Korupsi dan Pengawasan Keuangan Negara

KORUPSI, PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA
DAN FORMAT POLITIK
Pembicaraan tentang korupsi dan kolusi seakan tidak ada putus-putusnya.
Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti
sekarang, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap
pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisis
ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini
pun merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia. Dan, praktek
korupsi-kolusi inilah yang menjadi akar masalah. Artikel ini juga akan memberikan
sumbangan pemikiran tentang hal-hal seputar korupsi yang semakin menjadi isu penting.
Berbicara tentang korupsi dan kolusi di Indonesia tentu tidak akan lepas dari
serangkaian kasus seperti kasus Pertamina, runtuhnya Bank Duta, bobolnya Bapindo,
“kesalahan prosedur” di Mahkamah Agung, kasus Udin, penyalahgunaan dana Jamsostek
dan yang terakhir kasus korupsi yang terjadi di Bank Indonesia. Kasus-kasus tersebut
adalah yang tergolong besar dan pernah dimuat oleh media massa. Sedangkan yang
tergolong kasus “kecil” dan kurang mendapat porsi pemberitaan yang memadai misalnya
uang sogokan untuk memenangkan sebuah tender, uang pelicin untuk kelancaran
perijinan, upeti kepada oknum pejabat, pemberian hak istimewa bisnis anak pejabat dan
sekelompok orang tertentu, pungutan liar baik di tingkat pusat maupun di tingkat desa
dan masih banyak lagi. Kasus-kasus kecil ini relatif sering terjadi dalam bentuk yang
beragam dan terlanjur dianggap biasa oleh masyarakat.

Berkaitan dengan kasus tersebut tentunya juga tidak lepas dari publikasi hasil
penelitian dalam kesempatan terpisah yang pernah dilakukan oleh dua lembaga penelitian
yakni Transperancy International (TI) dari Jerman dan Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) dari Hong Kong. Kedua lembaga itu mengungkapkan bahwa
tingkat korupsi di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia. Akhir-akhir ini pun Bank
Dunia dan IMF menyoroti tingginya angka korupsi di Indonesia karena dianggap
menyulitkan dalam upaya pemulihan krisis ekonomi saat ini.
Dari dua fenomena tadi, setidaknya ada dua hal yang menarik. Pertama, berkaitan
dengan publikasi hasil penelitian TI dan PERC, beberapa pejabat tinggi pernah
menyatakan bahwa hasil penelitian itu tidak harus dipercayai. Alasan yang dikemukakan
waktu itu antara lain validitas hasil penelitian itu diragukan, sebab parameter yang
digunakan belum tentu cocok dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Di samping itu,
ada yang menduga bahwa publikasi hasil penelitian itu merupakan sebuah upaya untuk
mendeskreditkan Indonesia di mata internasional. Pernyataan ini bernuansa defensif.
Seakan-akan memang dikemukakan untuk menangkis dan mematahkan fakta yang
sebenarnya memang tengah terjadi dan semakin merajalela. Kedua, bila dicermati dengan
seksama, penyelesaian kasus-kasus korupsi dan kolusi di Indonesia jarang tuntas. Apalagi
bila kasus tersebut bersentuhan dengan kelompok kepentingan tertentu. Tidak ada yang
tahu kemana perginya Eddy Tansil saat ini, bagaimana kelanjutan kasus “kesalahan
prosedur” di Mahkamah Agung, dan mengapa harus ada rekayasa dalam kasus Udin.

