Laporan Matematika dan laporan miniriset.doc
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur itik adalah dari telur unggas yang gemar dikonsumsi oleh
masyarakat. Telur itik adalah salah satu dari tiga jenis telur unggas yang
umumnya dikonsumsi masyarakat, adapun tiga jenis telur unggas yang
dikonsumsi oleh masyarakat yaitu berasal dari ayam, itik dan angsa. Telur itik
memiliki keunggulan dibandingkan telur unggas lainnya yaitu telur itik
mengandung vitamin A, vitamin E, vitamin B6, dan vitamin B12, niasin, tiamin
dan asam pantotenat. Manfaat masing-masing komposisi yang terkandung
dalam telur itik yaitu, vitamin A bermanfaat untuk kesehatan mata, vitamin E
bermanfaat untuk regenerasi sel-sel saraf pada manusia, vitamin B6 bermanfaat
untuk metabolisme tubuh dan lain-lain. Tetapi, disamping banyaknya manfaat
dari telur itik, telur itik juga mempunyai lemak jenuh dengan kadar yang tinggi,
sehingga dalam mengonsumsi telur itik harus sesuai porsinya sendiri, agar tidak
menimbulkan penyakit tertentu, misalnya menimbunnya kolestrol dalam tubuh
(Sudaryani, T:1996).
Selain memiliki kelebihan, telur itik juga memiliki kelemahan jika
dibandingkan dengan telur ayam dalam keadaan segar. Adapun kelemahannya
yaitu, telur itik akan lebih cepat mengalami penurunan kualitas, yaitu telur itik
akan mudah membusuk apabila dibiarkan begitu saja. Namun, telur itik
mempunyai kelebihan jika dibuat sebagai telur asin. Telur asin yang berasal
dari telur itik lebih disukai dibandingkan yang berasal dari telur ayam
(Dharmayudha:2013). Cara untuk memperkecil kerusakan dan memperbaiki
gizi pada telur itik adalah dengan cara pengawetan. Pengawetan itu sendiri
terdiri dari proses pendinginan, proses pembungkusan kering, pelapisan dengan
minyak, dan pengasinan ( Hintono, A:1984).
Salah satu cara dalam pengasinan telur, yaitu dengan cara pembalutan
dengan adonan yang berbentuk pasta (bata merah yang telah dihaluskan, abu
gosok dengan air dan garam). Tujuan dari proses pengasinan yaitu, untuk
1
memperpanjang masa simpan telur itik. Adapun usaha yang dilakukan untuk
memperbaiki kualitas atau memperpanjang masa simpan telur asin, hal itu
sesuai dengan perintah Allah swt yang tersirat di dalam Al-Qur’an, surah AlA’am ayat 135 yang berbunyi (Departemen Agama RI, 2005):
“Katakanlah: Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,
sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui,
siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan
mendapatkan keberuntungan.”
Melalui ayat di atas bisa diambil pelajaran bahwa, Allah telah
menciptakan akal pada manusia, agar digunakan untuk berfikir, dan melalui
proses berfikir tersebut manusia dapat menciptakan atau menemukan hal yang
baru, seperti pembuatan telur asin, melalui hasil pemikiran manusia sebuah
telur itik yang awalnya hanya memeiliki masa simpan yang sebentar atau cepat
busuk, dapat berubah menjadi telur itik yang memiliki masa simpan yang lebih
lama. Begitu juga dengan rasa pada telur itik yang awalnya hanya memiliki rasa
biasa saja, bisa dirubah menjadi beraneka macam rasa. Melalui firman Allah di
atas juga terdapat kandungan atau pelajaran bahwasanya setiap manusia yang
mau berfikir Allah pasti akan memberi jalan kepadanya untuk mencapai sesuatu
hal yang ingin dicapai. Sehingga, mampu menghasilkan hal-hal yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Pada saat ini, pengawetan telur asin menggunakan metode pengasinan
dengan penambahan rasa terhadap telur asin sudah berkembang pesat. Banyak
inovasi-inovasi baru bermunculan dari berbagai produsen ataupun peneliti yang
haus akan informasi baru, seperti telur asin dengan penambahan temulawak.
2
Adapun pengembangan rasa telur asin yang ingin dicoba dalam mini riset ini
adalah telur dengan penambahan bumbu rawon dan bumbu bacem.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada
Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah
sebagai berikut:
1. Manakah yang paling disukai oleh panelis diantara telur rawon dan telur
bacem?
1.3 Tujuan
Tujuan dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan
Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui telur manakah yang lebih disukai oleh panelis diantara
telur rawon dan telur bacem.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah adanya uji
organoleptik penambahan bumbu rawon pada telur asin, dan bumbu bacem
pada telur asin, terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa telur asin.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur
dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini yaitu penelitian ini
nantinya dapat dijadikan sebagai penelitian lanjutan mengenai gizi yang dapat
dihasilkan dari telur rawon dan telur bacem, sehingga dapat dijadikan sebagai
makanan alternatife bagi penderita penyakit tertentu. Misalnya, bagi penderita
kolestrol tinggi dapat memakan telur rawon yang jumlah lemak jenuhnya lebuh
rendah daripada lemak jenuh pada daging sapi yang biasanya dijadikan bahan
utama masakan rawon.
3
1.6 Batasan Masalah
Batasan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik terhadap
Telur Asin dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Telur Manis dengan
Penambahan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Telur yang digunakan adalah telur itik (Anas platyhyncos) yang bermutu
baik.
Tabel 1. Standart Mutu pada Telur Itik (Anjarsari,2010)
Parameter
Kulit
Kantung udara
Kuning telur
Albumen
Haugh Unit
Kelas
AA
A
B
Bersih, utuh, Bersih, utuh, Ada
noda,
normal
normal
utuh, sedikit
abnormal
1/8 inci
1/8-1/4 inci
1/4-3/8 inci
Bergeser,
tidak
bergelembung
Batas jelas, Batas
agak Batas jelas
ditengah,
jelas,
bebas bercak ditengah,
bebas bercak
Batas jelas, Jernih, agak Jernih, agak
ditengah,
kental
encer
bebas bercak
72
60-70
31-60
C
Noda
utuh
cukup,
3/8
inci,
Bergelembung
atau tidak
Batas hilang
Jernih, encer,
barair, bercak.
31
Ciri-ciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih,
tidak retak, bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang,
putih telur pekat dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik,
kuning telur jernih dan bebas dari noda dan cara yang paling mudah untuk
megetahuinya yaitu masukkan telur itik ke dalam air, apabila telur itik
tersebut tenggelam maka telur itik tersebut baik.
2. Parameter yang diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa. Parameter
diamati dengan cara angket.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Telur Itik
Telur adalah produk ternak yang mudah sekali rusak oleh lingkungan,
yaitu kelembapan, suhu dan lama penyimpanan. Kerusakan tersebut berupa
perubahan-perubahan pada telur. Perubahan-perubahan yang dapat diketahui
dari luar dan perubahan-perubahan dalam isi telur yang hanya dapat diketahui
jika telur sudah dipecahkan (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Stuktur fisik telur itik secara keseluruhan hampir sama dengan telur
ayam, terdiri dari tiga bagian yaitu kulit telur (8%-11%), putih telur (56%-61%)
dan kuning telur (27%-31%) (Powrie, 1984). Bentuk telur itik yang normal
umumnya sama dengan telur ayam, yaitu oval dengan salah satu bagian
meruncing sedangkan ujung lainnya tumpul (Stewart dan Abbott, 1972).
Adapun bagian-bagian dari telur, dintaranya sebagai berikut:
a. Kulit Telur
Kulit telur bersifat kuat, halus, dan berkapur. Kulit telur terdiri dari
empat lapisan yaitu: (1) lapisan kutikula yang merupakan lapisan paling
luar yang menyelubungi seluruh permukaan telur, (2) lapisan bunga karang
yang terletak dibawah kutikula, (3) lapisan mamila yang merupakan lapisan
ketiga dan sangat tipis, dan (4) lapisan membrane yang terletak paling
dalam (Sarwono, 1994).
Menurut Stadelman dan Cotteril (1973), komposisi dari kulit telur
adalah 98,2 % kalsium, 0,9 % magnesium dan 0,9 % fosfor. Banyaknya
pori-pori per butir telur berkisar antara 7.000 – 17.000 dan menyebar di
seluruh permukaan telur. Kulit telur pada bagian tumpul memiliki jumlah
pori-pori per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori
bagian yang lain (Sirait, 1986).
5
Gambar 1. Susunan Bagian Kerabang Telur (Stadelman dan Cotteril, 1973)
Pada telur segar, permukaan kulit dilapisi oleh lapisan tipis kutikula
yang segera mongering setelah peneluran dan menutup pori-pori telur
sehingga mengurangi hilangnya air dan gas-gas serta invasi oleh
mikroorganisme. Lapisan kutikula mengandung 90 % protein yang
kebanyakan terdiri dari tirosin, glisin, lisin dan sistein (Romanoff dan
Romanoff, 1963).
b. Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang terdiri atas 1/3
protein dan 2/3 lemak. Kuning telur adalah suatu bagian yang penting dari
telur. Bagian ini mengandung bahan-bahan makanan untuk perkembangan
embrio. Berbeda dengan putih telur, kuning telur terdiri dari protein telur
dan lemak yang berbentuk butiran-butiran dalam berbagai ukuran
(Romanoff dan Romanoff, 1949; Winton, 1949).
Kuning telur terdiri atas membran vitelin, saluran latebra, lapisan
kuning telur gelap dan lapisan kuning telur terang (Stadelman dan Cotterill,
1995). Membran vitelin di sekeliling kuning telur terbentuk dari dua
lapisan yaitu lapisan dalam yang dibentuk di ovari dan lapisan luar yang
dibentuk di oviduk. Kuning telur terdiri dari protein, lemak, pigmen dan
mineral-mineral, seperti K, Na, Mg, Ca, Fe, Cu, S, P, Ce dan Mn. Kuning
6
telur memiliki semua vitamin kecuali vitamin B2 (Stadelman dan Cotterill,
1995).
c. Putih Telur
Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun secara istimewa,
yaitu: lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam dan
lapisan khalazaferous. Masing-masing lapisan tersebut mempunyai
kandungan air yang berbeda-beda (Romanoff, 1949). Bagian terbesar dari
telur adalah putih telur, yaitu sebesar 56%-61% dari keseluruhan telur.
