PENYULUHAN PARTISIPATIF dan Model Pemberdaya

PENYULUHAN PARTISIPATIF
Model Pemberdayaan Petani Masa Depan

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
KOMUNIKASI PENYULUHAN PUBLIK

OLEH:

AZWANIL FAKHRI
NIM. 157045030

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI .....................................................................................................


i

PENDAHULUAN
Latar Belakang..........................................................................................

1

Rumusan Masalah ...................................................................................

3

PEMBAHASAN
Uraian Teoritis..........................................................................................

4

Kajian yang Relevan dan Analisis Studi Kasus ...................................

8


Analisis Hasil............................................................................................

16

SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................

22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

24

i

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Reformasi telah mengubah suasana otokrasi menjadi demokrasi, yang dalam
praktiknya menampakkan kebebasan berfikir, berbicara dan bertindak. Pembangunan
nasional yang telah berjalan lebih dari 30 tahun telah banyak mengubah wajah

pertanian Indonesia. Namun, sektor pertanian masih tetap menjadi tumpuan utama
perekonomian negara. Pergeseran arah kebijakan pembangunan pertanian di
Indonesia diikuti dengan perubahan paradigma kebijakan. Jika pada masa Orde Baru
yang dapat dilihat secara konseptual pada setiap Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita), paradigma kebijakan pembangunan pertanian bertujuan meningkatkan
produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, memperluas lapangan
kerja dan produksi orientasi ekspor, maka di akhir tahun 90-an atau era reformasi
telah bergeser pada tujuan agribisnis yang lebih kompleks, yaitu meningkatkan peran
serta (pertisipasi), efisiensi, dan produktivitas petani yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
Berubahnya paradigma pembangunan pertanian juga berdampak kepada
perubahan paradigma kinerja penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Potret
penyuluhan sebelumnya sangat diwarnai oleh misi pembangunan pertanian yang
dicanangkan oleh pemerintah dengan sasaran utama usaha peningkatan produksi
melalui intensifikasi dengan fokusnya pada target produksi yang cenderung
dipaksakan dalam rangka mengamankan swasembada pangan sebagai agenda
nasional pada waktu itu. Konsekuensi logis misi tersebut menjadikan penyuluhan
pertanian lebih banyak bersifat “top-down dan farmer last”. Penyuluhan Pertanian
menjadi paket instruksi dari pemerintah kepada para petani melalui para petugas
khususnya penyuluh pertanian, oleh karena itu yang terjadi bukan pemberdayaan

tetapi menjadikan petani semakin tidak berdaya karena faktanya petani diposisikan
sebagai obyek pembangunan yang berimplikasi kepada rendahnya pendapatan usaha

1

2

tani dan kesejahteraannya, bahkan lebih jauh telah mematikan dinamika internal
petani sebagai modal utama upaya pemberdayaan.
Hal ini diperparah dengan sikap dan perilaku sebagian besar petugas pertanian
dengan berbagai proyeknya di semua lini yang cenderung melakukan kegiatan yang
membuat para petani bersikap menunggu dan menciptakan ketergantungan. Dalam
kesehariannya para petani lebih banyak menunggu anjuran, arahan dan bahkan
instruksi yang dilakukan para petugas khususnya para penyuluh pertanian yang
sehari-hari berada dilapangan.
Penyuluhan pertanian diakui telah banyak memberikan sumbangan pada
keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Penyuluhan telah berhasil
menyampaikan berbagai inovasi pertanian kepada petani dengan segala metodenya
sehingga para petani meningkat pengetahuan dan ketrampilannya serta dapat
mengubah sikap petani menjadi mau dan mampu menerapkan inovasi baru.

Perjalanan pengembangan penyuluhan pertanian di Indonesia yang dimulai sejak
akhir abad 19 ternyata mengalami pasang surut dan liku-liku yang dinamika sesuai
dengan perkembangan zaman.
Revitalisasi dan reformasi penyuluhan pertanian di era agribisnis merupakan
suatu tuntutan zaman yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu maka
pembenahan dan pemberdayaan kelembagaan penyuluhan serta peningkatan
kemampuan penyuluh harus menjadi bahan kajian bagi para pakar yang akan
dijadikan kebijakan bagi pemerintah. Secara umum pertanian berkelanjutan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberdayaan petani sesuai prinsip
dasar yang digaungkan sejak dahulu, yakni bertani lebih baik (better farming)
sehingga usahatani menjadi lebih baik (better bussiness) dan muaranya petani
menikmati kehidupan yang lebih baik (better living). Untuk mencapai tujuan tersebut,
dilakukan

dengan

meningkatkan

pengembangan


sumberdaya

manusia,

memberdayakan petani, menjaga stabilitas lingkungan dan memfokuskan tujuan
produktivitas untuk jangka panjang.

3

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana wajah penyuluhan
masa depan yang bekerja dengan cara pandang baru, yakni petani sebagai mitra. Cara
pandang ini mengubah pondasi kerja penyuluh dari sebelumnya lebih banyak
berperan sebagai guru yang lebih banyak memberikan instruksi, maka sekarang
menjadi fasilitator pembelajar yang berprinsip memberdayakan petani sesuai dengan
perkembangan zaman hari ini.

