolog. Dengan demikian, berbagai upaya untuk

25

memperbaiki perilaku anak tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi
juga di rumah.
Masyarakat umumnya memandang bahwa tugas orang tua di
rumah adalah menanamkan kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam
lingkungan sosialnya. Orang tua diharapkan dapat mengajarkan kepada
anak tentang norma dan keterampilan sosial. Tetapi, mengenai
pelajaran akademik, ada dua macam pandangan. Pertama, pandangan
yang tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik
kepada anak. Kedua, pandangan yang menganjurkan agar orang tua
mengajarkan bidang akademik kepada anak di rumah. Pandangan yang
tidak memperbolehkan orang tua mengajarkan bidang akademik
kepada anak bertolak dari alasan (1) orang tua tidak memiliki
keterampilan mengajar yang esensial, (2) sering menimbulkan
ketegangan dan frustasi pada anak, (3) waktu anak untuk bermain
menjadi berkurang, dan (4) orang tua mungkin akan merasa bersalah
jika tidak memiliki waktu untuk mengajar anak. Pandangan yang
menganjurkan agar orang tua mengajarkan bidang akademik kepada
anak bertolak dari alasan bahwa (1) jika mendapat latihan orang tua
dapat berfungsi sebagai guru di rumah, dan (2) orang tua menjadi
pelengkap bagi pembelajaran di sekolah.
Perlu tidaknya orang tua menjadi guru bagi anak mereka di rumah
tergantung pada berbagai keadaan. Jika orang tua mampu menjalin
hubungan yang baik dengan anak, menguasai bahan pelajaran dan
metode pengajarannya, dan memiliki waktu untuk mengajar, ada
baiknya orang tua menjadi guru bagi anak mereka di rumah. Tetapi,
jika orang tua menjadi tegang, frustasi, kecewa, atau tidak sabar pada
saat mengajar, orang tua semacam ini sebaiknya tidak menajadi guru
bagi anak mereka di rumah. Beberapa pertimbangan lain untuk
memutuskan apakah orang tua perlu mengajarkan bidang akademik
kepada anak di rumah adalah kemungkinan waktu anak untuk bermain
menjadi berkurang, kemungkinan menimbulkan perasaan iri pada

26

anaknya

yang

lain,

dan

apakah

pengajaran

tersebut

dapat

menyenangkan anak atau tidak.
3. Program Bimbingan dan Latihan Bagi Orang Tua
Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah
telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi
orang tua di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas.
Berikut ini akan dikemukakan program bimbingan dan program latihan
bagi orang tua.
a. Program Bimbingan bagi Orang Tua
Menurut McDowell (Mercer, 1979: 100), ada dua macam
pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu
pendekatan

informasional

dan

pendekatan

Pendekatan

informasional

menekankan

psikoterapetik.

pada

penyediaan

pengetahuan bagi orang tua tentang kesulitan belajar. Mercer
mengemukakan contoh pendekatan ini dengan suatu pertemuan
berangkai

yang

diselenggarakan

oleh

McWirter.

Sekolah

menyelenggarakan suatu rangkaian pertemuan bagi orang tua anak
berkesulitan belajar dan kepada mereka diberikan informasi
tentang

anak

berkesulitan

menanggulanginya.

Hasil

belajar
penelitian

dan

latihan

untuk

menunjukkan

bahwa

pertemuan-pertemuan semacam itu sangat berharga bagi orang tua.
Pendekatan psikoterapetik memusatkan perhatian pada usaha
membantu orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan
emosional yang disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow
seperti dikutip oleh Mercer (1979: 104) ada beberapa macam
strategi pemberian bantuan bagi anak berkesulitan belajar seperti
dikemukakan berikut ini.
-

Hanya intervensi pendidikan. Strategi ini ditujukan kepada
anak berkesulitan belajar tanpa gangguan emosional, yang
memiliki keluarga stabil dan harmonis.

27

-

Hanya terapi individual. Strategi ini ditujukan kepada anak
berkesulitan belajar yang orang tuanya memiliki gangguan
yang sulit disembuhkan seperti orang tua yang pecandu obat
bius, peminum alcohol, psikotik, atau yang menolak anak.

-

Bimbingan kelompok orang tua. Strategi ini untuk orang tua
yang baik, yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari
pertemuan-pertemuan kelompok yang berupaya memecahkan
masalah kesulitan belajar anak-anak mereka.

