EVOLUSI KESADARAN pers dan evolusi

EVOLUSI KESADARAN, INDUSTRI MEDIA DAN MELEK MEDIA
Oleh Yosal Iriantara
Dalam sebuah seminar di Surabaya tahun 2005, seorang guru besar satu universitas
negeri di Jawa Timur secara satiris menyatakan, kini betapa banyak warga masyarakat yang
bertanya kapan kebebasan pers akan berakhir. Alasannya, secara psikologis merasa tidak
nyaman berhadapan dengan kebebasan pers itu. Orang jadi makin mudah memperoleh media
cetak yang dinilai tidak senonoh, mulai dari gambar seronok hingga informasi yang
sebenarnya tidak perlu diketahui publik karena persoalannya memang bersifat pribadi.
Wakil media yang hadir dalam seminar tersebut menjelaskan, banyak pihak yang
‘mendompleng’ kebebasan pers. Dia mencontohkan, pornografi bukanlah produk pers namun
memanfaatkan kebebasan pers untuk menjual komoditas pornografis. Pornografi dan media
adalah dua hal yang berbeda, meski menggunakan jalur yang sama yakni jalur kebebasan
pers. Wakil pers itu juga menyatakan kekhawatirannya, bila ungkapan satiris yang
disampaikan guru besar tadi akan mempengaruhi persepsi banyak orang tentang makna
kebebasan pers yang sejak lama diperjuangkan oleh kalangan pers. Dia merasa khawatir bila
kebebasan pers hanya menjadi berarti bebas menyajikan informasi atau gambar yang tidak
bermakna apa-apa secara sosial seperti pornografi tadi, akhirnya membuat orang untuk lebih
memilih “ketidakbebasan” pers.
Makna kebebasan pers kini lebih populer dengan istilah kebebasan media inilah yang
kerap dilupakan. Untuk siapa sebenarnya kebebasan media itu? Apakah hanya demi
kepentingan komersial industri media? Apakah demi kemaslahatan hidup manusia? Atau,

sekedar aksesori untuk menggenapkan “rukun” negara demokratis? Lebih jauh lagi tapi lebih
sederhana, peranyaannya menjadi: Untuk apa kebebasan media?
Tulisan ini diniatkan membahas permasalahan tersebut dengan latar perubahan
mediascape yang sedang terjadi di Indonesia, setelah lebih dari 10 tahun mengalami masa
transisi dari negara yang otoriter menjadi negara demokratis. Perubahan mediscape itu
tampak dari bermunculannya stasiun televisi komersial baik yang bersiaran nasional maupun
lokal, radio swasta yang diperbolehkan menyiarkan berita dan tidak perlu lagi merelai siaran
berita dari RRI, lahir, mati dan tumbuhnya industri media cetak komersial serta lahirnya
media baru yang berbasis internet yang antara lain sering melaporkan berita saat peristiwanya
berlangsung. Tentu juga tidak bisa kita pungkiri isi media yang jika dilihat dari sisi nilai,
 Apresiasi atas kembara pikir Prof.Dr. Achmad Sanusi lewat ilmu komunikasi

tidak terasa atau minimal tidak terlihat manfaatnya bagi kemaslahatan hidup bersama sebagai
bangsa atau sebagai manusia.
Dalam konteks seperti inilah, kita bisa memaknai bahwa kebebasan informasi akan
melahirkan kesejahteraan seperti yang dikemukakan ekonom Amartya Sen. Karena kita bisa
juga bertanya, informasi seperti apa yang dipertukarkan yang akan membawa kesejahteraan
itu? Tentu bukan informasi remeh-temeh, isi media yang hanya membongkar aib pribadi figur
publik yang akan mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat. Karena di dalamnya juga
tidak akan ada kontrol sosial, yang merupakan salah satu tugas media di negara demokrasi.