4

PEMBAHASAN


1. Uraian Teoritis
Penyuluhan Pertanian adalah suatu usaha atau upaya untuk mengubah
perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan
serta mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan
meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya. Menurut U. Samsudin S
(dalam Kartasapoetra, 1987) penyuluhan pertanian adalah suatu cara atau usaha
pendidikan yang bersifat non-formal untuk para petani dan keluarganya di perdesaan.
AT Mosher menambahkan penjelasan bahwa dalam penyuluhan terkandung arti
aktivitas pendidikan di luar bangku sekolah yang disesuaikan dengan waktu dan
keadaan petani sebagai sasaran penyuluhan itu sendiri (Kartasapoetra, 1987).
Margono (dalam Mardikanto, 2009) memaknai penyuluhan sebagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Istilah ini telah lazim digunakan oleh banyak pihak sejak
Program Pengentasan Kemiskinan pada dasawarsa 1990-an. Terkait hal tersebut,
selanjutnya Mardikanto (2009) merangkum kegiatan penyuluhan dari berbagai
pemahaman, yaitu:
1) Penyebarluasan (informasi), penyuluhan sebagai terjemahan dari kata
“extension”, dapat diartikan sebagai proses penyebarluasan, dalam hal ini
informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi ke dalam praktik atau kegiatan teknis.

2) Penerangan/penjelasan, penyuluhan berasal dari kata ”suluh” atau obor,dapat
diartikan sebagai kegiatan penerangan atau memberikan terang bagi yang
dalam kegelapan.
3) Pendidikan non-formal (luar sekolah),
4) Perubahan perilaku, penyuluhan adalaah proses aktif yang memerlukan
interaksi antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun “perubahan
perilaku” yang merupakan perwujudan dari: pengethuan, sikap dan
keterampilan.

5

5) Rekayasa sosial, melakukan segala upaya untuk menyiapkan sumberdaya
manusia agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan peran sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing.
6) Pemasaran inovasi (teknis dan sosial)
7) Perubahan sosial, penyuluhan dalam jangka panjang diharapan mampu
menciptakan

pilihan-pilihan


baru

untuk

memperbaiki

kehidupan

masyarakatnya.
8) Pemberdayaan masyarakat, penyuluhan bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat madani dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan
(yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri.
9) Penguatan kapasitas, upaya untuk melebih mampukan individu agar lebih
mampu berperan di dalam kelompok dan masyarakat global.
Penyuluhan secara sistematis adalah suatu proses yang; 1) Membantu petani
menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; 2)
Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari
analisis tersebut; 3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan
terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki petani; 4) Membantu petani memperoleh pengetahuan

yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat
yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; 5)
Membantu petani memutuskan pilihan tepat yang menurut pendapat mereka sudah
optimal; 6) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan 7)
Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam
membentuk pendapat dan mengambil keputusan (Van den Ban & Hawkins, 1999).
Penyuluhan pertanian sebagai sebagai suatu sistem pemberdayaan petani merupakan
suatu sistem pendidikan non-formal bagi keluarga petani yang bertujuan membantu
petani dalam meningkatkan keterampilan teknis, pengetahuan, mengembangkan
perubahan sikap yang lebih positif dan membangun kemandirian dalam mengelola
lahan pertaniannya. Penyuluhan pertanian sebagai perantara dalam proses alih
teknologi maka tugas utama dari pelayanan penyuluhan adalah memfasilitasi proses

6

belajar, menyediakan informasi teknologi, informasi input dan harga input-output
serta informasi pasar (Badan SDM Pertanian, 2003).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
penyuluhan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah

daerah. Wewenang dan tanggung jawab pemerintah tersebut diwujudkan antara lain
dengan memantapkan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang meliputi
aspek penataan kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, prasarana dan sarana,
serta pembiayaan penyuluhan.
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menyebutkan fungsi sistem penyuluhan
meliputi:
1) Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha
2) Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber
informasi,

teknologi,

dan

sumberdaya

lainnya

agar

mereka

dapat

mengembangkan usahanya
3) Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan
pelaku utama dan pelaku usaha
4) Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan
organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi,
produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan
5) Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang
dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola
usaha
6) Menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian
fungsi lingkungan
7) Melembagakan nilai -nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Lebih lanjut Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa untuk lebih
meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan

7

sumberdaya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial,
kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir
yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan
lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari
keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai
kehidupan yang lebih baik. Jadi pemberdayaan masyarakat adalah upaya
mengembangkan mayarakat dari keadaan kurang atau tidak berdaya menjadi punya
daya dengan tujuan agar masyarakat tersebut dapat mencapai/ memperoleh kehidupan
yang lebih baik. Payne (dalam Mardikanto & Soebiato, 2015) mengatakan sebagai
berikut: “to help clients gain power of decision and action over their own lives by
reducing the effect of sosialor personal blocks to exercising cacityand self-confidence
to use power and by transferring power from the environment to clients.”Artinya
bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membantu masyarakat
memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
mereka lakukan yang terkait dengan diri mereka sendiri, termasuk mengurangi efek
hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dapat dilakukan
melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri pada masyarakat untuk
menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari
lingkungannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani bahwa pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk
meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik
melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan
sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan
pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta
penguatan Kelembagaan Petani. Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata
empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah
dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bertitik

