IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI POLITICAL REL (1)

ANGGINAMUTIARA HANUM
MAGISTER ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA

IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI POLITICAL RELIGION
DALAM MOBILISASI POLITIK DI MASA ORDE BARU
(Reviewed: “Political Religion in the New Nations”—David E. Apter)
David Apter melakukan penelitian terhadap Negara-negara yang baru
memerdekakan diri dari kolonialisasi, atau yang juga dikenal sebagai new nations states
(Negara-negara dunia ketiga). Penelitian Apter mengambil fokus pada aspek
modernization; mobilized participation—Political Religion. Karakter the new nations
states secara umum memiliki tingkat pluralitas yang tinggi (hetergonitas ras, budaya,
etnik, bahasa dan agama,) sehingga pilihan sistem mobilisasi politik dengan melakukan
penempatan political religion sebagai ideologi Negara merupakan strategi the leader
dalam pelaksanaan pembangunan nasional (nation building). Beberapa new nations
states yang diteliti oleh Apter antara lain Guinea, Ghana, Mali, China dan Indonesia.
Proses modernisasi Negara-negara dunia ketiga (new nations state) pada
umumnya menggunakan sistem mobilisasi politik. Ketika modernisasi politik di the new
nations state tidak berjalan dengan lancar—akibat stabilitas politik yang masih rentan—
cenderung merubah sistem pemerintahan Negara tersebut menjadi otoritarian. Kondisi
demikian mengarahkan the leader untuk menempatkan satu ideologi Negara dengan

fungsi utama yaitu menciptakan stabilititas politik dan sebagai pemersatu bangsa.
Ideologi yang “disucikan” tersebut yang disebut dengan Political Religion. “The point
is that when political religion becomes a key feature of the polity of a new nation, its
likely outlet is a mobilization system of some kind.”1
David Apter melakukan studi-nya, menggunakan pendekatan development of
new society, dengan melakukan observasi mendalam yang memperjelas dinamika di
internal masyarakat negara-negara tersebut. Ketika The new nations state berhasil
memformulasikan aspek-aspek tertentu dan melakukan implementasi political religion,
memperlihatkan bagaimana leaders of the new nations menggunakan political religion

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 

1

David Apter ibid pg.65

sebagai legitimasi mutlak untuk membenarkan kebijakan-kebijakan politik, memperkuat
otoritas dan menempatkan pemerintah sebagai pemimpin yang tidak pernah melakukan
kesalahan dalam menjalankan perannya dikarenakan dogma political religion sebagai
pedoman suci kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dalam konteks Indonesia, mengambil cerminan sejarah transisi pemerintahan
dari orde lama ke orde baru, Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul
berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan orde lama yang dinilai menyimpang
dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan presiden Soekarno.

Pemerintahan Orde Baru kemudian mengajak kembali masyarakat Indonesia memeluk
Pancasila sebagai ideologi negara.
Demi kelancaran pembangunan nasional (nation-building dan nationalintegration), modernisasi yang diserukan oleh pemerintah Orba, dengan fokus
ekonomi/industrialisasi. Sistem mobilisasi politik Orde Baru dilakukan dengan
menerapkan kebijakan ‘deideologisasi’); kebijakan asas tunggal Pancasila sebagai
ideologi Negara (political religion). Kebijakan ‘deideologisasi’ dirumuskan dengan
mempertimbangkan karakter penduduk Indonesia yang sangat plural, dimana pluralitas
yang terjadi atas latar belakang agama, etnis suku, daerah dan stratifikasi sosial kerap
kali menjadi sumber konflik—ancaman primordialisme—dan di antara perbedaan latar
belakang ini yang paling mendasar adalah perbedaan Agama, sehingga orde baru juga
melarang pendirian partai agama.2
Membedah fenomena ideologi pembangunan ekonomi Orba ini sesungguhnya
dapat dijelaskan melalui teori hutington, yang menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi dapat menciptakan stabilitas politik. 3 Sehingga urgensi mobilisasi politik
massa di bawah pemerintahan Orba dilakukan yang dilakukan secara subversive dinilai
sebagai upaya menciptakan stabilitas politik dan mempertahankan status quo.
Di satu sisi, dengan dijadikannya pancasila sebagai ideologi Negara, sebagai
political religion di masa Orba dapat dinilai selain membantu terwujudnya nation
building, menjamin stabilitas politik dan fungsionalisasi sistem mobilisasi politik yang
ada. Dan tidak dapat dipungkiri efektifitasnya dalam upaya Orba untuk memperkecil

konflik-konflik yang diakibatkan oleh tingginya keanekaragaman bangsa Indonesia.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

2


Masykuri, Abdillah. 2011. “Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia; Politik Islam di
Indonesia.” PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 107
3
ibid.
 

