perkembangan komunikasi massa efek dan
Asal-Usul Komunikasi Massa
Setiap hari manusia, dewasa ini tidak
terlepas dari kebutuhan akan informasi dari
media massa. Khalayak bahkan menuntut diri
untuk mengetahui segala bentuk informasi.
Oleh karena itu, tidak dipungkiri jika media
massa
menjadi
kebutuhan
pokok
bagi
khalayaknya. Dapat ditegaskan bahwa media
massa adalah alat utama dalam komunikasi
massa. Hal ini berarti media massa telah
mempengaruhi
dan
bahkan
membentuk
perilaku masyarakat.
Namun seiring berkembangnya media
massa dari zaman ke zaman, ternyata tidak
terlepas berkembangnya kehidupan manusia.
Artinya, perkembangan komunikasi itu tidak
bisa terjadi jika manusia itu sendiri tidak
ingin
berkembang.
perkembangan
Singkatnya,
media
informasi
dan
komunikasi manusia sejalan dengan sejarah
manusia.
Melihat dari perkembangan komunikasi
yang
cukup
membuat
pesat,
pijakan
ilmuan
dasar
berusaha
untuk
melihat
sejarah perkembangan komunikasi massa.
Seperti yang diuraikan oleh Melvin De Fleur
dan Sandra, dalam bukunya Theories of Mass
Communication (1989) disebutkan terdapat
lima revolusi komunikasi massa
1 Zaman penggunaan tanda dan isyarat (the
age of signs and signals)
2. Zaman percakapan dan bahasa (the age of
speech and language)
3. Zaman tulisan (the age of writing)
4. Zaman media cetak (the age of print)
5. Zaman media massa (the age of mass
communication)
5. Zaman Tanda dan Isyarat
Perkembangan Media Massa dari Masa ke
Masa
Namun sejarah jurnalistik dimulai pada
suatu zaman, di salah satu kerajaan yang
sedang gemilang. Sebagai ukuran kekayaan
disebutkan
budak
bahwa
emas
melimpah
belian tidak
terhitung
ukuran
kebudayaan
Sebagai
dan
banyaknya.
tertinggi,
patung, piramid, dan prasasti dibangun di
mana-mana dengan megahnya.
Pada saat itu juga untuk pertama kalinya,
kaisar Mesir, Amenhotep III (1405-1367 SM)
mengutus ratusan wartawan membawa surat
berita
untuk
provinsi.
seluruh
Tindakan
pejabat
tersebut
ke
semua
kemudian
dianggap sebagai cikal-bakal jurnalistik.
Pada waktu itu mesir sudah mencapai
kemajuan yang pesat. Orang-orang mesir
diprediksikan sudah mengenal ilmu kimia,
fisika, matematika dan ilmu pengetahuan
lainnya
untuk
membangun
piramid
dan
patung-patung yang beratnya lebih dari 30
ton per balok batu. Untuk menyusun batu
dengan
berat
30
ton
masyarakat
mesir
pastinya sudah mengenal berbagai disiplin
ilmu
pengetahuan
semisal
ilmu
fisika-
bagaimana cara membentuk batu menjadi
bentuk kubus, lalu menyusunnya menjadi
piramid.
Lalu
dengan
apa
mereka
mengangkut batu-batu besar tersebut dari
hulu sungai nil yang jaraknya 1000 kilometer.
Padahal di masa itu, juga belum ditemukan
mobil, kereta, alat berat, atau sejenisnya,
kecuali ribuan bahkan jutaan budak.
Sementara di sisi jurnalistik, menurut
para
ahli
di
Amerika
Serikat
apa
yang
dilakukan kaisar Amenhotep III sebagai cikalbakal jurnalisme ketika raja menyebarkan
informasi kepada para pejabat di seluruh
provinsi. Di Nusantara, hal itu juga terjadi
saat
zaman
kerajaan
semisal
zaman
Majapahit, Sriwijaya dan lain sebagainya
telah
ada
berkeliling
kepada
para
pembawa
menyampaikan
khalayak.