8

berat pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang
mengorganisir diri mereka sendiri sehingga diharapkan dapat memberi peranan
kepada individu bukan sekedar objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku
pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara
umum.
Dalam hubungan ini, Tjokrowinoto (dalam Mardikanto & Soebiato, 2015),
menekankan deskripsi mengenai ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada
pemberdayaan manusia:


Pertama; Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat itu
sendiri



Kedua; Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampaun masyarakat untuk
mengelola dan memobilisasi sumberdaya-sumberdaya yang terdapat di
komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka



Ketiga; Pendekatan ini mentoleransi adanya variasi lokal dan karenanya ia
bersifat lentur (flexible) menyesuaikan dengan kondisi lokal



Keempat; Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan
pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif
antara birokrasi dan komunitas, mulai dari proses perencanaan sampai
evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar



Kelima; Proses pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan
lembaga komunitas atau swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi
tradisional yang mandiri, merupakan bagian yang integral dari pendekatan
ini,baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan
mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara
struktur vertikal dan hrizontal. Melalui proses networking inilah diharapkan
terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.

2. Kajian Penelitian yang Relevan dan Analisis Kasus

9

1. Judul

: Persepsi Pelaku Usaha Perikanan terhadap
Kinerja Penyuluh Perikanan
Tahun
: 2013
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Nayu Nurmalia, Ani Leilani, Azam B. Zaidy
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota
dan
Nama : Penerbit
Nama Jurnal
: Jurnal Penyuluhan perikanan dan Kelautan
Volume (Edisi); hal
: Vol. 7 No.1: hal. 16-25
Alamat URL/doi
: Ringkasan Analisis
Tulisan ini tentang persepsi pelaku usaha perikanan terhadap kinerja penyuluh
perikanan yang dibutuhkan oleh pelaku usaha. Daerah penelitian tersebar di 13
Kabupaten/Kota yang ada di 11 Provinsi yang meliputi Kabupaten/Kota: Bintan,
Kota Bengkulu, Kota Palembang, Pendeglang, Sumedang, Tasikmalaya, Boyolali,
Gunung Kidul, Kulonprogo, Pacitan, Sambas, Bangli, dan Maros. Lokasi penelitian
tersebut merupakan wilayah yang memiliki potensi perikanan dengan pelaku usaha
sebagian besar usaha budidaya perikanan air tawar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui persepsi pelaku usaha perikanan terhadap kinerja penyuluh perikanan
yang dibutuhkan oleh pelaku usaha. Penelitian ini berbentuk survey deskriptif yaitu
penelitian untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi atau kejadian,
mengidentifikasi masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan praktikpraktik yang sedang berlangsung.
Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang
terhadap obyek tertentu. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk
memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif,
senang atau tidak senang dan sebagainya. Persepsi merupakan proses psikologis dan
hasil dari penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk
proses berfikir. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan
penyesuaian ditentukan oleh persepsinya.

10

Persepsi pelaku usaha terhadap kinerja penyuluh perikanan meliputi persepsi
terhadap keberadaan penyuluh perikanan di wilayah usahanya, persepsi sikap pelaku
usaha terhadap tingkat kebutuhan bantuan penyuluh perikanan dalam memajukan
usaha yang ditekuni pelaku usaha, persepsi pelaku usaha terhadap jenis bantuan yang
diharapkan dari penyuluh perikanan, persepsi pelaku usaha terhadap frekuensi
kehadiran penyuluh perikanan yang dibutuhkan di lokasi usaha, persepsi pelaku usaha
terhadap cara penyuluh memberikan penyuluhan, persepsi pelaku usaha terhadap
harapan dengan adanya kelompok usaha perikanan, persepsi cara pelaku usaha dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam usahanya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat poin penting mengenai persepsi
pelaku usaha terhadap kinerja penyuluh perikanan yaitu, keberadaan penyuluh masih
sangat diharapkan oleh pelaku usaha, oleh karena itu penyuluh perikanan harus
mampu, siap merespon pelaku usaha dan penyuluh harus menguasai dan
memanfatkan teknologi informasi, komunikasi dan edukasi, sehingga keberadaanya
mempunyai arti bagi pelaku usaha. Meningkatkan materi penyuluhan perikanan yang
dibutuhkan pelaku usaha terutama yang tekait dengan peningkatan produksi bagi
kelangsungan usahanya. Metode penyuluhan perikanan yang diharapkan pelaku usaha
dari penyuluh perikanan adalah dengan memberi contoh usaha.
Kinerja penyuluh dapat diukur melalui persepsi dari pelaku usaha perikanan
air tawar. Persepsi merupakan proses penilaian terhadap objek tertentu yang dapat
berupa perasaan senang/ tidak senang, suka/ tidak suka yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang terhadap objek tertentu. Tulisan diatas
dapat diketahui kinerja penyuluh perikanan dengan melihat persepsi atau pandangan
pelaku usaha terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh penyuluh. Peran penyuluh
masih sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha namun keterbatasan jumlah penyuluh,
materi, dan cara penyampaian yang kurang yang mengakibatkan proses penyuluhan
kurang dinilai baik. Tulisan tersebut mencoba mengetahui persepsi pelaku usaha
dengan melihat berapa sering penyuluh datang, bagaimana materi, cara penyampaian
dan sebagainya namun tidak mengungkapkan saran atau apa yang harus dilakukan

