Akulturasi Budaya Etnis Dayak dan Bali d

Akulturasi Budaya Etnis Dayak dan Bali di Bali Basarang,
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah
Herwin Sutrisno1, Theresia Susi1, Gagoek Hardiman2, Edward E. Pandelaki2
1

Mahasiswa Prog. Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan, Universitas Diponegoro
2
Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
*
[email protected]

Abstrak
Basarang yang berada di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu lokasi penempatan
transmigran asal Bali. Pada saat ini, Basarang dikenal dengan nama Bali Basarang karena kuatnya identitas etnis Bali
yang muncul, dicirikan oleh jagad di halaman depan rumah serta pura yang ada. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi akulturasi budaya etnis Dayak dan Bali yang terjadi di Basarang serta perwujudan akulturasi
tersebut dalam arsitektur. Pendekatan penelitian menggunakan kualitatif deskriptif. Pengumpulan data melalui
wawancara serta pengamatan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, proses akulturasi antara
etnis Dayak dan Bali terjadi melalui interaksi sosial antara keduanya baik interaksi antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok masyarakat maupun antara kedua kelompok masyarakatnya; kedua, model akulturasi
budaya yang terjadi adalah penyesuaian yang muncul dalam bahasa komunikasi yang digunakan serta kebudayaan

fisiknya; ketiga, akulturasi tersebut terimplementasi dari penggunaan simbol Batang Garing dan Burung Tingang
pada bagian candi gelung Pura Jagatnatha dan fasilitas umum lainnya.

Kata kunci: akulturasi budaya, Dayak, Bali, Bali Basarang.
PENDAHULUAN
Pasca meletusnya Gunung Agung di Bali pada tahun 1963, sebagian masyarakat Bali menjadi transmigran. Salah
satu kawasan transmigrasi yang menjadi lokasi penempatan transmigran asal Bali adalah Basarang. Basarang
merupakan kawasan transmigrasi yang terletak di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Pada saat ini,
Basarang lebih dikenal dengan nama Bali Basarang karena kuatnya identitas yang dimunculkan oleh etnis Bali yang
telah bermukim selama berpuluh puluh tahun di sana. Identitas ini dicirikan melalui adanya jagad (tempat ibadah)
pada halaman depan rumah tinggal dan pura tempat bersembahyang di sekitar lingkungan desa (Rado, 2007).
Kuatnya identitas etnis Bali yang berada ditengah-tengah lingkungan masyarakat Dayak sebagai masyarakat lokal
di Provinsi Kalimantan Tengah sangat menarik untuk diteliti dan dipelajari. Meskipun identitas yang dimunculkan
oleh etnis Bali sangat kuat bahkan cenderung mendominasi, hubungan bermasyarakat antara etnis Bali dengan etnis
Dayak tetap harmonis. Keberhasilan etnis Dayak dan Bali menjaga keharmonisan hubungan antara keduanya
menjadi dasar ketertarikan peneliti ditengah kondisi krisis rasa kebangsaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia
(Suseno 2015). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi akulturasi budaya yang terjadi antara etnis Dayak dan
etnis Bali di Basarang serta perwujudan akulturasi tersebut dalam bentuk arsitektur.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah kualitatif deskriptif dan menghasilkan interpretasi, dengan
mengacu pada bukti empiris dilapangan. Penelitian terhadap akulturasi budaya dan bentuk arsitektur yang muncul
akibat akulturasi tersebut dilakukan dengan cara observasi lapangan dan wawancara. Wawancara dilakukan untuk

menggali informasi mengenai akulturasi budaya yang terjadi antara etnis Dayak dan etnis Bali yang ada di Basarang.
Nara sumber yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat dari etnis Dayak dan etnis Bali. Obeservasi lapangan
dilakukan selain untuk mengamati interaksi sosial antara etnis Dayak dan Bali juga dilakukan untuk menggali
perwujudan akulturasi budaya antara keduanya dalam bentuk arsitektur dalam hal ini dilihat dari ornamen
bangunan.
Lingkup wilayah penelitian adalah Kecamatan Basarang yang secara geografis terletak pada
2o ’
o
o
o
LS-3
’ LS dan
’ BT - 114
’ BT dan secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Kapuas, Provinsi
Kalimantan Tengah (Gambar 1). Kecamatan Basarang terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 206 km 2 dengan
jumlah penduduk 17.639 jiwa. Lokasi penelitian terpilih adalah Desa Batu Nindan, Desa Basarang Jaya, Bungai Jaya

dan Desa Lunuk Ramba. Lokasi ini dipilih karena kuatnya identitas Bali yang ada di desa-desa tersebut.

