kebebasan beragama dalam UUD 1945 dan Pi

Pendahuluan
Berbeda dengan Mekkah yang hanya terdiri dari orang Arab yang beragama
pagan, yatsrib terdiri dari Yahudi dan Arab dengan agama yahudi, kristen, pagan dan
muslim. Menghadapi masyarakat yang heterogen ini, nabi membuat konstitusi yang
menjamin hak-hak seluruh penduduk madinah tanpa terkecuali, konstitusi ini
bernama piagam madinah.
Konstitusi tersebut berisi 47 pasal yang berisi pengaturan kehidupan masyarakat
madinah termasuk juga masalah kebebasan beragama. Meskipun nabi Muhammad
adalah seorang rasul yang tugas utamanya adalah menyampaikan wahyu dan
mengajak orang untuk memeluk islam, namun nabi tidak memaksakan islam sebagai
agama yang harus dianut oleh rakyat madinah. Nabi membebaskan kaum yahudi
melaksanakan adat dan agama mereka.
Ada berbagai kemiripan antara piagam madinah dengan UUD 1945, baik dari
segi isi maupun kondisi masyarakat yang diatur oleh kedua konstitusi tersebut.
Membaca dan memahami isi piagam madinah yang begitu toleran terhadap penganut
agama lain, maka patut kiranya kita memberikan tanda tanya besar terhadap alasan
sebagian golongan umat islam yang melakukan berbagai bentuk teror kepada agama
lain.
Dalam makalah ini saya ingin menganalisis kesamaan antara kedua konstitusi
tersebut dalam hal jaminan kebebasan bagi masyarakatnya untuk memeluk dan
menjalankan agama yang diyakininya. Untuk itu saya mengajukan rumusan masalah

sebagai berikut: bagaimana jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi madinah
dan konstitusi UUD 1945?

Pembahasan
Sebelum membahas mengenai isi piagam madinah, kiranya penting untuk
mengkaji terlebih dahulu kondisi Madinah sendiri sebelum kedatangan Nabi dan
kaum Muhajirin. Yatsrib terdiri dari bangsa Arab dan Yahudi yang terbagi kedalam
beberapa suku. Suku-suku terkemuka dari golongan Arab adalah Aus dan Khazraj
yang bermigrasi dari Arabia Selatan, disamping suku-suku Arab lain yang lebih dulu
menetap di Yatsrib. Sedangkan suku yang terkemuka dari golongan Yahudi adalah
Banu Quraidzah, banu Nadhir, banu Tsa’labah, dan banu Hadh1.
Tidak ada sejarah yang akurat mengenai sejak kapan kaum Yahudi menempati
Madinah, namun seorang peneliti yang bernama Guillame mengatakan kalau mereka
telah mempertahankan koloni-koloni mereka sebagai suatu komunal yang terorganisir
beberapa abad lamanya di Yaman, dari Yaman mereka pindah ke Palestina. Ketika
orang-orang Roma yang beragama Masehi menaklukkan Pelestina, orang-orang
Yahudi ditindas dan diusir dari kota itu, sebagian dari mereka kemudian pergi ke
Hijaz. Kaisar Romawi pada waktu itu yang bernama Hadrian kemudian menjadikan
daerah itu sebagai jajahan Romawi. Orang-orang Yahudi dilarang memasuki atau
bertempat tinggal di dalamnya. Setelah berjalanya waktu, imigran Yahudi semakin

memperkuat posisinya, bahkan mereka pernah mengontrol politik di yatsrib. Tapi
pada awal abad ke enam masehi orang-orang arab berhasil melepaskan diri dari
ketergantungan mereka kepada kaum Yahudi. Situasi ini terjadi ketika orang-orang
masehi di Syam yang berada dibawah pengaruh Romawi Timur Byzantium sangat
membenci orang-orang Yahudi, dalam serbuan itu banyak dari kalangan Yahudi yang
terbunuh2.
Namun ketika menjelang kedatangan Islam, Yahudi kembali mendominasi
perekonomian di Hijaz. Keunggulan mereka disebabkan oleh keunggulan dibidang
1

