laporan praktikum titrasi asam basa (1)

Laporan Praktikum Kimia.Titrasi Asam Basa

Nama : Metry Septiany
Npm : F1B014030
Kelompok : 3

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
PRODI KIMIA
UNIVERSITAS BENGKULU
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Titrasi merupakan salah satu cara untuk menentukan konsentrasi larutan suatu zat dengan
cara mereaksikan larutan tersebut dengan zat lain yang diketahui konsentrasinya. Prinsip
dasar titrasi asam basa didasarkan pada reaksi nertalisasi asam basa.
Titik ekivalen pada titrasi asam basa adalah pada saat dimana sejumlah asam tepat di
netralkan oleh sejumlah basa. Selama titrasi berlangsung terjadi perubahan pH. pH pada titik
equivalen ditentukan oleh sejumlah garam yang dihasilkan dari netralisaasi asam basa.

Indikator yang digunakan pada titrasi asam basa adalah yang memiliki rentang pH dimana
titik equivalen berada. Pada umumnya titik equivalen tersebut sulit untuk diamati, yang
mudah dimatai adalah titik akhir yaang dapat terjadi sebelum atau sesudah titik equivalen
tercapai. Titrasi harus dihentikan pada saat titik akhir titrasi tercapai, yang ditandai dengan
perubahan warna indikator. Titik akhir titrasi tidak selalu berimpit dengan titik equivalen.
Dengan pemilihan indikator yang tepat, kita dapat memperkecil kesalahan titrasi.
Titrasi asam basa merupakan contoh analisis glumetri, yaitu suatu cara atau metode yang
menggunakan larutan yang disebut titran dan dilepaskan dari perangkat gelas yang disebut
buret. Titik dalam titrasi dimana titran yang telah ditambahkan cukup untuk bereaksi secara
tepat dengan senyawa yang ditentukan disebut titik ekivalen atau titik stoikhiometri, titik ini
sering ditandai dengan perubahan warna senyawa yang disebut indikator.
Berikut ini syarat-syarat yang diperlukan agar titrasi yang dilakukan berhasil :
1.

Konsentrasi titrasi harus diketahui. Larutan seperrti ini disebut larutan standar.

2.

Reaksi yang tepat antara titran dan senyawa yang dianalisis harus diketahui.


3.
Titik stoikhiometri atau titik ekivalen harus diketahui. Indikator yang memberikan
perubahan warna, atau sangat dekat pada titik ekivalen yang sering digunakan. Titik pada saat
indikator berubah warna disebut titik akhir.
4.
Volume titran yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalen harus diketahui setepat
mungkin.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menerapkan teknik titrasi untuk menganalisis contoh yang
mengandung asam.
2. Mahasiswa mampu menstandarisasi larutan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Titrasi asam basa sering disebut asidi-alkalimetri, sedang untuk titrasi pengukuran lain-lain
sering dipakai akhiran-ometri mengggantikan –imertri. Kata metri berasal dari bahasa yunani
yang berarti ilmu proses seni mengukur. I dan O dalam hubungan mengukur sama saja, yaitu
dengan atau dari (with or off). Akhiran I berasal dari kata latin dan O berasal dari kata

Yunani. Jadi asidimetri dapat diartikan pengukuran jumlah asam ataupun pngukuran dengan
asam (yang diukur dalam jumlah basa atau garam). (Harjadi, W. 1990)
Reaksi penetralan asam basa dapat digunakan untuk menentukan kadar larutan asam atau
larutan basa. Dalam hal ini sejumlah tertentu larutan asam ditetesi dengan larutan basa,
atau sebaliknya sampai mencapai titik ekuivalen (asam dan basa tepat habis bereaksi). Jika
molaritas salah satu larutan (asam atau basa) diketahui, maka molaritas larutan yang satu lagi
dapat ditentukan. (Michael. 1997)
Jika larutan asam ditetesi dengan larutan basa maka pH larutan akan naik, sebaliknya jika
larutan basa ditetesi dengan larutan asam maka pH larutan akan turun. Grafik yang
menyatakan perubahan pH pada penetesan asam dengan basa atau sebaliknya disebut kurva
titrasi. Kurva titrasi berbetuk S, yang pada ttik tengahnya merupakan titik
ekuivalen. (Michael. 1997)
Titrasi asam basa dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu digunakan
pengamatan dengan indikator bil pH pada titik ekuivalen 4-10. Demikian juga titik akhir
titrasi akan tajam pada titirasi asam atau basa lemah, jika penitrasian adalah basa atau asam
kuat dengan perbandingan tetapan disosiasi asam lebih besar dari 10 4 .pH berubah secara
drastis bila volume titrannya. Pada reaksi asam basa, proton ditransfer dari satu molekul ke
molekul lain. Dalam air proton biasanya tersolvasi sebagai H30. Reaksi asam basa bersifat
reversibel. Temperatur mempengaruhi titrasi asam basa, pH dan perubahan warna
indikator tergantung secara tidak langsung pada temperatur. (Khopkar, S.M. 1990)