11

selanjutnya guna kinerja penyuluh perikanan yang lebih baik lagi sehingga, sebaiknya
memberikan solusi-solusi yang terdapat kendala maupun masalah.
2. Judul

: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada
Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo
(Factors Affecting the Performance of
Agricultural Extension and its Impact on the
Behavior of Maize Farmers in Gorontalo
Province)
Tahun
: 2010
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Mohamad Ikbal Bahua, Amri Jahi, Pang S.
Asngari, Amiruddin Saleh dan I Gusti Putu
Purnaba
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota
dan
Nama : Penerbit
Nama Jurnal
: Jurnal Ilmiah Agropolitan
Volume (Edisi); hal
: Vol. 3 No.1: hal. 293-303
Alamat URL/doi

: http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/36/Fa
ktor-Faktor-yang-Mempengaruhi-KinerjaPenyuluh-Pertanian-dan-Dampaknya-padaPerilaku-Petani-Jagung-di-ProvinsiGorontalo.pdf.

Ringkasan Analisis
Tulisan ini menceritakan tentang Kinerja penyuluh pertanian (performance)
merupakan respons atau perilaku individu terhadap keberhasilan kerja yang dicapai
oleh individu secara aktual dalam suatu organisasi sesuai tugas dan tanggungjawab
yang diberikan kepadanya yang dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan
periode waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Penelitian ini
dilaksanakan di Provinsi Gorontalo yang mempunyai lima daerah kabupaten dan satu
kota. Pertimbangan lokasi penelitian, karena (1) Gorontalo adalah provinsi yang
memprogramkan agropolitan dengan tanaman utama adalah jagung, (2) jumlah
penyuluh pertanian didominasi oleh penyuluh pertanian tanaman pangan dan (3)

12

petani di Provinsi Gorontalo pada umumnya membudidayakan jagung sebagai
tanaman utama untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Metode yang digunakan
adalah metode survey melalui wawancara dan pengisian kuesioner.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian diupayakan agar tidak menimbulkan
“ketergantungan” petani kepada penyuluh, akan tetapi diarahkan untuk menciptakan
kemandirian petani dengan memposisikannya sebagai wiraswasta agribisnis, agar
petani dapat berusahatani dengan baik dan hidup lebih layak berdasarkan sumberdaya
lokal yang ada disekitar petani. Kinerja penyuluh dalam hal ini sangat dibutuhkan
kinerja penyuluh pertanian yang terintegrasi pada pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi penyuluh pertanian dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi,
mengimplementasikan dan mengevaluasi program penyuluhan pertanian.
Faktor-faktor internal yang dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian
adalah: umur, masa kerja, jumlah petani binaan, kemampuan merencanakan program
penyuluhan, kemampuan kepemimpinan penyuluh, pengembangan potensi diri,
kebutuhan untuk berafiliasi, kemandirian intelektual dan kemandirian sosial. Semua
faktor internal tersebut berpengaruh nyata pada peningkatan kinerja penyuluh
pertanian. Peubah karakteristik, kompetensi, motivasi dan kemandirian penyuluh
berpengaruh tidak langsung pada perubahan perilaku petani jagung, sedangkan
kinerja penyuluh pertanian melalui dimensi kualitas mengapresiasi keragaman
budaya dan kualitas pengelolaan informasi berpengaruh langsung pada perilaku
petani.
Derajat hubungan antar peubah kompetensi dan kemandirian penyuluh
tergolong kuat, sedangkan derajat hubungan antar peubah kompetensi dan motivasi
penyuluh, serta derajat hubungan antar peubah motivasi dan kemandirian penyuluh
tergolong lemah.

3. Judul

Tahun

: Faktor-Faktor Penentu Peningkatan Kinerja
Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan
Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau)
: 2008

13

Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis

: Jurnal
: Elektronik
: Marliati, Sumardjo, Pang S. Asngari, Prabowo
Tjitropranoto dan Asep Saefuddin

Nama Editor
Judul Buku
Kota
dan
Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi); hal

: : : -

Alamat URL/doi

: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/do
wnload/2174/1203

: Jurnal Penyuluhan
: Vol. 4 No. 2: hal. 93-99

Ringkasan Analisis
Tulisan ini berisi tentang faktor-faktor penentu manakah yang efektif
berpengaruh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian. Penelitian ini adalah
penelitian penjelasan (explanatory research), yaitu menjelaskan hubungan kausalitas
antara peubah-peubah melalui pengujian hipotesis. Penelitian dilakukan di Kabupaten
Kampar Provinsi Riau. Kabupaten Kampar merupakan salah satu Kabupaten
memiliki potensi pengembangan agribisnis di Provinsi Riau.
Pemerintah

telah

melakukan

berbagai

upaya,

di

antaranya

telah

dicanangkannya Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP), yaitu suatu upaya
mendudukkan, memerankan dan memfungsikan serta menata kembali penyuluhan
pertanian agar terwujud kesatuan pengertian, kesatuan korp dan kesatuan arah
kebijakan. Salah satu tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi ini adalah telah
disahkannya Undang-undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(SP3K) No. 16 Tahun 2006 pada tanggal 18 Oktober 2006. UU ini merupakan suatu
titik awal dalam pemberdayaan para petani melalui peningkatan sumberdaya manusia
dan kelembagaan para penyuluh pertanian PNS, swasta dan penyuluh pertanian
swadaya. Permasalahan pokok yang dihadapi selama ini adalah rendahnya kualitas
dan kuantitas tenaga penyuluh (termasuk di Kabupaten Kampar Provinsi Riau).
Kinerja penyuluh pertanian dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
penyuluh. Kinerja penyuluh dalam penelitian ini adalah dipersepsikan oleh tingkat