Hampir semua kasus korupsi dan kolusi itu berakhir mengambang, pelan-pelan kabur dan
akhirnya tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Kasus Jamsostek yang begitu
menggegerkan, akhirnya harus mandeg ketika ada pernyataan dari Menteri bahwa kasus

tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden. Kasus tersebut akhirnya “selesai”
dengan meninggalkan sejumlah pertanyaan mendasar dengan tanda tanya besar.Apa yang
sedang terjadi dengan Indonesia? Mengapa korupsi dan kolusi semakin merajalela?
Pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, sebab persoalan korupsi memiliki
banyak dimensi. Korupsi bukan sekedar persoalan etis moral, di mana sorotan tajam
diarahkan pada kurangnya iman dan rendahnya moralitas si pelaku, dan bukan pula
melulu persoalan budaya. Dengan menganggap bahwa persoalan korupsi hanya
melibatkan salah satu dimensi tersebut tidak akan membantu dalam mencari solusi yang
tepat dan efektif. Bagaimana bisa memastikan bahwa praktek korupsi akan berkurang
hanya dengan menambah jam terbang penataran P4. Begitu juga dengan imbauan dalam
kotbah di mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Tidak ada yang berani memberi
jaminan bahwa dengan model-model pembinaan semacam itu pelaku tindak korupsi akan
berkurang.
Pemecahan yang lebih komprehensif dapat dicari hanya jika persoalan korupsi
dilihat dari perspektif yang lebih luas. Fokusnya tidak lagi melulu pada soal etis-moral,
budaya atau pun hal-hal lain yang bersifat parsial, melainkan lebih pada persoalan

struktural yang sarat dengan muatan politik dan ekonomi dalam kehidupan bangsa secara
menyeluruh. Melalui pendekatan ini barangkali akan dapat diketahui sebab utama
(primary causes) merajalelanya korupsi dan kolusi. Paper ini akan berusaha untuk
mengenali sebab-sebab utama persoalan ini dari kaca mata sebuah sistem dalam konteks
kenegaraan. Asumsi dasarnya ialah suatu negara pada dasarnya juga merupakan suatu
entitas. Sebagai sebuah entitas negara membutuhkan seperangkat sistem pengendalian
yang berfungsi untuk memastikan bahwa tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas kenegaraan
beserta seluruh aspeknya berjalan dengan baik dan sesuai dengan sasaran. Di samping itu
sistem yang tengah diterapkan juga akan memberikan warna dan pola tata kehidupan
dalam masyarakat dalam segala dimensinya. Apabila sistem yang berjalan efektif dan
sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang semestinya, maka praktis tata
kehidupan masyarakat pun akan berjalan baik. Sebaliknya, jika sistem itu tidak
dilaksanakan atas dasar kaidah dan norma tadi, maka sistem itu sudah dapat dipastikan
tidak dapat menjamin berlangsung tata kehidupan yang baik. Sistem yang gagal itu akan
membawa implikasi pada banyaknya penyimpangan dan penyelewengan.
Pembahasan akan dimulai dengan pengenalan elemen-elemen pengendalian atau
pengawasan intern yang merupakan norma-norma yang harus ditaati demi tercapainya
tujuan suatu entitas sebagai suatu sistem. Dalam konteks kehidupan negara, elemen ini
sangat menentukan berjalan tidaknya suatu sistem kenegaraan secara keseluruhan. Lalu,
dibahas penyebab merajalelanya praktek korupsi dan kolusi. dan urgensi

pemberantasannya. Paper ini diakhiri dengan kesimpulan yang berisikan upaya yang
perlu ditempuh dalam menanggulangi korupsi di Indonesia.
Elemen Sistem Pengawasan Intern
Secara teoretis, ada lima elemen yang menentukan suatu sistem pengawasan atau
pengendalian intern berjalan efektif atau tidak, yakni pemisahan tugas (separation of
duty), sistem wewenang dan prosedur yang baik, praktek-praktek yang sehat, pegawai
yang cakap, dan pemimpin yang punya komitmen terhadap sistem pengendalian. Kelima