Protein putih telur terdiri dari protein serabut dan protein globular (Powrie
dan Nakia, 1985).
Jenis protein pada putih telur diantaranya adalah ovalbumin,
konalbumin, ovamucit, lizozim, ovoglobulin, ovoinhibitor, dan ovidin.
Ovomucin merupakan glikoprotein yaitu yang mengandung karbohidrat
yang berbentuk serabut. Serabut-serabut ovomucin berbentuk jala yang
dapat mengikat bagian cair dari putih telur sehingga ovomuein menentukan
kekentalan putih telur (Powrie, 1973).
Putih telur juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat
dalam adalah karbohidrat yang berikatan dengan protein (± 0,5%) atau
biasa disebut glikoprotein dan karbohidrat yang berdiri sendiri (± 0,4%0,5%). Karbohidrat tersebut adalah glukosa (98%), manosa, galaktosa,
arabinosa, xylosa, ribosa dan dioksiribosa. Putih telur selain mengandung
air, protein dan karbohidrat juga mengandung lemak, vitamin dan mineral
(Winarno dan Koswara, 2002). Di bawah ini adalah tabel dari kandungan
telur itik:
Tabel 2. Komposisi Gizi Telur Itik (USDA, 2007 )
No.
Komposisi
Telur
No.
Itik
Komposisi
Telur
Itik
1.
Energi (kkal)
185,00
13.
Fosfor/P (mg)
220,00
2.
Protein (g)
12,81
14.
Natrium/Na (mg)
146,00
7
3.
Total lemak (g)
13,77
15.
Seng/Zn (mg)
1,41
4.
Karbohidrat (g)
1,45
16.
Tembaga/Cu (mg)
0,06
5.
Kalsium/Ca (mg)
64,00
17.
Mangan/Mn (mg)
0,04
6.
Besi/Fe (mg)
3,85
18.
Tiamin (mg)
0,16
7.
Magnesium/Mg (mg)
17,00
19.
Riboflavin (mg)
0,40
8.
Niasin (mg)
0,20
20.
Asam Panthothenat (mg)
1,86
9.
Vitamin B6 (mg)
0,25
21.
Vitamin E (mg)
1,34
10.
Kolesterol (mg)
884,0
22.
Vitamin B12 (mkg)
5,40
11.
Selenium/Se (mkg)
36,40
23.
Vitamin K (mkg)
0,40
12.
Vitamin A (IU)
674,00
Selain kandungan telur itik secara keseluruhan, di bawah ini terdapat tabel
yang menunjukkan informasi mengenai kandungan telur itik yang lebih spesifik
yaitu kandungan saat telur iti masih utuh, kandungan putih telur itik, dan juga
kandungan kuning telur itik.
Tabel 3. Komposisi Telur Itik Tiap 100 gram
Telur Itik
komposisi
Telur Utuh
Putih Telur
Kuning Telur
Air (%)
70,60
88.00
47.00
Protein (g)
13,1
11.00
17.00
Lemak (g)
14,30
-
35.00
Karbohidrat (g)
0,80
0,80
0,80
Energi (kkal)
189,0
54,0
398,0
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. (2004)
1.2
Pengasinan
8
Pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam bahan yang
diasin dengan cara difusi setelah garam mengion menjadi Na + dan Cl-.
Penambahan garam dalam jumlah tertentu pada suatu bahan pangan dapat
mengawetkan bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya
kenaikan tekanan osmotik yang menyebabkan plasmolisis sel mikroba yaitu sel
mengalami dehidrasi atau keluarnya cairan dari sel dan plasmolisis sel terhadap
CO2. Penambahan garam juga akan mengurangi oksigen terlarut, menghambat
kerja enzim dan menurunkan aktivitas air. Proses pengasinan yang berhasil
dengan baik ditentukan oleh karakteristik telur asin yang dihasilkan. Telur asin
tersebut bersifat stabil, aroma dan rasa telurnya terasa nyata, penampakan putih
dan kuning telurnya baik (Winarno dan Koswara, 2002).
Telur yang akan diawetkan harus mempunyai mutu awal yang baik. Ciriciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih, tidak retak,
bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang, putih telur pekat
dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik, kuning telur jernih dan
bebas dari noda (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Pengasinan telur merupakan suatu upaya untuk pengawetan telur yang
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan merendam telur di dalam
larutan garam ataupun dengan membungkus telur dalam adonan garam dan batu
bata atau abu gosok. Pengasinan dengan cara perendaman di dalam larutan
garam pada prinsipnya diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh dan
selanjutnya telur yang sudah dicuci direndam dalam larutan garam tersebut
selama kurang lebih 2 minggu (Sudaryani, 1996). Tujuan dari proses
pengasinan ini adalah untuk mencegah kerusakan dan kebusukan telur serta
memberi cita rasa khas dari telur (Sirait, 1986; Harimurti, 1992).
Membran vitellin adalah salah satu bagian dari bagian kuning telur yang
penting selama proses pengasinan karena mendorong air keluar dari kuning telur
dan mencegah air masuk, mendorong NaCl masuk kedalam kuning telur dan
mencegah NaCl keluar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur
berdasarkan Stadelman dan Cotteril (1973), memperlihatkan adanya lapisan9
lapisan pada telur, sehingga pada telur yang diasinkan, garam akan masuk secara
bertahap dari putih telur ke kuning telur.
Gambar 2. Struktur Telur (Stadelman dan Cotteril ,1973)
Selain itu juga pengasinan banyak menghasilkan keuntungan, antara lain
mudah untuk dilakukan, biayanya murah, praktis, serta dapat meningkatkan
kesukaan konsumen. Berdasarkan metode pengolahannya, ada dua metode yang
digunakan yaitu perendaman dengan menggunakan larutan garam jenuh dan
pembalutan dengan mencampur garam, serbuk bata merah atau abu gosok, dan
kadang-kadang menggunakan kapur (Joedawinata, 1976).
Prinsip pengasinan telur adalah adanya proses difusi osmosis, yaitu proses
pengurangan air dari bahan dengan cara membenamkan bahan dalam suatu
larutan berkonsentrasi tinggi. Tekanan osmotik pada larutan garam atau adonan
lebih tinggi daripada tekanan osmotik didalam telur, sehingga larutan garam
yang memiliki tekanan osmosis lebih tinggi dapat masuk ke dalam telur melalui
pori-pori telur (Kastaman dkk, 2005; Novia dkk, 2009). Pada proses tesebut,
terjadi pertukaran cairan antara telur dengan media pengasinan, larutam garam
masuk sedangkan air yang terkandung dalam telur keluar, sehingga rasa asin
mendominasi cita rasa telur asin (Apriadjie, 2008).
Menurut Apriadjie (2008), proses difusi osmosis pada proses pembuatan
telur asin dapat terjadi karena adanya larutan garam yang menyerap kedalam
10
telur. Garam akan diubah menjadi ion natrium (Na+) dan ion chlor (Cl-).
Larutan garam (NaCl) akan masuk ke dalam telur dengan cara menembus ke
pori-pori kulit, menuju ke bagian putih, dan akhirnya ke kuning telur. Telur
merupakan bahan makanan yang mudah mengalami kerusakan yaitu kerusakan
fisik, kimia, maupun kerusakan oleh mikroba. Salah satu cara untuk
memperkecil kerusakan dan memperbaiki gizi adalah dengan cara pengasinan
menggunakan medium pengasin bubuk batu bata / abu gosok. Selain itu Garam
sangat efektif digunakan sebagai media perbaikan gizi atau makanan. Garam
juga berfungsi sebagai pencipta rasa yang khas sekaligus sebagai bahan
pengawet. Salah satu bahan makanan yang diawetkan dengan garam adalah
telur.
Stadelman dan Cotteril (1973), menyatakan, bahwa selama pengasinan
terjadi perpindahan air dari kuning telur menuju putih telur, dehidrasi selama
pengasinan ini akan meningkatkan keluarnya minyak. Sarwono (1994)
menyatakan, besarnya minyak yang keluar seiring dengan pembentukan
butiran-butiran berpasir pada kuning telur.
Bertambahnya umur simpan telur mengakibatkan tinggi lapisan kental
putih telur menjadi turun. Hal ini terjadi karena perubahan struktur gelnya
sehingga permukaan putih telur semakin meluas akibat pengenceran yang
terjadi dalam putih telur karena perubahan pH dari asam menjadi basa dan
penguapan CO2 . Kenaikan pH pada putih telur akibat hilangnya CO2 yang
lebih lanjut mengakibatkan serabut-serabut ovomucin berbentuk jala akan rusak
dan pecah sehingga bagian cair dari putih telur menjadi encer dan tinggi putih
telur menjadi berkurang. Kuning telur mempunyai nilai pH 6,0 pada telur yang
baru ditelurkan. Selama penyimpanan pH kuning telur meningkat sampai nilai
maksimal 6,4-6,9 tergantung dari temperatur dan lama penyimpanan
( Harimurti,1992).
Kecerahan pada kuning telur merupakan indikator yang digunakan untuk
menentukan kualitas telur. Penilaian warna kuning telur dapat dilakukan secara
visual dengan membandingkan warna kuning telur dengan alat yolk color fan
11
yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai
warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan
vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan
terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning
telur. Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin
berwarna jingga kemerahan (Sirait, 1986).
