Soft Power dan Kekuatan Nasional

SOFT POWER DAN KEKUATAN NASIONAL
Oleh : Achmad Djatmiko*)

This article tries to examine the

power. This articles argues that

growing importance of soft power

soft power as a form of mental

as a new concept in the study of

power is an important and integral

international

Firstly

part of the whole natonal power. It


introduced by Joseph Nye ((1990,

is by no means surprising since

2002), soft power is defined as

soft

“the ability to affect others to

power,

obtain the outcomes one wants

diplomacy and synergy

through

Relations.


attraction

rather

power

comprises

culture,

political
education

than

coercion or payment. A country's

Having

explained


soft power rests on its resources

variables: soft power and national

of culture, values, and policies.”

power,

it

is

response

to

those

argued

the

that

in

increasing

Issues on its characteristics are

significance

analysed in this article with the

Indonesia could take advantage of

intention of providing a simple

so


understanding

power.

Empowering and maximizing soft

Whether soft power is similar or

power in conducting Indonesia‟s

the same with cultural power and

diplomacy and implementing its

economic

explained

foreign


policy

it is also clarified

option.

For

of

power

here. Likewise,

soft

are

many


of

two

soft

soft

power

is

power,

it

has.

a


reasonable

that

purpose,

where the implementation of soft

Indonesia could, among others,

power

establish an “Indonesian Culture

is

more

humane


and

Center” located in its Mission and

flexibel compared to hard power.

Representatives abroad. However,
Since the concept of soft power

it is no less important that the

has

the

Indonesian “soft power strategy”

hierarchy of scholarly and public

should be on a national opinion


debates, it is interesting to look

and

into the role of soft power in the

Government to be a prioritized

continuing

policy.

risen

significantly

existence

in


ofnational
1

decided

by

the

Cenral

Konotasi Soft Power
Soft Power adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh
Joseph

Nye,

Jr.,

dari

Universitas

Harvard,

untuk

menggambarkan kemampuan suatu negara dalam menarik dan
mengajak

(co-opt),

dan

bukan

dengan

cara

memaksa,

menggunakan kekerasan, ataupun memberikan dana untuk
mempengaruhi.

Belakangan

ini,

istilah

Soft

Power

juga

digunakan dalam membahas terjadinya perubahan dan caracara mempengaruhi opini sosial melalui saluran-saluran yang
tidak kentara dan pendekatan (lobby), baik di organisasi politik
maupun non politik.
Pada tahun 2012, Nye menjelaskan bahwa dengan Soft Power
“the best propaganda is not propaganda” (propaganda terbaik
adalah bukan propaganda”, dan juga menjelaskan bahwa
“credibility is the scarcest resource” (kredibilitas adalah sumber
yang paling langka). Nye memperkenalkan istilah ini dalam
bukunya, “Bound to Lead: The Changing Nature of American
Power”, (1990). Ia kemudian mengembangkan konsep tersebut
lebih lanjut melalui bukunya, “Soft Power: The Means to
Success in World Politics” (2004). Istilah soft power kini
digunakan secara luas dalam ranah hubungan internasional baik
oleh para analis maupun praktisi dan negarawan1.
Pada tahun 2007, misalnya, Ketua Partai Komunis /Sekjen
Tiongkok Hu Jintao, di hadapan peserta Kongres ke-17 Partai
Komunis

Tiongkok

menyampaikan

1

bahwa

Tiongkok

perlu

Joseph S. Nye, Jr., in "Soft Power: The Means to Success in World
Politics"
2

meningkatkan kemampuan Soft Power-nya. Demikian halnya
Menteri Pertahanan AS Robert Gates, berbicara mengenai
perlunya meningkatkan soft power AS melalui peningkatan
anggaran