14

kepuasan petani yang menerima jasa penyuluhan pertanian. Faktor internal yang
diduga berpengaruh terhadap kinerja penyuluh adalah kompetensi penyuluh
pertanian. Faktor eksternal yang diduga berpengaruh terhadap kinerja penyuluh
adalah karakteristik sistem sosial (yaitu aspek-aspek yang mendukungan/menghambat
perubahan dalam sistem sosial sebagai akibat proses intervensi pembangunan
pertanian).
Kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah perilaku
aktual yang diperagakan penyuluh sebagai kewajibannya mengemban tugas-tugas
pemberdayaan yang diamanahkan kepadanya, yang diukur dari tingkat kepuasan
petani. Berdasarkan temuan penelitian, tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam
memberdayakan petani terdiri dari 6 aspek termasuk kategori “cukup.” Artinya,
kinerja pemberdayaan yang meliputi: pengembangan perilaku inovatif petani (kinerja
penyuluh dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan adopsi inovasi);
penguatan partisipasi petani (kinerja penyuluh membantu/memfasilitasi petani
mengidentifikasi kebutuhannya, melibatkan petani dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program penyuluhan); penguatan kelembagaan petani
(kinerja penyuluh memanfaatkan potensi kelembagaan petani yang berakar kuat dari
dalam masyarakat, memotivasi/memfasilitasi kerjasama dan dinamika kelompok.);
penguatan

akses

terhadap

berbagai

sumberdaya

(kinerja

penyuluh

memotivasi/memfasilitasi petani menemukan/memanfaatkan inovasi, kemudahan
mendapatkan/menyediakan sarana produksi yang berkualitas, modal usaha, teknologi
pertanian spesifik lokasi, pemasaran yang menguntungkan dan akses teknologi
pengolahan hasil pertanian); penguatan kemampuan petani berjaringan (kinerja
penyuluh memotivasi dan memfasilitasi petani menjalin kerjasama dalam dan antar
kelompok tani, serta dengan kelembagaan agribisnis lain) dan kaderisasi (kinerja
penyuluh menumbuhkan kader-kader petani untuk pendampingan dan mendampingi
kader jika menemui kesulitan) termasuk kategori “cukup” (sudah ke arah baik, namun
belum relatif baik).
Faktor-kaktor karakteristik petani (umur, pendidikan formal, pengalaman
beragribisnis dan luas penguasaan lahan) tidak berpengaruh signifikan terhadap

15

kinerja penyuluh. Artinya, karakteristik petani belum berperan terhadap kinerja
penyuluh atau sebaliknya kinerja penyuluh belum memperhatikan (berdasarkan)
karakteristik petani, kecuali pendidikan non formal. Pelaksanaan pemberdayaan
seharusnya penyuluh juga memperhatikan karakteristik petani seperti usia, tingkat
pendidikan formal dan pengalaman petani. Faktor-faktor karakteristik sistem sosial
yang lain yaitu: sistem kelembagaan petani; akses petani terhadap tenaga ahli,
kelembagaan penelitian dan penyuluhan dan kepemimpinan lokal belum berpengaruh
secara nyata terhadap kinerja pemberdayaan oleh penyuluh pertanian. Faktor-faktor
ini seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan tingkat kinerja penyuluh
pertanian dalam memberdayakan petani. Kompetensi manajerial penyuluh tidak
berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan
petani. Artinya, kompetensi kewirausahaan yang dimiliki oleh penyuluh pertanian
belum mendukung kinerja penyuluh pertanian. Hal ini disebabkan oleh kompetensi
wirausaha penyuluh pertanian belum relatif tinggi (kategori "cukup"). Manajemen
yang dilakukan penyuluh adalah manajemen terpusat atau sudah terpola dari pusat. Di
lain pihak, petani memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda, yang
seharusnya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan penyuluhan pertanian
berdasarkan analisis kebutuhan petani.
Petani berada pada usia produktif dan pengalaman beragribisnis cukup lama,
namun belum ditunjang oleh pendidikan formal dan non formal yang tinggi serta
belum didukung oleh luas penguasaan lahan pertanian yang memadai. Tingkat kinerja
penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani relatif belum baik (kategori
“cukup”), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap
kinerja penyuluh pertanian yaitu: karakteristik sistem sosial (nilai-nilai sosial budaya;
fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan akses petani terhadap kelembagaan
agribisnis) dan kompetensi penyuluh (kompetensi komunikasi; kompetensi penyuluh
membelajarkan petani dan kompetensi penyuluh berinteraksi sosial), termasuk
kategori “cukup” dan kompetensi wirausaha penyuluh tidak berpengaruh nyata
terhadap kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani.