2

J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 29
Ibid., hlm. 31

pertanian, irigasi dan industri, mereka menjadi tuan tanah dan pengendali keuangan
dan perdagangan di Madinah. Karena kekayaan dan kekuatan Yahudi tersebut, orang
Arab yang terdiri dari Aus dan Khazraj merasa iri sebab Yahudi bisa memberikan
pinjaman dan kredit, menjual barang peralatan dan senjata, keadaan yang seperti ini

membuat kebanyakan orang Arab terjepit hutang.
Kegemilangan perekonomian Yahudi dan keterpurukan Arab di Madinah juga
tidak terlepas dari kesalahan orang Arab sendiri yang saling bermusuhan antara Aus
dan Khazraj. Permusuhan antara kedua suku ini turut dicampur tangani oleh Yahudi,
mereka (Yahudi) sengaja memprovakasi dan mengadu domba kedua suku terbesar di
Madinah tersebut, dimana puncak dari adu domba tersebut terjadi ketika Aus dan
Khazraj berseteru dalam perang Bu’ats3. Setelah peperangan tersebut, antara Aus dan
Khazraj bersepakat melakukan perdamaian, pada nantinya beberapa orang dari
golongan ini sama-sama melakukan bai’at aqabah kepada nabi.
Ketika musim haji pada tahun 621 M, 10 orang laki-laki dari khazraj dan 2 lakilaki dari Aus bertemu dengan nabi di Aqabah, mereka menyatakan diri masuk islam,
mereka juga melakukan bai’at kepada nabi, dalam bai’at ini mereka mengakui
kerasulan Muhammad dan berjanji kepada beliau bahwa mereka tidak akan
menyembah selain kepada Allah dan tidak menyekutuka-Nya, tidak akan mencuri,
berzina dan berbohong, dan juga tidak akan mengkhianati nabi. Saat rombongan
tersebut kembali ke Yatsrib, nabi menunjuk Mus’ab bin ‘Umair menyertai mereka
sekaligus mengajarkan Islam, sehingga umat Islam semakin bertambah banyak di
Madinah. Pada musim haji berikutnya, datang rombongan sebanyak 73 orang baik
yang sudah masuk islam maupun belum, kedatangan mereka untuk mengajak nabi
agar berkenan hijrah ke Yatsrib. Pertemuan tersebut juga bertempat di Aqabah, dalam
pertemuan tersebut mereka mengakui nabi sebagai pemimpin mereka dan akan

menjaga keselamatan beliau serta para pengikutnya. Nabi berjanji bahwa beliau akan

3

Ibid, hlm. 45

memerangi siapa saja yang mereka perangi dan akan berdamai dengan siapa saja
yang mereka ajak berdamai4.
Konstitusionalisme Piagam Madinah
Gagasan mengenai konsitusi dan pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi
bukanlah ide yang baru lahir. Dalam Yunani kuno terdapat perkataan politeia dan
dalam bahasa latin terdapat constitutio, yang mana dalam kedua kata itulah gagasan
menganai konsitutisionalisme diekspresikan oleh umat manusia5. CF. Strong
mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang
diorganisir dengan dan melalui hokum; hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga
permanen denangan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.
Sedangkan Negara konsitusional ia definisikan sebagai Negara yang memiliki
kekuasaan untuk memerintah, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan
diantara keduanya6. Ketika mendefiniskan konstitusi, KC. Wheare langsung membagi
pengertian konsitusi kedalam dua macam, pertama kontitusi adalah kata yang

digunakan untuk menggambarkan seluruh system ketatanegaraan suatu Negara,
kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan
pemerintahan, yang mana peraturan tersebut ada yang bersifat legal dan non legal.
Kedua, konstitusi adalah kumpulan peraturan yang biasanya dihimpun dalam satu
dokumen atau dalam beberapa dokumen, dokumen tersebut merupakan hasil seleksi
dari peraturan-peraturan hokum yang mengatur pemerintahan Negara tersebut dan
telah dihimpun dalam sebuah dokumen7.
Beberapa ilmuan memberikan nama yang berbeda-beda terhadap naskah
(piagam) madinah, mereka yang menyebutnya perjanjian karena nabi membuat
perjanjian persahabatan antara muhajirin dan anshar sebagai komunitas islam disatu
4
5
6