belanja

secara

dramatis

pada

aspek-aspek

masyarakat sipil dari keamanan nasional seperti: diplomasi,
komunikasi

strategis,

bantuan

luar

negeri,

keterlibatan

masyarakat sipil, rekonstruksi dan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2010, Annette Lu, mantan wakil Pimpinan Taiwan
berkunjung ke Korea dan mendukung penggunaan Soft Power
sebagai model resolusi konflik internasional. Jenderal Wesley
Clark, ketika membicarakan Soft Power, berpendapat bahwa
“soft power memberikan kita jangkauan pengaruh yang jauh
lebih luas daripada politik tradisional balance of power “
Menurut Survey Monocle Soft Power tahun 2014, saat ini AS
merupakan negara yang tertinggi memiliki kemampuan Soft
Power, disusul oleh Jerman, Inggeris, Jepang, Perancis, Swiss,
Australia, Swedia, Denmark dan Kanada.
Soft Power sering disamakan dengan kekuatan budaya (Cultural
Power), meskipun sebenarnya tidak sama persis. Power adalah
kemampuan untuk merubah perilaku pihak lain dalam rangka
mendapatkan apa yang kita inginkan. Terdapat tiga cara untuk
itu: dengan paksaan atau coersion (diistilahkan sebagai “stick”),
pemberian bantuan dana (diistilahkan sebagai “carrot”) dan
ketertarikan atau attraction (soft power).
Suatu negara yang memiliki Soft Power bisa melaksanakan
dalam tiga bentuk: kebudayaan (di tempat-tempat yang bisa
3

menarik kekaguman pihak lain), nilai-nilai politik (ketika nilai
tersebut berlaku di dalam dan luar negeri), dan kebijakan luar
negeri (jika pihak lain melihatnya sebagai nilai ideal/masuk akal
dan memiliki nilai moral).
Contohnya di Iran. Video dan musik Barat merupakan hal
terlarang bagi para Mullah yang berkuasa, tetapi sangat
menarik pada generasi mudanya karena dapat menyalurkan
gagasan kebebasan dan menentukan pilihan. Kebudayaan AS
telah menghasilan Soft Power

terhadap generasi muda Iran

tetapi bukan terhadap yang lainnya.
Adapun kaitannya dengan kekuatan ekonomi (economic power),
Soft Power sebenarnya tidak sama. Peter Brooke dari the
Heritage Foundation cenderung melihat Soft Power dalam
bentuk antara lain sanksi ekonomi. Kenyataannya hal itu tidak
tepat.

Bila

kita

berada

pada

posisi

sebagai

pihak

yang

menerima sanksi, pemberian sanksi jelas dimaksudkan sebagai
alat paksaan sehingga ia termasuk dalam kategori hard power.
Meskipun demikian, kekuatan ekonomi memang dapat dialihbentuk menjadi soft power ataupun hard power. Sebuah negara
bisa memaksa negara lain dengan sanksi atau membujuk
dengan kesejahteraan.
Waler Russel Mead berpendapat bahwa kekuatan ekonomi
merupakan sticky power, memiliki kekuaan yang solid dengan
daya rekat tinggi; ia dapat meraih apa yang ia ingin raih. Tidak
bisa dipungkiri bahwa kesuksesan suatu negara di bidang
ekonomi menjadi salah satu sumber daya tarik terhadap negara
tersebut.

Meski

demikian,

tidaklah
4

mudah

membedakan

manakah

hubungan

dan

kerjasama

ekonomi

yang

bisa

dikategorikan sebagai soft power dan mana yang hard power.
Para pemimpin negara Eropa menggambarkan bahwa keinginan
negara-negara Eropa lain bergabung dengan Uni Eropa (UE)
merupakan tanda suksesnya soft power Eropa.
Penggunaan Soft Power dalam hal tertentu dipandang lebih
manusiawi dibandingkan dengan penggunaan hard power. Soft
power telah dianggap sebagai alternatif lain bagi penguasa
politik karena seolah-olah lebih etis di mata pembuat kebijakan
dan para pengamat. Namun, soft power sebenarnya merupakan
sebuah konsep, bukan sebuah resep etis dari dokter. Sama
halnya dengan power lainnya, ia bisa dimanfaatkan untuk
kebaikan maupun keburukan, tergantung pemiliknya.
Hitler, Stalin ataupun Mao, semuanya memiliki banyak sumber
soft power yang melimpah di mata pengikutnya. Tetapi tidak
harus diartikan bahwa menggerakkan pikiran dan gagasan yang
mereka lakukan lebih baik dibanding penggunaan kekerasan
bersenjata. Jika seseorang ingin mencuri uang seseorang
lainnya, ia bisa melakukannya dengan ancaman senjata atau
dengan cara merayu untuk berinvestasi melalui penawaran
skema cepat kaya. Atau dapat juga menggunakan rayuan agar
menyerahkan rumahnya dengan alasan sebagai persyaratan
spiritual. Cara ketiga adalah melalui soft power namun hasilnya
belum dapat dipastikan.
Meskipun soft power berada di tangan pihak yang salah
sehingga berpotensis menghasilkan konsekuensi yang buruk,
dalam beberapa hal, tetap saja ia menjadi alat yang secara
5

