Pemuda Kemerdekaan dan Perubahan dinas

Pemuda, Kemerdekaan, dan Perubahan

Bangsa Indonesia berhutang atas perjuangan pemuda dari masa ke masa. Sejak era
pergerakan nasional tahun 1908 hingga kemerdekaan Republik Indonesia yang diperoleh hingga
umur ke-71 ini, para pemuda selalu menjadi motor penggerak dan penentu arah perjalanan bangsa.
Bukti tersebut tercatat dalam perjuangan Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928,
Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, Lahirnya Orde Baru tahun 1966 dan Lahirnya Era Reformasi
tahun 1998. Namun satu hal yang sering terlupa dalam ingatan adalah, perjuangan pemuda dari masa
ke masa muncul sebagai perlawanan terhadap tirani dan kemiskinan.
Pada tanggal 20 Mei 1908, atas prakarsa Dr. Wahidin Sudirohusodo dan para Pemuda STOVIA,
seperti Sutomo, Gunawan, Suradji dan Suwardi Suryaningrat mengadakan rapat pertama di Jakarta dan
mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo yang berarti kebaikan yang diutamakan. Organisasi Budi
Utomo membangkitkan kesadaran golongan priyayi agar bersedia mengulurkan tangan, memberi
pertolongan kepada rakyat untuk meningkatkan kecerdasannya. Ia juga menjadi pemantik munculnya
perkumpulan dan pergerakan seperti Serikat Dagang Islam tahun 1909, Indische Partij tahun 1913,
Muhammadiyah tahun 1912, serta Nahdhatul Ulama tahun 1926. Atas usul Perhimpunan PelajarPelajar Indonesia (PPPI) sebagai organisasi kemahasiswaan pertama, pada tanggal 26-28 Oktober 1928
diadakan Kongres Pemuda Kedua dengan kesimpulan bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka
maka bangsa Indonesia perlu bersatu dengan ikrar Sumpah Pemuda pada akhir kongres.
Kolonialisme di satu sisi, telah meningkatkan standar hidup di pulau Jawa. Sampai tahun
1930-an, setidaknya standar hidup meningkat sebesar 23 persen, namun ketimpangan antara
pemiliki modal dan rakyat terlihat sangat nyata, serta banyaknya kematian akibat kelaparan.

Selama periode 1930 hingga 1940-an, Hindia Belanda melakukan represi terhadap kegiatan
pemuda yang politis dan radikal. Represi tersebut telah mendorong pemuda Indonesia untuk
melakukan pergerakan di bidang sosial dan pendidikan dengan satu tekad, yaitu melepaskan
masyarakat dari belenggu kemiskinan dan penjajahan. Pada akhir 1930-an, setidaknya 130 ribu
murid mengikuti sekolah liar bentukan pemuda pribumi, jumlah tersebut dua kali lipat daripada
jumlah murid di sekolah formal.
Kolonialisme terus berlanjut ketika Jepang mengeksploitasi sumber daya Indonesia selama
tiga setengah tahun. Pada masa tersebut, bangsa Indonesia kelaparan, miskin, dan tidak terdidik.
Keadaan tersebut menjadi titik balik bagi pemuda melakukan perlawanan. Pada perjuangan
kemerdekaan tahun 1945, golongan muda Indonesia mendesak agar golongan tua segera
memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia serta menjadi garda terdepan dalam pertempuran.