elemen tersebut mutlak diperlukan agar sebuah entitas dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Pemisahan tugas dimaksudkan agar setiap bagian yang terlibat dalam suatu entitas
dapat bekerja independen dan memungkinkan tindakan saling koreksi. Dalam ilmu
ketatanegaraan, hal ini telah dikemukakan dengan baik oleh Montesqueu melalui Trias
Politica. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa kekuasaan negara dibagi menjadi tiga :
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang
berbeda dan saling mendukung dalam proses ketatanegaraan.
Praktek-praktek yang sehat berkaitan dengan bagaimana setiap bagian dalam
suatu entitas melakukan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang telah digariskan.
Dalam tataran praktis, setiap personel dalam bagian harus mengetahui tugas-tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Demikian pula, kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif

terpisah satu sama lain dan masing-masing mempunyai jenis wewenang yang berbeda.
Kekuasaan-kekuasaan itu pun tidak boleh terkonsentrasi hanya pada satu tangan, karena,
di samping melanggar prinsip pemisahan tugas, hal ini juga akan membuka kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Pegawai yang cakap diperlukan untuk memastikan bahwa tugas-tugas
pengendalian dilakukan oleh orang yang terampil, menguasai bidangnya dan mempunyai
integritas. Harus dihindari perilaku personel yang membahayakan tugas pengendalian.
Untuk itu perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang direkrut harus benar-benar
qualified. Terakhir, keberadaan seorang pemimpin yang benar-benar mempunyai
komitmen terhadap pengendalian intern juga sangat dibutuhkan. Lebih-lebih dalam
situasi di mana figur seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap semua keputusan
yang diambil. Seorang pemimpin merupakan kunci yang menentukan apakah
pengendalian intern dipatuhi atau tidak. Sebaik apapun suatu sistem pengendalian
disusun, namun apabila sang pemimpin memutuskan untuk tidak mematuhinya, maka
bubarlah sistem pengendalian suatu organisasi dan selanjutnya dapat terjadi berbagai
bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai bentuknya.
Sistem Pengawasan Keuangan Negara
Dalam konteks tingginya angka korupsi di Indonesia, sistem pengawasan intern
tersebut berkaitan erat dengan sistem pengawasan keuangan negara. Sistem pengawasan
ini terdiri dari lembaga-lembaga pengawasan fungsional yang disusun berlapis-lapis. Bila

dikategorikan, lembaga pengawasan terdiri dari lembaga intern, yang dikenal dengan
aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan lembaga ekstern atau aparat
pengawasan ekstern pemerintah. APIP meliputi lembaga pengawasan yang berada
langsung di bawah Presiden, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) dan yang berada dibawah departemen yakni Inspektorat Jenderal Departemen.
Khusus untuk Departemen Dalam Negeri, di samping terdapat Inspektorat Jenderal
Departemen Dalam Negeri juga terdapat lembaga pengawasan fungsional yang
berkedudukan pada setiap wilayah propinsi yang terdiri dari Inspektorat Wilayah
Propinsi dan Inspektorat Wilayah Kotamadya/Kabupaten. Lembaga pengawasan lain
yang termasuk APIP adalah Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang).
Sedangkan pengawasan ekstern adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan
oleh unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi

pemerintah (eksekutif). Secara normatif posisi pengawas ektern adalah independen
terhadap pemerintah. Pengawasan ekstern dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(Bepeka), DPR dan masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR dikenal sebagai
pengawasan legislatif, yakni suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan serta pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan Bepeka berfungsi sebagai lembaga
pengawasan fungsional di mana ia bertugas dalam memeriksa pertanggungjawaban