moral lebih unggul dalam mencapai tujuan tertentu. Kita
bandingkan konsekuensi hasil perjuangan dari Mahatma Gandhi
dan Martin Luther King Jr., yang keduanya menggunakan soft
power, dengan perjuangan bersenjata Yasir Arafats. Gandhi dan
King terbukti mampu menarik banyak pengikut yang moderat
sepanjang waktu dengan hasil yang mengesankan dan efektif
secara etis. Adapun strategi Arafat dengan menggunakan hard
power telah mengakibatkan terbunuhnya banyak korban di
kedua pihak baik Palestina maupun Israel, sehingga antara lain
telah mendorong kelompok moderat Israel ikut mengangkat
senjata melawannya.
Terhadap pandangan bahwa soft power terlalu fleksibel dan
tidak mudah diukur, hal ini tidak sepenuhnya benar. Pandangan
seperti itu disebabkan oleh kegagalan dalam membedakan
antara sumber power dan perilaku (behaviour). Kenyataanya,
sangat

dimungkinkan

untuk

mengukur

secara

kuantitatif

sumber-sumber power. Kita, misalnya, bisa mengukur dan
membandingkan kebudayaan, komunikasi dan sumber-sumber
diplomatik yang menghasilkan soft power bagi negara tersebut.
Survey pendapat umum pun bisa digunakan untuk mengukur
perkembangan daya tarik yang dimiliki suatu negara dari waktu
ke waktu. Sebaliknya, ketepatan pengukuran sumber-sumber
hard

power

menghasilkan

justeru

seringkali

kesalahan

fatal

diragukan
karena

dan

hanya

berpotensi
aspek-aspek

penting tertentu saja yang dilihat dan diperhitungkan. Amerika
memiliki jauh lebih banyak sarana militer dibanding Vietnam
Utara, tetapi terbukti mengalami kekalahan dalam Perang
Vietnam.

6

Jadi, apakah soft power membuahkan perubahan sikap atau
perilaku pihak lain seperti yang diinginkan sangat tergantung
pada kontek dan keterampilan yang kemudian dapat dihitung
dan dianalisis berdasarkan hasilnya.

Kekuatan Nasional
Kekuatan nasional yang utuh meliputi baik hard power maupun
soft power dan pengaruhnya terhadap hubungan internasional.
Dalam

konteks

ini,

soft

power

telah

dipandang

sebagai

komponen kekuatan nasional yang sangat penting karena
terkait dengan kekuatan yang tidak kasat mata seperti budaya,
ideologi dan sistem sosial. Universalitas budaya suatu negara
dan kemampuannya menetapkan norma, peraturan dan regim
yang mampu mewarnai pola hubungan internasional merupakan
sumber utama kekuatan nasional. Meskipun tidak nampak
(intangible) keberadaannya dapat diukur dari soliditas bangsa
tersebut, popularitas budayanya di mata dunia dan perannya
dalam lembaga-lembaga dunia.
Terdapat komponen penting di dalam kekuatan nasional yang
disebut

tujuan

strategis

dan

keinginan

nasional.

Tujuan

strategis mencerminkan kepentingan nasional suatu negara.
Suatu strategi nasional menetapkan tujuan strategis di dalam
lingkungan internasional tertentu. Keinginan untuk menerapkan
strategi

nasional

berasal

dari

tingkat

kepercayaan

dan

dukungan rakyatnya yang dapat dikerahkan untuk pertahanan
nasional dan kebijakan luar negeri. Kepercayaan dan dukungan
rakyat berasal dari banyak faktor seperti kerekatan nasional,
7

kepemimpinan politik, efektivitas pemerintahan, dan perhatian
rakyat terhadap strategi dan kepentingan nasional.
The Institute of Comprehensive Studies di Jepang, dalam
mengkaji secara komprehensif mengenai kekuatan nasional
Jepang, menemukan adanya 3 faktor penting kekuatan nasional
suatu bangsa, yaitu kapasitas bagi dukungan internasional
(capacity for international contributions), kemampuan bertahan
hidup (survival ability), dan kapabilitas melakukan paksaan
(coercive capability).
Kapasitas

dukungan

internasional

mencakup

sikap

positif

terhadap keterlibatannya di berbagai masalah internasional dan
keikutsertaan

dalam

Kemampuan

bertahan

dukungan
hidup

bagi

masyarakat

mencakup

dunia.