Pada kedua jenis titrasi diatas, dipergunakan indikator yang sejenis yaitu fenoftalen (PP) dan
metil orange (MO). Hal tersebut dilakukan karena jika menggunakan indikator yang lain,
misalnya TB, MG atau yang lain, maka trayek pHnya sangat jauh dari ekuivalen. (Harjadi,
W. 1990)
Pada titrasi asidi-alkalimetri dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :(Susanti,1995)
1. Asidimetri. Titrasi ini menggunakan larutan standar asam yang digunakan untuk
menentukan basa. Asam yang biasa digunakan adalah HCl, asam cuka, asam oksalat, asam
borat.

2. Alkalimeri. Pada titrasi ini merupakan kebalikan dari asidi-alkalimetri karena larutan yang
digunakan untuk menentukan asam disini adalah basa.
Titirasi asam-basa merupakan cara yang tepat dan mudah untuk menentukan jumlah
senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan asam dan basa organik dan
organik dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi sebagian senyawa itu terutama senyawa
organik tidak larut dalam air. Namun demikian umumnya senyawa organik dapat larut dalam
pelarut organik, karena itu senyawa organik itu dapat ditentukan dengan titrasi asam basa
dalam pelarut inert. Untuk menentukan asam digunakan larutan baku asam kaut misalnya
HCl, sedangkan untuk menentuan basa digunakan larutan basa kuat misalnya NaOH. Titik
akhir titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan perubahan indikator asam basa yang sesuai
atau

dengan
bantuan
peralatan
seperti
potensiometri,
spektrofotometer,
konduktometer. (Rivai, H, 1990)
Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant. Kadar larutan
asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa atau sebaliknya. Titrant ditambahkan titer
tetes demi tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya secara stoikiometri titrant dan
titer tepat habis bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya warna indikator.
Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”, yaitu titik dimana konsentrasi asam sama
dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang ditambahkan sama dengan
jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-]. Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan
dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi”. Titik
akhir titrasi ini mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik
ekuivalen. Oleh karena itu, titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titik ekuivalen. (Esdi,
2011)

Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalen asam akan sama dengan mol-ekuivalen basa,

maka hal ini dapat ditulis sebagai berikut (Esdi, 2011)
mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa
Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara normalitas (N) dengan volume, maka
rumus diatas dapat ditulis sebagai berikut:
N asam x V asam = N asam x V basa
Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+ pada
asam atau jumlah ion OH- pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:
(n x M asam) x V asam = (n x M basa) x V basa
Keterangan
N
=
V
=
M
=
n = Jumlah ion H +(pada asam) atau OH- (pada basa).

:
Normalitas
Volume

Molaritas

III.METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan bahan
- NaOH 0,1 M

- Buret 50 mL

- HCl 0,1 M

- Statif dab klem

- H2C2O4

- Gelas ukur 25 mL atau 10 mL

- Erlenmeyer

- Indikator penolphetalein


-

- Corong kaca
3.2 Cara kerja
3.2.1 Standarisasi larutan NaOH 0,1 M
Mencuci bersih buret yang akan digunakan untuk standarisasi dan membilas dengan 5 mL
larutan NaOH. Memutar kran buret untuk mengeluarkan cairan yang tersisa dalam buret,
selanjutnya mengisi buret dengan 5 mL NaOH untuk membasahi dinding buret. Kemudian
larutan dikeluarkan lagi dari buret. Larutan NaOH dimasukkan lagi ke dalam buret sampai
skala tertentu. Mencatat kedudukan volume awal NaOH dalam buret.
Proses standarisasi :
Mencuci 3 erlenmeyer, pipet 10 Ml, larutan asam oksalat 0,1 M dan memasukkan ke
dalam setiap Erlenmeyer dan menambahkan ke dalam masing-masing Erlenmeyer 3 tetes
indicator penophtalein (PP).
Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam buret sedikit demi sedikit sampai
terbentuk warna merah muda yang tidak hilang apabila gelas Erlenmeyer digoyang.
-

Mencatat volume NaOH terpakai


-

Mengulangi dengan cara yang sama untuk Erlenmeyer ke II dan III.