A. Industri Media di Indonesia
Setelah terjadi perubahan tatanan politik di Indonesia, yang populer dengan sebutan
reformasi, dunia media massa mengalami perubahan mendasar. Bukan hanya terjadi
peningkatan jumlah media massa ─cetak dan elektronik─ tapi juga secara kualitatif
terjadi perubahan sifat dan keragaman isi media massa. Iklim kebebasan pers atau
kebebasan media memungkinkan terjadinya perubahan mendasar itu. Pada era reformasi
ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang industri media massanya berkembang
dengan pesat.
Jumlah stasiun televisi yang mengudara secara nasional saat ini bertambah, dari 6
stasiun sebelum era reformasi menjadi 11 stasiun. Di samping itu, ada juga stasiunstasiun televisi yang mengudara secara regional seperti TVRI Stasiun Bandung, TVRI
Stasiun Denpasar, TVRI Stasiun Samarinda dan Papua-TV. Selain ada juga yang
mengudara secara lokal seperti J-TV, Programa 2 TVRI Jakarta, Bandung TV, dan
Bontang-TV. Berdasarkan hasil penelitian Agus Sudibyo (2004: 154-157) di luar 22
stasiun regional yang dimiliki TVRI ada 48 stasiun televisi lokal baik milik swasta
maupun pemerintah kota/kabupaten. Dengan demikian, saat ini setidaknya ada 81 stasiun
televisi di Indonesia. Di samping itu, ada juga siaran televisi yang disalurkan hanya
kepada pelangganya, yang biasa dinamakan TV kabel, yang didistribusikan antara lain
melalui Indovision dan Telkomvision.
Sedangkan stasiun radio swasta nasional yang tadinya hanya mengudara secara lokal,
beberapa di antaranya kini mengudara secara nasional melalui saluran satelit sehingga

dinamakan radio satelit, seperti Prambors dengan Radio-Net-nya. Selain beberapa
stasiun radio yang membentuk jaringan sehingga satu stasiun radio siarannya dapat
diterima di beberapa kota seperti Radio Elshinta. Selain ada juga stasiun radio asing yang
direlai stasiun radio lokal seperti BBC dan Voice of America (VOA). Siaran VOA pernah

dipancarkan melalui stasiun televisi yang mengudara secara nasional yakni Metro-TV
dan Indosiar.

Tercatat ada 803 stasiun radio milik pemerintah dan swasta yang

mengudara di Indonesia, yang terdiri atas 678 stasiun radio yang mengudara di jalur AM,
43 di jalur FM dan 82 di jalur SW. Namun tidak diperoleh data untuk radio komunitas
yang ada di seluruh Indonesia.
Sedangkan untuk media cetak, jumlah media cetak yang terbit di Indonesia tak bisa
diketahui dengan pasti. Mengingat banyak media cetak ─koran harian, majalah dan
tabloid─ yang terbitnya tidak teratur dan banyak pula yang hanya sekali dua kali terbit,
setelah itu tidak terbit lagi. Keadaan ini terjadi terutama karena setelah era reformasi
media cetak tidak lagi memerlukan ijin terbit. Cukup mendaftarkan perusahaan
penerbitan pers itu sebagai badan usaha seperti halnya perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam bidang usaha non-pers.

Ahli komunikasi dari Universitas Indonesia S. Djuarsa Sendjaja (1993:118), melihat
tiga hal yang menandai kecenderungan perkembangan media massa di Indonesia, yaitu:
a. Pengelolaan usaha di bidang media massa tidak lagi dilakukan dalam bentuk yayasan
serta semata mengutamakan aspek idealnya, tetapi berupa PT (Perseroan Terbatas)
yang didukung sistem manajemen profesional dan penggunaan produk-produk
teknologi canggih serta mengarah pada komersialisme.
b. Semakin banyaknya para pengusaha nasional atau lazim disebut para “konglomerat”
yang menanamkan modalnya di bidang usaha media massa.
c. Media massa yang ada semakin beragam bentuknya dan mengarah pada spesialisasi.
Perkembangan itu mengubah mediascape Indonesia sehingga membawa masyarakat
Indonesia menjadi masyarakat yang hidup dalam apa yang biasa diistilahkan sebagai
“dunia sesak-media” (media-saturated world). Media massa pun mengalami perubahan
dari “media perjuangan” menjadi “media komersial”. Menurut Goonasekera (1998:101)
tipe ideal media massa di Indonesia adalah model komunitarian yang pada satu sisi
menempatkan keuntungan sebagai prioritas media massa, namun pada sisi lain, media
massa bersama pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
dalam praktiknya, media massa di Indonesia memasuki era komersialisme yang bertemu
dengan kebebasan media, sehingga perikehidupan media bisa dikatakan mulai memasuki
era keemasannya sebagai industri.
Sayangnya era keemasan industri media yang berkembang karena dukungan

teknologi dan adanya komitmen negara terhadap kebebasan media ini pada satu sisi
melahirkan konisi yang tak menggembirakan. “Pendompleng-pendompleng” kebebasan