7

Ibid., hlm. 52
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakrta: Konpress, 2006), hlm. 1
CF Strong, Modern Political Constitutions, alih bahasa Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa
Media, 2008) hlm. 21-22

KC. Wheare, Modern Constitutions, alih bahasa Imam Baehaqie, (Nusa Media, 2008), hlm. 3

pihak serta antara kaum muslimin dan yahudi sekaligus sekutu-sekutunya di pihak
lain agar mereka terhindar dari pertentangan antara suku serta bersama-sama
mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup
berdampingan secara damai. Dinamakan sebagai piagam karena isi naskah ini
mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat
dan kehendak umum warga madinah suapya keadilan terwujud dalam kehidupan
mereka,

mengatur

kewajiban-kewajiban

kemasyarakatan

semua

golongan,


menetapkann pembentukan persatuan dan kesatuan warga dan prinsip-prinsipnya
untuk menghapuskan tradisi kesukuan yang tidak baik. Sedangkan dinamakan
sebagai konstitusi karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur
kepentingan umum dan dasar-dasar social politik yang bekerja untuk membentuk
suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk madinah
yang majemuk8. Yang pasti piagam madinah bisa disebut sebagai konstitusi karena
konstitusi adalah dokumen yang hanya memuat prinsip-porinsip pemerintahan yang
bersifat fundamental, konstitusi hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok,
mendasar tau asas-asasnya saja. Karena piagam madinah berisi hal-hal yang mengatur
pemerintahan madinah dan piagam tersebut juga mengorganisasikan secara politik
penduduk madinah, maka ia layak disebut dengan konsititusi. Sehingga masyarakat
Madinah yang kala itu menjalani kehidupan bermasyarakat sesuai dengan isi piagam
dapat dikatakn masyarakt yang mengikuti paham konsitusionalisme.

Kebebasan Beragama Dalam Piagam Madinah
Saat hijrah, langakah pertama yang dilakukan oleh nabi adalah membangun
masjid,

kemudian


menciptakan

persaudaraan

antra

muhajirin

dan anshar.

Memepersaudarakan antara muhajriin dan anshar adalah untuk mengkonsolidasikan
umat islam. Sedangkan untuk mengonsolidasikan seluruh penduduk madinah, nabi
8

Dahlan Thaib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 43

Muhammad membuat piagam/perjanjian tertulis yang isinya menekankan persatuan
yang erat antara penduduk madinah, menjamin kebebasan beragama bagi semua
golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan kewajiban semua
golongan dalam kehidupan social politik dalam mewujudkan pertahanan dan

perdamaian, serta menetapkan wewenang bagi nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul diantara
mereka9. Menurut saya piagam ini dibuat ketika nabi dan umat islam sudah
mempunyai posisi yang kuat di Madinah, karena tidak mungkin kaum yahudi mau
menerima isi perjanjian jika nabi belum mempunyai pengaruh yang kuat..
Sebagaimana yang telah saya paparkan di depan, makalah ini ingin meninjau
lebih jauh mengenai kebebasan beragama dalam konstitusi madinah dan UUD 1945.
Dalam konstitusi madinah, yang mengatur tentang hal ini terdapat dalam pasal 25,
bunyi secara lengkap dari pasal tersebut seperti ini:

‫وإن يهود بني عمموف أمممة مممع المؤمممنين لليهممود دينهم وللمسمملين دينهم مممواليهم‬
10

‫وانفسم ا من اظلم واثم فإننه يوتغ ا نفسه واهل بيته‬

Kaum yahudi dari bani Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum
yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan ini
berlaku bagi sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang dzalim dan
jahat. Hal tersebut (dzalim dan jahat) akan merusak diri dan keluarganya.
Meskipun dalam pasal tersebut yang disebutkan adalah bani Auf, tapi hal ini

berlaku juga bagi semua golongan yahudi, karena dalam pasal setelahnya disebutkan
bahwa kaum yahudi yang lain sama seperti bani auf. Kebebasan beragama ini sejalan
dengan firman Allah dalam al Baqarah ayat 256 yang berbunyi