keuangan negara. Keuangan negara di sini meliputi APBN, APBD, BUMN dan BUMD.
Jadi, segala sesuatu yang menggunakan kekayaan negara menjadi obyek pemeriksaan
Bepeka. Dengan posisi demikian Bepeka merupakan lembaga tertinggi di bidang
pemeriksaan keuangan negara. Bepeka mempunyai otoritas melebihi lembaga
pengawasan manapun di Indonesia. Di samping DPR dan Bepeka, pengawasan juga
dilakukan oleh masyarakat. Pengawasan oleh masyarakat ini justru dilakukan secara
langsung baik lisan maupun tertulis. Pengawasan ini dapat dilakukan secara perorangan
atau secara kelembagaan. Sebagai contoh ialah pengawasan yang dilakukan oleh pers
melalui publikasi media massa dan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM). Wartawan,
baik dalam kapasitasnya sebagai warga masyarakat maupun pencari berita, dituntut untuk
mencari informasi berkaitan dengan penyimpangan dalam pelaksanaan APBN/APBD dan
mempublikasikannya dalam surat kabar.
Gagalnya Sistem Pengawasan
Melihat komposisi lembaga pengawasan seperti di atas, menarik untuk dikaji
bahwa pada kenyataannya tingkat penyimpangan pelaksanaan keuangan negara dalam
bentuk korupsi dan kolusi maupun bentuk lainnya masih relatif tinggi. Kenapa demikian?
Secara garis besar penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua, yakni kurang berdayanya
fungsi dan peranan lembaga pengawasan intern/ekstern dan format perpolitikan
Indonesia yang kurang mendukung upaya pemberantasan korupsi dan kolusi. Berkaitan
dengan ketidakberdayaan lembaga pengawasan terdapat empat faktor yang

mempengaruhi. Pertama, komposisi aparat pengawasan, baik intern maupun ektern,
masih jauh dari memadai. Secara kuantitatif, jumlah akuntan pemerintah boleh dibilang
sangat sedikit. Pada tahun 1996 pegawai BPKP tercatat sejumlah 8.000 orang, sedangkan
Bepeka hanya sekitar 2.000 orang. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang
memiliki latar belakang pendidikan akuntansi. Dengan demikian kemampuan akuntan
pemerintah mempunyai kemampuan sangat terbatas dalam melakukan pengawasan
seluruh komponen keuangan negara secara keseluruhan.
Kedua, kedudukan akuntan pemerintah dalam struktur organisasi lembaga
pengawasan intern relatif lemah. Hal ini dapat diketahui juga dari beragamnya bidang
yang menjadi tugas dan wewang pengawas intern, yakni bidang sosial politik,
aparatur/kepegawaian, perekonomian, kesejahteraan sosial, pendapatan dan perijinan,
BUMN/BUMD, kekayaan negara/daerah, pengelolaan belanja rutin, dan bidang
pengelolaan anggaran belanja pembangunan. Konsekuensinya, hanya sedikit pegawai
BPKP, Itjendep, Itwilprop, dan Itwilkab/kod yang mempunyai latar belakang pendidikan
akuntansi. Bahkan, dengan tercakupnya bidang pemerintahan dan sosial politik sebagai
bagian integral fungsi kepengawasan lembaga-lembaga tersebut duduknya mantan camat,

mantan bupati, atau perwira ABRI sebagai pimpinan lembaga-lembaga tersebut menjadi
sulit dihindari.
Ketiga, kedudukan Bepeka terhadap Pemerintah tidak sepenuhnya independen.

Secara historis, hal ini dapat diketahui dari penempatan anggota ABRI atau mantan
pejabat pada posisi ketua/wakil ketua. Sejak berdiri tahun 1947 sampai sekarang posisi
ketua dijabat masing-masing oleh R. Soerasmo, Hamengku Buwono IX, Umar
Wirahadikusumah, M. Jusuf dan Prof. Dr. JB. Sumarlin. Dari kelima pejabat tersebut,
empat diantaranya berasal dari ABRI dan satu mantan Menteri Keuangan (sipil). Saat ini
pun posisi wakil ketua Bepeka berasal dari ABRI, yakni Mantan Kapolri Letjen (Pol)
Koenarto. Di samping itu, secara kelembagaan anggaran Bepeka berasal dari Pemerintah
melalui APBN. Dan porsi anggaran Bepeka setiap tahunnya rata-rata hanya sejumlah
0,043 persen dan total APBN. Akibatnya, di satu pihak Bepeka cenderung lebih akrab
dengan Pemerintah dari pada dengan DPR. Di pihak lain karena kewajiban Bepeka
terhadap DPR hanya bersifat pemberitahuan, maka DPR sering tidak memiliki informasi
yang terinci mengenai hasil pemeriksaan Bepeka.
Keempat, kurangnya koordinasi antarlembaga pengawasan dalam melakukan
tugas pemeriksaan. Hal ini tidak saja melibatkan koordinasi antara APIP dan lembaga
pengawasan ekstern, melainkan juga antara sesama APIP sendiri. Seringkali temuan
APIP tidak didukung oleh lembaga pengawasan ekstern, demikian pula sebaliknya dan
prektek pengawasan yang dilakukan oleh antarlembaga pengawasan saling tumpang
tindih. Pada saat bersamaan bisa terjadi dua atau lebih lembaga pengawasan mendatangi
obyek yang sama. Hal ini tidak saja berdampak pada efektivitas pengawasan, melainkan
juga menimbulkan citra negaif terhadap lembaga pengawasan secara menyeluruh.