media ini cukup banyak. Menyatu dan berpadu dengan media yang pada akhirnya pada
satu sisi kita melihat keragaman jenis dan bentuk media yang dikonsumsi masyarakat
dan pada sisi lain kita pun menyaksikan media yang makin komersial dan memanjakan
selera khalayaknya sampai lupa melakukan refleksi atas makna kebebasan media yang
sedang dinikmatinya itu.
B. Isi Media
Isi media komersial, sesuai dengan namanya, tentu disajikan untuk memuaskan selera
khalayaknya. Kita bisa menyaksikan bagaimana stasiun-stasiun televisi menyajikan acara
yang identik. Satu stasiun sukses dengan sinetron yang disebut sinetron religi, maka
stasiun-stasiun lain pun akan melakukannya karena sinteron seperti itulah yang
dipandang memuaskan seleranya. Kita juga menyaksikan, bagaimana acara bergunjing
yang diberi nama infotainment disiarkan hampir semua stasiun televisi. Dalam acara
seperti itu, perosoalan-persoalan privat figur publik disajikan seolah-olah menjadi
persoalan publik, bahkan terkadang berlindung di balik adagium hak publik untuk
memperoleh informasi.
Secara konseptual, isi media selalu dikategorikan menjadi


isi yang

menginformasikan, mendidik dan menghibur. Dalam perkembangan berikutnya, isi
tersebut kemudian ramuan dari ketiga kategori itu, sehingga kita mengenal isi media
yang mendidik namun menghibur (edutainment), memberi informasi dan menghibur
(infotainment). Namun harus diakui kemudian terjadi pergeseran pada isi media yang
berupa ramuan itu, karena bobot hiburannya lebih besar, bahkan hiburannya pun
merupakan hiburan dengan h kecil bukan dengan H besar.
Lebih dari itu, isi media yang isinya tidak mengandung muatan informasi bagi
kepentingan publik melainkan informasi yang disukai publik pun diberi nama generik
infotainment. Makin samarlah batas-batas antara informasi yang dibutuhkan dan menjadi
kepentingan publik, dengan informasi yang disukai publik. Begitu juga dengan hiburan
dan pendidikan, menjadi lebih diarahkan pada apa yang disukai publik bukan yang
dibutuhkan dan menjadi kepentingan publik.
Persaingan ketat antarmedia sejenis atau antarmedia yang berbeda, rupanya
melahirkan kenyataan media menggunakan selera publik sebagai alat memenangkan
persaingan itu. Bagaimana memuaskan selera publik, bukan kebutuhan atau kepentingan
publik, sudah terbukti dalam sejarah industri media sebagai sarana paling handal dalam
memenangkan persaingan ketat. Kemampuan bertahan bagi yang paling handal (survival


for the fittest) dirumuskan dengan kemampuan membaca selera dan keinginan publik,
untuk kemudian diikuti dengan eksploitasi atas selera publik tersebut, yang kadangkala
dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan akal-sehat bahkan menumpulkan
logika.
Kritik tajam terhadap fakta isi media yang seperti itu, sebenarnya sudah cukup
banyak. Namun media tentunya akan lebih banyak memperhatikan apa yang menjadi
selera khalayaknya, dan bukan selera kritisi media. Inilah yang diungkapkan ahli
komunikasi dari Universitas Airlangga Henry Subiakto (2005:3) sebagai menempatkan
khalayak menjadi konsumer (consumers) dan bukan sebagai warga negara (citizens).
Selanjutnya dinyatakan Subiakto (2005:3), tujuan utama media komersial adalah
menghasilkan keuntungan bagi pemilik dan pemegang sahamnya, dan bukan mendorong
mengembangkan warga negara yang aktif. Konsekuensi dari perkembangan tersebut,
media komersial mendorong khalayaknya “menikmati dirinya sendiri dan membeli
produk, sehingga media massa menyajikan apa yang laku atau populer di masyarakat
tanpa memperdulikan apakah hal tersebut melecehkan logika, mengacak-acak budaya,
menumpulkan hati nurani, atau mengabaikan kepentingan publik” (Subiakto, 2005:3).
Tanggung jawab sosial yang sesungguhnya melekat pada kebebasan media, menjadi
persoalan yang makin jarang dipercakapkan. Meski tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi
terkesan ada semacam keyakinan bahwa tanggung jawab sosial itu mengerangkeng
kebebasan media. Antara kebebasan dan tanggung jawab rupanya lebih dipandang

