Manusia dan budaya prasejarah dari Gunun

MANUSIA DAN BUDAYA PRASEJARAH
DARI GUNUNG PAWON
Lutfi Yondri
Arkeolog
Patut dicatat, penemuan gua hunian di sekitar kawasan Danau
Bandung Purba merupakan satu hal yang baru dalam dunia
penelitian prasejarah di daerah Jawa bagian barat, karena dari
hasil temuan sebelumnya belum ada temuan budaya yang didukung oleh kehidupan yang
memanfaatkan gua sebagai tempat hunian di kawasan ini. Lokasi-lokasi temuan tersebut
umumnya ditemukan di lahan terbuka yang terletak di perbukitan dan di lereng-lereng
perbukitan. Menilik kondisi beberapa tempat penemuan, tampak seolah-olah ada
kecenderungan manusia waktu itu hanya mendiami tempat-tempat terbuka yang dekat
dengan sumber air seperti pinggir sungai, dan tepian danau. Hal ini sesuai dengan
argumentasi yang dikemukakan oleh R.P. Soejono, yang menyatakan bahwa pada masa itu
tempat-tempat yang didiami adalah tempat-tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit yang
adakalanya dikelilingi oleh sungai atau tebing serta dipagar oleh hutan. Menurut Soejono
(1984), tujuannya adalah untuk melindungi diri dari serangan musuh atau gangguan
binatang buas.
Tinggalan gua di kawasan Gunung Pawon yang bagian dari perbukitan yang didominasi oleh
batugamping itu terletak sekitar km 23 dan 24 arah sebelah barat Kota Bandung.
Koesumadinata (1959) dalam tulisannya yang berjudul Riwayat Geologi Dataran Tinggi

Bandung, menyebutkan bahwa di kawasan bukit gamping tersebut terdapat gua-gua kapur
dengan yang terbesar memiliki ukuran sedalam 40 m. Pada saat itu untuk sampai ke lokasi
gua harus mengikuti jalan setapak sampai pohon-pohon bambu. Disebutkan bahwa gua yang
paling besar mencapai tinggi  30 m dan berlubang, dari mana cahaya matahari dapat masuk
menyerupai tiang asap dapur (schoorsteen). Di dalam gua-gua banyak terdapat batuanbatuan dengan bentuk yang aneh-aneh, seperti busur-busur besar dan blok-blok raksasa
yang menggantung. Saat sekarang busur-busur besar dan blok-blok raksasa yang
menggantung tersebut (stalagtit) sudah banyak yang hilang. Mungkin hilangnya ornamen
gua tersebut disebabkan karena adanya perubahan lingkungan gua yang sudah berubah
menjadi kering karena hilangnya berbagai tumbuhan yang sebelumnya diperkirakan banyak
tumbuh di bagian atas bukit di mana gua tersebut berada.
Seandainya kawasan gua ini tidak terganggu oleh kegiatan penambangan batu gamping,
akan terbayang kawasan gua yang berada di dataran yang bergelombang sangat asri. Gua
berada pada ketinggian antara 709-736 m di atas permukan laut, di sisi sebelah utara gua
terdapat aliran sungai Cibukur dan hamparan perbukitan dan dataran yang cukup luas yang
sekarang ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perkebunan dan lahan persawahan.
Berdasarkan peta geologi kuarter Lembar Cianjur, kawasan ini termasuk dalam kawasan
Formasi Rajamandala, anggota batugamping (0-650 m) dibentuk oleh gugusan batugamping
pejal, dan batugamping berlapis, kebanyakan berwarna muda dengan foraminifera besar
berlimpah (Sudjatmiko, 1972).
∞∞×∞∞

Pengungkapan tentang budaya prasejarah yang terkandung di dalam gua-gua di Gunung
Pawon yang saat sekarang termasuk dalam wilayah administratif Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Bandung Barat ini, terjadi setelah Kelompok Riset Cekungan Bandung
(KRCB) pada tahun 2000 melakukan survei geologi, serta melakukan pemindaian