9
10

Ibid., hlm. 64
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UI Press, 1995),
hlm. 53

           
      
       
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.
Ayat ini diturunkan bersamaan dengan diusirnya bani Nadhir, mereka diusir

sesudah bani Qaynuqa’. Piagam madinah sendiri ditetapkan sebelum peristiwa
pengusiran tersebut. Pada pasal 20 disebutkan

‫لقريش و نفس و يحول دونه على مؤمن‬

‫وانه يجيير مرر م‬

Orang musyrik yatsrib dilarang melindungi harta dan jiwa orang musyrik
Quraisy dan tidak boleh campur tangan melawan orang beriman
Disebutkanya kata musyrik dalam pasal ini mengandung pengakuan akan
adanya penganut paganisme yang memang merupakan bagian terbesar dari warga
Madinah kala itu. Dalam isi konstritusi, mereka tidak dinyatakan sebagai musuh
orang islam. Mereka diberi dakwah tanpa adanya paksaan. Selama masa hidup nabi,
tidak pernah terjadi perang yang disebabkan semata-mata karena perbedaan agama,
termasuk dengan orang musyrik sekalipun. Semua perang yang dilakukan oleh nabi
karena pengkhianatan politik. Orang musyrik madinah tidak ada yang diperangi oleh
nabi karena sebab menyembah berhala, begitu juga peperangan yang dilakukan
dengan musyrikm Quraisy bukan karena agama mereka tapi karena permusuhan
mereka kepada nabi dan umat islam. Amnesti masal yang diberikan oleh nabi kepada
penduduk Mekah setelah mekah berhasil dikuasai merupakan bukti bahwa nabi
berperang melawan golongan musyrik bukan disebabkan kemusyrikan mereka tapi

karena permusuhanya. Begitu juga dengan segala kelompok Yahudi yang diperangi
oleh nabi, bukan disebabkan mereka agama Yahudi namun karena mereka melakukan
pengkhianatan.
Orang islam, yahudi dan Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang
sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan
menjalankan dakwah agama. Dalam suasan kebebasan beragama diadakan dialog dan
debat teologis antar pemuka agama dari ketiga agama itu. Yahudi menolak sama
sekali ajaran Isa dan nabi Muhammad, mereka menonjolkan bahwa uzair adalah anak
Allah, pihak Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa adalah anak
Tuhan. Nabi Muhammad SAW mengajak untuk mengesakan Allah, kepada kaum
Yahudi dan Nasrani beliau mengajak: “marilah kita menerima kalimah yang sama
diantara kami dan kalian. Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak
akan mempersekutuka Nya dengan apa pun. Tidak ada pula diantara kita
mempertuhan satu sama lain selain dari Allah”. Pertemuan ketiga agama tersebut
tidak membawa ke kesatuan agama. Kaum Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian
masing-masing. Nabi Muhammad tidak memaksa mereka untuk mengubah agama
mereka, nabi hanya mengajak mereka untuk mengesakan Allah, beliau pun tidak
memusuhi dan memerangi mereka karena mereka tidak mau menerima ajakanya11.
Zauhairi Misrawi menuliskan kalau kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh
nabi dalam piagam madinah pada hakikatnya merupakan implementasi dari wahyu al
Qur’an yang secara eksplisit menjunjung tinggi kebebasan beragama, sebagaimana
dalam ayat

         
        
        
   
11

Ibid., hlm 128

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.
Muhammad Thahir bin Asyur dalam al Tahrir wa al Tanwir menegaskan bahwa
setelah nabi menjelaskan visi dan misi Islam, maka setelah itu keputusan diserahkan
sepenuhnya kepada setiap individu untuk menentukan pilihan antara iman dan kufur.
Ibnu Katsir dalam Tafsir al Qur’an al ‘Adzim menyatakan bahwa ayat tersebut
merupakan sebuah penegasan dari Allah karena dalam ayat selanjutnya ditegaskan
perihal neraka yang disediakan oleh orang-orang yang menebarkan kedzaliman.
Dalam surat al Ghasyiyah ayat 21 juga dinyatakan kalau tugas nabi Muhammad
hanya sebagai pemberi peringatan dan bukan sebagai pemaksa. Bunyi selengkapnya
adalah sebagai berikut