1.3 Perubahan yang Terjadi Selama Proses Pengasinan
a. Denaturasi protein
Denaturasi dapat diartikan sebagai suatu perubahan atau modifikasi
struktur sekunder, tersier, dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya
pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu panas, pH, bahan kimia, gelombang suara, tekanan yang
tinggi dan mekanik. Senyawa kimia seperti urea dan garam dapat memecah
ikatan hidrogen yang akhirnya menyebabkan denaturasi protein (Winarno,
1997).
b. Koagulasi
Konsentrasi terbesar dalam lapisan putih telur adalah ovomucin. Mucin
berperan dalam proses koagulasi. Kalaza mempunyai kandungan mucin yang
tinggi dan mempunyai daya tahan terhadap penggumpalan. Sebaliknya,
kuning telur mengandung komponen non protein yang merupakan subyek
penggumpalan. Bila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya
larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan.
Peristiwa pemisahan protein ini disebut sebagai salting out. Bila garam netral
yang ditambahkan berkonsentrasi tinggi, maka protein akan mengendap
(Winarno, 1997).
c. Pembentukan gel
Gel adalah fase antara padat dan cair, sebagai sistem
larutan yang
kehilangan sifat mengalir. Gelasi terjadi pada saat terbentuk ikatan nonkovalen dari gugus fungsional yang sudah stabil. Mekanisme dari gelasi ini
12
adalah pemerangkapan air, immobilisasi dan pembentukan struktur gel yang
stabil (Fennema, 1985).
Pembentukan gel ada empat tahapan diantaranya adalah denaturasi,
agregasi, koagulasi dan flokulasi (Pomeranz, 1985). Garam merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan denaturasi dan mempengaruhi pembentukan
gel pada kuning telur. Hal tersebut terjadi karena adanya aktivitas kation dan
anion dari garam yaitu Na+ dan C1- yang meningkat (Stadelman dan Cotterill,
1977).
d. Proses kemasiran telur
Kemasiran kuning telur dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam
kuning telur. Suatu emulsi dapat dipecahkan dengan pemanasan dan
penambahan NaCl yaitu dengan merusak keseimbangan fase polar (protein)
dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Tekstur masir yang
ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat dengan granula yang terdapat
di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Rasa asin telur asin yang dihasilkan sangat bergantung kepada lama
penyimpanan. Bagi yang menyukai telur asin sebagai teman dari nasi, maka
penyimpanan selama 15 hari cukup maksimal. Selain asinnya kental, kuning
telurnya pun kuning tua dan berminyak, dan untuk sekedar sebagai camilan
maka disimpan maksimal 10 hari sudah cukup (Sudaryani, 1996).
Tekstur masir disebabkan oleh membesarnya granula yang ada dalam
kuning telur. Membesarnya granula pada kuning telur dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu kadar garam dan kadar air. Garam akan masuk ke dalam kuning
telur dan akan merusak ikatan-ikatan yang terdapat dalam granula sehingga
dapat memperbesar diameter granula. Masuknya air akan semakin
memperbesar diameter granula. Semakin banyak air dan garam yang masuk
menyebabkan semakin banyak granula yang membesar, sehingga persentase
kemasiran semakin besar. Kemasiran merupakan salah satu hal yang paling
penting pada telur asin.
13
Hal ini sesuai dengan pendapat Stadelman dan Cotterill (1977) yang
menyatakan bahwa kemasiran merupakan salah satu karakteristik kuning
telur asin. Tekstur masir pada kuning telur akan mempengaruhi tingkat
penerimaan konsumen. Ukuran granula diakibatkan oleh adanya air garam
yang masuk ke dalam granula dan reaksi garam dengan low density
lipoprotein
(LDL). Menurut Chang, Powrie
dan
Fennema
(1997)
menambahkan garam yang masuk ke dalam kuning telur akan bereaksi
dengan lipoprotein (yang sebagian besar dalam bentuk fraksi low densiw). Hal
diatas akan membentuk tekstur masir pada kuning telur.
Menurut penelitian Indriani (2008) menyatakan bahwa hasil yang
diperoleh dari sifat fisik, kimia dan organoleptik telur asin, tekanan
konsentrasi larutan garam yang dapat digunakan untuk menghasilkan telur
asin yang disukai adalah dengan menggunakan larutan garam 1:4. Pada
konsentrasi larutan garam tersebut dihasilkan rasa asin putih telur yang tidak
terlalu asin, tetapi kuning telurnya berada pada kisaran kuning telur masir.
Sedangkan menurut penelitian Gumay (2009), menyatakan bahwa proses
pembuatan telur asin menurunkan kadar air pada perlakuan hingga 45% lebih
rendah. Penurunan kadar air dari telur itik segar disebabkan oleh proses
pemanasan pada saat perebusan telur asin.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah survei, karena menggunakan
angket yang disebar pada 10 panelis.
14
3.2 Populasi dan Sampel
Mini riset ini mengambil telur itik sebagai bahan mini riset. Ada 2 sampel
dalam pembuatan telur asin, yaitu telur asin rasa rawon dan telur manis rasa
bacem.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Pembuatan telur asin rasa rawon dan rasa bacem, mulai pembuatannya
pada hari Jum’at, 22 April 2016 – hari Senin, 8 Mei 2016, yang bertempat di
Laboratorium Biokimia, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1
Alat
Alat yang digunakan dalam mini riset yang berjudul “Uji
Organoleptik Terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu
Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini
adalah sebagai berikut:
3.4.2
1. Kompor
1 buah
2. Ember plastik
2 buah
3. Panci
1 buah
4. Neraca
1 buah
5. Pisau
1 buah
6. Cobek
1 buah
Bahan
Bahan yang digunakan dalam mini riset yang berjudul “Uji
Organoleptik Terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu
15
Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini
adalah sebagai berikut:
1. Telur bebek
7 buah
2. Batu bata yang telah dihaluskan
1,5 kg
3. Abu gosok
1,5 kg
4. Air
secukupnya
5. Bumbu rawon
Kluwak
1 buah
Bawang merah
14 buah
Bawang putih
6 buah
Kunyit
2 cm
Jahe
2 cm
Ketumbar
3 gram
Lada
1,5 gram
Garam
secukunya
gula putih
secukupnya
6. Bumbu bacem
Bawang putih
4 buah
Bawang merah
6 buah
Lengkuas
4 cm
Ketumbar
3 gram
Gula merah
0,25 kg
Garam
secukupnya
3.5 Sampel dan Perlakuan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur asin rasa rawon
dan telur manis rasa bacem.
Pembuatan telur asin dengan rasa rawon dan telur manis rasa bacem
menggunakan metode pengasinan, yaitu dengan cara membuat adonan yang
16
terdiri dari campuran abu gosok sebanyak 1,5 kg, batu bata merah yang telah
dihaluskan sebanyak 1.5 kg, dan air secukupnya, kemudian di aduk hingga
berbentuk pasta. Setelah adonan menjadi pasta kemudian aonam tersebut dibagi
menjadi dua bagian yang sama, setelah itu di tambahakan bumbu rawon pada
adonan pertama dan bumbu bacem yang telah pada adonan yang kedua.
Kemudian adonan tersebut di balutkan pada telur itik sampai merata setebal 10
cm, kemudian didiamkan selama 16 hari, di dalam ember plastik.
3.6 Prosedur Penelitian
Tahap-tahap pembuatan telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem
adalah pertama-tama menyiapkan telur itik sebanyak 8 butir, abu gosok 1,5 kg,
batu bata merah yang telah dihaluskan 1,5 kg, air secukupnya, garam, bumbu
rawon dan bumbu bacem secukupnya. Selanjutnya membersihkan telur itik
sampai bersih hingga kulit telur terlihat putih bersih. Selanjutnya, tiriskan telur
itik sampai kering dengan cara didiamkan diwadah yang telah disediakan.
Selanjutnya dilakukan pembalutan telur itik sesuai dengan perlakuan.
Selanjutnya dilakukan penyimpanan telur itik ke dalam ember plastik selama 16
hari. Setelah masa perendaman selesai,
Telur Itikmaka telur itik direbus sampai masak
dengan ditandai warna kulit telur agak keputihan. Kemudian dilakukan pengujian
organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur) telur asin pada masing-masing
perlakuan.
Pencucian
Ditiriskan
Dibalut dengan adonan sesuai dengan perlakuan
Diagram alir pembuatan telur itik asin rasa rawon dan telur itik manis rasa
Disimpan
bacem sebagai berikut
: di dalam ember plastik selama 16 hari
Direbus hingga masak (warna kulit telur agak putih)
17
Diuji organoleptik, meliputi aroma, warna, tekstur,
dan rasa
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Telur Rawon dan Telur Bacem
3.7 Parameter yang Diukur
Uji organoleptik:
Warna Putih Telur
a. Putih Bersih
b. Kecoklatan
c. Coklat
d. Sangat Coklat
Warna Kuning Telur
a. Kuning Cerah (Pucat)
b. Kuning Agak Kemerahan (agak orange)
c. Kuning Kemerahan (orange)
18
d. Sangat Kemerahan (sangat orange)
Aroma Rawon Pada Telur Asin
a. Aroma Rawon Tidak Tercium
b. Aroma Rawon Kurang Tercium
c. Aroma Rawon Cukup Tercium
d. Aroma Rawon Sangat Tercium
Aroma Bacem Pada Telur Asin
a. Aroma Bacem Tidak Tercium
b. Aroma Bacem Kurang Tercium
c. Aroma Bacem Cukup Tercium
d. Aroma Bacem Sangat Tercium
Tekstur Putih Telur
a. Tidak Kenyal dan Padat
b. Kurang Kenyal dan Padat
c. Cukup Kenyal dan Padat
d. Sangat Kenyal dan Padat
Tekstur Kuning Telur
a. Tidak Masir (Seperti Pasir)
b. Kurang Masir (Seperti Pasir)
c. Cukup Masir (Seperti Pasir)
d. Sangat Masir (Seperti Pasir
Rasa Asin pada Telur Rawon
a. Tidak Terasa Asin
b. Kurang Terasa Asin
c. Cukup Terasa Asin
d. Sangat Terasa Asin
Rasa Manis pada Telur Bacem
a. Tidak Terasa Manis
b. Kurang Terasa Manis
c. Cukup Terasa Manis
19
d. Sangat Terasa Manis
3.8 Analisis Data
Cara pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan cara
membagikan angket kepada 10 orang penelis. Adapun objek yang harus dinilai
oleh seorang panelis meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rasa
rawon maupun telur rasa bacem. Kemudian peneliti menganalisis berapa
banyak orang yang menyukai telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem.