geomagnetik untuk menjajagi kemungkinan adanya temuan yang terdeposisi di bawah
permukaan tanah di dalam gua. Dari rekaman geomagnetik tersebut terpetakan anomalianomali yang mengarah kepada adanya tinggalan yang terdeposisi di bawah permukaan
tanah di dalam gua.. Berdasarkan hal itulah kemudian sejak bulan Juli 2003 tim dari Balai
Arkeologi Bandung melakukan pengecekan dan penelitian secara berkelanjutan di kawasan
tersebut.
Gua Pawon di masa lalu memiliki ukuran yang cukup luas, terdiri dari beberapa ruang yang
tersebar dari barat ke timur. Di bagian paling barat terdapat ruang yang memiliki bagian atas
tembus seperti yang sebelumnya pernah dilaporkan oleh Koesoemadinata (1959), agak ke
bagian tengah kontur tanah semakin meninggi, dan di bagian ini terdapat lagi beberapa
ruang yang agak sempit, dengan bentuk permukaan lantai yang miring ke arah utara. Bagian
atap dan dinding gua bagian tengah sebagaian besar kemungkinan sudah banyak berubah
yang ditandai banyaknya runtuhan batugamping berbentuk bongkahan. Mungkin di masa
lalu bongkahan-bongkahan itu merupakan bagian dari atap bagian tengah gua. Ke arah sisi
timur gua, kontur tanah makin menurun dan agak curam. Di bagian ini pada saat sekarang
masih tersisa dua bagian kontruksi gua yang terdiri dari bagian dinding dan atap gua, yang

dapat mewakili dari dua mulut gua pada sisi itu.
Penggalian arkeologi (ekskavasi) di Gua Pawon telah dilakukan tepatnya di bagian tengah
kawasan gua ini, yaitu pada ruang yang diasumsikan merupakan bagian yang paling utuh
dari ruang Gua Pawon telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung. Ekskavasi di gua ini
telah sampai pada kedalaman 275 cm dari permukaan tanah. Dari kedalaman tersebut paling
tidak teramati lima lapisan tanah yang terdiri dari tanah urugan, lapisan serbuk gamping dan
pasir, pasir halus dan kerikil halus, pasir dengan kandungan kerikil agak padat, serta lapisan
lempung pasiran, kerikilan dan gampingan. Pada lapisan-lapisan tanah itulah kemudian
berhasil ditemukan berbagai tinggalan manusia dari kehidupan masa lalu yang sebagian
besar merupakan sisa dari budaya prasejarah.
Secara stratigrafis temuan sisa kehidupan yang dekat dengan kehidupan masa kini berada
pada lapisan atas, sementara itu temuan sisa kehidupan masa lalu berada pada lapisan yang
lebih dalam. Temuan-temuan dari sisa kehidupan masa lalu terdiri dari tulang (sisa fauna),
gerabah, sisa flora (biji kemiri), alat serpih, serpih, dan tatal dari bahan rijang dan obsidian,
alat tulang, perhiasan dari gigi ikan, serta temuan kerangka manusia. Analisis pertanggalan
C-14 yang dilakukan melalui sampel arang untuk sisa rangka manusia (R.I dan R.II), dan
sampel tulang untuk rangka manusia (R.III, dan R.IV}, diperoleh tiga periode pertanggalan.
Sampel arang yang dikorelasikan dengan R.I, dan R.II memiliki pertanggalan 5660 + 170
BP. Sampel tulang R.III untuk pertanggalan rangka III menghasilkan pertanggalan 7320 +
180 BP. Sementara itu sampel tulang R.IV untuk pertanggalan rangka IV diperoleh

pertanggalan 9525 + 200 BP. Berdasarkan temuan rangka manusia, dan berbagai bentuk
tinggalan artefaktual berupa alat serpih dan tulang, serta temuan-temuan yang lain yang
ditemukan dari hasil ekskavasi itulah dapat disimpulkan bahwa gua tersebut di masa lalu
pernah dimanfaatkan sebagai tempat beraktivitas oleh manusia prasejarah pada masa lalu.
∞∞×∞∞
Gunung Pawon tidak memiliki satu tinggalan gua saja. Di samping Gua Pawon masih
terdapat lagi gua-gua yang lain. Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang
gua yang terletak memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di
sisi sebelah utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon
yang cukup besar, sehingga mengakibatkan pencahaan ke bagian dalam gua menjadi
berkurang. Mungkin karena kurangnya pencahaan itulah kemudian gua tersebut disebut oleh
masyarakat setempat dengan nama Gua Peteng (Bhs. Sunda peteng berarti remang-remang
atau gelap). Agak ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang 100 meter, terdapat

sebuah gua lagi yang oleh penduduk setempat disebut Gua Ketuk. Gua tersebut sampai
sekarang jarang dikunjungi, dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh semak yang
cukup rapat. Sementara itu di bagian barat Gua Pawon terdapat satu ruang gua lagi yang
dinamai Gua Parebatu.
Kalau kita kembalikan nama gunung dan nama ruang-ruang gua yang ada di kawasan
Gunung Pawon ini seolah kita dibawa ke masa lalu ke dalam legenda Sangkuriang dan