Bisa
berita
yang
pengumuman
pengumuman
sayembara, pengumpulan upeti dll.
Pengembangan jurnalistik terus berlanjut
seiring kebutuhan manusia akan komunikasi.
Hingga pada 15 Januari 1609 untuk pertama
kalinya surat kabar Jerman, Avisa Relation
Oder
Zeitung
kebutuhan
terbit
informasi
untuk
memenuhi
masyarakat
secara
mingguan. Barulah pada 1702, Daily Courant
di London menjadi pelopor koran harian yang
rutin setiap hari mewartakan setiap informasi
di Inggris.
Sedangkan
di
indonesia
sendiri,
jurnalistik Eropa masuk ke Hindia Belanda
setelah
Gubernur
Jenderal
belanda,
Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1587-1629
memprakarsai penerbitan newsletter yang
dinamakan Memorie der Nouvelles. Pada
waktu itu, berita dengan tulisan tangan
tersebut
dicetak
dan
disebarkan
kepada
orang-orang penting di Jakarta. Isinya pun
masih berita-berita dari Belanda yang dibawa
ke Indonesia.
Satu abad kemudian, barulah surat kabar
pertama kalinya di Indonesia lahir, setelah
Bataviasche
Nouvelles
en
Politique
Raisonnementen terbit pada 7 Agustus 1744
dalam ukuran kertas folio. Namun karena
sempat dilarang terbit, akhirnya menunggu
waktu setahun barulah surat kabar pertama
itu diperbolehkan edar di Indonesia. Namun
sayangnya, hanya bertahan dua tahun saja.
Sedangkan surat kabar hasil prakarsa putera
bangsa, baru terbentuk pertama kali pada
tahun 1902, setelah Medan Prijaji sebagai
pelopor suara kemerdekaan diterbitkan oleh
Raden
Mas
Tirtoadisuryo.
Akibatnya,
wartawan yang dengan peliputannya telah
menggunakan suara hati itu ditahan oleh
pemerintah
belanda
lantaran
pemberitaannya. Sejak itu berselang setelah
kemerdekaan,
surat
kabar
mulai
bermunculan. Mulai dari harian Kedaulatan
Rakyat,
Merdeka,
Waspada,
Pedoman,
Indonesia Raya, Suara Merdeka dan lain
sebagainya. Namun jalan terjal pula dialami
pada masa pers partisan. Pada era Orde
Lama
salah
Redaksi
satu
Indonesia
contohnya,
Raya,
keluar-masuk
tahanan.
pahit
berlanjut
itu
pememrintahan
Soeharto
orde
membredel
Pemimpin
Mochtar
Lubis
Peristiwa-peristiwa
hingga
baru.
dan
Di
masa
mana,
menutup
sementara 7 koran, di antaranya Kompas,
Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lainnya.
Setelah tampuk pemerintahan orde baru
runtuh, barulah angin segar kebebasan pers
menyeruak kepermukaan. Hingga pada 23
September presiden mengesahkan undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Sistem beredel dan sensor pun diakhiri serta
dihapuskan. Perizinan yang dulunya sangat
ketat pun ditiadakan bagi media pers cetak.
Memasuki masa keemasan dunia pers di
indonesia, di saat runtuhnya rezim orde baru
itulah,
era
berbagai
reformasi
media
berkembang
menjadi
massa
untuk
menjadi
pesat.
jembatan
lahir
dan
Beberapa
catatan, ratusan media massa cetak baik
nasional
maupun
lokal
menjamur.
Kebanyakan media massa tersebut menjadi
pemotor tumbuhnya demokrasi di indonesia,
atau
dalam
istilahnya
sebagai
koran
reformasi.
Namun satu dekade kemudian, banyak media
massa
di
indonesia
yang
gulung
lantaran persaingan bisnis yang ketat.
tikar
Sistem pers yang bertanggung jawab
terhadap sosial dipadu dengan sistem pers
yang liberal banyak Koran Kuning (koran
dengan kualitas buruk) yang akhirnya gulung
tikar.
