perkembangan komunikasi massa efek dan

Asal-Usul Komunikasi Massa
Setiap hari manusia, dewasa ini tidak
terlepas dari kebutuhan akan informasi dari
media massa. Khalayak bahkan menuntut diri
untuk mengetahui segala bentuk informasi.
Oleh karena itu, tidak dipungkiri jika media
massa

menjadi

kebutuhan

pokok

bagi

khalayaknya. Dapat ditegaskan bahwa media
massa adalah alat utama dalam komunikasi
massa. Hal ini berarti media massa telah
mempengaruhi


dan

bahkan

membentuk

perilaku masyarakat.
Namun seiring berkembangnya media
massa dari zaman ke zaman, ternyata tidak
terlepas berkembangnya kehidupan manusia.
Artinya, perkembangan komunikasi itu tidak
bisa terjadi jika manusia itu sendiri tidak

ingin

berkembang.

perkembangan

Singkatnya,


media

informasi

dan

komunikasi manusia sejalan dengan sejarah
manusia.
Melihat dari perkembangan komunikasi
yang

cukup

membuat

pesat,

pijakan


ilmuan

dasar

berusaha

untuk

melihat

sejarah perkembangan komunikasi massa.
Seperti yang diuraikan oleh Melvin De Fleur
dan Sandra, dalam bukunya Theories of Mass
Communication (1989) disebutkan terdapat
lima revolusi komunikasi massa
1 Zaman penggunaan tanda dan isyarat (the
age of signs and signals)
2. Zaman percakapan dan bahasa (the age of
speech and language)
3. Zaman tulisan (the age of writing)

4. Zaman media cetak (the age of print)
5. Zaman media massa (the age of mass
communication)
5. Zaman Tanda dan Isyarat

Perkembangan Media Massa dari Masa ke
Masa
Namun sejarah jurnalistik dimulai pada
suatu zaman, di salah satu kerajaan yang
sedang gemilang. Sebagai ukuran kekayaan
disebutkan
budak

bahwa

emas

melimpah

belian tidak


terhitung

ukuran

kebudayaan

Sebagai

dan

banyaknya.
tertinggi,

patung, piramid, dan prasasti dibangun di
mana-mana dengan megahnya.
Pada saat itu juga untuk pertama kalinya,
kaisar Mesir, Amenhotep III (1405-1367 SM)
mengutus ratusan wartawan membawa surat
berita


untuk

provinsi.

seluruh

Tindakan

pejabat
tersebut

ke

semua

kemudian

dianggap sebagai cikal-bakal jurnalistik.
Pada waktu itu mesir sudah mencapai

kemajuan yang pesat. Orang-orang mesir

diprediksikan sudah mengenal ilmu kimia,
fisika, matematika dan ilmu pengetahuan
lainnya

untuk

membangun

piramid

dan

patung-patung yang beratnya lebih dari 30
ton per balok batu. Untuk menyusun batu
dengan

berat


30

ton

masyarakat

mesir

pastinya sudah mengenal berbagai disiplin
ilmu

pengetahuan

semisal

ilmu

fisika-

bagaimana cara membentuk batu menjadi

bentuk kubus, lalu menyusunnya menjadi
piramid.

Lalu

dengan

apa

mereka

mengangkut batu-batu besar tersebut dari
hulu sungai nil yang jaraknya 1000 kilometer.
Padahal di masa itu, juga belum ditemukan
mobil, kereta, alat berat, atau sejenisnya,
kecuali ribuan bahkan jutaan budak.
Sementara di sisi jurnalistik, menurut
para

ahli


di

Amerika

Serikat

apa

yang

dilakukan kaisar Amenhotep III sebagai cikalbakal jurnalisme ketika raja menyebarkan
informasi kepada para pejabat di seluruh

provinsi. Di Nusantara, hal itu juga terjadi
saat

zaman

kerajaan


semisal

zaman

Majapahit, Sriwijaya dan lain sebagainya
telah

ada

berkeliling
kepada

para

pembawa

menyampaikan
khalayak.