-

Menghitung molaritas (M) NaOH.

3.2.1 Penentuan konsentrasi HCl

- Mencuci 3 Erlenmeyer, pipet 10 mL larutan HCl 0,1 M dan memasukkan ke dalam setiap
Erlenmeyer
- Menambahkan kedalam masing-masing Erlenmeyer 3 tetes indicator penolphtalein (PP)
- Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam buret sedikit demi sedikit sampai terbentuk
warna merah muda yang tidak hilang apabila gelas erlenmeyer digoyang.
- Mencatat volume NaOH terpakai
- Mengulangi dengan cara yang sama untuk Erlenmeyer ke II dan III.
- Menghitung molaritas (M) HCl.


HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil pengamatan
Standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat

Ulangan

No Prosedur

I

II

III

Ratarata

1

Volume larutan asam oksalat 0,1 M


10 mL

10 mL

10 mL

10 mL

2

Volume NaOH terpakai

19,8 mL

21 mL

18,6 mL

19,8 mL

3

Molaritas (M) NaOH

0,050 M

0,047 M

0,053 M

0,050 M

Standarisasi HCl dengan larutan HCl

Ulangan

No Prosedur

I

II

III

Rata-rata

1

Volume larutan HCl

10 mL

10 mL

10 mL

10 mL

2

Volume NaOH terpakai

25,4 mL

27 mL

23,5 mL

25,3 mL

3

Molaritas (M) NaOH

Berdasarkan hasil percobaan diatas

4

Molaritas (M) larutan HCl

4.2 Perhitungan
Standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat
Ulangan I

V1.M1 = V2.M2

10 . 0,1

= 19,8 . M2

1

= 19,8 . M2

M2

=1

19,8

= 0,050 M

0.050 M
0,039 M

Ulangan II

V1 . M1 = V2 . M2

10 . 0,1 = 21 . M2
1

= 21 . M2

M2

=

1

= 0,047 M

21
Ulangan III

V1 . M1

= V2 . M2

10 . 0,1 = 18,6 . M2
1

= 18,6 . M2

M2

=

1

= 0,053 M

18,6
Rata-rata :

V1 . M1 = V2 . M2

10 . 0,1 = 19,8 . M2
1
M2

= 19,8 . M2
=

1

= 0,050 M

19,8
Standarisasi HCl dengan larutan HCl
Rata-rata

:

10 . 0,1

= 25,3 . M2

M2

= 1

25,3

V1 . M1 = V2 . M2

= 0,039

PEMBAHASAN

Pada percobaan standarisasi NaOH 0,1 M dengan larutan asam oksalat dilakukan dalam tiga
kali ulangan dengan proses :
Ulangan pertama, mengukur volume asam oksalat sebanyak 10 mL dengan menggunakan
gelas ukur 10 mL. Kemudian larutan asam oksalat yang sudah diukur dalam gelas ukur
sebanyak 10 mL tersebut dituangkan ke dalam Erlenmeyer dan ditetesi dengan indikator
penolphetalein sebanyak 3 tetes. Setelah itu larutan asam oksalat diletakkan dibawah buret
dan ditetesi dengan larutan NaOH yang ada didalam buret setetes demi setetes, erlemeyer
sambil di goyang-goyang hingga larutan asam oksalat yang semula bening berubah menjadi
pink atau ungu. Apabila larutan asam oksalat sudah berubah warna menjadi pink atau ungu,
maka cepat tutup kran pada buret supaya larutan dalam buret tidak keluar lagi. Langkah
selanjutnya menghitung banyaknya volume NaOH yang terpakai. Pada ulangan I didapatkan
volume NaOH terpakai sebanyak 19,8 mL, catat pada tabel laporan sementara dibagian
Ulangan I. Kemudian hitung Molaritas NaOH sebagai berikut :
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1
1

= 19,8 . M2

M2

= 19,8 . M2
=

1

= 0,050 M

19,8
Berikutnya ialah mengulangi langkah-langkah diatas sebanyak dua kali, hingga didapatkan
pada ulangan II volume NaOH terpakai sebanyak 21 mL
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1
1
M2

= 21 . M2
= 21 . M2

= 1/21 = 0,047 M

pada ulangan III didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak 18,6 mL
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1
1