Hingga saat ini sudah tidak tercatat lagi
berapa banyaknya media massa di sekitar
manusia. Mulai dari cetak, media massa
online, radio, televisi, dan lainnya. Cara-cara
media massa menyentuh khalayaknya juga
bermacam-macam canggihnya. Mulai melalui
media sosial semisal facebook dan twitter.
Perkembangan media di atas menunjukkan
bahwa dari masa ke masa, media massa
terus berkembang seiring dengan kebutuhan
manusia
akan
informasi
yang
begitu
dahsyatnya.
Periode media massa dari tahun ke tahun
Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan
secara
aktif,
hal
ini
dikarenakan
tidak
diberikannya peluang bagi masyarakat untuk
dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan
pikirannya.
Masyarakat
Indonesia
berada
dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat
intelektual
masyarakat
Indonesia
relatif
rendah.
Di
sisi
terutama
lain,
sebagai
media
alat
berperan
aktif
perjuangan.
Akan
tetapi keberadaan media masih terkukung
dalam
semangat
terelakkan,
kedaerahan
bahkan
yang
sampai
tak
penjajah
meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah
dengan adanya tekanan dari pemerintahan
penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana
tidak
ada
persetujuan
berita
yang
gubernur
tersiar
jenderal
media tidak dapat bergerak
tanpa
membuat
Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di
masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai
berperan
secara
aktif.
Segala
gagasan,
kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas
dituangkan khalayak di dalam media. Namun
walau
kreasi,
demikian,
dan
tidak
pikiran
semua
khalayak
gagasan,
dapat
tersalurkan dalam media secara baik. hal ini
dikarenakan sistem yang diterapkan oleh
pemerintahan penjajah kembali diterapkan
(walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan
Orde
Lama
dibawah
kepemimpinan
Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde
Lama terlihat sangat dominant.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
adanya
penerapan situasi darurat perang (SOB),
dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya
mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1
Oktober
1958.
mengakibatkan
Aturan
banyak
tersebut
media
yang
diberangus dan juga penahanan sejumlah
wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian
dan majalah kemudian dipertegas dengan
Penpres No.6/1963.
Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali
berperan pasif seperti di masa kemerdekaan.
Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan
minat intelektual masyarakat yang rendah,
tetapi
lebih
pemerintah
disebabkan
yang
mengakibatkan
karena
dominan
masyarakat
tidak
peran
yang
dapat
dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi,
dan pikirannya melalui media.
Peran
media
di
masa
Orde
Baru
sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada
saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi
sistem
pemerintahan
diterapkan
oleh
penjajah
pemerintahan
masih
Soeharto.
Represi bahkan sudah dijalankan bahkan
sejak pada awal era Orde Baru, orde yang
menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran
menjadi korban, antara lain majalah Sendi
terjerat
delik
pers,
pada
1972,
karena
memuat tulisan yang dianggap menghina
Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit
Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut
di
pengadilan.
Sinar
karena
Harapan,
Setahun
dilarang
dianggap
kemudian,
terbit
1973,
seminggu
membocorkan
rahasia
negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran
Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa
Malari,
sebanyak
12
penerbitan
pers
dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit
(SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah
usaha-usaha
melemahkan
sendi-sendi
kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi
fungsi,
kebobrokan
pertarungan
aparat
tingkat
kepercayaan
pemerintah,
tinggi;
merusak
masyarakat
pada
kepemimpinan nasional; menghasut rakyat
untuk bergerak mengganggu ketertiban dan
keamanan
negara;
menciptakan
peluang
untuk mematangkan situasi yang menjurus
pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini
dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus
Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali
terjadi
pada
maraknya
pencalonan
Sebanyak
1978,
aksi
mahasiswa
Soeharto
tujuh
berkaitan
surat
menentang
sebagai
kabar
dengan
presiden.
di
Jakarta
(Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore)
dibekukan penerbitannya untuk sementara
waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan
terbit kembali setelah masing-masing pemilik
Koran
tersebut
meminta
maaf
kepada
pemimpin nasional (Soeharto).