Cara penganalisisan data yaitu dengan mengumpulkan semua data dari penelis
kemudian menghitung manakah pilihan panelis terbanyak mengenai opsi
penilaian mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur
bacem. Setelah diketahui pilihan panelis terbanyak, kemudian penyimpulan
data mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur
bacem.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
4.1
Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Warna pada Putih dan Kuning Telur
Uji organoleptik terhadap warna bertujuan untuk mengetahui tingkat
respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon
dan telur rasa bacem. Menurut Soekarto (1990), warna merupakan salah satu
komponen yang dapat menentukan mutu dari suatu bahan ataupun produk
pangan. Warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam
makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan. Warna merupakan salah satu
tolak ukur ada atau tidak terjadinya penyimpangan pada produk pangan.
Dibawah ini adalah tabel hasil survei peneliti mengenai penilaian para panelis
terhadap warna telur rawon dan telur bacem.
Tabel 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna
Aspek penilaian
Putih
telur
Warna
Kuning
telur
Indikator penilaian
Putih bersih
Kecoklatan
Coklat
Sangat Coklat
Kuning cerah
Kuning agak kemerahan
Kuning kemerahan
Sangat kemerahan
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
10
1
8
1
-
Bacem
5
5
8
2
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Tabel diatas menunjukkan bahwa warna putih telur antara telur rawon dan
telur bacem memiliki perbandingan 0:5, yang menunjukkan warna putih bersih.
Hal itu dikarenakan dengan penambahan bumbu bacem pada telur bacem mampu
merubah warna telur menjadi agak kecoklatan yang disebabkan oleh adanya
kluwak dalam bumbu bacem. Sedangkan pada warna kuning telur antara telur
rawon dan telur bacem memiliki perbandingan 8:2 (kuning agak kemerahan), hal
itu di sebabkan karena warna yang di timbulkan oleh telur bacem lebih berwarna
gelap (adanya kluwak dalam bumbu bacem), sehingga panelis kurang
menyukainya. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh dari komposisi adonan
yang berbeda. Sesuai yang dikatakan oleh Soekarto (1990) bahwa warna
21
menunjukkan kualitas suatu makanan. Dilihat dari penilaian panelis, panelis
menilai bahwa telur rawon kualitasnya lebih baik daripada telur bacem apabila
ditinjau dari segi warna yang di timbulkan.
Kecerahan pada kuning telur merupakan indikator yang digunakan untuk
menentukan kualitas telur. Penilaian warna kuning telur dapat dilakukan secara
visual dengan membandingkan warna kuning telur dengan alat yolk color fan
yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai
warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan
vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan
terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning telur.
Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin berwarna
jingga kemerahan (Sirait, 1986).
4.2 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Aroma
Uji organoleptik terhadap aroma bertujuan untuk mengetahui tingkat
respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon
dan telur rasa bacem. Hasil uji organoleptik terhadap aroma telur rasa rawon dan
telur rasa bacem yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma
Aspek penilaian
Aroma
Indikator penilaian
Aroma tidak tercium
Aroma kurang tercium
Aroma cukup tercium
Aroma sangat tercium
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
10
-
Bacem
10
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut Kartika (1988), Pengujian terhadap aroma di industri pangan
merupakan hal yang dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya produk tersebut
oleh konsumen. Selain itu juga aroma dipakai sebagai indikator terjadinya
kerusakan produk. Dari hasil penelitian yang didapatkan adalah aroma dari
22
perlakuan yang dilakukan pada telur itik tidak tercium bau rawon maupun
bacemnya, berarti produk telah mengalami kerusakan, yaitu tercium bau busuk
pada telur, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kartika pada uraian di atas.
Kerusakan produk bisa disebabkan oleh salahnya cara penggabungan antara
adonan, telur dan keadaan bumbu yang dicampurkan (sudah masak atau masih
mentah) yang digunakan.
Selain karena salahnya cara penggabungan antara adonan dengan bumbu.
Aroma bau khas kedua sampel yang diharapkan mampu tercium, ternyata tidak
dihasilkan. Hal tersebut juga dapatm dikarenakan, salah dalam perlakuannya,
perbandingan antara bumbu dan adonan tidak sesuai yang dengan literatur, dalam
literatur (Indriani, 2008) disebutkan perbandingan antara adonan dengan bumbu
1:4, namun peneliti hanya menggunakan perbandingan 3:2. Sehingga, bau yang
dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (bau rawon dan bacem tidak
tercium).
4.3 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Tekstur
Tekstur produk pangan merupakan salah satu komponen penting yang perlu
dinilai dalam uji organoleptik telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Uji
organoleptik terhadap tekstur bertujuan untuk mengetahui tingkat respon dari
panelis mengenai kesukaannya terhadap telur rasa rawon dan telur rasa bacem.
Hasil pengujian organoleptik terhadap tekstur telur asin rasa rawon dan telur
manis rasa bacem dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur
Aspek penilaian
Indikator penilaian
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
Tekstur
Putih
telur
Tidak kenyal dan padat
Kurang kenyal dan padat
Cukup kenyal dan padat
23
1
6
Bacem
8
2
Sangat kenyal dan padat
Tidak masir (seperti pasir)
Kurang masir (seperti
Kuning
telur
pasir)
Cukup
masir
(seperti
pasir)
Sangat
masir
(seperti
pasir)
3
8
6
2
4
-
-
-
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut Faiz (2011), tekstur telur asin sangat erat kaitannya dengan kadar
air, semakin tinggi kadar air telur asin maka tekstur telur asin tersebut lembek
begitupun sebaliknya. Berkurangnya kadar air menyebabkan tekstur telur
semakin keras. Adanya air dalam bahan makanan menyebabkan bahan tersebut
mudah rusak dikarenakan air adalah media yang baik bagi perkembangbiakan
mikroorganisme. Tekstur putih telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kadar protein, suhu pemanasan, kekuatan ion dan adanya interaksi dengan
komponen lain. Penambahan garam pada suspensi protein menimbulkan
penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada kuning telur
dan putih telur.
Tekstur adalah salah satu sifat bahan atau produk yang dapat dirasakan
melalui
sentuhan
kulit
ataupun
pencicipan. Kemasiran kuning telur
dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam kuning telur. Suatu emulsi dapat
dipecahkan dengan pemanasan dan penambahan NaCl yaitu dengan merusak
keseimbangan fase polar (protein) dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono,
1992). Tekstur masir yang ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat
dengan granula yang terdapat di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Stadelman dan Cotteril (1973), menyatakan, bahwa selama pengasinan
terjadi perpindahan air dari kuning telur menuju putih telur, dehidrasi selama
pengasinan ini akan meningkatkan keluarnya minyak. Sarwono (1994)
menyatakan, besarnya minyak yang keluar seiring dengan pembentukan butiranbutiran berpasir pada kuning telur.
24
Menurut Kartika (1988), tekstur kuning telur pada telur rasa bacem tidak
terjadi kemasiran, dan sedikit berair/lembek. Hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya reaksi antara gula dengan kuning telur manis. Gula (sukrosa) mempunyai
kemampuan untuk menurunkan aktifitas air dan mengikat air. Gula yang
ditambahkan pada bahan pangan dengan konsentrasi yang sangat tinggi (< 40%)
akan mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut
menjadi tidak tersedia bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses
pemadatan tidak maksimal.
Tabel di atas menjelaskan bahwa perbandingan tekstur pada putih telur,
telur rawon dan telur bacem
adalah 6:2, hal itu disebabkan karena adanya
pengaruh garam pada telur rawon dan gula pada telur bacem. Menurut Faiz
(2011), penambahan garam pada telur rawon membuat suspensi protein
menimbulkan penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada
pada kuning telur dan putih telur sehingga terjadi pemadatan pada putih telur.
Sedangkan, pada telur bacem adanya penambahan gula akan mengakibatkan
jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut menjadi tidak tersedia
bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses pemadatan tidak maksimal,
karena gula (sukrosa) mempunyai kemampuan untuk menurunkan aktifitas air
dan mengikat air, menurut Kartika (1998). Seharusnya, prinsip tersebut juga
berlaku pada kuning telur yang memiliki perbandingan telur rawon dan telur
bacem, yaitu 2:4. Namun, data yang didapatkan berkata bahwa, telur bacem
lebih masir daripada telur rawon, hal itu dapat terjadi mungkin dikarenakan
kurangnya pemberian garam pada telur rawon, bisa juga kesalahan panelis dalam
memberikan nilai. Karena minimnya pengetahuan panelis mengenai kemasiran
telur itu seperti apa.
4.4 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Rasa
Uji organoleptik terhadap rasa bertujuan untuk mengetahui tingkat respon
dari panelis mengenai kesukaannya terhadap telur rasa rawon dan telur rasa
25
bacem yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan. Hasil uji organoleptik
terhadap rasa telur rasa rawon dan telur rasa bacem yang dihasilkan pada tabel 6
sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa
Aspek penilaian
Rasa
Indikator penilaian
Tidak terasa
Kurang terasa
Cukup terasa
Sangat terasa
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
Bacem
(Asin)
(Manis)
10
-
10
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut deMan (1997), rasa umum disepakati bahwa hanya ada empat rasa
dasar yaitu manis, pahit, masam dan asin. Kepekaan terhadap rasa terdapat pada
kuncup rasa pada lidah. Hubungan antara struktur kimia suatu senyawa lebih
mudah ditentukan dengan rasanya.
Tabel di atas menyatakan bahwa telur rasa rawon maupun telur rasa bacem,
pada penelitian ini rasanya tidak muncul pada telur dan semua panelis
mengatakan “tidak terasa baik rawon mapun bacem”. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya pemberian bumbu pada setiap perlakuan/salahnya perbandingan
antara bumbu dan adonan. Seharusnya, memakai perbandingan antara adonan
dengan bumbu ialah 1:4, sementara peneliti memakai perbandingan antara
adonan dengan bumbu 3:1. Makanya hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari mini riset berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan
Penambahan Bumbu Rawon dan Telur dengan Penambahan Bumbu Bacem”,
antara lain:
1.