-

Terapi individual dan tutorial. Strategi ini untuk anak
berkesulitan belajar yang membutuhkan intervensi akademik
yang sistematik dan orang tuanya memiliki gangguan yang
sulit disembuhkan.

-

Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi
yang berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian terapi
kepada anak dan orang tua secara bersamaan dapat
menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekan.

-

Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi
yang sama. Strategi ini tepat digunakan jika orang tua dan anak
dapat menjalin interaksi koperatif.

-

Terapi keluarga yang terdiri dari anak, orang tua, dan saudarasaudara kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi keluarga
yang dapat memecahkan masalah dengan menciptakan
lingkungan sosial yang saling menunjang atau koperatif.

-

Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi yang
cenderung

menekankan

pada

peran

orang

tua

dalam

memecahkan masalah emosional anak, yang memandang perlu
adanya perbaikan keseluruhan lingkungan keluarga.
b. Program Latihan bagi Orang Tua
Program ini ditujukan kepada orang tua untuk memperoleh
keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak
secara efektif di rumah. Menurut McDowell seperti dikutip oleh

28

Mercer (1979: 101) ada dua pendekatan dalam program latihan
bagi orang tua, yaitu (a) pendekatan komunikasi (communication
approach) dan (b) pendekatan keterlibatan (involvement approach).
Pendekatan komunikasi menekankan pada penyelenggaraan
komunikasi langsung antara orang tua dengan anak; sedangkan
pendekatan keterlibatan menekankan pada upaya pemecahan
masalah praktis melalui kerja sama kelompok.
Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip oleh Mercer (1979:
102) mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut “CGroup” yang membantu orang tua memecahkan masalah praktis
melalui kerja sama (collaboration), konsultasi (consultation),
klarifikasi (clarification), konfrontasi (confrontation), perhatian
dan

pengasuhan

(confidentiality),

dan

(concern

and

tanggung

jawab

caring),

kerahasiaan

(commitment)

pada

perubahan. Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk
menyajikan masalah-masalah praktis kepada kelompok dan
kemudian mereka mencoba memecahkan masalah sesuai dengan
saran yang dikemukakan oleh kelompok.
G. Masalah dan Dampak dari Anak Berkesulitan Belajar
Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul
sebagai akibat dari kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan
spesifikasi kesulitan itu. Namun demikian, secara umum perilaku
bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait
dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan
sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat
menimbulkan kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar.
Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugastugas perkembangan yang harus dicapainya.
Bagi keluarga, kondisi anak seperti itu dapat menimbulkan
kekhawatiran orang tua, apalagi jika orang tua tidak memahami masalah
yang dialami anaknya. Kekecewaan, perasaan, dan pikiran aneh bisa

29

muncul pada orang tua dan tak mustahil menimbulkan frustasi orang tua
atau keluarga.
Bagi penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan
belajar menimbulkan dampat terhadap perlunya penempatan dan
pelayanan khusus. Meskipun demikian penempatan dan pelayanan khusus
ini tidak berarti perlu penyelenggaraan kelas khusus bagi anak kesulitan
belajar. Penyelenggaraan kelas khusus akan membawa dampak kurang
baik karena anak tidak bisa berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman
sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan khusus tersebut akan
lebih baik jika diwujudkan dalam layanan semacam resource room,
dimana anak memperoleh layanan tanpa harus dipisahkan dari
kelompoknya. Dalam layanan semacam ini, perlu tersedia guru khusus
yang dapat memberikan layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana
anak tersebut ada. Melalui kegiatan bersama antara guru kelas dan guru
khusus tadi, rancangan layanan pendidikan dan psikologis dikembangkan.
Mengingat harapan tersebut di Indonesia masih sulit diwujudkan,
maka hal yang paling mungkin ialah membekali para guru dan calon guru
sekolah

dasar

dengan

pengetahuan/keterampilan

membantu anak berkesulitan belajar.

30

memahami

dan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik
yang merujuk kepada keragaman kelompok yang mengalami
gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitankesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses
belajar.
 Anak berkesulitan belajar merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan
belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual,
memori, maupun ekspresif di dalam proses belajar.
B. Saran
Untuk pembaca khususnya calon guru jika ingin memahami lebih
dalam tentang pembahasan dalam makalah ini bisa membacanya dari
sumber lain yang lebih lengkap.

31

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis
dan
Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Somantri, T. Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama.
Pratiwi,

Ika

Uni.

Sistem

Layanan

Pendidikan

Anak.

(Online:

http://unimyspecialworld.blogspot.com). Tanggal: 26 Januari 2013

32