Namun, disisi lain kebijakan asas tunggal Pancasila menjadikan Pancasila sebagai alat
pembenaran rezim otoritarian Soeharto, dengan penerapan P4; indoktrinisasi nilai-nilai
pancasila dalam sistem pendidikan Nasional sejak dini. Sehingga yang terjadi dalam
proses pembangunan nasional juga memberikan efek negative, yaitu dengan menekan
partisipasi politik rakyat secara masif, menjadikan sistem pemerintahan Orba sebagai
pemerintahan

demokratik-otoritarian,

dengan

single


system

of

central

authority/sentralisasi kekuasaan oleh partai tunggal (Golkar), membatasi ruang gerak
rakyat dalam mengekspresikan kebebasan berpolitiknya dan memperkuat legitimasi
otoritas Negara (seperti analisa yang dikemukakan Apter).
Pancasila sebagai political religion terbukti memperkuat the leader of the new
nation state; Orba di Indonesia. Indoktrinisasi Pancasila yang diimplementasikan
melalui berbagai aspek kehidupan yang diserukan sebagai suatu kekuatan bagi
Indonesia dalam mempersatukan seluruh masyarakatnya, juga ditekankan sebagai
pedoman Negara dan guidance mutlak bagi rakyat, sehingga menghasilkan suatu bentuk
ketaataan absolut rakyat dalam merasionalisasikan ajaran-ajaran Pancasila selayaknya
ajaran agama yang tidak bisa dilanggar.
Apter menunjukkan ada keraguan terhadap Negara berkembang yang
menempatkan Political Religion untuk memperkuat otoritas Negara dapat, dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang demokrasi. Dikarenakan adanya
ketaatan absolut masyarakat Indonesia untuk tidak melanggar ajaran-ajaran Pancasila

(Church/Mosque religion) melekat kuat dalam mindset setiap warga negara. Rakyat
rakyat memiliki rasa ketakutan apabila perilakunya tidak sesuai dengan nilai yang
diterapkan Orba (Soeharto sebagai prophet) seperti melanggar ketentuan yang diberikan
oleh Tuhan (mystical character of political religion).
Pancasila yang diposisikan sebagai Political Religion di masa Orba bertahan
cukup lama karena memang dibutuhkan, selain untuk menjaga stabilitas politik dibawah
pemerintahan demokratik-otoriter, Pancasila yang dijadikan Political religion
sesungguhnya merupakan faktor penting dalam menjaga keutuhan Negara-bangsa.
Namun satu aspek yang ketika disandingkan dengan kondisi empirik dalam
lintasan sejarah Orba di Indonesia, terdapat beberapa fakta yang mematahkan tesis
Apter. Argumentasi yang disimpulkan oleh Apter dalam tulisannya, menyatakan bahwa
political religion yang diterapkan oleh pemerintahan otoriter di new states tidak akan
dapat bertahan lama dikarenakan adanya kesulitan yang pasti ditemui oleh the leaders of