sebagai satu kontinum, ketimbang dua sisi dari sekeping uang. Dengan dipandang
sebagai kontinum, maka praktik media akan dipandang seperti pendulum. Bila berayun
ke arah tanggung jawab sosial akan dipandang mengurangi derajat kebebasan dan bila
berayun ke arah kebebasan maka untuk sesaat tanggung jawab sosialo diabaikan dulu,
yang penting selera khalayak dipuaskan.
Dalam cara pandang seperti itu, maka yang dicari adalah keseimbangan antara
kebebasan dan tanggung jawab sosial. Sayangnya, karena cara pandang sebagai
kontinum itu, keseimbangan (ekuilibirium) tidak selalu tercapai. Kondisi antara
kebebasan dan tanggung jawab sosial selalu berada dalam kondisi disekulibirium.
Bila cara pandangnya menggunakan koin alias sekeping mata uang, maka kita akan
melihat bahwa pada kebebasan akan ada tanggung jawab dan pada tanggung jawab ada
kebebasan. Kita hanya akan bisa meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang
memiliki kebebasan. Tanpa ada kebebasan (bertindak, berbuat, menyajikan informasi)
maka sulit untuk bisa meminta pertanggungjawaban. Dalam konteks ini, antara

kebebasan dan tanggung jawab tidak dipandang dikhotomis atau diupayakan untuk
memperoleh keseimbangan. Melainkan lebih pada bagaimana kedua hal tersebut
dijalankan dalam praktik profesional (awak) media.
C. Evolusi Kesadaran
Dalam pandangan aliran neo-evolusionisme/neo-Darwinisme, evolusi fisikal

manusia sudah berakhir. Kini manusia sedang berjalan dalam evolusi nonfisikal,
khususnya kesadaran dan nilai. Dalam evolusi ini, arah gerak peradaban selalu
diandaikan menuju kondisi yang terbaik meski faktanya tidak selalu begitu. Ada kalanya
manusia berputar pada titik yang sama, namun dipersepsi seolah-olah sedang bergerak
maju, namun sesungguhnya tidak beranjak sedang menjadi lebih baik. Bahkan mungkin
sebaliknya, sedang berjalan menjadi semakin memburuk. Antara maju, diam di tempat
dan mundur, tidak cukup tersadari karena kita memang tidak tahu atau tidak mau tahu
bagaimana semua itu sedang bergerak, berubah atau tumbuh dan berkembang. Semua
dipandang sebagai pergerakan, perubahan, pertumbuhan dan perkembangan alamiah
belaka yang diikuti begitu saja tanpa ada upaya untuk memberi arah. Semua dipandang
mengalir seperti sungai menuju laut.
Apalagi arah perubahan, pertumbuhan dan perkembangannya sendiri tidak berjalan
linear. Ada yang mundur, ada yang maju, ke atas ke bawah, lama dan baru muncul,
bersatu begitu rumit bahkan semrawut. Karena kita memang berjalan dalam dinamika
spiral yang terkadang membuat kita merasa sedang maju, padahal sedang mundur, terasa
naik namun sesungguhnya turun. Atau bisa juga hanya berjalan di tempat saja, selama
beberapa waktu namun dipandang kita sedang melakukan perjalanan menuju kondisi
yang lebih baik.
Gambar 1 memvisualisasikan dinamika spiral itu. Kita secara melingkar diidealkan
makin lama makin menaik menuju kondisi yang lebih baik. Dari individu, komunitas,

masyarakat atau warga-bangsa yang digerakan secara instinktif menjadi imitatif, lalu
akhirnya menggunakan qalbunya dan akhirnya menjadi holistik. Gerak dinamis seperti
ini, berlangsung secara evolusioner. Namun evolusinya tidak dilandaskan pada
perubahan yang digerakkan pihak luar melainkan digerakkan oleh daya-daya yang
dimiliki individu, komunitas, masyarakat atau warga bangsa itu. Bisa daya pikirnya, daya
nilainya, sumberdaya alam yang dikelolanya, kapital sosial dan budaya yang dimilikinya
dan seterusnya.

Tantu saja, media massa menjadi salah satu sumberdaya yang sejatinya bisa
dipergunakan bangsa ini untuk menjalani perubahan, pertumbuhan dan perkembangan
dengan menyajikan informasi, pendidikan dan hiburan yang memang mendorong ke
tangga sosial yang lebih tinggi. Bukan informasi yang misalnya hanya membuat bangsa
ini tertahan pada level instinktif belaka dengan memberikan informasi yang mengintip
kehidupan pribadi orang lain (voyeurisme) atau menggunjikan orang lain. Bukan
informasi yang hanya meodrong orang saling mencaci dan melakukan tindakan tidak
produktif bahkan destruktif melainkan informasi yang memberi ilham (inspiring)
sehingga individu, komunitas, masyarakat dan warga bangsa terdorong untuk membuat
dirinya menjadi lebih baik, lebih unggul dan lebih bermanfaat bagi manusia lainnya.
Bukankah, seperti dinyatakan dalam hadist, “sebaik-baik manusia adalah manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya”?