Format Perpolitikan
Di samping ketidakberdayaan lembaga pengawasan, format dan iklim
perpolitikan Indonesia juga turut menentukan semakin merajalelanya praktek korupsi dan
kolusi. Ada lima hal yang menandai kurang kondusifnya iklim dalam pemberantasan
korupsi dan kolusi. Pertama, praktek kenegaraan korporatis. Praktek kenegaraan di
Indonesia secara keseluruhan dapat dikategorikan sebagai negara korporatis. Dalam
praktek kenegaraan seperti itu, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif sulit dikembangkan. Bahkan, dalam bidang politik, kehadiran partai oposisi
diharamkan. Akibatnya, susunan struktur kenegaraan yang meletakkan birokrasi
pemerintahan di puncak piramida kekuasaan sulit dihindari. Dengan kata lain, ketiga
jenis kekuasaan cenderung terpusat pada satu tangan. Struktur semacam ini
mengakibatkan pengawasan keuangan negara tidak berjalan secara efektif dan praktek
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara cenderung melembaga.
Kedua, arogansi pemerintah. Sikap seperti ini tercermin ketika pemerintah
legitimasi kekuasaan digunakan secara represif terhadap masyarakat. Seringkali dijumpai
sikap oknum yang menempatkan masyarakat sebagai obyek yang harus dikuasai, diatur
dan dipaksa demi sebuah kebijaksanaan. Sehingga masyarakat berada pada posisi yang
lemah dan tidak berdaya. Apa pun yang muncul dari masyarakat selalu harus diwaspadai
kalau-kalau ada upaya kelompok tertentu yang ingin menentang dan menjatuhkan
pemerintah. Hak bersuara acap kali dibungkam atas nama stabilitas nasional. Bila ada