Proses
sangat
komunikasi
selektif.
Hal
berjalan
ini
terlihat
dengan
dengan
adanya golongan yang sangat dominan di
dalam proses komunikasi tersebut, yakni
pemerintah.
Pada
pemerintahan
era
Soeharto
Orde
Baru,
secara
cerdik
berhasil merumuskan sistem pers baru yang
“orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi
gaya Indonesia dari konsep development
journalism
(atau
dalam
kategori
Siebert,
Peterson, dan Schramm termasuk dalam
jenis social responsibility pers). Konsep “Pers
Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering
didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga
bukan
pers
komunis)
secara
resmi
dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno
Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan
1980-an.
Rumusan
tersebut
berbunyi:
Pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam
arti pers yang orientasi sikap dan tingkah
lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan
UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers
Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila
dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, termasuk pembangunan pers itu
sendiri.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang
sehat,
yakni
pers
bertanggungjawab
yang
dalam
bebas
dan
menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat
dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui
hakekat
dan
fungsi
mengembangkan
itu
suasana
Pers
saling
Pancasila
percaya
menuju masyarakat terbuka yang demokratis
dan bertanggungjawab.
Istilah
Pers
Pancasila
merupakan
cerminan keinginan politik yang kuat dan
ideologisasi
korporatis
saat
itu
yang
menghendaki pers sebagai alat pemerintah.
Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur
aspirasi
rakyat
dan
kontrol
sosial
yang
konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers
Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia
periode akhir 1970-an hingga 1998 sematamata
menjadi
corong
(mouthpiece)
pemerintah, kehilangan independensi dan
fungsi
yang
kontrolnya.
dibuat
Berbagai
rezim
pembatasan
Soeharto
membuat
wartawan tak bebas menulis.
Pada
era
disebut–secara
ini
lah
muncul
sinis—sebagai
apa
yang
“budaya
telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa
dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat
pemerintah, untuk mencegah media menulis
laporan
tertentu
yang
tidak
disukai
pemerintah. Selain itu pada pertengahan
1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat
militer dan pemerintah berkunjung ke kantor
redaksi
media
“informasi
cetak
penting”
untuk
dan
memberikan
ketentuan
tak
tertulis apa yang boleh dan tidak boleh
ditulis.
Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong
pengelola media menggunakan gaya bahasa
eufimistik untuk menghindarkan teguran dan
pembredelan.
Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin
pintar untuk melakukan
swa-sensor (self
censorship). Akibatnya sebagian besar media
cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong
pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat
tinggi pemerintah dan militer akan dicetak
dan dijadikan laporan utama (headline) oleh
pers.
Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde
Baru, khalayak kembali menggeliat aktif.
Khalayak
dapat
sebebas-bebasnya
menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya
melalui media tanpa harus ada kekhawatiran
akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu
juga
media,
dapat
berperan
secara aktif khususnya dalam mengambil
peran
sebagai
khalayak
dan
penyalur/penengah
hubungannya
bagi
dengan
pemerintah. Penerbitan pers yang semula
dibatasi
perizinan
kemudian
leluasa
menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten,
bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di
Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma
memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari
setahun melonjak mencapai lebih dari 45
penerbitan pers.
Pada
era
ini
jurnalisme
radio
mulai
semarak, stasiun radio di Jakarta seperti
Elshinta,
Sonora
dan
Trijaya
FM
mulai
memproduksi laporan berita. Langkah itu
diikuti sejumlah stasiun radio di daerah
seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai
32.
Sedangkan
meskipun
utang,
lima
untuk
stasiun
Departeman
media
TV
yang
Penerangan
televisi,
terbelit
sampai
Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk
delapan
stasiun baru,
untuk
siaran
enam diantaranya
nasional.
persoalannya
frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional
tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah
tidak
dominan
sebelumnya.
dibanding
Pemerintah
era-era
memberikan
kebebasan kepada media sesuai dengan
tugas dan fungsinya
Setiap hari manusia, dewasa ini tidak
terlepas dari kebutuhan akan informasi dari
media massa. Khalayak bahkan menuntut diri
untuk mengetahui segala bentuk informasi.