Dayang Sumbi, selain nama-nama ruang gua yang sangat khas itu, di kawasan ini terdapat
gunung-gunung yang lain yang juga memiliki nama yang sangat khas seperti Gunung
Masigit, Gunung Pabeasan, Gunung Karang Kancana, Pasir Hawu, dan Gunung Bancana
yang keadaannya berantakan dan dalam legendanya sebagai bagian akhir dari cerita
Sangkuriang yang diceitakan kemudian marah karena tidak jadi menikah dengan Dayang
Sumbi.
Berdasarkan hasil pengembangan penelitian di Gua Ketuk dan Gua Parebatu, dapat
disimpulkan bahwa kedua gua ini selain memiliki karakteristik yang ideal untuk dihuni
karena terletak di ketinggian yang cukup mudah untuk dicapai juga memiliki pencahaayan
yang cukup baik sehingga layak sebaqgai tempat beraktivitas oleh manusia masa lalu seperti
yang ditemukan di Gua Pawon. Berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di kegua gua
itu, walaupun tidak ditemukan rangka manusia seperti di Gua Pawon, indikasi fungsi
sebagai tempat hunian berupa fragmen gerabah, alat serpih yang terbuat dari bahan obsidian,
rijang, dan sisa makanan berupa fragmnen tulang binatang juga ditemukan. Dari sini dapat
ditarik gambaran bahwa pada masa lalu, gua-gua yang terdapat di lingkungan Gunung
Pawon itu, semuanya pernah digunakan sebagai hunian oleh manusia prasejarah.
∞∞×∞∞
Sisa budaya masa lalu di kawasan Gunung Pawan, berdasarkan tinggalan arkeologi yang
berhasil diteliti dapat dikategorikan sebagai sisa budaya dari masa preneolitik yang diwakili
oleh temuan dari hasil ekskavasi mulai dari kedalaman 60 cm dari permukaan tanah, dan sisa

budaya dari kelompok masa Neolitik yang diwakili oleh temuan fragmen gerabah yang
diperoleh dari hasil ekskavasi di dalam gua. Sisa-sisa budaya Neolitik tersebut ternyata tidak
hanya ditemukan di ruang-ruang gua saja tetapi juga ditemukan di bagian puncak Gunung
Pawon. Di antara eksotisme hamparan sisa-sisa endapan laut purba berupa bongkahan batubatu gamping yang sudah keropos, seolah memperlihatkan satu taman batuan (stone
garden) terdapat fragmen gerabah dan batu monolit berbahan andesit yang di tata
sedemikian rupa, dan di atas susunan batu tersebut terdapat batu yang didirikan tegak atau
menhir. Walaupun konteks dan asosisasi tinggalan ini sudah tidak diketahui lagi, paling
tidak tinggalan tersebut memberikan arti penting bahwa lokasi tersebut pernah dimanfaatkan
oleh masyarakat masa lalu pendukung tradisi budaya megalitik di masa lalu.
Penelitian prasejarah di gua-gua yang terdapat di Gunung Pawon sampai sekarang masih
dikembangkan oleh para peneliti Balai Arkeologi Bandung. Dari berbagai bentuk tinggalan
budaya masa lalu dan termasuk temuan manusia yang ditemukan tersebut, dapat dijadikan
salah satu bukti tentang kehidupan prasejarah di Tatar Sunda pada masa lalu. Dalam
pengembangan penelitian arkeologi yang penulis lakukan di kawasan Jawa Barat, tinggalan
budaya prasejarah yang ditemukan di Gua Pawon dan gua lain yang ada di Gunung Pawon
ini dijadikan sebagai bahan acuan penelitian bahwa dari periode antara 5600 sampai 9500
tahun yang lalu bahkan lebih tua dari itu dalam lingkup masa akhir Plestosen sampai akhir
Holosen manusianya masih menggunakan gua-gua alam sebagai tempat melangsungkan
budayanya. Temuan dari periode itu tidak hanya ditemukan di Jawa Barat, tetapi juga di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,


Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Thailand, Filipina,
Semenanjung Malaysia, Vietnam, Timor Leste bahkan sampai ke Papua Nugini.