sekelompok masyarakat yang kritis dan vokal buru-buru dicurigai dan bila perlu

“diamankan” supaya gaungnya tidak mempengaruhi masyarakat luas. Dengan demikian,
pemerintah seakan berada di atas angin dan tidak tersentuh dan terusik oleh suara-suara
dari rakyat. Kesalahan yang dilakukan oleh seorang pejabat bisa saja tidak membawa
konsekuensi terhadap jabatannya dan masyarakat tidak bisa menuntutnya lebih jauh.
Ketiga, arus informasi dalam masyarakat tidak seimbang. Pemerintah sering tidak
transparan dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat luas. Hal ini
juga berkaitan dengan sikap pemerintah, bahwa rakyat tidak perlu tahu semuanya.
Informasi sering dibungkus dengan tata bahasa para pejabat yang indah tetapi sulit
dimengerti pesan sebenarnya, sehingga membingungkan dan sering malah membuat
pusing. Ketika Bank Dunia dan IMF datang untuk membahas krisis moneter yang tengah
terjadi belum lama ini, tidak banyak orang yang tahu persis kesepakatan apa yang
diperoleh dalam pembicaraannya dengan pemerintah. Akibatnya, banyak spekulasi
beredar di masyarakat dan akhirnya justru membuat situasi semakin tidak pasti. Lalu,
banyak masyarakat panik, gelisah dan tidak percaya terhadap rupiah. Perburuan dolar
semakin menjadi-jadi sehingga kondisi perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Dari
sini dapat dipahami bahwa kurangnya transparansi pemerintah akan menyulitkan kontrol
dari masyarakat. Apalagi jika sebuah kasus melibatkan kelompok kepentingan tertentu,
serta merta arus informasi menjadi tidak jelas dan bahkan lama-lama menghilang. Lagilagi masyarakat tidak tahu kelanjutannya dan tidak bisa meminta pertanggungjawaban
lebih jauh.
Keempat, pola rekruitmen birokrat yang diwarnai nepotisme. Pola ini, bila
diterapkan secara selektif sebenarnya bisa mendorong terciptanya kinerja yang lebih
baik. Salah satu contohnya adalah perusahaan-perusahaan Cina. Perkembangan
perusahaan Cina yang begitu pesat sebenarnya didukung oleh pola nepotisme dalam
rekruitmen pegawai-pegawainya. Mereka sering mengajak sanak familinya untuk ikut
mengurus bisnisnya, namun dengan catatan yang benar-benar mampu. Dalam lingkungan
birokrasi Indonesia pola nepotisme nampaknya juga dianut sejak lama. Hanya saja,
seringkali rekruitmen tidak didasarkan pada kualifikasi tertentu, tetapi lebih pada famili
siapa. Pertimbangannya seringkali didasarkan atas penilaian subjektif tanpa melihat
kapabilitas dari yang bersangkutan. Contoh kongkret adalah pengangkatan anggota DPR
hasil pemilu lalu. Terlihat jelas bahwa komposisi keanggotaan DPR kali ini lebih
bernuansa “kekeluargaan”. Dengan komposisi demikian, wajar jika banyak kalangan
meragukan kesungguhan dan kemampuannya dalam mewakili aspirasi rakyat. Secara
normatif, kedudukan DPR adalah sejajar dengan Pemerintah. Namun, jika melihat
kondisi tersebut bisa jadi DPR justru berada pada posisi subordinat, artinya Pemerintah
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada DPR. Dengan posisi seperti ini praktis telah
membuat DPR tidak dapat melakukan kontrol terhadap Pemerintah. Selama orde baru
belum pernah DPR menolak rancangan APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Dan
ketika terjadi penyimpangan oleh Pemerintah, misalnya kasus Jamsostek, DPR tidak
dapat berkutik sebab kasus itu justru melibatkan beberapa anggota DPR sendiri.
Kelima, kurangnya komitmen pemerintah. Dalam banyak hal, pemerintah selalu
memberikan harapan kepada masyarakat. Janji-janji yang pernah dilontarkan dalam
pemilu sering menjadi slogan yang tidak mempunyai makna sama sekali dan sekedar lips
service. Tekad pemerintah untuk menunda sejumlah proyek berkaitan dengan krisis
moneter ternyata tidak dilaksanakan seratus persen. Ada beberapa proyek yang
“dikecualikan” dengan berbagai macam alasan. Di sini terlihat dualisme sikap pemerintah