= 18,6 . M2

M2

= 18,6 . M2
=

1

= 0,053 M

18,6

Sehingga dapat kita cari rata-rata volume NaOH terpakai dengan cara :
19,8 mL + 21 mL + 18,6 mL = 19,8 mL
3
Rata-rata Molaritas (M) NaOH adalah :
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1
1
M2

= 19,8 . M2
= 19,8 . M2

=

1

= 0,050 M

19,8

Percobaan yang kedua ialah standarisasi HCl dengan larutan HCl yang juga dilakukan dengan
tiga kali pengulangan, yang akan dibahas sebagai berikut :
Mula-mula kita cuci gelas ukur yang telah kita pakai untuk mengukur volume asam oksalat
tadi dengan air bersih. Kemudian ukur volume larutan HCl dengan menggunakan gelas ukur
10 mL sebanyak 10 mL dan tuangkan ke Erlenmeyer. Kemudian tetesi larutan HCl dengan
indikator penolphetalein sebanyak 3 tetes menggunakan pipet tetes. Lalu letakkan erlenmeyer
tadi dibawah buret yang berisi larutan NaOH dan tetesi sedikit demi sedikit sambil
erlenmeyer digoyang-goyang. Lakukan hingga larutan HCl yang mulanya benih hingga
berubah menjadi pink/ungu. Apabila larutan HCl sudah berubah warna menjadi pink/ungu,
maka cepat-cepat tutup kran pada buret untuk menghindari larutan NaOH menetes kembali,
lalu didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak 25,4 mL. Kemudian mengulangi pada
percobaan tadi sebanyak dua kali hingga didapatkan hasil pada ulangan II volume NaOH
terpakai sebanyak 27 mL dan pada ulangan III didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak
23,5 mL. Kemudian menghitung rata-rata volume NaOH terpakai yaitu :

25,4 mL + 27 mL + 23,5 mL = 25,3 mL
3
Langkah selanjutnya ialah menghitung Molaritas (M) larutan HCl dengan rumus :
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1
1
M2

= 25,3 . M2
= 25,3 . M2

=

1

= 0,039 M

25,3
Jadi, nilai rata-rata Molaritas (M) larutan HCl ialah 0,039 M

V. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Perhitungan pH dalam melakukan praktikum dapat ditentukan dengan mencari volume ratarata dari larutan NaOH yang digunakan untuk menaikkan kadar atau konsentrasi HCL.
Titrasi harus dihentikan bila larutan HCl yang dicampurkan dengan 3 tetes indikator berubah
warna dari bening hingga menjadi pink. Volume NaOH yang digunakan akan mempengaruhi
hasil konsentrasi dari HCl tersebut, sehingga harus sangat berhati-hati melakukan praktikum
ini. Setelah volume NaOH (basa) diketahui, barulah Konsentrasi HCl (asam) bisa dihitung.

6.2 Saran
Dalam melakukan praktikum, sebaiknya harus berhati-hati dalam menggunakan larutanlarutan yang ada di laboratorium dan dalam melakukan praktikum kali ini kita juga harus
memperhatikan ketelitian dalam mengukur volume larutan basa (NaOH), karena volume
larutan NaOH sangat mempengaruhi hasil konsentrasi HCl.

JAWABAN PERTANYAAN
1.Bagaimana caranya agar titik akhir titrasi mendekati titik ekivalen
Jawab :
Caranya adalah ketika sudah mendekati titik ekivalen usahakan agar penambahan titernya
secara perlahan, apabila perlu setengah tetes, biar tidak melewati titik ekivalen terlalu jauh.
2. Jelaskan dengan singkat fungsi indikator
Standarisasi Larutan NaOH 0,1 N
Fungsi penambahan indikator penolphtalein untuk mengetahui terjadinya suatu titik ekivalen
dalam proses penitrasian dengan terjadinya perubahan warna pada larutan.Indikator PP
dengan range pH 8,0 ± 9,6 merupakan indikator yang baik untuk larutan basa dimana
indikator ini akan merubah warna larutan dari bening menjadi merah muda akibat dari
perubahan pH larutan pada saat penitrasian.
Standarisasi Larutan HCl 0,1 N
Penambahan indikator metil orange menyebabkan perubahan warna larutanmenjadi kuning.
Dalam proses titrasi digunakan indikator metil orange yang jangkauannya pada pH 3,1
sampai pH 4,4 yang akan memberikan warna kuning. Penambahan indikator ini bertujuan
untuk menandai titik ekivalen titrasi yang ditandai dengan perubahan warna larutan dari yang
awalnya berwarna kuning menjadi berwarna orange. Warna ini dikarenakan adanya pengaruh
ion H+ dari HCl yang bereaksi dengan indikator metil oranye dengan reaksi :HInßàH+ + In.