keinginan;/tujuan

nasional dan aliansi-aliansi bersahabat. Coercive capabilities
menekankan kemampuan negara dalam mengelola hubungan
luar negerinya. Sementara konsep ini dikembangkan, Japan‟s
Comprehensive
terhadap

soft

National
power.

Power

Dalam

juga

konteks

menaruh
ini,

perhatian

tanpa

adanya

semangat nasional yang kuat, sebuah bangsa tidak akan
mampu

secara

efektif

manangani

potensi

krisis-krisis

internasional. Tanpa budaya yang kuat dan memiliki gaung
internasional, sebuah bangsa tidak akan memiliki kekuatan
ataupun pengaruh dalam berbagai kegiatan internasional2.

2

Hua Jian et al, The Competition for Soft Power: Trends of Cultural Competition in the
Context of Globalization (Shanghai Academy of Social Sciences Press and China Higher
Education Press, 2001), p. 5
8

Terkait kekuatan nasional ini, Robert Thompson melihat Bahwa
“sasaran” (will) termasuk suatu jenis kekuatan nasional. Dalam
Grand Strategy, John M. Collins telah membuat daftar yang
menjadi elemen kekuatan nasional: kekuatan politik (political
forces) yang memiliki berdampak di lingkungan domestik
maupun arena internasional, karakter masyarakat (the people‟s
character), nilai-nilai ethika dan pendidikan; serta faktor-faktor
menonjol lainnya. Menurut Joseph Frankel dalam bukunya
International Relations kekuatan nasional adalah “the ability to
affect the psychology and behavior of others”.
Sedangkan Hans J. Morgenthau, dalam bukunya Politics among
Nations, berpendapat bahwa kebangsaan (nationality), etika
nasional

(national

ethics),

kualitas

diplomasi

(diplomatic

quality), dan karakteristik pemerintahan membuahkan kekuatan
nasional. Nicholas Spykman, juga berpendapat bahwa hal-hal
menyangkut soft power seperti homogenitas nasional (national
homogeneity), kerekatan sosial (social comprehensiveness),
stabilitas politik (political stability) dan nilai-nilai etika nasional
(national ethics) menjadi bagian penting dari kekuatan nasional.
Huang Shuofeng, dalam bukunya On Comprehensive National
Power, berpendapat bahwa kekuatan nasional yang menyeluruh
dan pengaruh internasional dengan material power dan mental
power yang dimiliki sebuah bangsa untuk bertahan hidup dan
berkembang

sangat

menentukan.

Soft

power

terdiri

dari

berbagai kekuatan, yaitu politik, budaya, pendidikan, diplomatik
dan sinergis. Kekuatan politik meliputi sistem politik, tujuan
strategis, stabilitas sosial dan kerekatan nasional, serta sistem
kepemimpinan, organisasi dan pengambilan keputusan secara
9

nasional. Kekuatan pendidikan dan budaya meliputi kualitas
tenaga

kerja,

pembangunan

SDM,

sistem

daninvestasi

pendidikan, objektivitas dan kualitas para pengajar; kualitas
para pekerja seni budaya, lembaga penyiaran, dunia perfilman
dan

pertelevisian;

penerbitan

buku,

majalah,

jurnal

dan

pengaruhnya di panggung internasional. Kekuatan diplomatik
meliputi hubungan, kebijakan dan kegiatan luar negeri, dan
kemampuan
masyarakat
utamanya

dalam

memberikan

internasional.
pada

dukungan

Kemampuan

kemampuan

terhadpa

sinergi

pengendalian

merujuk

makro

dan

pengembangan sinergi. 3
Pendeknya, soft power sebagai salah satu bentuk dari kekuatan
mental (mental power), merupakan bagian penting dari seluruh
kekuatan nasional. Unsur-unsur kekuatan mental semuanya
dalam kategori budaya, yang intinya menyangkut tata nilai.
Adapun mengenai unsur-unsur budaya, kebanyakan penjelasan
mengesankan kesamaannya dengan soft power. E. B. Taylor,
seorang antropolog Inggeris, mendefinisikan budaya sebagai
sebuah entitas kompleks meliputi pengetahuan (knowledge),
kepercayaan (beliefs), seni (art), moralitas (morality), hukum
(law), kebiasaan (custom), dan kemampuan atau kebiasaan
yang dimiliki manusia dari lingkungannya.
Dua

antropolog

Amerika

bersikukuh

bahwa

kebudayaan

merupakan sebuah sistem yang secara historis tercipta, baik

3

Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies (Chinese Academy of Social