yang menunjukkan betapa pemerintah kurang bersungguh-sungguh dalam menangani
krisis ekonomi. Dalam kaitannya dengan praktek korupsi, tidak sedikit oknum yang
terbukti terlibat namun masih bebas ke mana-mana, seakan-akan tidak mempunyai
kesalahan apapun. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi seakan-akan tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk menjerat para
koruptor.
Urgensi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan kondisi tersebut dapatlah dipahami bahwa persoalan korupsi sudah
sedemikian kompleksnya. Hal ini nampak dari berbagai penyebab, yang sekaligus
merupakan titik awal munculnya korupsi. Praktek korupsi sudah sedemikian menggejala
dan merasuki berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Konsekuensi logis
praktek korupsi sudah terpapar di atas. Sehingga sikap dan tindakan terpenting saat ini
adalah tidak memberikan ruang sedikitpun untuk tumbuh dan berkembangnya korupsi.
Secara pragmatis dapat dikatakan bahwa pemberantasan korupsi sangat mendesak saat ini
sebab kesepakatan pasar bebas akan segera diberlakukan. Hal ini tidak dapat dihindari
sebab situasi global ini memang mengharuskan demikian. Sebagai bagian dari
masyarakat dunia, di mana semua aspek, baik ekonomi, sosial budaya maupun politik
saling terkait, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut arus tersebut. Tahun 2003
kesepakatan AFTA harus dilaksanakan, begitu juga dengan APEC pada tahun 2020.
Untuk dapat bermain dalam liberalisasi ekonomi tersebut bangsa Indonesia harus benarbenar kompetitif. Competitiveness yang harus dimiliki adalah efisiensi di segala bidang,
dari bidang yang dikuasai swasta sampai pada efisiensi birokrasi. Dan, kondisi seperti itu
hanya dapat dicapai apabila praktek korupsi dan kolusi sudah tidak ada lagi.
Namun demikian, terlepas dari ada tidaknya globalisasi, persoalan koruspi
memang pantas untuk diperangi. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama,
secara universal, dapat dimengerti untuk apa sebuah negara didirikan, untuk apa suatu
pemerintahan dibentuk dan untuk siapa pemerintah bekerja. Jawaban atas tiga pertanyaan
tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat hakiki. Sehingga, segala bentuk
penyimpangan, entah itu kekerasan, manipulasi atau korupsi, merupakan hal yang sudah
tidak sesuai dengan hakekat keberadaan negara. Penyimpangan-penyimpangan tersebut
merupakan bentuk pengingkaran akan keberadaan masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan negara yang paling tinggi.
Kedua, secara historis, telah disepakati tujuan pembentukan suatu pemerintah pada awal
berdirinya Republik Indonesia yang dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945. Di sana
secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuannya adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Bila dikaitkan dengan hal ini, praktek
korupsi dan kolusi sudah pasti bertentangan dengan tujuan kedua. Sudah terbukti secara
makro bahwa korupsi dan kolusi telah memberikan dampak berupa buruknya kinerja
perekonomian. Krisis moneter belakangan ini sebenarnya merupakan akibat dari ulah
para koruptor di negeri ini. Bank-bank tidak akan tutup dan pengangguran tidak akan
meningkat drastis apabila pencairan kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Kesenjangan ekonomi tidak akan begitu mencolok andaikata kebijakan pembangunan
yang dipilih lahir dari keputusan yang benar-benar fair, sesuai prioritas dan