3. Jelaskan apakah reaksi dapat berlangsung jika tidak ditambah dengan indikator
Indikator adalah senyawa organik yang dapat berubah warna jika pH larutannya berubah.
Jadi, dalam reaksi indikator phenolptalein menjadi bahan yang sangat penting. Jika dalam
percobaan tidak ditambahkan dengan indikator, maka reaksi tidak akan berjalan.

4. Tuliskan dengan lengkap reaksi yang terjadi pada reaksi diatas
Standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat

(COOH)

+

2NaOH

>>>

Na2C2O4

+

2H2O

Untuk menstandarisasi larutan NaOh maka dalam percobaan ini menggunkan larutan asam
oksalat H2C2O2 sebagai larutan standarnya. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan
dapat diketahui ini merupakan reaksi asidi-alkalimetri asam basa antara asam oksalat dan
basa NaOH. Volume asam oksalat yang digunakan untuk titrasi adalah 10 mL. Asam oksalat
sebagai sebagai titrant yang diketahui berwarna bening dan NaoH sebagai titer yang berwarna
bening pula, sebelum dilakukan titrasi kita masukkan 3 tetes indikator PP yang diketahui
berwarna bening kedalam larutan oksalat agar pada saat titrasi dapat terjadi perubahan warna
ketika mencapai titik ekuivalen yaitu titik dimana jumlah larutan asam oksalat sama denagn
jumlah larutan pada NaOH yang diperlukan untuk bereaksi sempurna. Dalam titrasi ini kita
menggunakan indikator PP karena fenol phenolptalein itu tergolong asam yang sangat lemah
dalam keadaan terionisasi lebih banyak dan dia akan memberikan warna yang terang dan
perubahan warnanya lebih mudah untuk diamati.
Standarisai HCl dengan larutan HCl
NaOH

+

HCl

>>>

NaCl

+

H2O

Jika HCl dicampurkan dengan NaOH, maka ion H+ dari HCl akan bereaksi dengan ion
OH- dari NaOH membentuk air (H2O). Reaksi ini disebut reaksi penetralan. Sementara,
Cl- dari HCl akan bereaksi dengan ion Na+ dari NaCl membentuk garam NaCl.
HCl (aq)

+

NaOH (aq)

>>>

NaCl (aq)

+

H2O (I)

Di dalam larutannya, HCl dan NaOH akan terurai menjadi ion-ionnya, sehingga reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut.
H+ (aq) + Cl- (aq) + Na+ (aq) + OH- (aq) >>> Na+ (aq) + Cl- (aq) + H2O (aq)
Dari reaksi diatas dapat disederhanakan menjadi reaksi ion bersih adalah
H+ (aq)

+

OH-(aq)

>>>

H2O (aq)

5. Jelaskan pengertian larutan standar primer dan larutan standar sekunder
Larutan primer adalah larutan standar yang konsentrasinya diperoleh dengan cara
menimbang. Larutan standar sekumder adalah larutan yang konsentrasinya diperoleh dengan
cara mentitrasi dengan larutan standar primer.
6. Tuliskan sayarat-syarat suatu indikator dapat dipakai dalam suatu titrasi.
Tidak semua reaksi dapat diperguankan sebagai reaksi titrasi. Untuk itu harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut ;
1. Reaksi harus berlangsung sempurna, tunggal dan menurut persamaan yang jelas.
2. Reaksi harus cepat dan reversible. Bila tidak cepat, titrasi akan memakan waktu terlalu
banyak apalagi menjelang titik akhir reaksi. Bila reaksi tidak reversible, penentuan akhir
titrasi tidak tegas.
3. Harus ada penunjuk akhir reaksi (indikator).
4. Larutan baku yang dieraksikan denan analit harus mudah dibuat dan sederhana
penanganannya serta harus stabil sehingga konsentrainya tidak mudah berubah.

DAFTAR PUSTAKA
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press: Jakarta
Purba, Michael. 1997. Buku Pelajaran Ilmu Kimia Untuk SMU kelas 2. Erlangga: Jakarta
Rivai, H. 1990. Asas Pemeriksaan Kimia. UI Press: Jakarta
Susanti, S. 1995. Analisis Kimia Farmasi Kualitatif. LEPHAS: Makassar