Oleh karena itu, tidak dipungkiri jika media
massa
menjadi
kebutuhan
pokok
bagi
khalayaknya. Dapat ditegaskan bahwa media
massa adalah alat utama dalam komunikasi
massa. Hal ini berarti media massa telah
mempengaruhi
dan
bahkan
membentuk
perilaku masyarakat.
Namun seiring berkembangnya media
massa dari zaman ke zaman, ternyata tidak
terlepas berkembangnya kehidupan manusia.
Artinya, perkembangan komunikasi itu tidak
bisa terjadi jika manusia itu sendiri tidak
ingin
berkembang.
perkembangan
Singkatnya,
media
informasi
dan
komunikasi manusia sejalan dengan sejarah
manusia.
Melihat dari perkembangan komunikasi
yang
cukup
membuat
pesat,
pijakan
ilmuan
dasar
berusaha
untuk
melihat
sejarah perkembangan komunikasi massa.
Seperti yang diuraikan oleh Melvin De Fleur
dan Sandra, dalam bukunya Theories of Mass
Communication (1989) disebutkan terdapat
lima revolusi komunikasi massa
1 Zaman penggunaan tanda dan isyarat (the
age of signs and signals)
2. Zaman percakapan dan bahasa (the age of
speech and language)
3. Zaman tulisan (the age of writing)
4. Zaman media cetak (the age of print)
5. Zaman media massa (the age of mass
communication)
5. Zaman Tanda dan Isyarat
Perkembangan Media Massa dari Masa ke
Masa
Namun sejarah jurnalistik dimulai pada
suatu zaman, di salah satu kerajaan yang
sedang gemilang. Sebagai ukuran kekayaan
disebutkan
budak
bahwa
emas
melimpah
belian tidak
terhitung
ukuran
kebudayaan
Sebagai
dan
banyaknya.
tertinggi,
patung, piramid, dan prasasti dibangun di
mana-mana dengan megahnya.
Pada saat itu juga untuk pertama kalinya,
kaisar Mesir, Amenhotep III (1405-1367 SM)
mengutus ratusan wartawan membawa surat
berita
untuk
provinsi.
seluruh
Tindakan
pejabat
tersebut
ke
semua
kemudian
dianggap sebagai cikal-bakal jurnalistik.
Pada waktu itu mesir sudah mencapai
kemajuan yang pesat. Orang-orang mesir
diprediksikan sudah mengenal ilmu kimia,
fisika, matematika dan ilmu pengetahuan
lainnya
untuk
membangun
piramid
dan
patung-patung yang beratnya lebih dari 30
ton per balok batu. Untuk menyusun batu
dengan
berat
30
ton
masyarakat
mesir
pastinya sudah mengenal berbagai disiplin
ilmu
pengetahuan
semisal
ilmu
fisika-
bagaimana cara membentuk batu menjadi
bentuk kubus, lalu menyusunnya menjadi
piramid.
Lalu
dengan
apa
mereka
mengangkut batu-batu besar tersebut dari
hulu sungai nil yang jaraknya 1000 kilometer.
Padahal di masa itu, juga belum ditemukan
mobil, kereta, alat berat, atau sejenisnya,
kecuali ribuan bahkan jutaan budak.
Sementara di sisi jurnalistik, menurut
para
ahli
di
Amerika
Serikat
apa
yang
dilakukan kaisar Amenhotep III sebagai cikalbakal jurnalisme ketika raja menyebarkan
informasi kepada para pejabat di seluruh
provinsi. Di Nusantara, hal itu juga terjadi
saat
zaman
kerajaan
semisal
zaman
Majapahit, Sriwijaya dan lain sebagainya
telah
ada
berkeliling
kepada
para
pembawa
menyampaikan
khalayak.