16

3. Analisis Hasil
Menurut Alma S. Tan (dalam Valera, et. al., 1987), bahwa konsep atau
pemikiran mengenai fungsi penyampaian penyuluhan dapat dilihat dari dinamika,
proses dalam kerangka sistem (framework system). Lebih lanjut menjelaskan bahwa
di dalam sistem penyuluhan terdapat tiga komponen pokok/utama yaitu: sistem
penelitian, sistem perubahan dan sistem klien.

Gambar 1. Komponen utama dalam sistem Perubahan (Alma S.Tan.1987)
Sistem Penelitian; adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan ilmu dan
teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna (petani). Teknologi yang
dihasilkan berupa teknologi tepat guna sesuai dengan kondisi masyarakat lokal.
(pengetahuan, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, tujuan dan nilai-nilai budaya).
Sedangkan Sistem Perubahan; adalah suatu sistem di mana kegiatan-kegiatan lebih
diarahkan pada suatu perubahan pada sistem sosial terutama dalam transfer teknologi.
Faktor dan sistem ini adalah doktrin, kerja keras, kelembagaan, pengorganisasian
program, struktur organisasi, pendekatan atau metode; materi, agen perubah dan
program pemberdayaan. Pendekatan penyuluhan yang diorganisasikan merupakan
perpaduan dan kombinasi strategis yang dari metode-metode di dalam penyuluhan
pedesaan di suatu wilayah tertentu. Antara pendekatan yang satu dengan pendekatan

17

lainnya tidak berdiri sendiri (Vicentre A. Martinez dan Ramiro F. Plopino dalam
Valera, et al, 1987).
Sementara itu, Sistem klien; adalah kelompok, komunitas dan masyarakat desa
yang merupakan klien dari sistem penyampaian penyuluhan. Di dalam konteks
penyuluhan, klien merupakan sasaran sekaligus mitra utama dalam pembangunan
pertanian.

Klien

merupakan

penerima

informasi

inovasi

teknologi

sesuai

kebutuhannya yang diperoleh dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang
ada.sehingga esensi dari sistem penyampaian penyuluhan yaitu mekanisme transfer
teknologi. Sistem penyebaran dari inovasi teknologi akan sukses jika ada koordinasi
dan kerjasama dari semua komponen sistem.
Sistem penyuluhan pertanian di Indonesia didefinisikan sebagai sistem
pendidikan non formal untuk petani (termasuk nelayan) dan keluarganya, bertujuan
mencapai kemampuan dan pengetahuan lebih baik, mengembangkan sikap positif
terhadap perubahan dan menambah kepercayaan diri di dalam usahataninya dan
kehidupannya. Ide dasarnya adalah untuk membantu petani untuk berdiri sendiri,
sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya dengan mengadopsi/menerapkan
teknologi yang lebih baik di dalam usahataninya.
Klien adalah kelompok sasaran pembangunan atau pembinaan yang berada
dalam suatu sistem sosial yang heterogen. Sistem sosial dapat diartikan sebagai suatu
peran sosial yang berinteraksi, atau kelompok sosial yang memiliki nilai, norma dan
tujuan yang sama (Gama, 1996). Menurut Campbell dan Barker (dalam FAO, 1997),
para klien adalah suatu kelompok orang yang heterogen yang dapat dibedakan dari
pengusaan sumberdaya (lahan, ternak, sumber-sumber ekonomi), status sosial,
bahasa, jenis kelamin, umur, agama dan kesukuan. Roger dan Shoemaker dalam
Hanafi (1987), menguraikan bahwa klien merupakan kelompok orang atau
masyarakat yang berbeda dalam bahasa, status sosial ekonomi, kemampuan teknis,
nilai-nilai, norma-norma dan sikap-sikapnya.
Pelayanan dalam sistem penyuluhan pertanian harus dapat menggunakan
semua pilihan metode atau pendekatan untuk mencapai sejumlah besar klien; dalam
kaitannya dengan bantuan dan informasi inovasi teknologi yang berkualitas termasuk

18

informasi ketersediaan input, pasar, harga input dan output. Untuk menyediakan
informasi yang spesifik yang dibutuhkan klien terutama yang berkaitan dengan
teknologi dan target yang ingin dicapai dapat dipekerjakan kelompok-kelompok
spesialis. Pada prinsipnya para klien mencakup semua orang yang terlibat dalam
usaha tani. Permasalahannya bahwa untuk memberikan pelayanan komersial dan
organisasi pendukung di tingkat desa akan mengalami kekurangan tenaga penyuluh
yang bisa diharapkan untuk menyediakan informasi dan pelayanan jasa konsultasi
secara produktif.
Untuk mengatasi hal tersebut maka pelayanan dengan sistem klien diperlukan
pendidikan dan latihan kepada petani-petani berhasil agar dapat membantu
melakukan pelayanan jasa penyuluhan pertanian kepada kliennya. Nagel (dalam
FAO, 1997), mengatakan kementerian basis penyuluhan tidak dapat mencapai
mayoritas dan potensial klien untuk ekonomi, sosio-psikologi dan alasan-alasan
teknis. Secara kuantitatif peningkatan staf penyuluh lapangan menunjukkan bahwa
penyuluh yang semakin dekat dengan petani belum memproduksi client-to-agent
sebagai perbandingan untuk pengendalian. Selain itu keterbatasan biaya, sarana dan
prasarana penyuluhan secara infrastruktur pedesaan yang kurang memadai
merupakan beberapa kendala yang dihadapi penyuluh dalam pelaksanaan program
penyuluhan pertanian.
Pengembangan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan terutama
yang berkaitan dengan penyuluhan kepada para klien tidak lagi membedakan
berdasarkan kategori kelompok petani tertentu yang menjadi sasaran, akan tetapi
harus menjangkau semua lapisan petani; mulai dari petani kecil, buruh tani/petani
yang tidak memiliki lahan, wanita tani dan kaum muda tani (Campbell dan Baker
dalam FAO, 1997). Menurut Swanson, Roling dan Jiggins (dalam FAO, 1997),
menjelaskan bahwa ada empat faktor utama yang perlu diperhatikan dalam mencari
atau pemberian suatu kerangka penyuluhan untuk pengembangan teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan kelompok target dan para klien. Faktor-faktor tersebut
adalah; 1) Zona-agroekologi, 2) Akses terhadap sumberdaya, 3) Jenis kelamin
(jender), serta 4) Umur petani dan kelompok kesukuan.