Dari kedua sampel, telur rawon dan telur bacem yang paling disukai oleh
panelis adalah telur asin rasa rawon.
5.2 Saran
27
Hasil dari penelitian ini adalah warna, aroma, tekstur, dan rasa pada telur
rasa rawon maupun telur rasa bacem. Masih kurang yaitu, tidak didapatkan
warna yang standart pada telur rasa pada dasarnya. Aroma yang didapatkan pada
penelitian ini bukannya aroma rawon/bacem, tapi aroma busuk .Tekstur yang di
dapatkan hampr mendekati standart telur yang telah diawetkan pada dasarnya.
Sementara, untuk rasa juga tidak muncul rasa rawon/bacem pada telur. Hal itu
disebabkan karena kurang tepatnya dalam menghitung perbandingan antara
bumbu, adonan dan telur yang digunakan, serta metode yang digunakan untuk
membuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarsari, Bonita. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Chang, C. M, W. D. Powrie and Fennema. 1977. Microstructrure of Egg Yolk. J.
Food Sci. 42 : 1193-1200.
deMan, M.J. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah K. Padmawinata. Bandung : ITB
Press.
Departemen Agama RI. 2005. Al – Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Syaamil
Cipta Medika.
28
Dharmayudha AAGO dan Agustina KK. 2013. Kandungan Antioksidan, Gizi dan
Kualitas Telur Asin dengan Media Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L.). Laporan Penelitian Dosen Muda. LPPM Universitas
Udayana.Faiz, Hassan. 2010. Pengaruh penambahan sari temulawak
(Curcuma xanthorrhiza) terhadap total fenol, kadar garam, kadar lemak dan
tekstur telur asin. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(3):38 – 44.
Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.
Gumay, T. R. 2009. Kandungan Beta Karoten dan Nilai Gizi Telur Asin dari itik
yang Mendapatkan Limbah Udang. Program studi Teknologi Hasil Ternak.
Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hardjosworo, P. S. 1995. Peluang Pemanfaatan Potensi Genetik dan Prospek.
Harimurti. 1992. Pengolahan Telur, PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada
Hintono, A. 1984. Prinsip Pengawetan Telur. Buletin Poultry Indonesia. No 2:15-16.
Husein, Thoha. 2002. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: CV Darus Sunah
Pengembangan Unggas Lokal. Prosiding Seminar Nasional dan Teknologi
Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Indriani, W. 2008. Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Telur Asin melalui
Penggaraman dengan Tekanan dan Konsentrasi Garam yang Berbeda.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Departemen Ilmu Produksi Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kartika, B. Hastuti, Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
Yogyakarta : UGM.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pomeranz, Y. 1985. Functional Propoteis of Food Components. London: Academic
Press, Inc.
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1949. The Avian Eggs. John Willey and Sons,
Inc, New York.
29
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and Sons,
Inc., New York.
Samosir, D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Jakarta: PT Gramedia.
Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta: Penebar Swadaya
Setioko, A. R., Syamsudin, M. Rangkuti, H. Budiman dan A. Gunawan. 1994.
Budidaya Ternak Itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi
Penelitian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahanya. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Petenakan.
Soekarto, 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor :
IPB Press.
Stadelman, R. G and O. J. Catterill. 1995. Egg Science and Technology. 4 th. ed. Food
Product Press. New York.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. The AVI
Publishing, Inc. Westport. Connecticut.
Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sudaryani, T. 1996. Telur dan Hasil Olahannya. Jakarta: Penerbit Swadaya
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. Bogor: M-Brio Press.
Winton, A. L and K. B. Winton. 1949. Structure and Compositionof Foods. John
Wiley and Sons, Inc., New York.
Wulandari, Z. 2002. Sifat Organoleptik, Sifat Fisikikimia dan Total Mikroba Telur
Itik Asin Hasil Penggaraman dengan Tekanan. Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
30
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur itik adalah dari telur unggas yang gemar dikonsumsi oleh
masyarakat. Telur itik adalah salah satu dari tiga jenis telur unggas yang
umumnya dikonsumsi masyarakat, adapun tiga jenis telur unggas yang
dikonsumsi oleh masyarakat yaitu berasal dari ayam, itik dan angsa. Telur itik
memiliki keunggulan dibandingkan telur unggas lainnya yaitu telur itik
mengandung vitamin A, vitamin E, vitamin B6, dan vitamin B12, niasin, tiamin
dan asam pantotenat. Manfaat masing-masing komposisi yang terkandung
dalam telur itik yaitu, vitamin A bermanfaat untuk kesehatan mata, vitamin E
bermanfaat untuk regenerasi sel-sel saraf pada manusia, vitamin B6 bermanfaat
untuk metabolisme tubuh dan lain-lain. Tetapi, disamping banyaknya manfaat
dari telur itik, telur itik juga mempunyai lemak jenuh dengan kadar yang tinggi,
sehingga dalam mengonsumsi telur itik harus sesuai porsinya sendiri, agar tidak
menimbulkan penyakit tertentu, misalnya menimbunnya kolestrol dalam tubuh
(Sudaryani, T:1996).
Selain memiliki kelebihan, telur itik juga memiliki kelemahan jika
dibandingkan dengan telur ayam dalam keadaan segar. Adapun kelemahannya
yaitu, telur itik akan lebih cepat mengalami penurunan kualitas, yaitu telur itik
akan mudah membusuk apabila dibiarkan begitu saja. Namun, telur itik
mempunyai kelebihan jika dibuat sebagai telur asin. Telur asin yang berasal
dari telur itik lebih disukai dibandingkan yang berasal dari telur ayam
(Dharmayudha:2013). Cara untuk memperkecil kerusakan dan memperbaiki
gizi pada telur itik adalah dengan cara pengawetan. Pengawetan itu sendiri
terdiri dari proses pendinginan, proses pembungkusan kering, pelapisan dengan
minyak, dan pengasinan ( Hintono, A:1984).
Salah satu cara dalam pengasinan telur, yaitu dengan cara pembalutan
dengan adonan yang berbentuk pasta (bata merah yang telah dihaluskan, abu
gosok dengan air dan garam). Tujuan dari proses pengasinan yaitu, untuk
1
memperpanjang masa simpan telur itik. Adapun usaha yang dilakukan untuk
memperbaiki kualitas atau memperpanjang masa simpan telur asin, hal itu
sesuai dengan perintah Allah swt yang tersirat di dalam Al-Qur’an, surah AlA’am ayat 135 yang berbunyi (Departemen Agama RI, 2005):
“Katakanlah: Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,
sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui,
siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan
mendapatkan keberuntungan.”
Melalui ayat di atas bisa diambil pelajaran bahwa, Allah telah
menciptakan akal pada manusia, agar digunakan untuk berfikir, dan melalui
proses berfikir tersebut manusia dapat menciptakan atau menemukan hal yang
baru, seperti pembuatan telur asin, melalui hasil pemikiran manusia sebuah
telur itik yang awalnya hanya memeiliki masa simpan yang sebentar atau cepat
busuk, dapat berubah menjadi telur itik yang memiliki masa simpan yang lebih
lama. Begitu juga dengan rasa pada telur itik yang awalnya hanya memiliki rasa
biasa saja, bisa dirubah menjadi beraneka macam rasa. Melalui firman Allah di
atas juga terdapat kandungan atau pelajaran bahwasanya setiap manusia yang
mau berfikir Allah pasti akan memberi jalan kepadanya untuk mencapai sesuatu
hal yang ingin dicapai. Sehingga, mampu menghasilkan hal-hal yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Pada saat ini, pengawetan telur asin menggunakan metode pengasinan
dengan penambahan rasa terhadap telur asin sudah berkembang pesat. Banyak
inovasi-inovasi baru bermunculan dari berbagai produsen ataupun peneliti yang
haus akan informasi baru, seperti telur asin dengan penambahan temulawak.
2
Adapun pengembangan rasa telur asin yang ingin dicoba dalam mini riset ini
adalah telur dengan penambahan bumbu rawon dan bumbu bacem.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada
Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah
sebagai berikut:
1. Manakah yang paling disukai oleh panelis diantara telur rawon dan telur
bacem?
1.3 Tujuan
Tujuan dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan
Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui telur manakah yang lebih disukai oleh panelis diantara
telur rawon dan telur bacem.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah adanya uji
organoleptik penambahan bumbu rawon pada telur asin, dan bumbu bacem
pada telur asin, terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa telur asin.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur
dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini yaitu penelitian ini
nantinya dapat dijadikan sebagai penelitian lanjutan mengenai gizi yang dapat
dihasilkan dari telur rawon dan telur bacem, sehingga dapat dijadikan sebagai
makanan alternatife bagi penderita penyakit tertentu. Misalnya, bagi penderita
kolestrol tinggi dapat memakan telur rawon yang jumlah lemak jenuhnya lebuh
rendah daripada lemak jenuh pada daging sapi yang biasanya dijadikan bahan
utama masakan rawon.
3
1.6 Batasan Masalah
Batasan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik terhadap
Telur Asin dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Telur Manis dengan
Penambahan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Telur yang digunakan adalah telur itik (Anas platyhyncos) yang bermutu
baik.
Tabel 1. Standart Mutu pada Telur Itik (Anjarsari,2010)
Parameter
Kulit
Kantung udara
Kuning telur
Albumen
Haugh Unit
Kelas
AA
A
B
Bersih, utuh, Bersih, utuh, Ada
noda,
normal
normal
utuh, sedikit
abnormal
1/8 inci
1/8-1/4 inci
1/4-3/8 inci
Bergeser,
tidak
bergelembung
Batas jelas, Batas
agak Batas jelas
ditengah,
jelas,
bebas bercak ditengah,
bebas bercak
Batas jelas, Jernih, agak Jernih, agak
ditengah,
kental
encer
bebas bercak
72
60-70
31-60
C
Noda
utuh
cukup,
3/8
inci,
Bergelembung
atau tidak
Batas hilang
Jernih, encer,
barair, bercak.