Sciences Press, 1992), pp. 102, 164-165.

10

dalam

bentuk

berbagai

yang

tendensi

menyeluruh

atau

nyata

yang

maupun

dikukuhi

sebagian

tersembunyi,

oleh

saja,

dalam

dengan

masyarakt
periode

secara

tertentu.

Seorang sarjana Jerman menyebutkan bahwa budaya adalah
sebuah bentuk kehidupan yang didasarkan pada disiplin mental
atau kapabilitas pemikiran.
Yang lainnya berpendapat bahwa karakter dasar dari budaya
adalah sebuah kreativitas manusia. Apa yang diciptakan oleh
umat

manusia,

produknya,

baik

berupa

semuanya

material

termasuk

dalam

atau

mental

kategori

dan

budaya.4

Denghan demikian, dalam pengertian luas, budaya adalah
gabungan dari kekayaan material dan spiritual yang tercipta
dalam sejarah masyarakat manusia. Dalam pengertian sempit,
budaya adalah ideologi sosial dan sistem dan kelembagaan
yang berhubungan, mencakup gagasan, pemikiran dan sistem
politik terkait, hukum, moralitas, seni, agama dan pengetahuan.
Dari sudut pandang apapun, budaya bukanlah suatu entitas
yang

statis,

kesamaannya

tetapi

suatu

dengan

soft

proses

yang

dinamis.

power,

budaya

bersifat

Adapun
relatif

terhadap politik, ekonomi dan militer. Diperlukan pembahasan
khusus mengenai perannya dalam hubungan internasional dari
sudut pandang ideologi dan sifat dasar manusia.

Sumber Diplomasi soft Power Indonesia

4

Gan Chunsong, Modernization and Cultural Option (Jiangxi People Press, 1998), pp. 2-

4.
11

Perkembangan

hubungan

internasional

saat

ini

semakin

mengarah pada persaingan soft power masing-masing negara.
Tata nilai dan budaya regional dan global tengah dalam proses
interaksi menuju tatanan dunia baru berikutnya. Indonesia
tentunya harus melibatkan diri dalam persaingan tersebut
dengan lebih mendayagunakan sumber kemampuan soft power
yang dimiliki. Sebagaimana digambarkan Siswo Pramono, pasar
Asia menuntut nilai-nilai bersama yang berkarakter universal
sehingga mampu berintegrasi dengan pasar global, dan tetap
mempertahankan originalitasnya sehingga tetap berpijak pada
identitas budayanya sendiri5.
India dapat dijadikan contoh kasus. Meluasnya pengaruh besar
India di Asia adalah di bidang kebudayaan, bahasa, agama,
gagasan dan nilai-nilai, bukan akibat penaklukan berdarah.
Tersebarnya Hinduisme dan Buddhisme ke seluruh penjuru Asia
mencerminkan keberadaan investasi India di bidang soft power
yang telah dimulai sejak permulaan abad ini. India kemudian
telah membangun Dewan Hubungan Kebudayaan India (Indian
Council for Cultural Relations-ICCR) di negara-negara yang
memiliki banyak komunitas diasporanya. Pasar-pasar Asia kini
dibanjiri dengan film produksi Bollywood, seni kontemporer
India, termasuk dunia model India6

Siswo Pramono, The Jakarta Post, Jakarta, „Resources of Indonesian soft
power diplomacy‟ June 28 2010. Selengkapnya dapat dilihat di :
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesiansoft-power-diplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf
5

6

Kirsten Bound (et.al.), 2007, “Cultural Diplomacy”.