Bisa

berita

yang

pengumuman
pengumuman

sayembara, pengumpulan upeti dll.
Pengembangan jurnalistik terus berlanjut
seiring kebutuhan manusia akan komunikasi.
Hingga pada 15 Januari 1609 untuk pertama
kalinya surat kabar Jerman, Avisa Relation
Oder

Zeitung

kebutuhan

terbit

informasi

untuk

memenuhi

masyarakat

secara

mingguan. Barulah pada 1702, Daily Courant
di London menjadi pelopor koran harian yang
rutin setiap hari mewartakan setiap informasi
di Inggris.
Sedangkan

di

indonesia

sendiri,

jurnalistik Eropa masuk ke Hindia Belanda
setelah

Gubernur

Jenderal

belanda,

Jan

Pieterszoon Coen pada tahun 1587-1629
memprakarsai penerbitan newsletter yang
dinamakan Memorie der Nouvelles. Pada
waktu itu, berita dengan tulisan tangan
tersebut

dicetak

dan

disebarkan

kepada

orang-orang penting di Jakarta. Isinya pun
masih berita-berita dari Belanda yang dibawa
ke Indonesia.
Satu abad kemudian, barulah surat kabar
pertama kalinya di Indonesia lahir, setelah
Bataviasche

Nouvelles

en

Politique

Raisonnementen terbit pada 7 Agustus 1744
dalam ukuran kertas folio. Namun karena
sempat dilarang terbit, akhirnya menunggu
waktu setahun barulah surat kabar pertama
itu diperbolehkan edar di Indonesia. Namun
sayangnya, hanya bertahan dua tahun saja.
Sedangkan surat kabar hasil prakarsa putera
bangsa, baru terbentuk pertama kali pada
tahun 1902, setelah Medan Prijaji sebagai
pelopor suara kemerdekaan diterbitkan oleh

Raden

Mas

Tirtoadisuryo.

Akibatnya,

wartawan yang dengan peliputannya telah
menggunakan suara hati itu ditahan oleh
pemerintah

belanda

lantaran

pemberitaannya. Sejak itu berselang setelah
kemerdekaan,

surat

kabar

mulai

bermunculan. Mulai dari harian Kedaulatan
Rakyat,

Merdeka,

Waspada,

Pedoman,

Indonesia Raya, Suara Merdeka dan lain
sebagainya. Namun jalan terjal pula dialami
pada masa pers partisan. Pada era Orde
Lama

salah

Redaksi

satu

Indonesia

contohnya,
Raya,

keluar-masuk

tahanan.

pahit

berlanjut

itu

pememrintahan
Soeharto

orde

membredel

Pemimpin

Mochtar

Lubis

Peristiwa-peristiwa
hingga
baru.
dan

Di

masa
mana,
menutup

sementara 7 koran, di antaranya Kompas,
Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lainnya.
Setelah tampuk pemerintahan orde baru
runtuh, barulah angin segar kebebasan pers

menyeruak kepermukaan. Hingga pada 23
September presiden mengesahkan undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Sistem beredel dan sensor pun diakhiri serta
dihapuskan. Perizinan yang dulunya sangat
ketat pun ditiadakan bagi media pers cetak.
Memasuki masa keemasan dunia pers di
indonesia, di saat runtuhnya rezim orde baru
itulah,

era

berbagai

reformasi

media

berkembang

menjadi

massa

untuk

menjadi

pesat.

jembatan
lahir

dan

Beberapa

catatan, ratusan media massa cetak baik
nasional

maupun

lokal

menjamur.