Gambar 1: Dinamika Spiral
Sumber: Adaptasi dari Center for Human Emergence
Dalam konteks dinamika spiral itu, arah pergerakan, perubahan, pertumbuhan dan
perkembangan yang antara lain didorong dan difasilitas media itu dapat dikerangkai

melalui evolusi kesadaran seperti yang divisualisasikan pada Gambar 2. Dalam
pertumbuhan dan perkembangan individu, misalnya, kita bergerak menuju kemanusiaan
universal setelah kita mencapai atau memiliki pandangan dunia yang baru. Kita muncul
menjadi pribadi yang bersama-sama orang lain membangun kemaslahatan (ko-kreatif),
yang membina relasi ko-kreatif seperti melalui silaturahmi dan saling menghargai, lalu
memiliki vokasi ko-kreatif bukan destuktif baik lahir maupun batin, sehingga akhirnya
kita bisa mencapai tatanan masyarakat ko-kreatif.
Perjalanan evolutif seperti ini bergerak dalam dinamika spiral, yang terkadang
membuat kita bahagia dan bangga karena sudah bisa menjadi lebih baik, kadangkala
dihadapkan pada keputusasaan dan mengalami jalan buntu karena meski segenap ikhtiar
sudah dilakukan namun perubahan tak kunjung terjadi, kadangkala berlangsung biasabiasa saja karena tidak membutuhkan begitu banyak ikhtiar namun hasilnya cukup
memuaskan. Namun, dengan kemampuan berpikirnya, yang antara lain dibangkitkan
melalui pendidikan dan informasi dari media massa, manusia sebenarnya berkemampuan
untuk terus menjadi lebih baik.

Gambar 2 Evolusi Kesadaran
Diolah dari Hubbard, B.M. (tt).
Dengan pandangan dunia yang baru, kita misalnya mengubah cara pandang kita
terhadap media massa dan cara kita mengonsumsi media massa. Informasi yang
diperoleh lewat media massa yang dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat
yang dikemukakan Amartya Sen itu, tentulah informasi yang mendorong diri kita
bergerak menuju tangga yang lebih tinggi dalam dinamika spiral. Bukan informasi atau

isi media yang menyenangkan namun sebenarnya sedang membenamkan kita bersama
baik secara individual, komunitas, masyarakat atau pun sebagai warga bangsa.
Pada sisi lain, praktik pertukaran informasi dalam komunikasi sosial kita sendiri pun
seyogyanya berlangsung dengan mempertimbangkan dinamika spiral tadi. Kita
melakukan komunikasi sosial yang bermanfaat dan membawa kemaslahatan, bukan
komunikasi sosial yang saling menghancurkan, saling menistakan dan saling
merendahkan. Bila diperluas, praktik komunikasi seperti itu tentu diharapkan juga
berlangsung dalam komunikasi politik dan komunikasi budaya kita.
D. Acuan Nilai
Bila dalam evolusi fisikal, informasi yang diwariskan pada generasi berikutnya
disimpan dalam gen, maka dalam evolusi kesadaran kita pun mendapat warisan dari
generasi sebelumnya yakni nilai yang disimpan dalam memes. Dalam ajaran Islam, nilainilai tadi menjadi bagian dari fitrah manusia, seperti nilai ketauhidan yang di-install-kan
sebelum kita lahir dan jadi komitmen kita pada Allah swt.
Kecenderungan pada nilai-nilai kebaikan itu secara memetik memang kita miliki.
Dalam berbagai kesempatan, Prof. Dr. Achmad Sanusi selalu menjelaskan 5 nilai dasar
yang hendaknya menjadi acuan dalam segenap tindakan, pikiran dan perilaku kita.
Kelima

nilai

tersebut

meliputi

(a)

nilai

ilahiyah/teologis,

(b)

nilai

guna/manfaat/teleologis, (c) nilai logis, (d) nilai etik, dan (e) nilai estetika.
Evolusi kesasadaran yang berlangsung itu, tidak selalu berjalan dengan mengacu
pada kelima nilai tersebut. Bahkan bukan mustahil, justru evolusi berlangsung dengan
mengabaikan dan tidak mempertimbangkan sama sekali kelima nilai tadi sehingga
evolusi berjalan di tempat atau bahkan mundur dan terjatuh. Tentu saja tidak semua
aspek dalam kehidupan sosial kita secara bersama-sama maju atau mundur atau
mengabaikan nilai.
Ada aspek kehidupan sosial kita yang sudah sepenuhnya maju namun tidak
memperhatikan nilai dasar tadi. Ada pula yang sudah menggunakan nilai dasar namun
masih tetap berjalan di tempat. Artinya dunia sosial, budaya, ekonomi, pendidikan,
komunikasi, pertahanan dan keamanan kita memiliki kecepatan yang berbeda dalam
tumbuh, berkembang dan berubah juga memiliki ketaatan dan kesungguhan yang
berbeda dalam menjalankan dan mewujudkan nilai-nilai dasar tadi. Kondisi inilah yang
membuat kita berada dalam kondisi kompleksitas yang bisa saja akhirnya membawa
pada kesemrawutan (chaos).