12

Dengan cara yang tidak berbeda, Tiongkok membangun 100
Institut

Confusius

di

luar

negeri,

untuk

mempromosikan

kebudayaan dan pengetahuan mengenai Tiongkok. Sementara
itu, Lembaga Pengajaran Bahasa Tiongkok sebagai bahasa
Asing (National Office for Teaching Chinese as a Foreign
Language — NOCFL), semacam TOEFL, telah menyiapkan
10,000 tenaga relawan pengajar untuk mengajar di sebanyak
23 negara.
Tidak

berlebihan

bila

kita

dapat

membayangkan

akan

munculnya realitas baru dalam percaturan global bahwa baik
India maupun Tiongkok merupakan kekuatan politik global yang
sedang tumbuh, dengan mendapatkan sambutan dan dukungan
dari negara-negara Asia.

Menjadi pertanyaan menarik apakah

India dan Tiongkok layak disebut juga sebagai „superpower‟
dunia meskipun dalam format yang berbeda dengan yang
dikenal selama ini.
Terinspirasi oleh penggunaan ekstensif soft power dan nilai-nilai
budaya India dan Tiongkok, Siswo Pramono menilai pentingnya
Indonesia menggali nilai-nilai leluhur bangsa yang telah melekat
dengan

identitas

bangsa

hinga

sampai

sekarang7.

Siswo

menemukan adanya nilai-nilai yang diberi nama „pluralisme
akomodatif‟ (accomodative plurallism). Nilai-nilai ini sungguh
kuat sebagai perekat eksistensi dan kesinambungan bangsa
Indonesia. Nilai

tersebut telah lahir dan dianut sejak masa

kejayaan Kerajaan Majapahit (1293-1527) dengan menguasai
wilayah dari Samudera (Sumatera Utara) hingga Wanin di
pantai berat Papua. Luasnya wilayah yang meliputi seluruh Asia
7

Siswo Pramono, op.cit.

13

Tenggara mencerminkan kemampuan akomodatif yang dapat
dijadikan anutan.
Mantra sakti yang dimiliki untuk integrasi politiknya adalah
adanya nilai „pluralisme akomodatif‟ sebagai dasar filosofis dan
hubungan luar negerinya. Demikian halnya, Majapahit pun
menganut prinsip “Bhineka Tunggal Ika”, yang tetap dianut
Indonesia hingga sekarang dalam memperkokoh ketahanan
dalam negeri. Nilai akomodatif dibuktikan lewat terjadinya
transformasi damai dari tradisi Budisme ke Islam saat raja
terakhir

Majapahit,

Brawijaya,

yang

beragama

Buddha,

mewariskan tahta kepada anaknya, Raden Patah, Sutan Demak
pertama yang beragama Islam.
Kuatnya dasar dan sumber soft power Indonesia menjadi
landasan untuk secara cermat memberdayakan soft power
dalam pergaulan antar bangsa/negara. Sebagaimana dilakukan
India dan Tiongkok, Indonesia pun dapat mendirikan semacam
Pusat Budaya Indonesia di setiap Perwakilan RI di luar negeri
untuk

kepentingan

jangka

panjang.

Hal

ini

sangat

dimungkinkan, menjadi bagian dari perhatian dan program
kerja kantor Perwakilan RI di luar negeri di semua tingkatan,
baik di Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, Konsulat ataupun
Perwakilan Tetap PBB. Hal ini secara praktis tidak akan
mengalami kendala karena selama ini kegiatan promosi budaya
telah dan selalu dilakukan oleh Perwakilan RI, sebagai bagian
dari program fungsi Pensosbud.
Pendirian Pusat Budaya ini tidak perlu harus dengan mendirikan
semacam „kantor‟ khusus, tetapi dengan memanfaatkan salah
14

satu ruangan kantor Perwakilan. Ruang Budaya tersebut secara
khusus dilengkapi dengan berbagai sarana dan program budaya
yang rutin dan kreatif. Sungguh tidak memerlukan persiapan
dan biaya ekstra, selain perhatian dan instruksi tegas dari
pemerintah Pusat di Jakarta. Dukungan Sumber Daya Manusia
(SDM) pun bisa diupayakan dengan memanfaatkan keberadaan
komunitas diaspora di negara setempat.
Selain itu, telah cukup lama Indonesia menawarkan pemberian
beasiswa kepada para pelajar di berbagai negara melalui skema
Dharma Siswa di hampir seluruh penjuru dunia. Beasiswa
tersebut pun telah dimanfaatkan oleh para pelajar dari berbagai
negara dan para lulusan Dharmasiswa pun terbukti telah
menjadi bagian dari komunitas “friends of Indonesia‟ yang
sangat potensial untuk dimanfaatkan.
Perhatian terhadap ekonomi tetap menjadi prioritas Pemerintah,
namun demikian dalam implementasi selanjutnya, yang harus
lebih banyak dilakukan Pemerintah adalah memberikan fasilitasi
dan perangkat kebijakan serta upaya promosi di luar negeri.
Aktor