mengutamakan masyarakat kecil. Ekonomi biaya tinggi tidak akan menjadi penghalang
pembangunan seandainya pungutan tidak resmi, uang pelicin dan uang sogokan lainnya
tidak menggejala dan menjadi kebiasaan.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi bukan saja persoalan
lemahnya salah satu dimensi baik itu etis-moral, maupun sosial budaya. Bukan pula
lemahnya law enforcement
seperti diperkirakan banyak kalangan. Sebab, law
enforcement itu sendiri bukanlah merupakan primary cause, melainkan suatu akibat dari
persoalan yang lebih luas, yang serupa dengan penyebab munculnya korupsi. Begitu juga
dengan political will yang sering digaung-gaungkan demi terciptanya pemerintahan yang
bersih. Kurangnya atau bahkan ketiadaan political will ini pun bukanlah pemicu
tingginya angka korupsi di Indonesia, tetapi juga merupakan sebuah masalah yang berdiri
sendiri sebagai akibat dari persoalan lain yang lebih besar dan kompleks. Persoalan
korupsi sebenarnya lebih merupakan masalah struktural dan hal ini berkaitan dengan
sistem-sistem kenegaraan yang berdimensi ekonomi-politik. Dua indikasi utama yang
menjadi pemicu merajalelanya korupsi dan kolusi yaitu kegagalan sistem pengawasan
keuangan negara dan format perpolitikan yang kurang mendukung pemberantasan
korupsi dan kolusi itu sendiri.
Untuk itu upaya yang perlu dilakukan bukan lagi berorietasi pada peningkatan
dan koreksi yang bersifat parsial, namun lebih pada penciptaan iklim yang membatasi
ruang gerak korupsi. Ibaratnya, agar sebuah tanaman bisa tumbuh dengan subur dan
berbuah, maka lahan tempat ia ditanam harus baik, dalam arti tanahnya subur dan cocok
dengan jenis tanaman. Dengan demikian hal utama yang harus dilakukan adalah
mempersiapkan lahan sedemikian rupa sehingga mendukung tumbuhnya tanaman
tersebut dan menghambat munculnya tanaman lain yang bersifat parasit dan merugikan.
Begitu juga dengan pemerintahan yang bersih dapat tercipta bukan melalui banyaknya
perangkat hukum yang menyertainya, tetapi melalui penciptaan iklim yang menjamin
bahwa untuk melakukan penyimpangan, seseorang -entah itu pegawai rendahan maupun
pejabat tinggi atau bahkan masyarakat luas, harus berpikir seribu kali.
Di Indonesia, semua perangkat yang diperlukan sudah ada, baik dari segi
kelembagaan maupun perangkat hukumnya. Lembaga-lembaga pengawasan dibangun
berlapis-lapis. Demikian juga aparat penegak juga sudah ada beserta perangkat
hukumnya berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Pemberantasan
Korupsi. Sehingga yang diperlukan saat ini bukan menambah atau membentuk lembaga
baru, sebab pada dasarnya pembentukan ini justru akan menimbulkan banyak masalah
baru. Yang diperlukan saat ini adalah adanya pembaharuan politik. Pembaharuan ini
mencakup upaya yang berorientasi pada pemberdayan semua perangkat baik aparat
maupun hukum yang telah ada termasuk pemberdayaan masyarakat luas. Pemberdayaan
ini berkaitan dengan upaya mendorong perangkat dan masyarakat agar dapat senantiasa
peka dan fleksibel terhadap arus perubahan yang tengah terjadi. Pemberdayaan
merupakan upaya terbuka untuk membiarkan masyarakat menjadi kritis dan korektif
terhadap tata kehidupan kenegaraan tanpa ada prasangka. Karena, apa yang ingin dicapai
dari pemberdayaan ini adalah situasi yang lebih baik, yang memungkinkan bangsa
Indonesia kreatif dan maju. Secara politis, hal ini dapat dilaksanakan apabila pemerintah

tidak lagi represif, melainkan kooperatif dengan rakyat yang dipimpinnya. Melalui
pembaharuan politik ini juga diupayakan keberadaan lembaga-lembaga perwakilan
publik yang semakin berwibawa, sehingga berdampak terhadap semakin efektifnya
mekanisme saling kontrol antara negara dengan masyarakat, antara aparat pemerintah
dengan anggota masyarakat dan antara para atasan dan bawahan, sehingga berbagai
perilaku tidak jujur seperti korupsi, kolusi, manipulasi, pungli dan lain sebagainya dapat
terus terkurangi.

BAHAN BACAAN
Baswir, Revrisond., Akuntansi Pemerintahan di Indonesia, BPFE., 1996
Baswir, Revrisond., Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar., 1997
Baswir, Revrisond., Peran Akuntan Pemerintah dalam Pengawasan Keuangan Negara,
Majalah Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI, Edisi September 1997
Benveniste, GUY., Birokrasi, PT Rajagrafindo Persada, Cetakan ketiga 1994
Azhar, Ipong S., Korupsi dan Pembaharuan Politik, Surat Kabar Bernas, 24 Juni 1997
Prasetyantoko., Korupsi dan Agenda di Balik Krisis Ekonomi, Surat Kabar Kedaulatan
Rakyat, 4 Desember 1997