19

Sistem penyuluhan yang dikembangkan oleh FAO dalam bukunya “Improving
Agricultural Extension” juga menekankan bahwa penyuluhan haruslah berkelanjutan,
mencakup kelayakan teknis, kelayakan ekonomi, penerimaan sosial, dan keamanan
lingkungan.

FAO mengenalkan SARD (Sutainable Agricultural and Rural

Development) yaitu bagaimana melihat penyuluhan dalam negara sebagai instrumen
kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian, ketahanan pangan, dan
mengurangi kemiskinan di pedesaan (Swanson et al, 1997). Penyuluhan harus
mampu mengekplorasi kegiatan penyuluhan sebagai sebuah organisasi pembelajaran
partisipatif (participatory learning organization) dan mampu melahirkan pemimpin
dari masyarakat bersangkutan (Earnest et al., 1995). Pendekatan penyuluhan telah
berubah dari model sosok “guru” ke “pembelajar” dan dari kelembagaan ke
kebutuhan komunitas (White & Burnham, 1995).
Sejalan dengan ini, Patterson (1998) menambahkan bahwa penyuluhan baru
harus memperhatikan sistem (managing systems), bukan sekedar orang per orang
(people), dan membantu tercapainya visi komunitas. Dibutuhkan pula perubahan
struktur kelembagaan, yaitu lingkungan yang mampu mendorong kerjasama dan
koordinasi, melalui pengembangan struktur kelembagaan. Agen-agen penyuluhan
harus aktif membangun relasi yang formal antara lembaga penelitian dan konsultasi
dengan sektor swasta.
Penyuluh pemerintah memiliki tugas khusus, yakni untuk meningkatkan
efisiensi sistem secara keseluruhan melalui penguatan sinergi antara tiga segmen
yaitu penelitian, penyuluhan dan petani. Penguatan tiga segmen ini idealnya diikuti
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan multimedia. Perkembangan teknologi
informasi dan multimedia begitu cepat sehingga menuntut peningkatan kualitas
sumberdaya tenaga penyuluh mesti mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Penyuluh pertanian dituntut untuk memahami teknologi informasi dan
komunikasi selain dan ilmu-ilmu mengenai pertanian. Oleh sebab itu para penyuluh
juga harus mampu mengaplikasikan teknologi informasi sebelum mereka melakukan
kegiatan penyuluhan. Penggunaan teknologi sebagai media informasi bagi petani,
membuat informasi yang disampaikan lebih menarik juga dapat menumbuhkan

20

motivasi serta dapat dilakukan langsung oleh petani itu sendiri, sehingga
menimbulkan

kedisiplinan

terhadap

diri

petani

itu

sendiri.

Seiring dengan itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta
pertimbangan efektivitas dan efisiensi penyebarluasan informasi, salah satu solusi
yang ditawarkan dalam rangka mengatasi persoalan transfer teknologi dan
pengetahuan pertanian adalah pemanfaatan information and communication
technologies (lCTs) untuk penyuluhan pertanian atau dikenal dengan istilah “cyber
extension” yang menggunaan jaringan internet, komputer dan digital interactive
multimedia untuk memfasilitasi diseminasi teknologi pertanian. Model ini dipandang
sangat strategis karena mampu meningkatkan akses informasi bagi petani, penyuluh,
peneliti maupun masyarakat pertanian lainnya. Di sisi lain, penyuluhan pertanian ke
depan sangat mungkin merupakan jasa yang bersifat komersial, di mana penyuluh
telah dianggap sebagai hal yang esensial sehingga petani berani membayar tinggi
terhadap pelayanan yang mereka terima.
Dengan demikian, ciri penyuluhan modern adalah: 1) Penanggung jawab
penyuluhan tidak semata-mata pemerintah nasional, namun dapat dijalankan oleh
beragam pihak dan pada berbagai level; 2) Organisasi penyuluhan berbentuk
“learning organization”, di mana pelaksana penyuluhan tidak lagi terstruktur secara
ketat, namun ada kesempatan terus menerus untuk melakukan penyesuaian misi,
pelayanan, produk, kultur, dan prosedur organisasi; 3) Fungsi penyuluhan lebih luas
dari sekedar mentranfer teknologi, namun juga mencakup upaya untuk memobilisasi,
mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani; 4) Penyuluhan sebagai sistem
pengetahuan yang komprehensif, tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan
transfernya; 5) Model transfer teknologi lebih realistik, siklis, dan dinamis (antara
petani, peneliti, penyuluh dan guru); 6) Desain penyuluhan memungkinkan untuk
mengembangkan learning model dengan melibatkan para stakeholders utama; 7)
Pendekatan penyuluhan lebih pada pemecahan masalah, melibatkan teknologi
informasi eksperimental, mengaitkan penelitian, manajer penyuluhan, dan organisasi
petani; 8) Jenis penyuluh tidak terbatas hanya pegawai pemerintah, namun juga