   
Prinsip kebebasan beragama yang tertuang dalam piagam Madinah mempunyai
pijakan yang kuat dalam Qur’an, Madinah semakin dikukuhkan sebagai salah satu
pusat peradaban yang diantara ciri-cirinya memberikan tempat bagi kemajemukan
serta merajutnya dalam persatuan untuk menjaga kepentingan bersama. Setiap
manusia pada dasarnya mempunyai fitrah untuk hidup berkeadilan, berkemajemukan
dan berkeadaban. Oleh karenanya diperlukan konsensus yang dituangkan dalam
bentuk konstitusi yang menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk
keyakinan masing-masing tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi12. Pada pasal 24,
37 dan 38 disebutkan kewajiban bersama golongan agama, dalam pasal tersebut
12

Zuhari Misrawi, Madinah, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 317

dinyatakan bahwa golongan muslim dan Yahudi sama-sama menanggung biaya
perang melawan pihak yang menyerang Madinah.
Kebebasan Beragama Dalam UUD 1945
Dalam UUD 1945 pasca amandemen, kebebasan beragama diatur dalam pasal
28 E ayat 1 , 28 I ayat 1 , dan ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2. Pasal 28 E ayat 1
berbunyi
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meniggalkanya, serta berhak
kembali
Pasal 28 I berbunyi
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun

Pasal 29 ayat 2 berbunyi
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu

Ketika rapat BPUPKI ada dua kubu yang berseberangan ketika menentukan
ideologi Indonesia, antara kebangsaan dan ideologi agama yang akhirnya menjadi

pasal 29 ayat 1 dan 213. Dalam pidatonya tanggal 1 juni 1945, Soekarno
menyampaikan berikut ini14.:
Prinsip ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhanya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Budha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan.
Hendaknya Negara indonesaia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhanya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan.
Marilah ktia amalkan, dijalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan
cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?ialah hormatmenghormati satu sama lain. Nabi Muhamamd SAW telah member bukti yang
cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.
Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita dalam di
dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan:
bahwa prinsip kelima daripada Negara ktia aialah ketuhanan yang
berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang
hormati menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya jikalau saudarasaudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Di sinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap
agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaikbaiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula.
Jika kita membandingkan pidato dari Soekarno diatas dengan isi piagam
Madinah, kita akan menemukan nilai-nilai yang serupa. Nilai-nilai tersebut selain
dalam hal keterikaitan Negara dengan agama, terutama tentang kebebasan setiap
individu untuk memeluk agama dan kepercayaanya masing-masing serta menjalankan
ajaran agama yang dianutnya tanpa adanya paksaan dari salah satu golongan tertentu.
Dalam pasal 25 piagam madinah, nabi menyatakan kalau Yahudi satu umat dengan
13

Tim penyusun, Naskah komprehensif, buku ke 8, (Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 87

14

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama,
(Jakarta:1971), hlm. 94