Bisa
berita
yang
pengumuman
pengumuman
sayembara, pengumpulan upeti dll.
Pengembangan jurnalistik terus berlanjut
seiring kebutuhan manusia akan komunikasi.
Hingga pada 15 Januari 1609 untuk pertama
kalinya surat kabar Jerman, Avisa Relation
Oder
Zeitung
kebutuhan
terbit
informasi
untuk
memenuhi
masyarakat
secara
mingguan. Barulah pada 1702, Daily Courant
di London menjadi pelopor koran harian yang
rutin setiap hari mewartakan setiap informasi
di Inggris.
Sedangkan
di
indonesia
sendiri,
jurnalistik Eropa masuk ke Hindia Belanda
setelah
Gubernur
Jenderal
belanda,
Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1587-1629
memprakarsai penerbitan newsletter yang
dinamakan Memorie der Nouvelles. Pada
waktu itu, berita dengan tulisan tangan
tersebut
dicetak
dan
disebarkan
kepada
orang-orang penting di Jakarta. Isinya pun
masih berita-berita dari Belanda yang dibawa
ke Indonesia.
Satu abad kemudian, barulah surat kabar
pertama kalinya di Indonesia lahir, setelah
Bataviasche
Nouvelles
en
Politique
Raisonnementen terbit pada 7 Agustus 1744
dalam ukuran kertas folio. Namun karena
sempat dilarang terbit, akhirnya menunggu
waktu setahun barulah surat kabar pertama
itu diperbolehkan edar di Indonesia. Namun
sayangnya, hanya bertahan dua tahun saja.
Sedangkan surat kabar hasil prakarsa putera
bangsa, baru terbentuk pertama kali pada
tahun 1902, setelah Medan Prijaji sebagai
pelopor suara kemerdekaan diterbitkan oleh
Raden
Mas
Tirtoadisuryo.
Akibatnya,
wartawan yang dengan peliputannya telah
menggunakan suara hati itu ditahan oleh
pemerintah
belanda
lantaran
pemberitaannya. Sejak itu berselang setelah
kemerdekaan,
surat
kabar
mulai
bermunculan. Mulai dari harian Kedaulatan
Rakyat,
Merdeka,
Waspada,
Pedoman,
Indonesia Raya, Suara Merdeka dan lain
sebagainya. Namun jalan terjal pula dialami
pada masa pers partisan. Pada era Orde
Lama
salah
Redaksi
satu
Indonesia
contohnya,
Raya,
keluar-masuk
tahanan.
pahit
berlanjut
itu
pememrintahan
Soeharto
orde
membredel
Pemimpin
Mochtar
Lubis
Peristiwa-peristiwa
hingga
baru.
dan
Di
masa
mana,
menutup
sementara 7 koran, di antaranya Kompas,
Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lainnya.
Setelah tampuk pemerintahan orde baru
runtuh, barulah angin segar kebebasan pers
menyeruak kepermukaan. Hingga pada 23
September presiden mengesahkan undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Sistem beredel dan sensor pun diakhiri serta
dihapuskan. Perizinan yang dulunya sangat
ketat pun ditiadakan bagi media pers cetak.
Memasuki masa keemasan dunia pers di
indonesia, di saat runtuhnya rezim orde baru
itulah,
era
berbagai
reformasi
media
berkembang
menjadi
massa
untuk
menjadi
pesat.
jembatan
lahir
dan
Beberapa
catatan, ratusan media massa cetak baik
nasional
maupun
lokal
menjamur.
Kebanyakan media massa tersebut menjadi
pemotor tumbuhnya demokrasi di indonesia,
atau
dalam
istilahnya
sebagai
koran
reformasi.
Namun satu dekade kemudian, banyak media
massa
di
indonesia
yang
gulung
lantaran persaingan bisnis yang ketat.
tikar
Sistem pers yang bertanggung jawab
terhadap sosial dipadu dengan sistem pers
yang liberal banyak Koran Kuning (koran
dengan kualitas buruk) yang akhirnya gulung
tikar.