31
Ciri-ciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih,
tidak retak, bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang,
putih telur pekat dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik,
kuning telur jernih dan bebas dari noda dan cara yang paling mudah untuk
megetahuinya yaitu masukkan telur itik ke dalam air, apabila telur itik
tersebut tenggelam maka telur itik tersebut baik.
2. Parameter yang diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa. Parameter
diamati dengan cara angket.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Telur Itik
Telur adalah produk ternak yang mudah sekali rusak oleh lingkungan,
yaitu kelembapan, suhu dan lama penyimpanan. Kerusakan tersebut berupa
perubahan-perubahan pada telur. Perubahan-perubahan yang dapat diketahui
dari luar dan perubahan-perubahan dalam isi telur yang hanya dapat diketahui
jika telur sudah dipecahkan (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Stuktur fisik telur itik secara keseluruhan hampir sama dengan telur
ayam, terdiri dari tiga bagian yaitu kulit telur (8%-11%), putih telur (56%-61%)
dan kuning telur (27%-31%) (Powrie, 1984). Bentuk telur itik yang normal
umumnya sama dengan telur ayam, yaitu oval dengan salah satu bagian
meruncing sedangkan ujung lainnya tumpul (Stewart dan Abbott, 1972).
Adapun bagian-bagian dari telur, dintaranya sebagai berikut:
a. Kulit Telur
Kulit telur bersifat kuat, halus, dan berkapur. Kulit telur terdiri dari
empat lapisan yaitu: (1) lapisan kutikula yang merupakan lapisan paling
luar yang menyelubungi seluruh permukaan telur, (2) lapisan bunga karang
yang terletak dibawah kutikula, (3) lapisan mamila yang merupakan lapisan
ketiga dan sangat tipis, dan (4) lapisan membrane yang terletak paling
dalam (Sarwono, 1994).
Menurut Stadelman dan Cotteril (1973), komposisi dari kulit telur
adalah 98,2 % kalsium, 0,9 % magnesium dan 0,9 % fosfor. Banyaknya
pori-pori per butir telur berkisar antara 7.000 – 17.000 dan menyebar di
seluruh permukaan telur. Kulit telur pada bagian tumpul memiliki jumlah
pori-pori per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori
bagian yang lain (Sirait, 1986).
5
Gambar 1. Susunan Bagian Kerabang Telur (Stadelman dan Cotteril, 1973)
Pada telur segar, permukaan kulit dilapisi oleh lapisan tipis kutikula
yang segera mongering setelah peneluran dan menutup pori-pori telur
sehingga mengurangi hilangnya air dan gas-gas serta invasi oleh
mikroorganisme. Lapisan kutikula mengandung 90 % protein yang
kebanyakan terdiri dari tirosin, glisin, lisin dan sistein (Romanoff dan
Romanoff, 1963).
b. Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang terdiri atas 1/3
protein dan 2/3 lemak. Kuning telur adalah suatu bagian yang penting dari
telur. Bagian ini mengandung bahan-bahan makanan untuk perkembangan
embrio. Berbeda dengan putih telur, kuning telur terdiri dari protein telur
dan lemak yang berbentuk butiran-butiran dalam berbagai ukuran
(Romanoff dan Romanoff, 1949; Winton, 1949).
Kuning telur terdiri atas membran vitelin, saluran latebra, lapisan
kuning telur gelap dan lapisan kuning telur terang (Stadelman dan Cotterill,
1995). Membran vitelin di sekeliling kuning telur terbentuk dari dua
lapisan yaitu lapisan dalam yang dibentuk di ovari dan lapisan luar yang
dibentuk di oviduk. Kuning telur terdiri dari protein, lemak, pigmen dan
mineral-mineral, seperti K, Na, Mg, Ca, Fe, Cu, S, P, Ce dan Mn. Kuning
6
telur memiliki semua vitamin kecuali vitamin B2 (Stadelman dan Cotterill,
1995).
c. Putih Telur
Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun secara istimewa,
yaitu: lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam dan
lapisan khalazaferous. Masing-masing lapisan tersebut mempunyai
kandungan air yang berbeda-beda (Romanoff, 1949). Bagian terbesar dari
telur adalah putih telur, yaitu sebesar 56%-61% dari keseluruhan telur.
Protein putih telur terdiri dari protein serabut dan protein globular (Powrie
dan Nakia, 1985).
Jenis protein pada putih telur diantaranya adalah ovalbumin,
konalbumin, ovamucit, lizozim, ovoglobulin, ovoinhibitor, dan ovidin.
Ovomucin merupakan glikoprotein yaitu yang mengandung karbohidrat
yang berbentuk serabut. Serabut-serabut ovomucin berbentuk jala yang
dapat mengikat bagian cair dari putih telur sehingga ovomuein menentukan
kekentalan putih telur (Powrie, 1973).
Putih telur juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat
dalam adalah karbohidrat yang berikatan dengan protein (± 0,5%) atau
biasa disebut glikoprotein dan karbohidrat yang berdiri sendiri (± 0,4%0,5%). Karbohidrat tersebut adalah glukosa (98%), manosa, galaktosa,
arabinosa, xylosa, ribosa dan dioksiribosa. Putih telur selain mengandung
air, protein dan karbohidrat juga mengandung lemak, vitamin dan mineral
(Winarno dan Koswara, 2002). Di bawah ini adalah tabel dari kandungan
telur itik:
Tabel 2. Komposisi Gizi Telur Itik (USDA, 2007 )
No.
Komposisi
Telur
No.
Itik
Komposisi
Telur
Itik
1.
Energi (kkal)
185,00
13.
Fosfor/P (mg)
220,00
2.
Protein (g)
12,81
14.
Natrium/Na (mg)
146,00
7
3.
Total lemak (g)
13,77
15.
Seng/Zn (mg)
1,41
4.
Karbohidrat (g)
1,45
16.
Tembaga/Cu (mg)
0,06
5.
Kalsium/Ca (mg)
64,00
17.
Mangan/Mn (mg)
0,04
6.
Besi/Fe (mg)
3,85
18.
Tiamin (mg)
0,16
7.
Magnesium/Mg (mg)
17,00
19.
Riboflavin (mg)
0,40
8.
Niasin (mg)
0,20
20.
Asam Panthothenat (mg)
1,86
9.
Vitamin B6 (mg)
0,25
21.
Vitamin E (mg)
1,34
10.
Kolesterol (mg)
884,0
22.
Vitamin B12 (mkg)
5,40
11.
Selenium/Se (mkg)
36,40
23.
Vitamin K (mkg)
0,40
12.
Vitamin A (IU)
674,00
Selain kandungan telur itik secara keseluruhan, di bawah ini terdapat tabel
yang menunjukkan informasi mengenai kandungan telur itik yang lebih spesifik
yaitu kandungan saat telur iti masih utuh, kandungan putih telur itik, dan juga
kandungan kuning telur itik.
Tabel 3. Komposisi Telur Itik Tiap 100 gram
Telur Itik
komposisi
Telur Utuh
Putih Telur
Kuning Telur
Air (%)
70,60
88.00
47.00
Protein (g)
13,1
11.00
17.00
Lemak (g)
14,30
-
35.00
Karbohidrat (g)
0,80
0,80
0,80
Energi (kkal)
189,0
54,0
398,0
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. (2004)
1.2
Pengasinan
8
Pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam bahan yang
diasin dengan cara difusi setelah garam mengion menjadi Na + dan Cl-.
Penambahan garam dalam jumlah tertentu pada suatu bahan pangan dapat
mengawetkan bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya
kenaikan tekanan osmotik yang menyebabkan plasmolisis sel mikroba yaitu sel
mengalami dehidrasi atau keluarnya cairan dari sel dan plasmolisis sel terhadap
CO2. Penambahan garam juga akan mengurangi oksigen terlarut, menghambat
kerja enzim dan menurunkan aktivitas air. Proses pengasinan yang berhasil
dengan baik ditentukan oleh karakteristik telur asin yang dihasilkan. Telur asin
tersebut bersifat stabil, aroma dan rasa telurnya terasa nyata, penampakan putih
dan kuning telurnya baik (Winarno dan Koswara, 2002).
Telur yang akan diawetkan harus mempunyai mutu awal yang baik. Ciriciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih, tidak retak,
bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang, putih telur pekat
dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik, kuning telur jernih dan
bebas dari noda (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Pengasinan telur merupakan suatu upaya untuk pengawetan telur yang
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan merendam telur di dalam
larutan garam ataupun dengan membungkus telur dalam adonan garam dan batu
bata atau abu gosok. Pengasinan dengan cara perendaman di dalam larutan
garam pada prinsipnya diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh dan
selanjutnya telur yang sudah dicuci direndam dalam larutan garam tersebut
selama kurang lebih 2 minggu (Sudaryani, 1996). Tujuan dari proses
pengasinan ini adalah untuk mencegah kerusakan dan kebusukan telur serta
memberi cita rasa khas dari telur (Sirait, 1986; Harimurti, 1992).
Membran vitellin adalah salah satu bagian dari bagian kuning telur yang
penting selama proses pengasinan karena mendorong air keluar dari kuning telur
dan mencegah air masuk, mendorong NaCl masuk kedalam kuning telur dan
mencegah NaCl keluar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur
berdasarkan Stadelman dan Cotteril (1973), memperlihatkan adanya lapisan9
lapisan pada telur, sehingga pada telur yang diasinkan, garam akan masuk secara
bertahap dari putih telur ke kuning telur.
Gambar 2. Struktur Telur (Stadelman dan Cotteril ,1973)
Selain itu juga pengasinan banyak menghasilkan keuntungan, antara lain
mudah untuk dilakukan, biayanya murah, praktis, serta dapat meningkatkan
kesukaan konsumen. Berdasarkan metode pengolahannya, ada dua metode yang
digunakan yaitu perendaman dengan menggunakan larutan garam jenuh dan
pembalutan dengan mencampur garam, serbuk bata merah atau abu gosok, dan
kadang-kadang menggunakan kapur (Joedawinata, 1976).
