MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN DEMOKRASI IN

TUGAS
MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN DEMOKRASI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Reformasi Administrasi”
Dosen Pengasuh:
Sumartono, Prof. Dr., MS.

Kelompok 3 :
Indah Sampurna

(145030100111080)

Jihan Azmi Nayla F

(145030101111067)

Ryan Nicky H

(145030101111009)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

RINGKASAN
Pendahuluan
Demokrasi awalnya lahir dari negara Athena pada abad 5 SM. Kala itu, para tokohnya
diperjuangkan untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem politik yang kuat diantaranya: Solon
sang pembuat hukum (638-558 SM), Chlesitenes sang bapak demokrasi Athena, dan
Demosthenes sang negarawan yang merangkap sebagai orator (385-322 SM). Namun, kehadiran
demokrasi ini juga tak luput dari beberapa kritik. Dua filsuf saat itu, Plato dan Aristoteles,
bertentangan dengan paham demokrasi. Plato berpendapat bahwa sebaiknya negara dipimpin
oleh seorang yang pemikir, memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tinggi untuk menjadikan
masa depan lebih baik. Sedangkan Aristoteles beranggapan bahwa demokrasi tak lain adalah
sebagai alat untuk meraup keuntungan bagi sekelompok orang dan menyebabkan munculnya
tirani di negara yang menganut paham demokrasi.
Pemerintahan rakyat yang disebut demos cratia, memang tidak serta merta jauh dari
kesempurnaan. Namun yang menjadi poin penting disini adalah prinsip demokrasi yang dianut di
Athena ternyata juga muncul di demokrasi modern yang saat ini gencar untuk dicanangkan.
Prinsip demokrasi tersebut ialah: warga negara berhak ikut serta dalam menentukan keputusan
politik secara langsung, warga negara berhak ikut serta dalam mengobarkan isu dimana dipilih

sebagai pejabat pemerintah dan melakukan debat publik terbuka, hak warganegara dapat dijaga
dengan baik khususnya hak dalam mengeluarkan pendapat, serta mekanisme voting menjadi cara
yang ampuh untuk mengambil keputusan.
Nilai Demokrasi Lokal
Demokrasi ala Indonesia dalam ruang lingkup yang kecil telah terjadi, contohnya adalah
pemilihan kepala desa. Desa dimata NKRI memiliki status yang istimewa. Sebelum
desentralisasi diterapkan, desa memiliki otorisasi yang kuat untuk dapat menentukan pejabat
publiknya melalui pemilihan secara langsung. Pemilihan kepala desa menjadi momen yang
penting karena disadari harus dilaksanakan dengan santun, guyub (kebersamaan), seduluran
(bersaudara), saling menghargai dan menghormati antar kandidat maupun pendukungnya.
Pemilihan kepala desa ini jug disadari bukan sebagai suatu kompetisi untuk saling mengalahkan
dan menghalalkan segala cara untuk menang.

Warga desa menjadi satu-satunya penentu untuk memilih kandidat yang jelas antara bibit,
bobot, dan bebetnya untuk dapat memimpin suatu desa. Warga desa dituntut untuk memilih
kandidat yang benar-benar mampu memenuhi amanah sebagai kepala desa. Di desa pun juga
tidak ada pelaksanaan black campaign karena jika kedapatan melakukan hal tersebut, langsung
dapat diketahui oleh warga desa yang lain. Kampanye dilakukan dengan cara yang sederhana dan
tidak membuang uang banyak, karena secara pribadi masing-masing sadar bahwa kepercayaan
diri yang diperoleh dari seseorang tidak bisa dibeli dengan uang.