Hingga saat ini sudah tidak tercatat lagi
berapa banyaknya media massa di sekitar
manusia. Mulai dari cetak, media massa
online, radio, televisi, dan lainnya. Cara-cara
media massa menyentuh khalayaknya juga
bermacam-macam canggihnya. Mulai melalui
media sosial semisal facebook dan twitter.
Perkembangan media di atas menunjukkan
bahwa dari masa ke masa, media massa
terus berkembang seiring dengan kebutuhan
manusia
akan
informasi
yang
begitu
dahsyatnya.
Periode media massa dari tahun ke tahun
Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan
secara
aktif,
hal
ini
dikarenakan
tidak
diberikannya peluang bagi masyarakat untuk
dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan
pikirannya.
Masyarakat
Indonesia
berada
dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat
intelektual
masyarakat
Indonesia
relatif
rendah.
Di
sisi
terutama
lain,
sebagai
media
alat
berperan
aktif
perjuangan.
Akan
tetapi keberadaan media masih terkukung
dalam
semangat
terelakkan,
kedaerahan
bahkan
yang
sampai
tak
penjajah
meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah
dengan adanya tekanan dari pemerintahan
penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana
tidak
ada
persetujuan
berita
yang
gubernur
tersiar
jenderal
media tidak dapat bergerak
tanpa
membuat
Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di
masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai
berperan
secara
aktif.
Segala
gagasan,
kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas
dituangkan khalayak di dalam media. Namun
walau
kreasi,
demikian,
dan
tidak
pikiran
semua
khalayak
gagasan,
dapat
tersalurkan dalam media secara baik. hal ini
dikarenakan sistem yang diterapkan oleh
pemerintahan penjajah kembali diterapkan
(walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan
Orde
Lama
dibawah
kepemimpinan
Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde
Lama terlihat sangat dominant.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
adanya
penerapan situasi darurat perang (SOB),
dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya
mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1
Oktober
1958.
mengakibatkan
Aturan
banyak
tersebut
media
yang
diberangus dan juga penahanan sejumlah
wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian
dan majalah kemudian dipertegas dengan
Penpres No.6/1963.
Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali
berperan pasif seperti di masa kemerdekaan.
Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan
minat intelektual masyarakat yang rendah,
tetapi
lebih
pemerintah
disebabkan
yang
mengakibatkan
karena
dominan
masyarakat
tidak
peran
yang
dapat
dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi,
dan pikirannya melalui media.
Peran
media
di
masa
Orde
Baru
sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada
saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi
sistem
pemerintahan
diterapkan
oleh
penjajah
pemerintahan
masih
Soeharto.
Represi bahkan sudah dijalankan bahkan
sejak pada awal era Orde Baru, orde yang
menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran
menjadi korban, antara lain majalah Sendi
terjerat
delik
pers,
pada
1972,
karena
memuat tulisan yang dianggap menghina
Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit
Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut
di
pengadilan.
Sinar
karena
Harapan,
Setahun
dilarang
dianggap
kemudian,
terbit
1973,
seminggu
membocorkan
rahasia
negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran
Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa
Malari,
sebanyak
12
penerbitan
pers
dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit
(SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah
usaha-usaha
melemahkan
sendi-sendi
kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi
fungsi,
kebobrokan
pertarungan
aparat
tingkat
kepercayaan
pemerintah,
tinggi;
merusak
masyarakat
pada
kepemimpinan nasional; menghasut rakyat
untuk bergerak mengganggu ketertiban dan
keamanan
negara;
menciptakan
peluang
untuk mematangkan situasi yang menjurus
pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini
dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus
Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali
terjadi
pada
maraknya
pencalonan
Sebanyak
1978,
aksi
mahasiswa
Soeharto
tujuh
berkaitan
surat
menentang
sebagai
kabar
dengan
presiden.
di
Jakarta
(Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore)
dibekukan penerbitannya untuk sementara
waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan
terbit kembali setelah masing-masing pemilik
Koran
tersebut
meminta
maaf
kepada
pemimpin nasional (Soeharto).