Prinsip pengasinan telur adalah adanya proses difusi osmosis, yaitu proses
pengurangan air dari bahan dengan cara membenamkan bahan dalam suatu
larutan berkonsentrasi tinggi. Tekanan osmotik pada larutan garam atau adonan
lebih tinggi daripada tekanan osmotik didalam telur, sehingga larutan garam
yang memiliki tekanan osmosis lebih tinggi dapat masuk ke dalam telur melalui
pori-pori telur (Kastaman dkk, 2005; Novia dkk, 2009). Pada proses tesebut,
terjadi pertukaran cairan antara telur dengan media pengasinan, larutam garam
masuk sedangkan air yang terkandung dalam telur keluar, sehingga rasa asin
mendominasi cita rasa telur asin (Apriadjie, 2008).
Menurut Apriadjie (2008), proses difusi osmosis pada proses pembuatan
telur asin dapat terjadi karena adanya larutan garam yang menyerap kedalam
10
telur. Garam akan diubah menjadi ion natrium (Na+) dan ion chlor (Cl-).
Larutan garam (NaCl) akan masuk ke dalam telur dengan cara menembus ke
pori-pori kulit, menuju ke bagian putih, dan akhirnya ke kuning telur. Telur
merupakan bahan makanan yang mudah mengalami kerusakan yaitu kerusakan
fisik, kimia, maupun kerusakan oleh mikroba. Salah satu cara untuk
memperkecil kerusakan dan memperbaiki gizi adalah dengan cara pengasinan
menggunakan medium pengasin bubuk batu bata / abu gosok. Selain itu Garam
sangat efektif digunakan sebagai media perbaikan gizi atau makanan. Garam
juga berfungsi sebagai pencipta rasa yang khas sekaligus sebagai bahan
pengawet. Salah satu bahan makanan yang diawetkan dengan garam adalah
telur.
Stadelman dan Cotteril (1973), menyatakan, bahwa selama pengasinan
terjadi perpindahan air dari kuning telur menuju putih telur, dehidrasi selama
pengasinan ini akan meningkatkan keluarnya minyak. Sarwono (1994)
menyatakan, besarnya minyak yang keluar seiring dengan pembentukan
butiran-butiran berpasir pada kuning telur.
Bertambahnya umur simpan telur mengakibatkan tinggi lapisan kental
putih telur menjadi turun. Hal ini terjadi karena perubahan struktur gelnya
sehingga permukaan putih telur semakin meluas akibat pengenceran yang
terjadi dalam putih telur karena perubahan pH dari asam menjadi basa dan
penguapan CO2 . Kenaikan pH pada putih telur akibat hilangnya CO2 yang
lebih lanjut mengakibatkan serabut-serabut ovomucin berbentuk jala akan rusak
dan pecah sehingga bagian cair dari putih telur menjadi encer dan tinggi putih
telur menjadi berkurang. Kuning telur mempunyai nilai pH 6,0 pada telur yang
baru ditelurkan. Selama penyimpanan pH kuning telur meningkat sampai nilai
maksimal 6,4-6,9 tergantung dari temperatur dan lama penyimpanan
( Harimurti,1992).
Kecerahan pada kuning telur merupakan indikator yang digunakan untuk
menentukan kualitas telur. Penilaian warna kuning telur dapat dilakukan secara
visual dengan membandingkan warna kuning telur dengan alat yolk color fan
11
yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai
warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan
vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan
terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning
telur. Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin
berwarna jingga kemerahan (Sirait, 1986).
1.3 Perubahan yang Terjadi Selama Proses Pengasinan
a. Denaturasi protein
Denaturasi dapat diartikan sebagai suatu perubahan atau modifikasi
struktur sekunder, tersier, dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya
pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu panas, pH, bahan kimia, gelombang suara, tekanan yang
tinggi dan mekanik. Senyawa kimia seperti urea dan garam dapat memecah
ikatan hidrogen yang akhirnya menyebabkan denaturasi protein (Winarno,
1997).
b. Koagulasi
Konsentrasi terbesar dalam lapisan putih telur adalah ovomucin. Mucin
berperan dalam proses koagulasi. Kalaza mempunyai kandungan mucin yang
tinggi dan mempunyai daya tahan terhadap penggumpalan. Sebaliknya,
kuning telur mengandung komponen non protein yang merupakan subyek
penggumpalan. Bila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya
larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan.
Peristiwa pemisahan protein ini disebut sebagai salting out. Bila garam netral
yang ditambahkan berkonsentrasi tinggi, maka protein akan mengendap
(Winarno, 1997).
c. Pembentukan gel
Gel adalah fase antara padat dan cair, sebagai sistem
larutan yang
kehilangan sifat mengalir. Gelasi terjadi pada saat terbentuk ikatan nonkovalen dari gugus fungsional yang sudah stabil. Mekanisme dari gelasi ini
12
adalah pemerangkapan air, immobilisasi dan pembentukan struktur gel yang
stabil (Fennema, 1985).
Pembentukan gel ada empat tahapan diantaranya adalah denaturasi,
agregasi, koagulasi dan flokulasi (Pomeranz, 1985). Garam merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan denaturasi dan mempengaruhi pembentukan
gel pada kuning telur. Hal tersebut terjadi karena adanya aktivitas kation dan
anion dari garam yaitu Na+ dan C1- yang meningkat (Stadelman dan Cotterill,
1977).
d. Proses kemasiran telur
Kemasiran kuning telur dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam
kuning telur. Suatu emulsi dapat dipecahkan dengan pemanasan dan
penambahan NaCl yaitu dengan merusak keseimbangan fase polar (protein)
dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Tekstur masir yang
ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat dengan granula yang terdapat
di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Rasa asin telur asin yang dihasilkan sangat bergantung kepada lama
penyimpanan. Bagi yang menyukai telur asin sebagai teman dari nasi, maka
penyimpanan selama 15 hari cukup maksimal. Selain asinnya kental, kuning
telurnya pun kuning tua dan berminyak, dan untuk sekedar sebagai camilan
maka disimpan maksimal 10 hari sudah cukup (Sudaryani, 1996).
Tekstur masir disebabkan oleh membesarnya granula yang ada dalam
kuning telur. Membesarnya granula pada kuning telur dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu kadar garam dan kadar air. Garam akan masuk ke dalam kuning
telur dan akan merusak ikatan-ikatan yang terdapat dalam granula sehingga
dapat memperbesar diameter granula. Masuknya air akan semakin
memperbesar diameter granula. Semakin banyak air dan garam yang masuk
menyebabkan semakin banyak granula yang membesar, sehingga persentase
kemasiran semakin besar. Kemasiran merupakan salah satu hal yang paling
penting pada telur asin.
13
Hal ini sesuai dengan pendapat Stadelman dan Cotterill (1977) yang
menyatakan bahwa kemasiran merupakan salah satu karakteristik kuning
telur asin. Tekstur masir pada kuning telur akan mempengaruhi tingkat
penerimaan konsumen. Ukuran granula diakibatkan oleh adanya air garam
yang masuk ke dalam granula dan reaksi garam dengan low density
lipoprotein
(LDL). Menurut Chang, Powrie
dan
Fennema
(1997)
menambahkan garam yang masuk ke dalam kuning telur akan bereaksi
dengan lipoprotein (yang sebagian besar dalam bentuk fraksi low densiw). Hal
diatas akan membentuk tekstur masir pada kuning telur.
Menurut penelitian Indriani (2008) menyatakan bahwa hasil yang
diperoleh dari sifat fisik, kimia dan organoleptik telur asin, tekanan
konsentrasi larutan garam yang dapat digunakan untuk menghasilkan telur
asin yang disukai adalah dengan menggunakan larutan garam 1:4. Pada
konsentrasi larutan garam tersebut dihasilkan rasa asin putih telur yang tidak
terlalu asin, tetapi kuning telurnya berada pada kisaran kuning telur masir.
Sedangkan menurut penelitian Gumay (2009), menyatakan bahwa proses
pembuatan telur asin menurunkan kadar air pada perlakuan hingga 45% lebih
rendah. Penurunan kadar air dari telur itik segar disebabkan oleh proses
pemanasan pada saat perebusan telur asin.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah survei, karena menggunakan
angket yang disebar pada 10 panelis.
14
3.2 Populasi dan Sampel
Mini riset ini mengambil telur itik sebagai bahan mini riset. Ada 2 sampel
dalam pembuatan telur asin, yaitu telur asin rasa rawon dan telur manis rasa
bacem.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Pembuatan telur asin rasa rawon dan rasa bacem, mulai pembuatannya
pada hari Jum’at, 22 April 2016 – hari Senin, 8 Mei 2016, yang bertempat di
Laboratorium Biokimia, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1
Alat
Alat yang digunakan dalam mini riset yang berjudul “Uji
Organoleptik Terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu
Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini
adalah sebagai berikut:
3.4.2
1. Kompor
1 buah
2. Ember plastik
2 buah
3. Panci
1 buah
4. Neraca
1 buah
5. Pisau
1 buah
6. Cobek
1 buah
Bahan
Bahan yang digunakan dalam mini riset yang berjudul “Uji
Organoleptik Terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu
15
Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini
adalah sebagai berikut:
1. Telur bebek
7 buah
2. Batu bata yang telah dihaluskan
1,5 kg
3. Abu gosok
1,5 kg
4. Air
secukupnya
5. Bumbu rawon
Kluwak
1 buah
Bawang merah
14 buah
Bawang putih
6 buah
Kunyit
2 cm
Jahe
2 cm
Ketumbar
3 gram
Lada
1,5 gram
Garam
secukunya
gula putih
secukupnya
6. Bumbu bacem
Bawang putih
4 buah
Bawang merah
6 buah
Lengkuas
4 cm
Ketumbar
3 gram
Gula merah
0,25 kg
Garam
secukupnya
3.5 Sampel dan Perlakuan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur asin rasa rawon
dan telur manis rasa bacem.