Mahalnya Demokrasi Indonesia
Eksistensi nilai demokrasi lokal kenyataannya semakin tergerus seiring dengan kuatnya
individualisme dan konsumerisme. Dua istilah ini menurut mayoritas pakar sosial menjadi racun
awal hilangnya nilai demokrasi lokal. Individualisme lekat dengan prinsip bahwa setiap individu
memiliki hak untuk memilih dan dipilih tanpa memandang siapa dirinya dimata konstituen.
Selain itu, mereka berprinsip bahwa suara pemilih adalah yang paling penting sehingga
dilakukan berbagai cara untuk menggaet suara tersebut termasuk dengan cara membelinya.
Para pemilih pun juga ikut terhipnotis dengan individualisme dan konsumerisme. Mereka
menganggap bahwa suara pemilih dijadikan ajang untuk menjual suara kepada pembeli termahal
(kandidat). Dahulu warga negara tidak mengenal adanya opportunity cost bahwa jika mereka
tidak datang bekerja karena harus datang ke TPS maka harus ada kompensasi yang dalam hal ini
berupa uang sogokan. Tak pernah ada dalam istilah negara kita semuanya dihitung dengan uang,
uang, dan uang.
Harga demokrasi dengan demikian menjadi amat mahal karena hanya mementingkan
nilai ego para elit lokal yang berperang memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Idenya bukan lagi siapa yang paling pantas untuk memimpin dengan arif dan bijaksana,
melainkan siapa yang banyak meraup suara terbanyak melalui mekanisme voting. Egoisme
pribadi para elit dan sistem pemilu yang pro pada kapitalisme inilah yang menentukan semakin
mahalnya demokrasi di Indonesia.
Tidak hanya daerah - daerah yang kaya saja yang melakukan pilkada langsung, daerah daerah yang dikenal sebagai kantong - kantong kemiskinan juga melakukannya. Daerah - daerah

yang miskin tersebut ternyata juga tidak mau kalah dalam upaya menyukseskan pilkada

langsung. Alih - alih untuk memilih pemimpin yang demokratis, uang rakyat yang tidak sedikit
rela digelontarkan tanpa mau tau apakah daerahnya dalam kondisi miskin atau tidak.
Pemilihan kepala daerah secara langsung dengan menghabiskan banyak uang membuat
rentan proses kepemimpinan dari kepala daerah yang terpilih. Kepala daerah yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan di DPRD saja telah melahirkan banyak kepala daerah yang korupsi,
apalagi jika kepala daerah dipilih secara langsung yang menghabiskan banyak uang. Hal ini
dibuktikan selama tahun 2007, korupsi yang melibatkan aktor kepala daerah merupakan kasus
terbanyak pada tahun ini.
Partisipasi Politik Rendah = Penolakan Publik Terhadap Demokrasi?
Fakta telah membuktikan bahwa publik telah melakukan penolakan terhadap proses
demokrasi yang dilakukan secara langsung. Demokrasi langsung yang mengusung klaim
representatif dari rakyat ternyata tidak juga mendapatkan pembenaran. Menurut sumber dari
tahun 2008, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sejumlah 29 persen, hal ini
menunjukkan bahwa publik sebenarnya tidak merasa berkepentingan secara langsung dengan
prosesi rekrutmen politik yang bernama pilkada langsung. Ada beberapa asumsi yang dapat
dikembangkan: Pertama, publik sudah jenuh dengan proses rekrutmen politik yang terjadi di
negeri ini, mulai dari pemilihan umum untuk memilih presiden, anggota legislatif, dan kepala
desa.

Kedua, publik sudah tidak percaya lagi dengan adanya proses rekrutmen politik yang ada
sekarang. Publik dalam hal ini sudah patah hati dengan proses pilkada yang tidak kunjung
memberikan perubahan yang lebih berarti. Publik merasa bahwa kampanye hanyalah slogan
untuk menarik mereka untuk mencoblos calon, bukan sebuah komitmen untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan mereka secara konsisten.
Ketiga, publik merasa bahwa tidak ada kandidat yang kapabel untuk menunaikan hajat
mereka. Publik merasa kecewa karena dengan rekrutmen politik yang semacam ini, hanya orang
- orang yang dekat dengan penguasa dan memiliki sumber daya modal yang dapat maju sebagai
kandidat gubernur, bupati atau walikota. Tak ada tempat bagi seorang yang memiliki
kemampuan namun tak punya kendaraan bernama partai.

Partai dan Parlemen: Kerajaan Baru
Pucuk pimpinan partai adalah dewa suci dalam partai yang harus disembah, didengar
serta ditaati, sampai kini belum dapat diakhiri. Banyak kasus yang dapat diambil, diantaranya
adalah kasus seorang Ketua DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) sebuah partai yang mendapat
restu untuk maju mencalonkan diri sebagai calon gubernur dari seluruh Ketua DPC yang ada di
provinsinya. Namun impian Ketua DPW pun harus berhenti hanya dengan sebuah titah DPP
(Dewan Pimpinan Pusat), Ketua DPW pun harus terjengkal dari kursi kebesarannya karena nekat
mencalonkan diri menjadi calon gubernur. DPP sudah memiliki calon tersendiri yang diyakini
secara kuat dapat memperkuat posisi partai tersebut di propinsi yang bersangkutan, demikian

argumen yang dilontarkan oleh DPP.
Partai gagal menjadi agen demokratisasi karena partai sendirilah yang telah memulai
proses totalitarianisme. Semua harus atas persetujuan DPP, bahkan untuk menentukan kebijakan
dan kepentingan umum semuanya harus dikembalikan kepada DPP. Partai gagal untuk
menangkap aspirasi publik karena begitu asyik dengan sistem yang dibangun secara sentralistik.
Publik hanya didatangi pada waktu ada agenda yang telah ditata sedemikian rupa,
waktunya terbatas dan biasanya sudah ditentukan agenda - agenda dibahas. Sehingga, publik
tidak mendapatkan haknya secara layak untuk didengarkan, dan diagregasikan dalam
pengambilan keputusan.
Kebijakan dan program di daerah pun kemudian amat kental dengan warna politik dari
anggota dewan. Banyak kebijakan dan program pemerintah daerah merupakan pesanan dari
anggota dewan untuk melanggengkan suara konstituennya.
Selain membangun struktur hirarkhi partai yang begitu menggigit, salah satu karakter
yang menjadikan partai menjadi rezim kerajaan baru adalah begitu otonomnya partai dan
kumpulan partai dalam parlemen atas kekuasaan keuangan untuk dirinya sendiri. Anggota
parlemen periode 1994 - 2004 merupakan pencatat sejarah sebagai anggota parlemen yang
terkorup di Indonesia.
Tidak hanya terhenti pada periode 1994 - 2004, anggota parlemen periode berikutnya pun
terhibur dengan rencana kenaikan tunjangan mereka melalui PP 37/2006. Setiap anggota dewan
dengan struktur gaji dan tunjangan seperti ini dimungkinkan dapat meraup pendapatan lebih dari

100 juta perbulan. Namun ternyata tidak cukup untuk gaya hidup anggota DPR. Terbukti pada
semester pertama tahun 2008, publik disuguhi dengan berita tentang perilaku anggota DPR yang

tertangkap KPK atas tindak pidana korupsi dan penyusupan. Dendan kecurangan yang dilakukan
para anggota DPR ini merupakan fakta yang sulit dihindarkan. Parlemen memiliki kekuasaan
yang luas mengenai pengambilan kebijakan di negeri ini.
Selain itu, dugaan kecurangan ini merupakan bukti lain bahwa individualisme telah
mempengaruhi wakil rakyat. Ujungnya jelas, individualisme membimbing manusia untuk
menjadi makhluk konsumerisme yang nantinya akan memperkuat sistem kapitalis.
Membangun Kembali Peradaban Demokrasi Indonesia
Indonesia telah melakukan demokrasi dengan makna dan nuansa yang selaras dengan
kehidupan bangsa yang tertuang pada Pancsila sila ke-empat. Demokrasi di Indonesia
dikembangkan atas rasa hikmat kebijaksanaan, dilakukan dalam permusyawaratan perwakilan
untuk menuju keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
a. Suara Partai Harus Suara Rakyat
Suara partai dengan demikian harus mencerminkan suara dari rakyat, sehingga wajah dari
partai politik untuk kedepannya adalah partai harus menunjukkan komitmen dan
pembelaannya kepada rakyat. Partisipasi aktif dari publik akan memberikan dampak positif
dalam proses demokrasi.
b. Demokrasi Perwakilan Bukan Voting

Pemilihan kepala daerah langsung ternyata tak kunjung menjamin adanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat di daerah secara otomatis. Pemilihan kepala daerah secara langsung
justru memicu masalah baru. Pilkada secara langsung belum tentu mendukung munculnya
pemimpin yang pro dengan rakyat.
Indonesia harus belajar dari fakta-fakta ini bahwa mempunyai ddemokrasi yang berbeda
dengan demokrasi yang dikembangkan oleh negara lain. Demokrasi di Indonesia seharusnya
mampu memberi keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan dilaksanakan dengan mufakat dan
kekeluargaan.
Apabila partai politik konsisten dalam menyuarakan suara rakyat, maka proses pemilihan
kepala daerah dalam sistem perwakilan merupakan alternatif terbaik yang dapat dilakukan
untuk memilih kepala daerah di tingkat lokal dan nasional. Semua masalah demokrasi yang
muncul karena partai tidak berjalan sebagaimana diharapkan.