Di akhir kepemimpinan Orde Lama, Indonesia kembali dihadapkan dengan keadaan ekonomi
dan politik yang carut marut. Dalam catatan sejarah Bank Indonesia, selama periode 1960-1965,
perekonomian Indonesia memburuk akibat pemerintah yang mengutamakan kepentingan politik
melalui doktrin ekonomi terpimpin. Doktrin tersebut menguras hampir seluruh potensi ekonomi
Indonesia akibat membiayai mega proyek cerminan politik pemerintah, akibatnya inflasi mencapai
635% pada 1966. Masyarakat harus mengantre untuk mendapatkan bahan bakar minyak dan
kebutuhan pokok. Untuk itu, pemuda melalui kesatuan aksi Front Pancasila mendatangi DPR-GR
menuntut perubahan nasional lewat Tri Tuntutan Rakyat yang berisi pembubaran PKI, perombakan

kabinet Dwikora, serta perbaikan ekonomi. Pergerakan tersebut mengantarkan transisi kepemimpinan
dari Orde Lama ke Orde Baru dengan harapan perubahan dapat membawa kesejahteraan.
Krisis kembali melanda Indonesia sejak Juli 1997, nilai tukar rupiah terus merosot tajam hingga
mencapai Rp.16.000,-. Pengetatan anggaran dan kenaikan suku bunga yang sangat tinggi justru
memperparah perekonomian, masyarakat panik dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan
perbankan. Pemuda menentang terpilihnya kembali Soeharto dalam pemilihan umum tahun 1998.
Korupsi, kolusi, nepotisme, serta kemiskinan menyebabkan ketimpangan sosial dan menimbulkan
kerusuhan sosial. Pemuda menuntut Soeharto dan Pemerintah Orde Baru untuk turun karena tidak
mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam keadilan berdasarkan
Pancasila dan UUD Negara Repubik Indonesia 1945. Lalu pada usia ke-71 Republik Indonesia ini,
masihkan pemuda memiliki peran yang sama sebagai agen perubahan?
Kemiskinan, kelaparan, dan rendahnya pendidikan masih menjadi musuh utama bangsa
Indonesia. Masih terlihat jelas ketimpangan kesejahteraan antara pusat dan daerah, antara kota
dan desa, sikap egoisme dan individualistis yang dicerminkan oleh kelompok-kelompok politik
dan individu yang mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan masyarakat. Menurut data
Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 11,22 persen
atau mencapai 28,59 juta orang, dengan komposisi di kota 10,65 juta orang dan desa 17,94 juta
orang (data per Maret 2015), serta jumlah pengangguran sebesar 7,6 juta jiwa pada tahun 2015.
Di era globalisasi ini, data dan informasi amat bernilai, kesempatan terbuka bagi siapa saja yang
ingin maju- siapapun memiliki kesempatan yang setara. Akan tetapi kesempatan itu membutuhkan

modal pengetahuan dan akses, “knowledge is power” pengetahuan adalah kunci bagi siapapun yang
ingin maju dan terdepan. Pemerintah tengah berusaha membangun tiga aspek yang saling berkaitan,
yaitu pembangunan fisik melalui percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber
daya manusia, dan pembangunan institusi. Berkaca pada sejarah dari masa ke masa, pemuda telah
berhasil membawa perubahan melalui perjuangan dan perlawanan terhadap tirani, kemiskinan, dan
kebodohan.

Adalah tugas negara dalam memberikan jaminan dan kebebasan bagi pemuda Indonesia untuk
mampu berkarya dan berpikir kritis baik di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Namun
pembangunan bangsa dan perlawanan terhadap kemiskinan tak bisa dilakukan oleh tangan pemerintah
sendiri, sebab akan sangat lama menunggu perubahan bila hanya menunggu pemerintah sebagaimana
dalam tulisan Presiden Joko Widodo dalam Bertumbuh dengan Kerja Nyata (16/8). Pemerintah
membutuhkan pemuda sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen pembangunan (Agent of
development) yang mampu berpikir dan bertindak secara cerdas dalam mengatasi kemiskinan,
menjauhkan diri dari gesekan konflik SARA, dan globalisasi yang melemahkan kohesivitas bangsa
Indonesia. Di tangan pemuda lah, harapan masa mendatang dapat menjadi lebih baik dari masa
sebelumnya.

Endah Heliana
Staf Lembaga Ketahanan Nasional RI