utamanya

adalah

pihak

swasta

yang

langsung

berhubungan dalam dan bermain di panggung ekonomi dunia.
Sebagai komponen bangsa, sektor swasta pun punya andil dan
berperan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat,
yang setiap individunya adalah para pekerja yang mendukung
roda perekonomian.
Penetapan prioritas pada diplomasi ekonomi harus dibarengi
dengan pengerahan sumberdaya soft power untuk kepentingan
dan kesinambungan jangka panjang. Sebab, sesuai uraian di
15

atas, ketika penggunaan soft power telah semakin meluas, citra
dan

popularitas

Indonesia

semakin

meningkat

di

kancah

regional maupun global, dengan sendirinya sektor ekonomi pun
bergerak

maju

semakin

mapan.

Dengan

telah

kuatnya

keberadaan soft power Tiongkok dan India, misalnya, maka
produk-produk dan komoditi keduanya pun dengan relatif
mudah merambah ke berbagai pelosok dunia, baik dalam
bentuk makanan, kerajinan maupun hasil teknologi.
Sudah

saatnya

Indonesia

menetapkan

dan

lebih

mengimplementasikan soft power dalam prioritas kebijakan luar
negerinya. Diperlukan kesepakatan bersama seluruh komponen
bangsa untuk menyadari dan menyetujui pentingnya soft power
dewasa ini dalam meraih simpati dan ketertarikan masyarakat
dunia terhadap Indonesia. Soft power adalah jawaban terhadap
strategi tepat guna untuk kepentingan luar negeri jangka
panjang Indonesia.
__________
*)

Drs. Achmad Djatmiko,MA., adalah seorang diplomat senior
bergelar Minister Counsellor dan praktisi hubungan luar negeri
yang telah melaksanakan penugasan di berbagai negara (Laos,
Jepang, Denmark, Singapura dan Malaysia). Saat ini sebagai
Staf Senior pada Pusdiklat Kementerian Luar Negeri.

16

Daftar Pustaka
 Charles F. Hermann, Charles \V. Kegley Jr., and James N.
Rosenau, eds., New Directions in the Study ofForeim
PoliC\' (London: Allen & Unwin, 1987) p. 1.
 Dahl, Robert (1961) “Who Governs: Democracy and
Power in an American City” (New Haven, CT; Yale
University Press).
 Gan Chunsong, Modernization and Cultural Option (Jiangxi
People Press, 1998), pp. 2-4.
 Hua Jian et al, The Competition for Soft Power: Trends of
Cultural Competition in the Context of Globalization
(Shanghai Academy of Social Sciences Press and China
Higher Education Press, 2001), p. 5
 Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies
(Chinese Academy of Social Sciences Press, 1992), pp.
102, 164-165.
 James N. Rosenau, "Introduction: New Directions and
Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign
Policy'', in Hermann, Kegley and Rosenau, eds.,
 Jefrey Hart, “hree Approaches to the Measurement of
Power
in
International
Relations,”
International
Organization, Vol. 30, No. 2 (Spring, 1976), pp. 289-305.


Joseph S. Nye, Jr., in "Soft Power: The Means to Success
in World Politics" (New York: Public Afairs, 2004).

 Lukes, Steven. (2005).2nd Ed “Power: A Radical View”.
London McMillan. (Original 1974)
 Margot Light, "Foreign Policy Analysis" in A.J.R. Groom and
Margot Light, Contemporary International Relations: A
Guide to Theory (London: Pinter Publishers, 1994), pp. 94.
 Siswo Pramono, The Jakarta Post, Jakarta, „Resources of
Indonesian soft power diplomacy‟ June 28 2010.
Selengkapnya dapat dilihat di :
17

http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resourc
es-indonesian-soft-powerdiplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf
 Wikipedia, the free encyclopedia

18