Kebanyakan media massa tersebut menjadi
pemotor tumbuhnya demokrasi di indonesia,
atau

dalam

istilahnya

sebagai

koran

reformasi.
Namun satu dekade kemudian, banyak media
massa

di

indonesia

yang

gulung

lantaran persaingan bisnis yang ketat.

tikar

Sistem pers yang bertanggung jawab
terhadap sosial dipadu dengan sistem pers
yang liberal banyak Koran Kuning (koran
dengan kualitas buruk) yang akhirnya gulung
tikar.
Hingga saat ini sudah tidak tercatat lagi
berapa banyaknya media massa di sekitar
manusia. Mulai dari cetak, media massa
online, radio, televisi, dan lainnya. Cara-cara
media massa menyentuh khalayaknya juga
bermacam-macam canggihnya. Mulai melalui
media sosial semisal facebook dan twitter.
Perkembangan media di atas menunjukkan
bahwa dari masa ke masa, media massa
terus berkembang seiring dengan kebutuhan
manusia

akan

informasi

yang

begitu

dahsyatnya.

Periode media massa dari tahun ke tahun

Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan
secara

aktif,

hal

ini

dikarenakan

tidak

diberikannya peluang bagi masyarakat untuk
dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan
pikirannya.

Masyarakat

Indonesia

berada

dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat
intelektual

masyarakat

Indonesia

relatif

rendah.
Di

sisi

terutama

lain,

sebagai

media
alat

berperan

aktif

perjuangan.

Akan

tetapi keberadaan media masih terkukung
dalam

semangat

terelakkan,

kedaerahan

bahkan

yang

sampai

tak

penjajah

meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah
dengan adanya tekanan dari pemerintahan
penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana
tidak

ada

persetujuan

berita

yang

gubernur

tersiar

jenderal

media tidak dapat bergerak

tanpa

membuat

Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di
masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai
berperan

secara

aktif.

Segala

gagasan,

kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas
dituangkan khalayak di dalam media. Namun
walau
kreasi,

demikian,
dan

tidak

pikiran

semua
khalayak

gagasan,
dapat

tersalurkan dalam media secara baik. hal ini
dikarenakan sistem yang diterapkan oleh
pemerintahan penjajah kembali diterapkan
(walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan
Orde

Lama

dibawah

kepemimpinan

Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde
Lama terlihat sangat dominant.
Hal

ini

dibuktikan

dengan

adanya

penerapan situasi darurat perang (SOB),
dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya
mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1

Oktober

1958.

mengakibatkan

Aturan
banyak

tersebut

media

yang

diberangus dan juga penahanan sejumlah
wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian
dan majalah kemudian dipertegas dengan
Penpres No.6/1963.

Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali
berperan pasif seperti di masa kemerdekaan.
Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan
minat intelektual masyarakat yang rendah,
tetapi

lebih

pemerintah

disebabkan
yang

mengakibatkan

karena

dominan

masyarakat

tidak

peran
yang
dapat

dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi,
dan pikirannya melalui media.
Peran

media

di

masa

Orde

Baru

sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada

saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi
sistem

pemerintahan

diterapkan

oleh

penjajah

pemerintahan

masih

Soeharto.

Represi bahkan sudah dijalankan bahkan
sejak pada awal era Orde Baru, orde yang
menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran
menjadi korban, antara lain majalah Sendi
terjerat

delik

pers,

pada

1972,

karena

memuat tulisan yang dianggap menghina
Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit
Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut
di

pengadilan.

Sinar
karena

Harapan,

Setahun
dilarang

dianggap

kemudian,
terbit

1973,

seminggu

membocorkan

rahasia

negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran
Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa
Malari,

sebanyak

12

penerbitan

pers

dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit
(SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah
usaha-usaha

melemahkan

sendi-sendi

kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi
fungsi,

kebobrokan

pertarungan

aparat

tingkat

kepercayaan

pemerintah,

tinggi;

merusak

masyarakat

pada

kepemimpinan nasional; menghasut rakyat
untuk bergerak mengganggu ketertiban dan
keamanan

negara;

menciptakan

peluang

untuk mematangkan situasi yang menjurus
pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini
dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus
Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali
terjadi

pada

maraknya
pencalonan
Sebanyak

1978,

aksi

mahasiswa

Soeharto
tujuh

berkaitan

surat

menentang

sebagai
kabar

dengan
presiden.

di

Jakarta

(Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore)
dibekukan penerbitannya untuk sementara

waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan
terbit kembali setelah masing-masing pemilik
Koran

tersebut

meminta

maaf

kepada

pemimpin nasional (Soeharto).
Proses
sangat

komunikasi

selektif.