mukminin dan bagi kaum yahudi serta sekutu-sekutunya diberikan kebebasan
memeluk agama mereka. Pengecualian dalam pasal tersebut adalah bagi mereka yang
berbuat dzalim dan jahat, tak pandang bulu apakah ia yahudi ataupun mukmin.
Sila pertama pancasila dan pasal-pasal dalam UUD seperti pasal 29 menjadi
dasar yuridis-konstitusional keterkaitan antara agama dan Negara, kedudukan yang
seperti ini sejalan dengan konstitusi Madinah yang menempatkan agama dan Negara
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Negara pancasila bukanlah nagara yang
berdasarkan pada satu agama, tapi juga bukan Negara sekular yang memisahkan
agama dan Negara. Dalam Negara pancasila tersebut, Negara tidak identik dengan
agam tertentu, tetapi Negara tidak melepaskan agama dari urusan Negara. Negara
bertanggung jawab atas eksistensi agama, kehidupan beragama dan kerukunan hidup
beragama15. Salah satu wujud perhatian Negara dengan Negara adalah dibentuknya
Departemen Agama16 yang mengatur bukan hanya satu agama, tapi lima agama;
Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Dalam rangka kerukunan internal dan
eksternal umat beragama, selain dibentuk dan dimantapkan oranisasi masing-masing
agama, dibentuk pula forum konsultasi dan komunikasi antara pemimpin agama dan
antara pemimpin agama dengan pemerintah yang ditetapkan dengna keputusan
Menteri No 35 th 1980. Organisasi untuk tingkat pusat, bagi agama Islam adalah
Majelsi Ulama Indonesia (MUI), untuk umat katolik bernama Majelis Agung Wali
Gereja Indonesia (MAWI), untuk umat protestan bernama Dewan Gereja-Gereja
Indoensia (DGI), untuk umat Hindu terdapat Prisade Hindu Dharma Pusat (PHDP)
dan untuk umat Budha bernama Perwalian Umat Budha Indoensia (WALUBI)17.

15
16

17

Ahmad Sukardja, op. cit. hlm. 146
Gagasan ke arah terbentuknya Departemen Agama dikemukakakan oleh para pemimpin Islam
yang duduk dalam BPUPKI setelah kemerdekaan dicapai. Gagasan itu mereka perjuangkan
melalui BPKNIP agar di Indonesia urusan agama ditangani secara khusus oleh suatu departemen.
Keberhasilan usaha ini adalah dengan dikeluarkanya PP No 1/SD th 1946 tentang pendirian
Departemen Agama.
Ahmad Sukardja, op. cit. hlm. 170

Penutup
Uaraian di atas menunjukan bawha bahwa Indonesia menempatkan agama pada
kedudukan yang terhormat dan kuat. Urusan agama menjadi bagian dari urusan
Negara. Pemerintah memandang dan menempatkan agama bukan hanya sebagai
urusan pribadi tapi juga sebagai urusan masrayakat dan Negara. Jaminan dan
kerukunan hidup beragama mendapatkan perhatian yang cukup besar.

Piagam Madinah dan UUD 1945 sama-sama memuat ketentuan tentang dasar
kerukunan hidup beragama. Dalam piagam madinah, yang secara eksplisit
menyangkut hal ini terdapat dalam pasal 25, dan pasal-pasal lainya seperti 24, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 37, 38, 40, 44 dan 48 semakin memperjelas persamaan hak
dan kewajiban diantara penduduk Madinah, baik Mu’min maupun Yahudi.
Sedangkan dalam UUD 1945, kebebasan beragama tercantum dalam pasal 28 E ayat
1, 28 I ayat 1, dan ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2 yang merupakan penjabaran dari
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, jika ada pihak-pihak yang mempermasalahkan keragaman
agama di Indonesia dan menginginkan diebntuknya khilafah dengan adanya satu
agama resmi yaitu Islam, maka mereka perlu bercermin kepada piagam Madinah
yang sangat toleran terhadap agama lain. Semua penduduk Masdinah baik yang
islam, kristen maupun yahudi merupakan satu umat, yakni umat (penduduk)
Madinah, semuanya saling bahu membahu mempertahankan tanah tempat tinggalnya
dari gangguan musuh. Perbedaan diatara mereka disatukan dengan piagam Madinah
sebagaimana kebhinekaan Indonesia disatukan dengan UUD 1945.

Daftar Pustaka

A. Buku-Buku
Dahlan Thaib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004

Misrawi, Zuhari, Madinah, Jakarta: Kompas, 2009
Pulungan, J. Suyuthi Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah
Ditinjau Dari Pandangan Al Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI
Press, 1995
Tim penyusun, Naskah komprehensif, buku ke 8, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama,
Jakarta:1971
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakrta: Konpress,
2006
CF. Strong, Modern Political Constitutions, alih bahasa Derta Sri Widowatie,
Bandung: Nusa Media, 2008
KC. Wheare, Modern Constitutions, alih bahasa Imam Baehaqie, Nusa Media: 2008

B. Peraturan Perundang-Undangan
UUD 1945 Amandemen Ke-4