the new states dalam merasionalisasikan political religion sebagai (faith) untuk dapat
ditaati seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.
Ketika disandingkan dengan peristiwa empirik di Indonesia, tesis yang
dirumuskan oleh Apter bisa dikatakan tidak sesuai dengan Indonesia, dimana
keberlangsungan Pancasila yang dijadikan sebagai sebagai political religion bertahan
cukup lama. Karena Pancasila diyakini bukan hanya sekedar simbol tanpa rasionalisasi,
melainkan sebagai keyakinan berpolitik dan pedoman hidup yang kemudian berhasil
mengarahkan mobilisasi rakyat dalam rangka modernisasi politik.
Variabel lain yang mungkin luput dari observasi Apter mengapa political
religion masa Orba bertahan sangat lama dibandingkan new nations states lainnya, ialah
latar belakang pembentukan NKRI yang melibatkan perdebatan seputar dasar Negara.
Perdebatan oleh para pejuang kemerdekaan kita (islam vs nasionalis), mengingat relasi
hubungan Agama (islam) dan Negara. Walaupun Islam merupakan kelompok mayoritas
(87%) di Indonesia dan kebanyakan tokoh kemerdekaan kita juga menganut agama
Islam, tetapi ketika memasuki konteks penentuan landasan Negara dan Ideologi
Nasional, terpilihnya Pancasila sebagai ideologi Negara dengan tetap berasaskan
ketuhanan yang maha esa (dengan menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan bernegara) tercapai melalui kesepakatan antara dua kelompok tersebut, yang
memiliki persamaan cita-cita yaitu persatuan dan kesatuan nasional NKRI.
Dengan adanya prinsip asas tunggal ideologi Pancasila sebenarnya rezim Orba
bisa dikatakan menginginkan masyarakat untuk tidak terombang-ambingkan dalam
konstelasi/pertikaian ideologi. Namun demikian, dalam praktik-praktik nyata di
lapangan, Pancasila dirasakan hanya menjadi bahan hafalan bagi setiap masyarakat
Indonesia. Serta penggunaan mekanisme represif dan koersif yang dilakukan rezim
Orba terhadap masyarakatnya membuat Pancasila dipertanyakan keagunngannya.
Pemerintah yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyat justru memperlihatkan perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Akhirnya Pancasila terlihat sebagai alat
Orde Baru dalam mendisiplinkan warganya agar setia terhadap rezim yang otoriter dan
represif, menjadikan rakyat tidak memahami makna filosofis yang sesungguhnya dari
Pancasila.
Sebagai satu personal yang mengagumi Pancasila, pancasila tetap bertahan
hingga dewasa ini sebagai landasan Negara Indonesia dikarenakan makna teks yang
tertulis yang tidak terlepas dari nilai-nilai humanis, religious dan demokratis. 5 sila yang

ada secara interpretative bisa ditafsirkan bahwasanya NKRI mempercayai keberadaan
satu tuhan (menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia), kebebasan
beragama, nilai-nilai dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
(seluruh rakyat), rakyat memiliki perwakilan sesuai dengan asas-asas musyawarah
(parpol ada lembaga perwakilan ada, tetapi formulasi demokrasi yang tercipta bukan
demokrasi substantif), keadilan ekonomi/sosial yang menyeluruh.
Penelitian Apter memberikan informasi penting akan pembelajaran mengenai
new nations state, mengemukakan alasan mengapa kebangkitan political religion
among the new nations are not hard to find. Karena hal itu diyakini ejalan dengan
kenyataan bahwa penggunaan faith sebagai source of authority, dipahami oleh Apter
bahwasanya the new nations menghadapi persoalan yang sama dalam menghadapi
ancaman loyalitas primordial yang bersumber dari keberagaman agama, bahasa dan
etnis. Tantangan terbesar bagi leaders of the new nations dalam menetapkan political
religion seperti apa yang dapat menghubungkan kebutuhan setiap individu akan
kepercayaan (faith) menjadi pedoman berpolitik masyarakat guideline of whats not to be
done yang dapat diterima oleh masyarakat luas secara rasional. Apter juga mengakui
bahwa tesis yang dia kemukakan hanya sebagai bagian awal dari diskursus topik ini,
secara tidak langsung Apter mempertimbangkan adanya variabel-variabel yang
mungkin tidak diikutsertakan dari observasi-nya dan studi berikutnya diharapkan bisa
menjadi pelengkap atas konsep political religion yang dibangunnya.

DAFTAR PUSTAKA

Reference Book:
Geertz, Clifford (Ed.) , 1963. Old Societies and New States. Ch.3 Apter, E. David.
Political Integration in the New Nations. The Free Press, New York.

Additional Book:
Masykuri, Abdillah. 2011. “Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia; Politik
Islam di Indonesia.” PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.