Hal

berjalan

ini

terlihat

dengan
dengan

adanya golongan yang sangat dominan di
dalam proses komunikasi tersebut, yakni
pemerintah.

Pada

pemerintahan

era

Soeharto

Orde

Baru,

secara

cerdik

berhasil merumuskan sistem pers baru yang
“orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi
gaya Indonesia dari konsep development
journalism

(atau

dalam

kategori

Siebert,

Peterson, dan Schramm termasuk dalam
jenis social responsibility pers). Konsep “Pers
Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering
didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga
bukan

pers

komunis)

secara

resmi

dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno
Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan

1980-an.
Rumusan

tersebut

berbunyi:

Pers

Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam
arti pers yang orientasi sikap dan tingkah
lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan
UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers
Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila
dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, termasuk pembangunan pers itu
sendiri.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang
sehat,

yakni

pers

bertanggungjawab

yang
dalam

bebas

dan

menjalankan

fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat
dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui
hakekat

dan

fungsi

mengembangkan

itu

suasana

Pers
saling

Pancasila
percaya

menuju masyarakat terbuka yang demokratis

dan bertanggungjawab.
Istilah

Pers

Pancasila

merupakan

cerminan keinginan politik yang kuat dan
ideologisasi

korporatis

saat

itu

yang

menghendaki pers sebagai alat pemerintah.
Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur
aspirasi

rakyat

dan

kontrol

sosial

yang

konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers
Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia
periode akhir 1970-an hingga 1998 sematamata

menjadi

corong

(mouthpiece)

pemerintah, kehilangan independensi dan
fungsi
yang

kontrolnya.
dibuat

Berbagai

rezim

pembatasan

Soeharto

membuat

wartawan tak bebas menulis.
Pada

era

disebut–secara

ini

lah

muncul

sinis—sebagai

apa

yang

“budaya

telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa
dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat

pemerintah, untuk mencegah media menulis
laporan

tertentu

yang

tidak

disukai

pemerintah. Selain itu pada pertengahan
1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat
militer dan pemerintah berkunjung ke kantor
redaksi

media

“informasi

cetak

penting”

untuk
dan

memberikan

ketentuan

tak

tertulis apa yang boleh dan tidak boleh
ditulis.
Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong
pengelola media menggunakan gaya bahasa
eufimistik untuk menghindarkan teguran dan
pembredelan.
Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin
pintar untuk melakukan

swa-sensor (self

censorship). Akibatnya sebagian besar media
cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong
pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat
tinggi pemerintah dan militer akan dicetak
dan dijadikan laporan utama (headline) oleh
pers.

Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde
Baru, khalayak kembali menggeliat aktif.
Khalayak

dapat

sebebas-bebasnya

menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya
melalui media tanpa harus ada kekhawatiran
akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu

juga

media,

dapat

berperan

secara aktif khususnya dalam mengambil
peran

sebagai

khalayak

dan

penyalur/penengah
hubungannya

bagi

dengan

pemerintah. Penerbitan pers yang semula
dibatasi

perizinan

kemudian

leluasa

menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten,
bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di
Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma

memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari
setahun melonjak mencapai lebih dari 45
penerbitan pers.
Pada

era

ini

jurnalisme

radio

mulai

semarak, stasiun radio di Jakarta seperti
Elshinta,

Sonora

dan

Trijaya

FM

mulai

memproduksi laporan berita. Langkah itu
diikuti sejumlah stasiun radio di daerah
seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai
32.

Sedangkan

meskipun
utang,

lima

untuk
stasiun

Departeman

media
TV

yang

Penerangan

televisi,
terbelit
sampai

Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk
delapan

stasiun baru,

untuk

siaran

enam diantaranya

nasional.

persoalannya

frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional
tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah
tidak

dominan

sebelumnya.

dibanding

Pemerintah

era-era

memberikan

kebebasan kepada media sesuai dengan
tugas dan fungsinya