Di sini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai tersebut menjadi bagian penting
dalam upaya kita untuk melakoni hidup sosial, kultural, ekonomi, politik, pendidikan,
komunikasi, pertahanan dan keamanan yang berbasis nilai untuk menapaki dinamika
spiral yang seringkali bergerak tanpa kita bisa duga arahnya. Inilah yang membuat kita
membutuhkan pegangan sekaligus pedoman arah tindakan kita dalam dinamika
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Kita juga memerlukan landasan untuk
mendorong kita bergerak menuju kondisi yang lebih baik dalam evolusi kesadaran dan
menapaki jenjang dalam dinamika spiral itu.
Kita perlu memperhatikan nilai-nilai itu mengingat secara konseptual, kita bisa
merasakan terjadinya perubahan itu setidaknya karena tiga pendorong perubahan, yaitu
(a) adanya visi baru, yang sudah kita bahas di atas, (b) tekanan masyarakat yang
berkaitan dengan dimensi etik, yang juga sudah kita bahas, dan (c) ketidakpuasan. Untuk
hal yang disebut terakhir itu, cukup banyak contoh bagaimana perubahan yang
berlangsung karena ketidakpuasan itu seperti gerakan reformasi politik di Indonesia atau
berbagai gerakan sosial yang muncul di Eropa seperti Revolusi Prancis.
E. Kebebasan Media dan Evolusi Kesadaran
Ideal kebebasan media adalah tercapainya kesejahteraan sosial dan kebahagiaan
warga negara sebagai wujud kemaslahatan sosial. Kebebasan media bukan berarti adanya
atau tersedianya kebebasan untuk menyajikan apa pun sebagai isi media tanpa
memperhatikan kelima nilai yang dikemukakan tadi. Bisa saja orang hanya berpikir
dengan mengacu pada nilai teleologis belaka, yang kemudian dipersempit menjadi
bermakna dan bermanfaat bagi media semata. Namun tidak memberikan manfaat apa
pun pada masyarakat secara keseluruhan apalagi bisa turut membantu masyarakat untuk
menapaki dinamika spiral menjalani evolusi kesadaran menuju masyarakat yang lebih
baik.
Melihat isi media di Indonesia saat ini, khususnya media arus-utama (mainstream),
kita bisa menyaksikan apa yang kemudian melahirkan ungkapan satiris “kapan
kebebasan media ini akan berakhir?” Televisi komersial kita didominasi tayangan
hiburan dengan h kecil, media cetak khususnya tabloid menyajikan informasi yang tidak
tampak urgensinya bagi kemaslahatan sosial, dan koran-koran kuning juga hanya
menyajikan sisi gelap dunia sosial kita. Nuansa pencerahan sosial, kultural, ekonomi,
politik, dan pendidikan makin sulit dijumpai melalui media setelah kebebasan pers
diperoleh industri media di Indonesia.

Dalam kritik lama, media seringkali dipandang sebagai penyebab bergesernya idola
produktif menjadi idola konsumtif. Maksudnya, bila sebelumnya kita mengidolakan
tokoh-tokoh produktif yang melahirkan perubahan, yang inovasinya membuat
masyarakat berubah dan menjadi lebih baik, yang ijtihadnya melahirkan perubahan di
tengah masyarakat kini justru mengidolakan orang-orang yang konsumsinya berlebih,
luar biasa dan mimpi bagi banyak orang. Ini terwujud misalnya dalam tayangan tentang
kemewahan atau gaya hidup konsumtif kalangan pesohor yang kemudian didambakan
menjadi gaya hidup oleh banyak orang. Orang pun akhirnya lebih senang diberi daripada
memberi.
Kebebasan media, yang sekarang sedang dinikmati di Indonesia, tentunya tidak
abdikan untuk pencapaian tujuan korporasi media belaka. Kebebasan media bagaimana
pun akan diabdikan pada kemaslahatan sosial dan bersama-sama lingkungannya untuk
memperbaiki perikehidupan sosial masyarakat Indonesia. Secara konstitusional, tentu
kebebasan media ini diabdikan untuk mencapai tujuan sosial. Dalam konteks
kemaslahatan sosial, kebebasan media itu dengan sendirinya diabdikan untuk melahirkan
kondiri ko-kreatif dalam proses ko-evolusi bersama aspek lain kehidupan untuk
memperbaiki kehidupan dan menjalankan peran sebagai khalifah yang akan
memakmurkan bumi ini.
Sekaitan dengan hal tersebut, maka kebebasan media itu tentu dijalankan untuk
mencapai kemaslahatan sosial melalui evolusi kesadaran dalam dinamika spiral
perubahan, pertumbuhan dan perkembangan sosial. Fungsi kontrol sosial yang diemban
media, tentunya kontrol dalam kerangka perjalanan menapaki dinamika spiral untuk
menuju masyarakat Indonesia yang perilaku, tindakan, pemikiran dan niat yang tidak
sekedar instinktif atau imitatif. Melainkan masyarakat yang memiliki kemampuan kokreatif yang dalam bahasa konstitusi dinyatakan sebagai “turut menjaga perdamaian
dunia” itu.
Kebebasan media bukanlah peluang bisnis bagi korporasi padat-modal untuk
mengeksploitasi selera publik, sehingga khalayak media lebih diposisikan sebagai
konsumen ketimbang warga negara. Karena bila diperlakukan sebagai konsumen, maka
media dengan kebebasan yang dimilikinya hanya akan berusaha sekuat tenaga dan sebisa
mungkin untuk memuaskan selera bahkan selera instinktif dan imitatif khalayak demi
manfaat finansial yang diperoleh media tersebut. Bila diperlakukan sebagai warga
negara, maka media akan mengajak khalayaknya untuk bertindak demi kemaslahatan

bersama dengan cara yang adakalanya tidak sesuai dengan selera dan keinginan
individualnya namun bermanfaat bagi kemaslahatan sosial.
Bila kebebasan media semata membawa pada pemosisian khalayak sebagai
konsumen, maka kritik menggeser idola produktif menjadi idola konsumtif itu,
diwujudkan oleh media sendiri. Dalam kondisi seperti itu, tidak banyak yang dapat
diperoleh masyarakat untuk memperoleh pencerahan dalam proses evolusi kesadaran,
bahkan mungkin saja hanya memberi kekaburan dan keburaman untuk melihat arah
evolusi kesadarannya. Dengan begitu, jangankan bisa menapaki tangga-tangga dalam
proses yang berlangsung di spiral dinamika, malah sebaliknya mungkin turun dalam
tangga-tangga itu menuju tingkatan yang lebih bawah atau setidaknya merasa lebih baik
pada saat sesungguhnya sedang mengalami kondisi memburuk.
F.

Gerakan Melek Media
Mengingat konsep ko-evolusi, maka apa yang terjadi pada media massa Indonesia
sekarang ini tentunya penting untuk diimbangi oleh masyarakat sendiri. Bila media sudah
berevolusi sehingga menjadi seperti sekarang ini, tentu juga harus diimbangi oleh evolusi
yang terjadi di masyarakat khususnya dalam interaksinya dengan media massa. Konsep
penguatan masyarakat untuk menaikkan posisinya dalam lingkungan media yang
semakin bebas adalah melek media. Secara sederhana, melek media merupakan upaya
untuk melahirkan konsumen media yang cerdas yang turut mempengaruhi apa yang
sebaiknya disajikan media massa untuk mendorong perubahan, pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat.
Konsep melek media sendiri mengalami perubahan sejak konsep ini dikembangkan
pada tahun 1960-an. Pada tahun 1960-an, saat UNESCO mulai mengemukakan istilah
melek media, konsep yang dikembangkan adalah upaya perlindungan (proteksi) warga
masyarakat dari pengaruh buruk media massa. Pada tahun 1980-an, mulai terjadi
perubahan konsep melek media dari proteksi menjadi preparasi, sehingga kegiatan
pendidikan melek media lebih diarahkan untuk mempersiapkan warga masyarakat untuk
hidup di dunia sesak-media. Sedangkan pada tahun 1990-an, terjadi perubahan konsep
melek media dari pendidikan menjadi gerakan sosial. Meski melek media dapat
merupakan satu gerakan sosial terhadap media massa, namun dasar gerakan sosial
tersebut adalah pendidikan melek media.
Oleh karena itu, melek media dapat diberi arah baru sebagai upaya mendorong
evolusi kesadaran masyarakat agar media massa menjalankan kebebasannya untuk