Gambar 1. Orientasi Lokasi Studi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Akulturasi Budaya Dayak dan Bali di Basarang
Masyarakat yang berpindah dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya yang lain akan mengalami suatu
proses sosial budaya yang timbul akibat bertemunya unsur-unsur kebudayaan dari kelompok masyarakat tersebut
dengan unsur-unsur kebudayaan dari kelompok masyarakat yang berbeda. Proses ini juga terjadi pada kelompok
transmigran asal Pulau Bali yang berpindah ke Basarang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang kuat memperlihatkan ciri-ciri yang bersifat religius dan sakral. Mereka
menempatkan unsur kepercayaan, kegiatan upacara, adat serta pantangan dalam posisi dan arti yang penting pada
berbagai segi kehidupan masyarakatnya (Budihardjo, 1991).
Etnis Dayak merupakan masyarakat lokal di Provinsi Kalimantan Tengah. Pada saat ini, masyarakat Dayak sudah
tidak lagi membangun dan tinggal di Huma Betang tetapi esensi serta falsafah yang terkandung dalam Huma Betang
tetap dipelihara dan diwariskan secara turun temurun serta menjadi pandangan hidup masyarakat Dayak. Falsafah
Huma Betang mengandung nilai-nilai kesetaraan, persaudaraan dan kekeluargaan dan belom bahadat (Muhammad
& Abubakar, 2010). Nilai kesetaraan mengandung arti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan

tanggung jawab yang sama, masyarakat Dayak tidak mengenal adanya perbedaan gender. Nilai persaudaraan dan

kekeluargaan berarti masyarakat Dayak bersatu dan berjuang bersama menghadapi tantangan yang ada serta
menyelesaikan permasalahan yang terjadi melalui musyawarah dalam ikatan rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Nilai belom bahadat berarti saling menghormati antara sesama manusia serta nilai-nilai yang dianut oleh orang lain.
Berdasarkan falsafah tersebut, orang Dayak merupakan masyarakat yang bersifat terbuka dan menghargai
masyarakat lain dengan kebudayaan yang berbeda.
Pergaulan serta interaksi yang intensif dalam jangka waktu yang lama antara etnis Bali dan etnis Dayak yang ada
di Basarang, menyebabkan unsur-unsur kebudayaan dari kelompok yang berbeda ini lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses sosial ini
disebut dengan akulturasi (Koentjaraningrat, 2009).
Menurut Stephenson, 1999 dalam (Mustika & Salura, 2008), terdapat empat model akulturasi, yaitu
penyesuaian/asimilated, perpaduan/integrated, peminggiran/marginalized dan pemilahan/separated. Model
akulturasi yang terjadi di Basarang adalah penyesuaian dimana proses penyesuaian dan adaptasi suatu budaya
terhadap budaya lain terjadi tanpa membentuk budaya yang baru. Proses penyesuaian ini muncul melalui bahasa
komunikasi yang digunakan serta kebudayaan fisiknya. Sistem nilai-nilai budaya, keyakinan keagamaan serta adat
istiadat kedua etnis tidak mengalami perubahan.
Bahasa komunikasi yang digunakan oleh etnis Bali untuk berkomunikasi dengan etnis Dayak adalah bahasa Dayak
Ngaju yang merupakan bahasa ibu etnis Dayak yang tinggal di Basarang. Penggunaan bahasa ibu ini digunakan untuk
tujuan kenyamanan dalam berkomunikasi antara kelompok masyarakat tersebut. Bahasa komunikasi antara etnis
Bali dengan kelompoknya tidak mengalami perubahan tetap menggunakan bahasa Bali demikian pula halnya dengan
bahasa komunikasi antara etnis Dayak dengan kelompoknya.

Keharmonisan hubungan bermasyarakat antara etnis Dayak dan Bali di Basarang terbangun melalui rasa
kebersamaan dan kegotong royongan yang muncul dari adanya suatu sikap toleransi dan simpati antara satu dengan
lainnya. Hal ini terjadi karena masing-masing etnis saling menghargai dalam ikatan rasa kebersamaan dan senasib
sepenanggungan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, akulturasi budaya antara etnis Dayak dan etnis Bali terjadi
melalui interaksi sosial antara keduanya baik interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok
masyarakat maupun antara kedua kelompok masyarakatnya. Interaksi sosial tersebut terjadi melalui kegiatan
perkawinan antara etnis Dayak dan Bali, pada saat terjadi peristiwa duka dimana ada warga yang meninggal dunia
ataupun peristiwa yang membahagiakan seperti acara pernikahan. Pada saat pelaksanaan prosesi kematian atau
perkawinan, mereka berbaur dan saling tolong menolong dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan
tersebut. Salah satu contohnya pada saat persiapan dan pelaksanaan upacara perkawinan ataupun upacara
kematian/Ngaben, mereka bergotong royong mempersiapan peralatan serta segala kebutuhan yang diperlukan
dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Dalam tahap persiapan dan pelaksanaan kegiatan tersebut, selain
menggunakan ruang-ruang mikro didalam rumah tempat pelaksanaan kegiatan juga memanfaatkan ruang luar
seperti halaman depan dan halaman samping, jalan bahkan ruang luar yang terletak diantara rumah tersebut dengan
rumah tetangga (Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4).

Gambar 2. Interaksi sosial pada saat upacara
perkawinan di Basarang


Gambar 3. Interaksi sosial pada saat upacara
kematian/Ngaben di Basarang

Gambar 4. Interaksi sosial pada perkawinan etnis Dayak dan Bali di Basarang

Wujud Arsitektural Akulturasi Dayak dan Bali di Basarang
Dari hasil obeservasi lapangan, ditemukan bahwa perwujudan akulturasi budaya Dayak dan Bali dalam bentuk
arsitektur terimplementasi dalam kebudayaan fisiknya. Kebudayaan fisik adalah benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat, 1984). Manusia secara naluriah akan menyederhanakan bentuk fisik lingkungan visualnya
termasuk komposisi bentuk kedalam bentuk-bentuk paling sederhana dan teratur supaya mudah diterima dan
dimengerti yaitu kedalam wujud-wujud dasar berupa lingkaran, segitiga, dan bujur sangkar (Ching, 2000).
Perwujudan akulturasi tersebut muncul pada wujud ornamen bangunan. Ornamen bangunan khas etnis Dayak
berupa ornamen Batang garing serta Burung Tingang diadopsi pada pintu gerbang pura/tempat peribadatan
masyarakat Bali serta pada pintu gerbang fasilitas umum yang terdapat di Basarang.
Batang garing/pohon kehidupan merupakan representasi kosmologi semesta bagi masyarakat Dayak. Batang
garing merupakan perlambang tiga tingkatan kosmos dalam masyarakat Dayak yaitu alam atas, alam manusia dan
alam bawah. Alam atas adalah tempat bersemayamnya Ranying Hatalla Langit, alam manusia merupakan tempat
manusia berada, sementara alam bawah adalah tempat bersemayamnya Jata. Hal ini mengandung arti bahwa dunia
ini hanyalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tempat tinggal yang sebenarnya adalah Lewu Tatau
yang berada di alam atas. Oleh sebab itu orang Dayak harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan

keduniaan dan kepentingan akhirat serta hidup selaras dengan alam. Burung Tingang merupakan hewan "suci"
dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak. Burung Tingang melambangkan alam atas atau Ranying Hatalla Langit
yang merupakan sumber segala kehidupan alam. Hal ini berarti bahwa asal-usul kehidupan berasal dari atas/sang
pencipta.
Pura Jagatnatha merupakan sentral bagi umat Hindu Bali yang berada di ketujuh Banjar Adat yang ada di
Basarang. Pura ini ditempatkan sebagai Kahyangan Tunggal, berada dalam posisi tengah dan dipinggir jalan Trans
Kalimantan. Hal ini sebagai tanda bahwa masayarakat Bali yang berada disuatu banjar adat merupakan wilayah
otonom karena telah memiliki tempat suci untuk Sthana Hyang Widhi. Pada bagian candi gelung Pura Jagatnatha
terdapat ornamen Batang Garing dan Burung Tingang (Gambar 5). Candi gelung merupakan gerbang masuk bagi
orang-orang yang mau bersembahyang di pura. Candi gelung juga merupakan pembatas antara daerah privat dan
semi privat dalam pura. Dasar penggunaan ornamen Batang garing serta Burung Tingang pada bagian candi gelung
karena selain mengandung philosofi kehidupan yang baik juga merupakan bentuk adaptasi masyarakat Bali terhadap
kebudayaan masyarakat lokal yaitu Dayak.

a

b

Gambar 5. (a) Ornamen Batang Garing Pada Pura Jagatnatha di Basarang
(b) Ornamen Burung Tingang Pada Pura Jagatnatha di Basarang


Pada pintu gerbang-gerbang fasilitas umum seperti sekolah dan kantor pemerintahan yang terdapat di Basarang
juga ditemukan ornamen Batang Garing dan Burung Tingang (Gambar 6). Penggunaan ornamen tersebut pada
tempat-tempat yang menjadi ruang publik merupakan perwujudan bentuk akulturasi budaya antara etnis Dayak dan
Bali yang berada di Basarang.

Gambar 6 Ornamen Batang Garing dan Burung Tingang Pada Fasilitas Umum (Gerbang Sekolah dan Gerbang Kantor Desa di Basarang)

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, proses akulturasi antara etnis Dayak dan Bali berlangsung melalui
interaksi sosial antar keduanya baik dalam pelaksanaan kegiatan perkawinan yang terjadi antara kedua etnis
tersebut, pada pelaksanaan upacara kematian maupun perkawinan. Keharmonisan hubungan bermasyarakat antara
etnis Dayak dan Bali di Basarang terbangun melalui rasa kebersamaan dan kegotong royongan yang muncul dari
adanya suatu sikap toleransi dan simpati antara satu dengan lainnya. Kedua, model akulturasi yang terjadi di
Basarang adalah penyesuaian yang muncul melalui bahasa komunikasi yang digunakan serta kebudayaan fisiknya.
Sistem nilai-nilai budaya, keyakinan keagamaan serta adat istiadat kedua etnis tidak mengalami perubahan. Ketiga,
perwujudan akulturasi budaya Dayak dan Bali dalam bentuk arsitektur terimplementasi dalam kebudayaan fisiknya
berupa penggunaan ornamen batang garing dan burung tingang pada pintu gerbang pura/tempat peribadatan
masyarakat Bali serta pada pintu gerbang dari fasilitas-fasilitas umum yang ada di Basarang. Penggunaan ornamen
tersebut merupakan bentuk adaptasi masyarakat Bali terhadap budaya Dayak sedangkan penggunaan pada fasilitas

umum merupakan perwujudan bentuk dari akulturasi budaya antara etnis Dayak dan Bali yang berada di Basarang.

DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, E., 1991. Architectural Conservation In Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ching, Francis DK. 2000. Arsitektur Bentuk, Ruang, dan Tatanan. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat, 1984. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djembatan.
Muhammad & Abubakar, H. M., 2010. Falsafah Hidup Budaya Huma Betang dalam Membangun Kerukunan Hidup Umat
Beragama di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Yogyakarta: Aditya Media Pub.
Mustika, A. & Salura, P., 2008. Adopsi Budaya Pada Arsitektur Betwai. In: P. Salura, ed. Colours of Cultures In Architecture.
Bandung: Cipta Sastra Salura, pp. 5-30.
Rado, J., 2007. Morfologi Arsitektur Permukiman Masyarakat Bali di Kecamatan Basarang Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah,
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana.
Suseno, F. M., 2015. Berebut Jiwa Bangsa Dialog Perdamaian dan Persaudaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Catatan: Makalah ini Sudah di presentasikan pada Seminar Nasional 2015 Semesta Arsitektur Nusantara-3 Universitas
Brawijaya Malang.