21

penyuluh swadaya (dari petani) dan penyuluh swasta; dan 9) Posisi petani tidak hanya
sebagai objek penyuluhan, namun sebagai objek sekaligus subjek penyuluhan.
Pendekatan-pendekatan tersebut di atas menuntut para penyuluh untuk
meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan kompetensi mereka agar mampu
memahami kondisi petani (potensi dan permasalahan) dan memperluas sasaran
penyuluhan tidak hanya bagi lembaga produksi (kelompoktani) namun semua
lembaga yang bergerak dalam kegiatan agribisnis di pedesaan sebagai satu kesatuan
dalam melakukan pemberdayaan.

22

SIMPULAN DAN SARAN

Sebagai suatu simpulan dari makalah ini, maka dapat disebutkan bahwa ciri
penyuluhan modern adalah: 1) Penanggung jawab penyuluhan tidak semata-mata
pemerintah nasional, namun dapat dijalankan oleh beragam pihak dan pada berbagai
level; 2) Organisasi penyuluhan berbentuk “learning organization”, di mana
pelaksana penyuluhan tidak lagi terstruktur secara ketat, namun ada kesempatan terus
menerus untuk melakukan penyesuaian misi, pelayanan, produk, kultur, dan prosedur
organisasi; 3) Fungsi penyuluhan lebih luas dari sekedar mentranfer teknologi, namun
juga mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus
mendidik petani; 4) Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif,
tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan transfernya; 5) Model transfer
teknologi lebih realistik, siklis, dan dinamis (antara petani, peneliti, penyuluh dan
guru); 6) Desain penyuluhan memungkinkan untuk mengembangkan learning model
dengan melibatkan para stakeholders utama; 7) Pendekatan penyuluhan lebih pada
pemecahan masalah, melibatkan teknologi informasi eksperimental, mengaitkan
penelitian, manajer penyuluhan, dan organisasi petani; 8) Jenis penyuluh tidak
terbatas hanya pegawai pemerintah, namun juga penyuluh swadaya (dari petani) dan
penyuluh swasta; dan 9) Posisi petani tidak hanya sebagai objek penyuluhan, namun
sebagai objek sekaligus subjek penyuluhan.
Seiring dengan itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta
pertimbangan efektivitas dan efisiensi penyebarluasan informasi, salah satu solusi
yang ditawarkan dalam rangka mengatasi persoalan transfer teknologi dan
pengetahuan pertanian adalah pemanfaatan information and communication
technologies (lCTs) untuk penyuluhan pertanian atau dikenal dengan istilah “cyber
extension” yang menggunaan jaringan internet, komputer dan digital interactive
multimedia untuk memfasilitasi diseminasi teknologi pertanian. Model ini dipandang

23

sangat strategis karena mampu meningkatkan akses informasi bagi petani, penyuluh,
peneliti maupun masyarakat pertanian lainnya.
Pendekatan-pendekatan tersebut di atas, menjadi suatu saran yang menuntut
para penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan kompetensi
mereka agar mampu memahami kondisi petani (potensi dan permasalahan) dan
memperluas sasaran penyuluhan tidak hanya bagi lembaga produksi (kelompoktani)
namun semua lembaga yang bergerak dalam kegiatan agribisnis di pedesaan sebagai
satu kesatuan dalam melakukan pemberdayaan.

24

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. (2003). Pengembangan
Penyuluhan Pertanian Nasional. Jakarta: Kementerian Pertanian
Food and Agriculture Organization. (1997). Improving Agricultural Extension; A
Reference Manual. Roma; Food and Agriculture Organization of the United
Nations.
Gama, Judistira K. (1996). Ilmu-ilmu sosial; Dasar-Konsep-Proposisi. Modul Mata
Ajar Program Pascasarjana. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Hanafi, Abdillah. (1987). Memasyarakatkan Ide-ide baru; Disarikan dari Karya
Everet Roger dan F. Floyd Shoemaker “Communication of Innovations”.
Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Kartasapoetra, A.G.(1987). Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara
Mardikanto, Totok. (2009). Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: UNS Press
Mardikanto, Totok & Poerwoko Soebiato. (2015). Pemberdayaan Masyarakat dalam
Persepektif Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani
Valera, Jaime, B., Vicente A, Marinez, dan Ramino F. Plopino. (1987). An
Introduction Extension Delivery Systems. Manila: Island Publishing House,
Inc.
Van den Ban, A.W & H.S. Hawkins. (1999). Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius