Zakat Tanaman dan Buah Buahan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bumi diciptakan oleh Allah, diciptakannya tumbuh-tumbuhan tanaman dan
ditanami, dan diberlakukan hukum-hukumnya yang paling besar oleh karena itu bumi
menjadi sumber utama kehidupan dan kesejahteraan jasmaniah manusia.
Firman Allah SWT, manusia hendaknya melihat makananya sungguh kami
curahkan hujan berlimpah-limpah kemudian kami belah bercelah lalu kami
tumbuhkan di dianya biji-bijian, Anggur, Sayur-sayuran, Zaitun dan Kurma, kebunebun

yang

penuh

pepohonan,

buah-buahan,

serta

rumput-rumputan,


yang

memganndung zat makan, obat-obatan, sari buah dan mengenal hal ini Allah
mengomentari khusus di dalam satu surat Al-quran an-nahl “lebah” yang oleh
sebahagian ulama menyebutkan surat an-na`am. Dan barang tentang yang di letakkan
dalam tanah dan manusia di ajarkan berbagai macam car untuk mengeluarkannya,
sehingga manusia dapat membuat dan membedakan emas, perak, tembaga, besi, timah.
Belerang, minyak bumi, ter, dan garam. Yang mencakup barang tambang cair atau
padat tidak di pungkiri lagi bahwa benda-benda ini berharga. Dan dibutukkan manusia
dalam kehidupannya, terutama di abad modern ini. Dan penghasilan yang paling
menyolok pada zaman sekarang ini adalahg apa yang di peroleh dari pekerjaan dan
propetinya supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan hak-haknya.
Betul-betul semua yang ditimbulkan dan dikeluarkan dari dalam bumi itu
merupakan karunia dan hasil karya AllahSWT. Bukan hasil tangan manusia yang
pendek ini Dialah yang sesungguhnya menjadikan dan menumbuhkan bukan kita.
Oleh karena itu pantaslah Allah meminta kita agar berterima kasih atas nikmat yang
dikaruniakan.
Bukti terimakasih itu yang paling jelas adalah membayar bukti sebagai
pembayaran sebagian hak-haknya.


1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kefardhuan zakat tanaman, buah-buahan, dan sebab ke fardhuannya?
2. Apa saja syarat zakat tanaman dan buah-buahan?
3. Apa saja tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya?
4. Bagaimana pengumpulan antara sebagian hasil panen dan bagian yang lainnya?
5. Bagaimana hukum zakat buah-buahan dari tanah wakaf?
6. Bagaimana hukum zakat pada tanah sewaan?
7. Bagaimana hukum zakat atas tanah berpajak (Al-kharajiyyah)?
8. Bagaimanakah Al-Asyir dan kewajiban membayar pajak sedekah?
9. Bagaimanakah tentang hal-hal yang mengenai pembayaran dan pengguguran
zakat?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui kefardhuan zakat tanaman, buah-buahan, dan sebab ke
fardhuannya
2. Untuk mengetahui syarat zakat tanaman dan buah-buahan
3. Untuk mengetahui tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya
4. Untuk mengetahui pengumpulan antara sebagian hasil panen dan bagian yang

lainnya
5. Untuk mengetahui hukum zakat buah-buahan dari tanah wakaf
6. Untuk mengetahui hukum zakat pada tanah sewaan
7. Untuk mengetahui hukum zakat atas tanah berpajak (Al-kharajiyyah)
8. Untuk mengetahui Al-Asyir dan kewajiban membayar pajak sedekah
9. Untuk mengetahui tentang hal-hal yang mengenai pembayaran dan pengguguran
zakat

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kefarduan Zakat Tanaman, Buah-buahan, dan Sebab Kefarduannya
Zakat tanaman hukumnya wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, sunnah,
ijma’, dan akal. Dalil yang diambil dari Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam QS,
Al-Baqarah: (2): 267:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.”
Dalam ayat tersebut, zakat dinamakan juga dengan nafkah. Dan berfirman

Allah SWT dalam surat Al-An’am (6): 141
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya..”
Ibnu Abbas mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan “haknya” ialah zakat
yang diwajibkan. Katanya lagi: “Sepersepuluh atau seper-duapuluh.”1
Adapun dalil yang diambil dari sunnah ialah sabda Nabi Muhammad SAW:

‫قفتاَلسماَرء وال يعيممو م‬
‫ن ع مث مرفي يمماَ ال يعم ي‬
َ‫ممما‬
‫س م‬
‫ن أوي ك ممماَ م‬
‫م رر ي ر‬
‫ماَ م‬
‫ُ ومففي ي م‬,‫شممرر‬
‫س م‬
‫ففي ي م‬

‫ف ال يعر ي‬
‫س ر‬
‫س ف‬
‫ي فباَ الن س ي‬
‫ضفح ن ف ي‬
‫ر‬
‫ق م‬
‫شرف‬

“Dalam tanaman yang diairi (oleh air hujan) dari langit dan sumber air, atau
tanaman al-atsary terdapat kewajiban sepersepuluh.”
Al-Atsariy ialah tanaman yang disiram oleh air hujan, atau tanaman yang akarnya
menghisap mata air dari sumber air yang dekat dengannya sehingga tak perlu lagi
disiram.Adapun dalam tanaman yang diairi melalui pematangan (dengan usaha dan

biaya sendiri) terdapat kewajiban seperduapuluh.

‫م‬
‫ُ ال يعر ر‬:‫م‬
‫س س‬

‫ساَن في مةف‬
‫س ف‬
‫ق ف‬
‫ي فباَل س‬
‫ماَ ر‬
‫ماَ م‬
‫ُ ومففي ي م‬,‫شويرر‬
‫ت ايلن يمهاَرف موال يغمي ي ر‬
‫ففي ي م‬
‫ق م‬
‫ف ال يعر ر‬
‫ص ر‬
‫نف ي‬
‫شويرف‬

“Dalam tanaman yang diari oleh sungai atau hujan terdapat kewajiban sepersepuluh.
Sedangkan dalam tanaman yang diari melalui saniyah terdapat kewajiban
seperduapuluh”
Al-Saniyah yaitu unta yang dipakai untuk mengamngkut air dari sebuah
sumur.Mengenai dalil dari ijma’ adalah bahwa umat telah sepakat atas kefardhuan


1Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, Penerjemah: Mahyudin Syaf, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), cet. Ke-8,
hal.42.

3

sepersepuluh. Adapun dalil ‘aqli-nya adalah; mengeluarkan kewajiban sepersepulh
kepada kaum fakir merupakan salah satu upaya mensyukuri nikmat, menguatkan
orang yang lemah, membuatnya mampu menunaikan kewajiban, dan merupakan salah
satu upaya penyucian dan pembersihan diri dari dosa. Hal-hal diatas, baik secara akal
maupun secara syari’at, merupakan sebuah keharusan.
Diwajibkannya zakat ini adalah, karena tanah yang ditanami merupakan tanah
yang bisa berkembang, yakni dengan tanaman yang tumbuh darinya. Ada kewajiban
yang harus dikeluarkan darinya, baik kewajiban sepersepuluh maupun kewajiban
pajak. Seandainya tanaman diserang oleh hama sehingga rusak, maka tidak ada
kewajiban sepersepuluh (bagi tanah usyriyyah) atau kewajiban pajak (bagi tanah
kharajiyyah), karena tanah tersebut tidak berkembang dan tanamannya rusak.
Apabila suatu tanah ‘ushriyyah yang bisa ditanami tidak ditanami, didalamnya
tidak ada kewajiban sepersepuluh, sebab darinya tidak ada tanaman yang tumbuh.
Tetapi, apabila tanah yang tidak ditanami tersebut merupakan tanah


kharajiyyah

(berpajak), didalamnya tetap ada kewajiban pajak karena diperkirakan (taqdiri) ada
tanaman yang tumbuh darinya.2
B. Syarat-Syarat Zakat Tanaman, Buah-buahan dan Biji-bijian
Dalam setiap zakat, terdapat beberapa syarat yang umum, diantara syarat yang
umum itu misalnya baligh dan berakal. Dengan demikian menurut Madzhab Hanafi,
zakat tidak diwajibkan terhadap harta anak kecil dan orang gila, kecuali zakat tanaman
yang tumbuh dari dalam tanah. Syarat yang lain ialah Islam. Atas dasar ini, zakat tidak
diwajibkan atas orang kafir, sebab dalam zakat terkandung makna ibadah. Sedangkan
orang kafir tidak termasuk orang yang mendapatkan taklif ibadah.
Selain itu, ada beberapa syarat khusus yang akan diperinci tiap-tiap
madzhabnya.
Madzhab Hanafi berpendapat, selain beberapa syarat yang umum itu, masih
ada beberapa persyaratan yang lainnya, diantaranya:
1. Tanah yang ditanami merupakan tanah ‘usyriyyah. Dengan demikian, zakat tidak
diwajibkan atas tanah yang tumbuh di tanah kharajiyyah (tanah berpajak) karena
menurut madzhab ini, tanah ‘usyriyyah dan tanah kharajiyyah tidak terjadi secara
bersamaan.

2. Adanya tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut. Dengan demikian, jika tanah
yang ditanami tidak menumbuhkan tanaman, didalamnya tidak ada kewajiban
2Wahbah Al-Zuhayly, Zakat; Kajian Berbagai Mazhab, Penerjemah: Agus Efendi dan Bahruddin Fananny,
(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2005), cet. Ke-6, hal.180-183.

4

sepersepuluh, sebab yang wajib dikeluarkan adalah tanaman yang tumbuh dari
dalam tanah.
3. Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah tanaman yang sengaja ditanam oleh
pemiliknya, dan dikehendaki pembuahannya. Dengan demikian, zakat tidak
diwajibkan atas tanaman yang hanya menghasilkan kayu bakar, rerumputan dan
sejenisnya. Alasannya karena, kedua tumbuhan tersebut tidak membuat tanah
berkembang, justru malah merusaknya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa nisab tidak menjadi syarat wajib zakat
sepersepuluh. Oleh sebab itu, zakat sepersepuluh tetap diwajibkan, baik dalam
tanaman yang banyak maupun tanaman yang sedikit.
Madzhab Maliki mengajukan dua persyaratan tambahan, yaitu:
1. Yang tumbuh dari tanah tersebut adalah biji-bijian dan tsamrah (seperti; kurma,
anggur, zaitun). Zakat tidak diwajibkan atas fakihah (seperti: buah apel dan

delima); begitu pula sayur mayur, baik tanaman itu ditanam ditanah kharajiyyah
maupun selainnya. Contoh tanah kharajiyyah adalah tanah mesir dan Syiria yang
ditakhlukkan denga kekerasan, sedangkan contoh tanah selain kharajiyyah adalah
tanah perdamaian yang penduduknya masuk Islam, atau tanah yang mati. Pajak
yang diambil dari tanah kharajiyyah tidak menggugurkan kewajiban zakat.
2. Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai satu nisab, yakni 5 wasaq
(653 kg). Satu wasaq sama dengan 60 sha’, sedangkan satu sha’ sama dengan 4
mudd dengan ukuran mudd Rasulullah SAW, yakni 12 qinthar Andalusia.
Madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab yang dianut oleh mayoritas
masyarakat di indonesia menambahkan tiga syarat tambahan, yaitu:
1. Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut merupakan tanaman yang menjadi
makanan yang mengenyangkan, bisa disimpan, dan ditanam oleh manusia,
misalnya (dari kelompok biji-bijian); biji gandum (hinthah), gandum, tembakau,
jagung, beras, dan yang semacamnya. Dari kelompok buah-buahan, contohnya
ialah kurma dan anggur. Zakat tidak diwajibkan dalam sayur mayur dan fakihah,
seperti mentimun, semangka, buah delima, dan rebung.3
Adapun dalil yang menunjukkan kewajiban mengeluarkan zakat kurma dan
anggur adalah :

‫م‬

‫ع من ع متاَبب ر‬
‫سمموي ر‬
‫ل‬
‫ممر مر ر‬
‫نأ م‬
‫ُ أ م‬:‫سييدْ رضي الله عنه قاَل‬
‫ي س في ف‬
‫لله صسلىَّ الله ع مل ميه وسل س م‬
َ‫ممما‬
‫ن ير ي‬
‫ص يالعممنمم ر‬
‫مأ س‬
‫ب كم م‬
‫ي ف م م م‬
‫خمر م‬
‫ف م‬

3Ibid. H. 184

5

‫خ ر‬
‫ة‬
‫ممماَ ت رؤ ي م‬
‫ل ومت رؤ ي م‬
‫ص ال ين م ي‬
‫ير ي‬
‫صممدْ مقم ر‬
‫ه مزب في يبباَ ك م م‬
‫خذ ر زك ماَ مت ر ر‬
‫خذ ر م‬
‫خمر م‬
(‫مبرا )رواه ابو داود‬
‫يالن س ي‬
‫ل تم ي‬
‫خ ف‬

“Dari Attab bin Usaid RA ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan agar
menaksir (memperkirakan jumlah) buah anggur sepert menaksir buah kurma,
kemudian zakatnya dikeluarkan dalam wujud anggur kering, seperti zakat kurma

yang juga diambilkan dari kurma kering.” (HR. Abu Dawud)4
2. Tanaman tersebut telah mencapai nisab yang sempurna, yakni 5 wasaq, sekitar
1.600 rithl Baghdad, atau menurut ukuran Damaskus yang paling shahih 342,6/ 7
rithl, sekitar 653 kg.
3. Tanah tersebut merupakan tanah yang dimiliki oleh orang tertentu. Dengan
demikian, menurut pendapat yang shahih, zakat sepersepuluh tidak wajib atas
tanah yang diwaqafkan untuk masjid-masjid, sebab tanah tersebut tidak dimiliki
oleh orang tertentu. Pohon kurma yang tumbuh di padang pasir tidak wajib
dizakati, karena pohon tersebut tidak dimiliki oleh orang yang tertentu.
Madzhab Hambali menambahkan tiga syarat, diantaranya yaitu:
1. Tanaman tersebut tidak disimpan, bertahan lama, bisa ditakar, bisa dikeringkan
(dua hal terakhir adalah untu buah-buahan dan biji-bijian), dan ditanami oleh
manusia. Tanaman tersebut boleh jadi berupa makanan yang mengenyangkan,
misalnya biji-bijian, berupa tanaman sebangsa kapas seperti, kacang adas, kacang
kedelai, dan kacang tanah, semacam jintan putih dan biji mentimun atau semacam
biji sayur mayur, seperti biji lobak, biji buah yang pahit, dan semua jenis bijibijian.
Zakat juga diwajibkan dalam buah-buahan yang memiliki sifat-sifat diatas,
misalnya kurma, gandum, buah badam, buah bunduk. Adapun fakihah tidak wajib
dikeluarkan zakatnya, misalnya buah kayu, buah alpukat, dan buah apel. Begitu
juga, zakat tidak diwajibkan dalam sayur-mayur, misalnya mentimun, terung,
bengkuang, dan wortel.
2. Tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai nisab, yakni 5 wasaq. Untuk
biji-bijian, zakatnya dikeluarkan setelah ia dibersihkan. Dan untuk buah-buahan
zakatnya dikeluarkan setelah ia di keringkan. Lima wasaq sama dengan 1438,4 / 7
rithl Mesir, sama dengan 50 kaylah atau sama dengan 4 ardab. 1 ardab Mesir
sama dengan 128 liter air atau 96 qadh (mangkuk besar).
3. Tanaman yang telah mencapai nisab itu dimiliki oleh seorang yang merdeka dan
Muslim pada waktu zakat diwajibkan, yakni pada waktu biji-bijian telah padat
4Musthafa Daib Al-Bigha, Tadzhib; Kompilasi Hukum Islam Ala Madzhab Syafi’i, Penerjemah: Fadil Sa’id AnNadwi, (Surabaya: Al-Hidayah, 2008), cet. Ke-1, hal.227

6

dan buah-buahan telah layak dimakan. Dengan demikian, zakat diwajibkan dalam
tanaman yang tumbuh dengan sendirinya, tetapi ia merupakan tanaman yang biasa
ditanam manusia. Contohnya biji yang jatuh ketanah, kemudian tumbuh dengan
sendirinya. Alasan pewajiban zakat dalam tanaman ini adalah, karena ia telah
dimiliki ketika zakat diwajibkan. Kegiatan penanaman tidak termasuk syarat.
Tanaman hasil temuan tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Zakat juga
tidak diwajibkan atas orang yang diberi atau membeli buah-buahan yang sudah
layah makan, orang yang sudah memperolehnya sebagai upah penuaian, atau
penginjakan, dan pembersihan buah-buahan.
Orang yang memiliki tanaman atau buah-buahan yang layak makan yang
diperoleh dari pembelian, warisan, mahar khulu’, penyewaan, atau upah “damai”,
tidak wajib mengeluarkan zakatnya, sebab, dia tidak memiliki harta tersebut ketika
zakat diwajibkan.
Buah-buahan yang di petik dari tanah yang mubah tidak wajib dikeluarkan
zakatnya, baik tanaman tersebut tumbuh dari tanah yang dimiliki oleh diri sendiri,
maupun benihnya diambil dari tanah yang mati sebab buah-buahan tersebut tidak bisa
dimiliki kecuali setelah diambil pada waktu zakat diwajibkan, buah-buahan tersebut
belum dimiliki.5
Tidak diambil zakat dari tanam-tanaman yang bukan ‘alas, sehingga dibuang
kulitnya dan disukat kemudian diambil padanya zakat apabila 5 wasaq maka diambil
zakat itu dari sya’ir tidak dikumpulkan sya’ir pada gandum tidak dikumpulkan sult
pada gandum dan tidak sya’ir dan padi kepada dukhun dan jagung.6
C. Tanaman yang Wajib Dikeluarakan Zakatnya
Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada
empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan
kismis (anggur kering).

‫ع من أ مبىَّ ب ررمدةَ ع من أ مبىَّ موسىَّ ال م‬
‫ي‬
َّ‫ى‬
‫ضمم‬
‫ر‬
‫ذ‬
َ‫عا‬
‫م‬
‫و‬
‫ى‬
‫ر‬
‫ع‬
‫ش‬
‫ف‬
‫ذ‬
‫م‬
‫م‬
‫ر م‬
‫ر‬
‫ي ف‬
‫ي ف‬
‫م‬
‫م‬
‫ى‬
‫ي‬
‫ف‬
‫م‬
‫م‬
‫سو م‬
-‫ل الله –صلىَّ الله عليممه وسمملم‬
‫ُ أ س‬: َ‫ما‬
‫ن مر ر‬
‫ه ع من يهر م‬
‫الل س ر‬
‫َ مفممأ ممرهر م‬،‫بعث مهممماَ إملممىَّ ال ييمممن يعل ىممماَن النمماَس‬
‫ن مل‬
‫م م ف رم م ف س‬
‫مأ ي‬
‫م م ي‬
‫م‬
‫مم ر م ف‬
‫ي‬
‫حن يط مةف موال س‬
‫خ ر‬
‫ب‬
‫ي مأ ر‬
‫ن ال ي ف‬
‫ذوا إ فل س ف‬
‫شفعيرف موالت س ي‬
‫مرف موالسزفبي ف‬
‫م م‬
5Ibid, hal. 183-186
6 Al-Imam Asy-Syafi’i ,Al-Umm jilid 2, (Kuala Lumpur: Victory Agenci, 1981), hal. 326.

7

“Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabalb radhiallahu
‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat
pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum
kasar), kurma, dan zabib (kismis).”(HR. Hakim dan Baihaqi)
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:

‫ة عم م‬
‫ن‬
‫صدْ مقم ر‬
‫ن أيرب مذع ف‬
‫ن ب فسر فممتمممر مفممإ ف ي‬
‫ن ال يب فىر فمإ ف ي‬
‫ن لم ي‬
‫ال س‬
‫م ي مك ر ي‬
‫م م‬
‫ي‬
‫ن زبيب فشعير‬
‫ن تمر فزبيب فمإ ف ي‬
‫ن لم ي‬
‫لم ي‬
‫م ي مك ر ي‬
‫م ي مك ر ي‬
“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada
maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka
sya’ir (gandum kasar).”(HR. Ibn Abi Syaibah)
Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul
Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,

‫ة في الحنطة والتمر والزبيب‬
‫صدْ مقم ف‬
‫إ فن س م‬
‫ماَ ال س‬
“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).” (HR.
Mushannaf Ibn Abi Syaibah)
Kedua, Jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman
lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih
pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada
segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayursayuran.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada
pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.
Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang dapat disimpan dan ditakar.
8

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang dapat disimpan.7
Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah
adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,

‫م‬
‫ه ك مت م م م‬
-‫صلىَّ الله عليه وسمملم‬- َّ‫ى‬
‫ممعاَذ ذ أن س ر‬
‫ن ر‬
‫عم ي‬
‫ب إ فلىَّ الن سب ف ى‬
‫م‬
‫قمماَ م‬
‫قممو ر‬
‫س‬
‫ل فم م‬
‫ىَّ ال يب ر ر‬
‫ن ال ي ر‬
‫ضمممرموا ف‬
‫خ ي‬
‫يم ي‬
‫سأل ر ر‬
‫ل » ل مي يمم م‬
‫ت ومه فمم م‬
‫ه عم ف‬
‫ففيمهاَ م‬
‫ىَّءْء‬
‫ش ي‬
Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.

‫ة بن يحيىَّ ع من أ مبىَّ بردةَ م ع م م‬
‫ممعاَذ ف‬
‫ي ف ري م‬
‫ح م ي ف م ي م‬
‫ن ط مل ي م‬
‫مو م‬
‫سىَّ وم ر‬
‫ن أفبىَّ ر‬
‫ي‬
‫عم ي‬
‫م‬
‫سو م‬
– ‫ل الل سهف‬
‫ُ أ س‬: ‫ل‬
‫ن م‬
‫ن مر ر‬
‫جب م ذ‬
‫بي ف‬
‫ بعث مهممماَ إل مممىَّ ال ييمممن فمأ م‬-‫صلىَّ اللممه عليهوسمملم‬
‫م‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ر‬
‫م‬
‫ر‬
‫ممماَ أ ي‬
‫م م م‬
‫مم ر م ف‬
‫م م ف‬
‫م‬
‫ْوممقاَ م‬.‫م‬
ُ: ‫ل‬
‫ممر فدين مهف ي‬
‫سأ ي‬
‫ي رعمل ى م‬
‫ماَ السناَ م‬
‫» ل م تأ ي‬
‫ف ال م‬
‫من يهذ فهف ال م‬
‫س‬
‫م‬
‫س‬
‫م‬
‫ر‬
‫عي‬
‫ش‬
‫ال‬
‫ة‬
‫ع‬
‫ب‬
‫ر‬
َ‫نا‬
‫ص‬
‫ل‬
‫إ‬
‫ة‬
‫ق‬
ْ‫د‬
‫ص‬
‫ال‬
َّ‫فى‬
‫ذا‬
‫خ‬
‫ر‬
‫ف‬
‫ف‬
‫م‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫ف‬
‫م‬
‫ي‬
‫م‬
‫س‬
‫ي‬
‫ف‬
‫ف‬
ْ.« ‫مرف‬
‫موال ي ف‬
‫ب موالت س ي‬
‫حن يط مةف موالسزفبي ف‬
"Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke
Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau
bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar,
gandum halus, kismis dan kurma.”(HR. Al Baihaqi)
Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh
tanaman. Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil

7Loc.cit. hal. 46

9

pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua
alasan berikut:
1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayursayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa
disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran
tidaklah memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada
pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti
saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat
‘illah suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.8
Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum,
kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu
kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat
diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong yang
memiliki ‘illah yang sama.9

D. Pengumpulan antara Sebagian Hasil Panen dengan Bagian yang lain
Semua orang sepakat bahwa barang yang hendak dikeluarkan zakatnya, diluar
biji-bijian dan buah-buahan tidak dapat dicampurkan antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya agar mencapai nisabnya. Mereka juga sepakat bahwa barang-barang
dagangan boleh dicampurkan dan dihitung bersama uang atau sebaliknya. Hanya saja
syafi’ berpendapat bahwa uang itu tidak dapat dicampurkan dengan barang dagangan
kecuali dia telah dibelikan sesuatu yang sesuai harganya dengan barang dagangan itu
karena nisabnya dikategorikan sebagai nisab barang tersebut.
Mazhab Hanafi dan Syafi’i mengatakan, “satu jenis barang tidak boleh
digabungkan dengan jenis yang lain. Setiap jenis ada nisabnya masing-masing.
Karena barang-barang tersebut memiliki berbagai jenis timbangan, setiap jenis barang
8Ibid, hal. 47
9Loc.cit , Musthafa Daib Al-Bigha, hal. 241

10

itu ada nisabnya sendir-sendiri, seperti buah-buahan dan binatang ternak. Akan tetapi,
Abu Hanifah memberi catatan bahwa kewajiban zakat telah dikenakan atas segala
yang dikeluarkan dari bumi, tanpa harus menunggu nisabnya, dan pada gilirannya
tidak apa-apa bila kita menggabungkan antara yang satu jenis dengan jenis yang lain.
Mazhab Maliki dan Hanbali mengatakan, “Sesungguhnya hinthah (salah satu
jenis gandum) adalah termasuk sya’ir (gandum) juga. Begitu pula halnya dengan
kacang-kacangan, masing-masing dapat digabungkan dengan yang lain karena
semuanya adalah bahan pokok makanan. Semuanya dapat digabungkan seperti yang
berlaku di pelbagai jenis gandum (ada yang hinthah,qamh,sya’ir, dan burr). Mazhab
Malikik mengatakan, “Yang termasuk kacang-kacangan tu ada tujuh macam: kacang
polong, kacang tanah, kacang merah, kacang hijau, kacang adas, al-turmus, al-julban
dan al-basilah. Masing-masing dapat digabungkan antara yang satu dan yang lain
karena masih sejenis dalam zakat.
Tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan minyak ada 4 macam yaitu:
zaiitun, wijen, biji lobak merah, bunga tinta. Empat macam jenis tanaman yang
menjadi bahan minyak ini tidak dapat digabungkan satu sama lain.
Mazhab Syafi’i mengatakan, “salah satu jenis tanaman tidak bisa
disempurnakan oleh jenis tanaman yang lainnya. Setiap jenis mesti dikeluarkan
zakatnya secara terpisah karena tidak akan ada kesulitan di dalam melakukan
pengeluaran zakat dengan cara demikian. Berbeda dengan binatang ternak. Yang
paling benar adalah setiap macam dan setiap jenis tanaman dikeluarkan zakatnya
sendiri-sendiri, asal masih ada harga dan nilainya. Satu bagian jenis tanaman tidak
bisa diambil untuk digabungkan dengan bagian jenis yang lain karena tidak ada
kesulitan di dalam melakukannya. Jika misalnya tanaman itu banyak sekali dan
masing-masing jenis hasilnya tidak besar sehingga menyulitkan pemiliknya untuk
mengeluarkan zakat, hendaklah dia mnegeluarkan zakatnya dengan cara yang
seimbang, tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit agar dapat menjangkau bagian
yang atas dan bagian yang bawah.
Ibn Qudamah yang bermazhab Hanbali mengatakan, “ yang paling benar
menurut Qadhi Abu Ya’la mengenai tiga riwayat yang berasal dari Ahmad ialah
bahwasannya hinthah dapat digabungkan dengan syar’i dan kacang-kacangan dapat
digabungkan satu dengan yang lainnya. Begitu pula halnya penggabungan emas dan
11

perak. Pemilik tanaman juga diperbolehkan menggabungkan satu dengan lainnya
antara hasil panen padi-padian dan buah-buahan yang berbeda masa panennya dalam
satu tahun untuk menyempurnakan nishabnya, sebagaimana yang berlaku pada zakat
binatang ternak, emas, perak.”
Sult bisa digabungkan dengan syar’i, isl dengan hinthah karena semuanya
berasal dari satu jenis.
Tanaman yang berada dalam satu tahun yang sama atau buah-buahan yang
dipanen dalam tahun yang sama boleh digabungkan antara yang satu bagian dengan
bagian yang lain untuk menyempurnakan nishabnya, meskipun masa tanam, matang,
dan masa panennya berbeda, atau bahkan waktu muncul buahnya kematangannya
sama sekali berbeda.
Al-Bhuti didalam buku Al-Kasysyaf Al-Qanna’ mengatakan, “padi-padian dan
buah-buahan yang dipetik hasilnya dalam satu tahun dapat digabungkan, tetapi tidak
boleh menggabungkan berbagai macam jenis, misalnya menggabungkan burr dan
sya’ir atau jagung atau kacang addas, dan sebagainya. Karena yang disebutkan hal-hla
yang disebutkan trakhir itu merupakan berbagai macam jenis yang dapat dibedakan
satu sama lain sehingga tidak dapat digabungkan antara satu dengan lainnya, seperti
menggabungkan antara berbagai jenis buah-buahan dan berbagai jenis binatang
ternak. Mengkiaskan penggabungan ‘Ils dengan hinthah juga tidak dibenarkan karena
‘Ils adalah salah satu termasuk bagian hinthah. Uang juga tidak dapat digabungkan
dengan emas dan perak, begitu juga sebaliknya. Padi-padian tidak boleh dikumpulkan
bersama buah-buahan atau binatang ternak karena pada dasarnya mereka adalah jenisjenis yang berbeda, kecuali apabila semua jenis itu termasuk barang dagangan
sehingga semua dapat dikalkulasikan berdasarkan nilai tukar daerah masing-masing
(uang). Inilah hasil Ijtihad madzhab Hanbali yang disepakati oleh madzhab-madzhab
lainnya.
E. Zakat Buah-buahan dari Tanah Wakaf
Ada dua pendapat fuqaha mengenai zakat buah-buahan yang diwakafkan,
dengan melihat apakah status kepemilikan tanah menjadi syarat atau tidak. Pendapat
pertama mewajibkan dikeluarkannya zakat dan pendapat kedua tidak mewajibkannya.

12

Madzhab Hanafi mengatakan, kepemilikan merupakan syarat diwajibkannya
zakat tersebut. Oleh karena itu, tanah tanah yang tidak ada pemiliknya yakni tanah
wakaf maka zakatnya adalah sepersepuluh berdasarkan cakupan firman Allah SWT :

   





























      

     

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu...” (QS. Al-Baqarah : 267)

   
“...dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya...” (QS. Al-An’am : 141)
Dan sabda Rasulullah SAW:
“Zakat tanaman yang disiram oleh tujuan adalah sepersepuluh, sedangkan yang
disiram dengan timba atau kincir air zakatnya seperdua puluh”
Karena sepersepuluh dikenakan atas sesuatu yang menghasilakan, dan bukan
atas tanah itu sendiri, kepemilikan tanah atau tidaknya berada pada satu kondisi dan
tidak menjadi syarat atas kewajiban mengeluarkan zakat.
Madzhab Maliki, sebagaimana madzhab Hanafi mengatakan, “Permberi wakaf
atau pengelolanya menanggung kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta wakaf
berupa emas dan perak yang dipinjamkan utnuk bagi hasil (qirath) jika dipinjamkan
waktu kepemilkannya telah berlangsung setahun, ataupun emas yang tidak
diwakafkan asal ia mencapai nishabnya karena pewakafan tidak menggugurkan
kewajiban mengeluarkan zakat atasnya setiap tahun. Hal ini sama dengan kewajiban
mengeluarkan zakat atas tanaman wakaf diatas tanah milik atau tanah sewaan, dan
sama dengan zakat binatang ternak yang diwakafkan yang selalu diambil susunya atau
bulunya atau binatang tunggangan yang dipakai untuk kendaraan. Jika binatang itu
13

beranak, anak-anaknya mengikuti induknya, meskipun semuanya itu diwakafkan
untuk mesjid, baik untuk orang fakir atau mukallaf, baik ditentukan atau tidak
jumlahnya dengan syarat pemiliknya masih memerah susunya, dan memelihara
sendiri. Jikalau pemelihara atau pemeiliknya tidak melakukan itu semuanya, dan telah
mengalihkan tanggung jawabnya kepada penerima wakaf sehingga penerima wakaf
itu menanami tanahnya atau memerah susu binatang ternak tersebut, penerima wakaf
yang berkewajiban mengeluarkan zakat jika tidak sampai pada nishabnya. Jika tidak
sampai pada nishabnya maka tidak wajib, selama dia tidak memiliki harta yang sejenis
dan tidak dapat digabungkan sehingga dapat mencapai nishabnya. Madzhab Syafi’im
mengatakan “Buah-buahan dan padi yang berasal dari tanah wakaf untuk masjid,
jembatan atau panti-panti, fakir miskin tidak wajib di zakatkan.
Akan tetapi Madzhab Hanbali padi-padian dan tanaman yang diwakafkan
untuk orang yang ditentukan wajib mengeluarkan zakatnya jika mencapai nishabnya
dan tidak wajib zakat atas tanah wakaf penerimanya apabila tidak di butuhkan atau
untuk masjid.
F. Zakat Tanah Sewaan
Ada dua pendapat fuqaha mengenai zakat tanah sewaan ini, apakah zakatnya
dibebankan kepada pihak yang menyewakan atau pihak penyewa.
Abu Hanifah mengatakan, “Zakat tanah sewaan dibebankan kepada orang yang
menyewakan karena dialah yang menanggung biaya atas tanah itu, misalnya biaya
untuk buruh dan pajak. Karena dia memperoleh uang sewanya, dia dianggap menanam
sendiri tanahnya.
Madzhab Maliki dab Syafi’i tidak sependapat dengan Abu Hanifah. Mereka
mengatakan, “Kewajiban zakat atas tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa
karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh, dan yang
menikmati hasil tanah itu adalah pihak penyewa. Oleh karena itu, pihak penyewa
dibebani untuk membayar zakat sebesar sepersepuluh, dan dia dianggap sebagai
peminjam (al-musta’ir). Akan tetapi, kita harus meminta fatwa imamdan
melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada. Bila kewajiban
atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin, pewajiban itu
mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama mutakhir.
Jumhur Ulama mengatakan, “Jika ada orang yang menyewa sebidang tanah,
lalu menanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanamminya dengan
14

tanaman yang berbuah maka hasil tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban
mengeluarkan zakat sepersepuluh dibebankan kepada penyewa atau orang yang
meminjamka tanah itu, bukan kepada pemiliknya karena sesungguhnya zakat
sepersepuluh itu diwajibkan atas tanaman, yang sebelumnya diagarap oleh pemiliknya
yang kini meminjamkan atau menyewakan.
G. Zakat atas Tanah Berpajak ( Al Khorojiyah )
Dalam ilmu fiqih tanah dapat di bedakan menjadi dua :
1. Al-usyriyah
2. Al-kharajiyah
Al-usyriyah adalah tanah yang wajib dikeluarkan

zakatnya sebesar

sepersepuluh, yang di dalamnya terkandung muatan makna ibadah. Tanah – tanah itu
adalah sebagai:10
1. Tanah arab yang membentang di kawasan al-Udzayd sampai keperbatasan yaman
dan aden. Karena Rasullulah SAW. Dan para sahabat setelahnya tidak pernah
mengambil pajak di ( al kharaj ) atas tanah tersebut.
2. Tanah yang penduduknya masuk islam dengan penuh kesadaran. Oleh karna itu,
tanah itu dianggap sebagai tanah islam.
3. Tanah yang di buka secara paksa dengan menundukan penduduknya dan di bagibagi sebgai tanah rampasan perang bagi kaum muslimin.
4. Tanah yang berada dalam kawasan kaum islam yang di pakai untuk kebun dan di
sirami air yang mengharuskan zakat sepersepuluh. Jika tanah itu disirami air yang
mengharuskan membayar zakat, tanah itu termasuk tanah pajak.
Adapun tanah mati yang di buka kaum musimin dengan izin imam, menurut
imam Hanafi dan maiki, sebagaimana yang dituturkan oleh qadhi abu yusuf adalah “
jika tanah itu termasuk tanah usyriyyah, tanah itu dikategorikan sebagai tanah
usyriyyah begitupun dengan tanah akharaj.
Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa tanah berpajak itu ada tiga macam :
1. Tanah yang dibuka oleh pasukan kaum muslimin dan tidak dibagikan kepada
mereka.
2. Tanah yang diberikan oleh pemiikinya karena takut kenapa pasukan muslim.
10 Loc.cit, Wabah al-zuhayly, hal. 208

15

3. Tanah yang diberikan oleh pemiliknya kepada kaum musimin dan di kenakan
pajak yang diwajibkan oleh imam.
Para fuqaha berseisih pendapat mengenai zakat tanah berpajak apabia dimiliki
oleh orang muslim: apakah kewajibanya hanya mengeluarkan pajak saja,ataukah dia
harus mengeluarkan secara bersamaan zakat dan pajak, ataukah pajaknya di gantikan
dengan zakat sebesar sepersepuluh ?
1. Madzhab Hanafi mengatakan : “ tanah berpajak hanya diwajibkan membayar
pajaknya saja tidak di wajibkan membayar zakat. pajak dan zakat sepersepuluh
tidak dapat terjadi daam satu tanah.
2. Tiga imam fiqh lainya mengatakan : tanah berpajak harus membayar zakat
sepersepuluh, di samping keharusan membayar pajaknya.

H. Al- ‘Asyir dan Kewajiban Membayar Pajak dan Sedekah
Al-Asyir adalah seorang yang diangkat oleh imam yang berkeiling untung

11

mengambil zakat pada para pedagang. Jika terjadi perbedaan pendapat antara dia dan
pedagang sehingga diantara mereka tidak mengakui bahwa harta kekayaan yang perlu
di zakati sudah sampai setahun ( al- hawl ), Atau hutang belum lunas sehingga dia
tidak berkewajibvan untuk zakat yang harus dijadikan pedoman yaitu pendirian
pedaganmg itu dengan sumpahnya.
Kadar yang diambil oleh al- asyir dari kaum muslim yaitu seperempat puluh,
dari al- dzimmiy seperdua puluh, sedangkan diri Al- Harbiyyun sepersepuluh. Hal ini
di dasarkan oleh riwayat Muhammad bin al-hasan dari ziyad bir yang mengatakan :
“Umar bin khattab mengutus kepada pemilik kurma untuk mengambil zakat, dia
memerintahkan

kepadaku

untuk

mengambil

zakat

dari

kekayaan

kaum

muslim,apabila mereka berselisih pendapat mengenai harta itu dan bercampur
dengan harta perdagangan yang lain, aku disiruh mengambil seperempat puluh dari
mereka. Dan di perintahkan dari dzimmiy seperduapuluh , dan dari harbiyun
sepersepuluh.
11 Ibid, hal 210

16

I. Pembayaran dan Penguguran Zakat
Dalam bab ini ada beberapasub pembahasan yang perlu kita kaji :
1. Rukun Mengeluarkan Zakat
Rukunya adalah kepemilikan, ini berdasarkan firman Alloh SWT:

   
“ Dan tunaikanlah haknya dihari memtik hasilnya” [ QS.Al-An’am (6):141 ]

    

   






   






















     

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihlebihan.”
Pelaksanaan

pemberian

zakat

dimulai

dengan

kepemilikan

yang

memperbolehkan untuk dikosumsi. Akan tetapi, bukan milik masjid yang lain. Firman
Alloh swt : “ ...dan tunaikanlah zakat “
2. Cara mengeluarkan zakat
Para ulama’ tidak berselisih pendapat bahwa bila harta yang hendak di
keluarkan zakatnya itu terdiri dari satu macam, zakatnya diambi dari macam barang
17

tersebut, baik atau buruk karana hak fakir miskin harus dilaksanakan sebijak mungkin
dan mereka harus kita anggap sebagai mitra kita.
Menurut Madzhab Hanbali dan Hanafi, kalau harta yang hendak dizakati itu
bermacam-macam , zakatnya harus diambil dari barang yang paling istimewa.
Sedangkan Syafi’i mengatakan semestinya zakat diambilkan dari semua jenis yang
ada: apabila sulit, diambilkan dari yang pertengahan. Yang jelas semua madzab
sepakat bahwasanya zakat tidak boleh diambilkan dari zenis yang paling jelek,
berdasarkan firman AllAh SWT:

    
     

“dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya”
( QS. Al-Baqarah (2): 267 )

   





























      

     

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.”
3. Waktu pengeluaran zakat
Zakat padi-padian tidak dikeluarkan kecuali setelah ia di bersiakan dari padipadian yang gagal dan tidak berisi: 12 dan buah-buahan di keluarkan zakatnya setelah
12 Op.cit, Al-Imam Asy-Syafi’i, hal 328

18

iya kering. Begitulah kesepakatan para ulama’ karna memang pada saat-saat itulah
semuanya sempurna dan layak untuk disimpan. Semua biaya itu menjadi tanggungan
sang pemilik tidak boleh diambilkan dariperhitungan zakat karna sesungguhnya zakat
buah-buahan sesungguhnya sama dengan zakat ternak.
4. Penentuan besar zakat buah-buahan dengan taksiran ( al kharsh )
Al- kharsh adalah taksiran, estimasi, penentuan berdasarkan dugaan orang
yang dilakukan oleh seorang yang dianggap adil dan sangat ahli.madhab Hanafi tiadak
sesuatuyang ghaib, masih bersifat dhanyy yangtidak mengandung hukum.13
Jumhur Ulama’ mengatakan “ Kita hanya disunnahkan menaksirkan buahbuahan ( anggur dan kurma ) dan tidak boleh menerapkan padaselain buah- buahan itu
misalnya zaitun.”
a. Keabsahan taksiran hanya seorang penaksir
Dengan seorang penaksir saja hasil taksiran sudah dianggap memnuhi syarat karna
nabi SAW pernah mengutus Abdulloh bin Rawahah, yang pernah mentaksir pohon
kurma tatkala buah kurma itu Nampak tua dan baik.
b. Syarat-syarat pentaksir
1. Adil dan dapat dipercaya
2. Medeka
3. Laki-laki
4. Profisional
c. Sifat penaksiran
Sifat penaksiran bergantung menjadi buah dan yang betung sepenuhnya kepada jenis
buah-buahan yang ditaksir. Jika yang ditaksir jika yang di taksir satu macam maka dia
harus berkeliling kepada setiap pohon yang berbuah itu dan mentaksir semua buah itu
yang sudah jadi buah dan yangb belum.

13 Op.cit, Sayyid Sabiq, hal.43

19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Zakat tanaman hukumnya wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, sunnah,
ijma’, dan akal. Diwajibkannya zakat ini adalah, karena tanah yang ditanami
merupakan tanah yang bisa berkembang. Apabila suatu tanah ‘ushriyyah yang bisa
ditanami tidak ditanami, didalamnya tidak ada kewajiban sepersepuluh.
Dalam setiap zakat, terdapat beberapa syarat yang umum, diantara syarat yang
umum itu misalnya baligh dan berakal. Selain itu, ada beberapa syarat khusus yang
akan diperinci tiap-tiap madzhabnya.
Madzhab Hanafi berpendapat, selain beberapa syarat yang umum itu, masih
ada beberapa persyaratan yang lainnya, diantaranya: Tanah yang ditanami merupakan
tanah ‘usyriyyah, adanya tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut, yang tumbuh dari
tanah tersebut adalah tanaman yang sengaja ditanam oleh pemiliknya, dan
dikehendaki pembuahannya.
Madzhab Maliki mengajukan dua persyaratan tambahan, yaitu: Yang tumbuh
dari tanah tersebut adalah biji-bijian dan tsamrah (seperti; kurma, anggur, zaitun),
tanaman yang tumbuh dari tanah tersebut mencapai satu nisab, yakni 5 wasaq (653
kg).
Madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab yang dianut oleh mayoritas
masyarakat di indonesia menambahkan tiga syarat tambahan, yaitu: Tanaman yang
tumbuh dari tanah tersebut merupakan tanaman yang menjadi makanan yang
mengenyangkan, bisa disimpan, dan ditanam oleh manusia, tanaman tersebut telah
mencapai nisab yang sempurna, tanah tersebut merupakan tanah yang dimiliki oleh
orang tertentu..
20

Madzhab Hambali menambahkan tiga syarat, diantaranya yaitu: Tanaman
tersebut tidak disimpan, bertahan lama, bisa ditakar, bisa dikeringkan (dua hal terakhir
adalah untu buah-buahan dan biji-bijian), dan ditanami oleh manusia, tanaman
tersebut boleh jadi berupa makanan yang mengenyangkan, misalnya biji-bijian, berupa
tanaman sebangsa kapas seperti, kacang adas, kacang kedelai, dan kacang tanah,
semacam jintan putih dan biji mentimun atau semacam biji sayur mayur, seperti biji
lobak, biji buah yang pahit, dan semua jenis biji-bijian, tanaman yang tumbuh dari
tanah tersebut mencapai nisab, yakni 5 wasaq, tanaman yang telah mencapai nisab itu
dimiliki oleh seorang yang merdeka dan Muslim pada waktu zakat diwajibkan.
Semua orang sepakat bahwa barang yang hendak dikeluarkan zakatnya, diluar
biji-bijian dan buah-buahan tidak dapat dicampurkan antara satu jenis dengan jenis
yang lainnya agar mencapai nisabnya. Mereka juga sepakat bahwa barang-barang
dagangan boleh dicampurkan dan dihitung bersama uang atau sebaliknya. Hanya saja
syafi’ berpendapat bahwa uang itu tidak dapat dicampurkan dengan barang dagangan
kecuali dia telah dibelikan sesuatu yang sesuai harganya dengan barang dagangan itu
karena nisabnya dikategorikan sebagai nisab barang tersebut.
Abu Hanifah mengatakan, “Zakat tanah sewaan dibebankan kepada orang yang
menyewakan karena dialah yang menanggung biaya atas tanah itu, karena dia
memperoleh uang sewanya, dia dianggap menanam sendiri tanahnya.
Madzhab Maliki dan Syafi’i tidak sependapat dengan Abu Hanifah. Mereka
mengatakan, “Kewajiban zakat atas tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa
karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh, dan yang
menikmati hasil tanah itu adalah pihak penyewa.
Jumhur Ulama mengatakan, “Jika ada orang yang menyewa sebidang tanah,
lalu menanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanamminya dengan
tanaman yang berbuah maka hasil tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban
mengeluarkan zakat sepersepuluh dibebankan kepada penyewa atau orang yang
meminjamka tanah itu, bukan kepada pemiliknya karena sesungguhnya zakat
sepersepuluh itu diwajibkan atas tanaman, yang sebelumnya diagarap oleh pemiliknya
yang kini meminjamkan atau menyewakan.

21