dibadikan pada ikhtiar mendorong proses evolutif kesadaran. Artinya, memperkuat posisi
khalayak media untuk memberikan tekanan terhadap media agar menjalankan amanah
kebebasan pers, yakni untuk menjamin kemaslahatan bersama dan bukan demi
kepentingan dan keuntungan korporasi media belaka.
Melalui gerakan melek media kita bisa membangun visi baru mengenai tugas dan
tanggung jawab sosial yang menyertai kebebasan media. Visi baru tersebut adalah bahwa
kebebasan media diabdikan untuk proses evolusi kesadaran untuk mewujudkan peran
manusia sebagai khalifah di muka bumi. Seperti sudah kita bahas sebelumnya, visi baru
atau cara pandang baru merupakan landasan untuk evolusi kesadaran menuju masyarakat
ko-kreatif yang secara bersama melakukan ko-evolusi bersama dengan bidang-bidang
lain dalam kehidupan sosialnya. Visi baru itu bisa dibangun bersama kekuatan
pendidikan, kebudayaan, sosial, politik dan ekonomi.
Pada sisi lain, melek media sebagai gerakan sosial yang antara lain diwujudkan
dalam bentuk pemboikotan produk yang menayangkan iklannya dalam acara televisi
yang dipandang kontraproduktif dan tidak membawa manfaat apa pun, merupakan wujud
tekanan masyarakat terhadap media massa dalam menjalankan kebebasan yang
dimilikinya. Kebebasan yang dimiliki bukan hanya untuk kepentingan komersial
korporasi media melainkan yang utama adalah kemaslahatan bersama. Etika profesional
yang menggariskan untuk melindungi kepentingan bersama kembali menjadi perhatian
dan menjadi landasan tindakan. Bahkan di atas semua itu, landasan 5 nilai seperti yang
sudah dikemukakan tadi merupakan dasar kerja atau menjadi falsafah kerja media massa
dalam menjalankan kebebasannya.
Dua landasan untuk perubahan, pertumbuhan dan perkembangan pelaksanaan
kebebasan media itu tentunya lebih baik dibandingkan dengan perubahan karena
munculnya ketidakpuasan publik. Kekecewaaan, ketidakpuasan, dan ketidaksukaan
memang dapat menjadi energi besar dalam mendorong terjadinya perubahan. Namun
seringkali perubahan yang dimunculkan pun mendorong tindakan destruktif yang berada
di atas kemampuan kita mengendalikan dan mengarahkan perubahan. Tentu, ini tidak
dikehendaki. Kekecewaan itu misalnya mulai muncul tatkala PB NU menyatakan
haramnya tayangan infotainment di televisi kerena tidak lain merupakan pergunjingan
belaka. Untuk sesaat kekecewaan dan ketidakpuasan itu bisa saja dianggap enteng oleh
pengelola media karena alasan kebebasan media, namun dalam jangka panjang bila tidak
diperhatikan akan melahirkan akumulasi ketidakpuasan yang akan merugikan kehidupan
media sendiri.

Dengan demikian, gerakan melek media yang benih-benihnya mulai tumbuh di
tengah masyarakat Indonesia, perlu ditempatkan dalam konteks evolusi kesadaran pada
kerangka dinamika spiral. Media massa perlu diingatkan bahwa kebebasan yang
dimilikinya bukanlah kebebasan untuk kebebasan media belaka atau hanya demi
keuntungan finansial yang dinikmati media, melainkan kebebasan yang harus diabdikan
pada kepentingan dan kemaslahatan sosial. Media massa menjalankan kebebasannya
untuk mendorong berlangsungnya evolusi kesadaran sehingga kehidupan bangsa ini
menjadi semakin baik, semakin bermutu dan semakin bermartabat.
G. Bacaan
Sudibyo, A. (2004) Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS bekerja sama
dengan Institut Studi Arus Informasi
Sendjaja, S. Dj. (1993). “Ekologi Media: Analisa dan Aplikasi Teori “Niche” dalam
Penelitian tentang Kompetisi Antar Industri Media”

dalam Jurnal Komunikasi

Audientia Vol. 1/No. 2 April-Juni 1993. Hlm. 118-128
Goonasekera, A. (1998). “The Emerging Media Ecology in Asia”. Makalah yang
disampaikan pada Agora Seminar on Children and the New Global Media Landscape
dalam Konferensi Antar-Pemerintah UNESCO tentang Kebijakan Kultural untuk
Pembangunan di Sitockholm, 30 Maret-2 April 1998
Subiakto, H. (2005) “Mengembangkan Media Literacy melalui Pemberdayaan Media
Watch”. Makalah yang disampaikan pada Forum Fasilitasi Pembentukan dan
Pengembangan Media Watch di Perguruan Tinggi - Departemen Komunikasi dan
Informatika dan Universitas Airlangga, Surabaya 23-24 November 2005
Hubbard, B.M. (tt). Gateway to Conscious Evolution: Seven Portals into the Emerging
World. Santa Barbara: Foundation for Conscious Evolution