Proses
sangat
komunikasi
selektif.
Hal
berjalan
ini
terlihat
dengan
dengan
adanya golongan yang sangat dominan di
dalam proses komunikasi tersebut, yakni
pemerintah.
Pada
pemerintahan
era
Soeharto
Orde
Baru,
secara
cerdik
berhasil merumuskan sistem pers baru yang
“orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi
gaya Indonesia dari konsep development
journalism
(atau
dalam
kategori
Siebert,
Peterson, dan Schramm termasuk dalam
jenis social responsibility pers). Konsep “Pers
Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering
didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga
bukan
pers
komunis)
secara
resmi
dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno
Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan
1980-an.
Rumusan
tersebut
berbunyi:
Pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam
arti pers yang orientasi sikap dan tingkah
lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan
UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers
Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila
dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, termasuk pembangunan pers itu
sendiri.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang
sehat,
yakni
pers
bertanggungjawab
yang
dalam
bebas
dan
menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat
dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui
hakekat
dan
fungsi
mengembangkan
itu
suasana
Pers
saling
Pancasila
percaya
menuju masyarakat terbuka yang demokratis
dan bertanggungjawab.
Istilah
Pers
Pancasila
merupakan
cerminan keinginan politik yang kuat dan
ideologisasi
korporatis
saat
itu
yang
menghendaki pers sebagai alat pemerintah.
Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur
aspirasi
rakyat
dan
kontrol
sosial
yang
konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers
Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia
periode akhir 1970-an hingga 1998 sematamata
menjadi
corong
(mouthpiece)
pemerintah, kehilangan independensi dan
fungsi
yang
kontrolnya.
dibuat
Berbagai
rezim
pembatasan
Soeharto
membuat
wartawan tak bebas menulis.
Pada
era
disebut–secara
ini
lah
muncul
sinis—sebagai
apa
yang
“budaya
telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa
dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat
pemerintah, untuk mencegah media menulis
laporan
tertentu
yang
tidak
disukai
pemerintah. Selain itu pada pertengahan
1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat
militer dan pemerintah berkunjung ke kantor
redaksi
media
“informasi
cetak
penting”
untuk
dan
memberikan
ketentuan
tak
tertulis apa yang boleh dan tidak boleh
ditulis.
Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong
pengelola media menggunakan gaya bahasa
eufimistik untuk menghindarkan teguran dan
pembredelan.
Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin
pintar untuk melakukan
swa-sensor (self
censorship). Akibatnya sebagian besar media
cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong
pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat
tinggi pemerintah dan militer akan dicetak
dan dijadikan laporan utama (headline) oleh
pers.
Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde
Baru, khalayak kembali menggeliat aktif.
Khalayak
dapat
sebebas-bebasnya
menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya
melalui media tanpa harus ada kekhawatiran
akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu
juga
media,
dapat
berperan
secara aktif khususnya dalam mengambil
peran
sebagai
khalayak
dan
penyalur/penengah
hubungannya
bagi
dengan
pemerintah. Penerbitan pers yang semula
dibatasi
perizinan
kemudian
leluasa
menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten,
bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di
Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma
memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari
setahun melonjak mencapai lebih dari 45
penerbitan pers.
Pada
era
ini
jurnalisme
radio
mulai
semarak, stasiun radio di Jakarta seperti
Elshinta,
Sonora
dan
Trijaya
FM
mulai
memproduksi laporan berita. Langkah itu
diikuti sejumlah stasiun radio di daerah
seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai
32.
Sedangkan
meskipun
utang,
lima
untuk
stasiun
Departeman
media
TV
yang
Penerangan
televisi,
terbelit
sampai
Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk
delapan
stasiun baru,
untuk
siaran
enam diantaranya
nasional.
persoalannya
frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional
tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah
tidak
dominan
sebelumnya.
dibanding
Pemerintah
era-era
memberikan
kebebasan kepada media sesuai dengan
tugas dan fungsinya