Pembuatan telur asin dengan rasa rawon dan telur manis rasa bacem
menggunakan metode pengasinan, yaitu dengan cara membuat adonan yang
16
terdiri dari campuran abu gosok sebanyak 1,5 kg, batu bata merah yang telah
dihaluskan sebanyak 1.5 kg, dan air secukupnya, kemudian di aduk hingga
berbentuk pasta. Setelah adonan menjadi pasta kemudian aonam tersebut dibagi
menjadi dua bagian yang sama, setelah itu di tambahakan bumbu rawon pada
adonan pertama dan bumbu bacem yang telah pada adonan yang kedua.
Kemudian adonan tersebut di balutkan pada telur itik sampai merata setebal 10
cm, kemudian didiamkan selama 16 hari, di dalam ember plastik.
3.6 Prosedur Penelitian
Tahap-tahap pembuatan telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem
adalah pertama-tama menyiapkan telur itik sebanyak 8 butir, abu gosok 1,5 kg,
batu bata merah yang telah dihaluskan 1,5 kg, air secukupnya, garam, bumbu
rawon dan bumbu bacem secukupnya. Selanjutnya membersihkan telur itik
sampai bersih hingga kulit telur terlihat putih bersih. Selanjutnya, tiriskan telur
itik sampai kering dengan cara didiamkan diwadah yang telah disediakan.
Selanjutnya dilakukan pembalutan telur itik sesuai dengan perlakuan.
Selanjutnya dilakukan penyimpanan telur itik ke dalam ember plastik selama 16
hari. Setelah masa perendaman selesai,
Telur Itikmaka telur itik direbus sampai masak
dengan ditandai warna kulit telur agak keputihan. Kemudian dilakukan pengujian
organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur) telur asin pada masing-masing
perlakuan.
Pencucian
Ditiriskan
Dibalut dengan adonan sesuai dengan perlakuan
Diagram alir pembuatan telur itik asin rasa rawon dan telur itik manis rasa
Disimpan
bacem sebagai berikut
: di dalam ember plastik selama 16 hari
Direbus hingga masak (warna kulit telur agak putih)
17
Diuji organoleptik, meliputi aroma, warna, tekstur,
dan rasa
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Telur Rawon dan Telur Bacem
3.7 Parameter yang Diukur
Uji organoleptik:
Warna Putih Telur
a. Putih Bersih
b. Kecoklatan
c. Coklat
d. Sangat Coklat
Warna Kuning Telur
a. Kuning Cerah (Pucat)
b. Kuning Agak Kemerahan (agak orange)
c. Kuning Kemerahan (orange)
18
d. Sangat Kemerahan (sangat orange)
Aroma Rawon Pada Telur Asin
a. Aroma Rawon Tidak Tercium
b. Aroma Rawon Kurang Tercium
c. Aroma Rawon Cukup Tercium
d. Aroma Rawon Sangat Tercium
Aroma Bacem Pada Telur Asin
a. Aroma Bacem Tidak Tercium
b. Aroma Bacem Kurang Tercium
c. Aroma Bacem Cukup Tercium
d. Aroma Bacem Sangat Tercium
Tekstur Putih Telur
a. Tidak Kenyal dan Padat
b. Kurang Kenyal dan Padat
c. Cukup Kenyal dan Padat
d. Sangat Kenyal dan Padat
Tekstur Kuning Telur
a. Tidak Masir (Seperti Pasir)
b. Kurang Masir (Seperti Pasir)
c. Cukup Masir (Seperti Pasir)
d. Sangat Masir (Seperti Pasir
Rasa Asin pada Telur Rawon
a. Tidak Terasa Asin
b. Kurang Terasa Asin
c. Cukup Terasa Asin
d. Sangat Terasa Asin
Rasa Manis pada Telur Bacem
a. Tidak Terasa Manis
b. Kurang Terasa Manis
c. Cukup Terasa Manis
19
d. Sangat Terasa Manis
3.8 Analisis Data
Cara pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan cara
membagikan angket kepada 10 orang penelis. Adapun objek yang harus dinilai
oleh seorang panelis meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rasa
rawon maupun telur rasa bacem. Kemudian peneliti menganalisis berapa
banyak orang yang menyukai telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem.
Cara penganalisisan data yaitu dengan mengumpulkan semua data dari penelis
kemudian menghitung manakah pilihan panelis terbanyak mengenai opsi
penilaian mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur
bacem. Setelah diketahui pilihan panelis terbanyak, kemudian penyimpulan
data mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur
bacem.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
4.1
Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Warna pada Putih dan Kuning Telur
Uji organoleptik terhadap warna bertujuan untuk mengetahui tingkat
respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon
dan telur rasa bacem. Menurut Soekarto (1990), warna merupakan salah satu
komponen yang dapat menentukan mutu dari suatu bahan ataupun produk
pangan. Warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam
makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan. Warna merupakan salah satu
tolak ukur ada atau tidak terjadinya penyimpangan pada produk pangan.
Dibawah ini adalah tabel hasil survei peneliti mengenai penilaian para panelis
terhadap warna telur rawon dan telur bacem.
Tabel 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna
Aspek penilaian
Putih
telur
Warna
Kuning
telur
Indikator penilaian
Putih bersih
Kecoklatan
Coklat
Sangat Coklat
Kuning cerah
Kuning agak kemerahan
Kuning kemerahan
Sangat kemerahan
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
10
1
8
1
-
Bacem
5
5
8
2
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Tabel diatas menunjukkan bahwa warna putih telur antara telur rawon dan
telur bacem memiliki perbandingan 0:5, yang menunjukkan warna putih bersih.
Hal itu dikarenakan dengan penambahan bumbu bacem pada telur bacem mampu
merubah warna telur menjadi agak kecoklatan yang disebabkan oleh adanya
kluwak dalam bumbu bacem. Sedangkan pada warna kuning telur antara telur
rawon dan telur bacem memiliki perbandingan 8:2 (kuning agak kemerahan), hal
itu di sebabkan karena warna yang di timbulkan oleh telur bacem lebih berwarna
gelap (adanya kluwak dalam bumbu bacem), sehingga panelis kurang
menyukainya. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh dari komposisi adonan
yang berbeda. Sesuai yang dikatakan oleh Soekarto (1990) bahwa warna
21
menunjukkan kualitas suatu makanan. Dilihat dari penilaian panelis, panelis
menilai bahwa telur rawon kualitasnya lebih baik daripada telur bacem apabila
ditinjau dari segi warna yang di timbulkan.
Kecerahan pada kuning telur merupakan indikator yang digunakan untuk
menentukan kualitas telur. Penilaian warna kuning telur dapat dilakukan secara
visual dengan membandingkan warna kuning telur dengan alat yolk color fan
yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai
warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan
vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan
terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning telur.
Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin berwarna
jingga kemerahan (Sirait, 1986).
4.2 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Aroma
Uji organoleptik terhadap aroma bertujuan untuk mengetahui tingkat
respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon
dan telur rasa bacem. Hasil uji organoleptik terhadap aroma telur rasa rawon dan
telur rasa bacem yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma
Aspek penilaian
Aroma
Indikator penilaian
Aroma tidak tercium
Aroma kurang tercium
Aroma cukup tercium
Aroma sangat tercium
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
10
-
Bacem
10
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut Kartika (1988), Pengujian terhadap aroma di industri pangan
merupakan hal yang dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya produk tersebut
oleh konsumen. Selain itu juga aroma dipakai sebagai indikator terjadinya
kerusakan produk. Dari hasil penelitian yang didapatkan adalah aroma dari
22
perlakuan yang dilakukan pada telur itik tidak tercium bau rawon maupun
bacemnya, berarti produk telah mengalami kerusakan, yaitu tercium bau busuk
pada telur, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kartika pada uraian di atas.
Kerusakan produk bisa disebabkan oleh salahnya cara penggabungan antara
adonan, telur dan keadaan bumbu yang dicampurkan (sudah masak atau masih
mentah) yang digunakan.
Selain karena salahnya cara penggabungan antara adonan dengan bumbu.
Aroma bau khas kedua sampel yang diharapkan mampu tercium, ternyata tidak
dihasilkan. Hal tersebut juga dapatm dikarenakan, salah dalam perlakuannya,
perbandingan antara bumbu dan adonan tidak sesuai yang dengan literatur, dalam
literatur (Indriani, 2008) disebutkan perbandingan antara adonan dengan bumbu
1:4, namun peneliti hanya menggunakan perbandingan 3:2. Sehingga, bau yang
dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (bau rawon dan bacem tidak
tercium).
4.3 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Tekstur
Tekstur produk pangan merupakan salah satu komponen penting yang perlu
dinilai dalam uji organoleptik telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Uji
organoleptik terhadap tekstur bertujuan untuk mengetahui tingkat respon dari
panelis mengenai kesukaannya terhadap telur rasa rawon dan telur rasa bacem.
Hasil pengujian organoleptik terhadap tekstur telur asin rasa rawon dan telur
manis rasa bacem dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur
Aspek penilaian
Indikator penilaian
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
Tekstur
Putih
telur
Tidak kenyal dan padat
Kurang kenyal dan padat
Cukup kenyal dan padat
23
1
6
Bacem
8
2
Sangat kenyal dan padat
Tidak masir (seperti pasir)
Kurang masir (seperti
Kuning
telur
pasir)
Cukup
masir
(seperti
pasir)
Sangat
masir
(seperti
pasir)
3
8
6
2
4
-
-
-
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut Faiz (2011), tekstur telur asin sangat erat kaitannya dengan kadar
air, semakin tinggi kadar air telur asin maka tekstur telur asin tersebut lembek
begitupun sebaliknya. Berkurangnya kadar air menyebabkan tekstur telur
semakin keras. Adanya air dalam bahan makanan menyebabkan bahan tersebut
mudah rusak dikarenakan air adalah media yang baik bagi perkembangbiakan
mikroorganisme. Tekstur putih telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kadar protein, suhu pemanasan, kekuatan ion dan adanya interaksi dengan
komponen lain. Penambahan garam pada suspensi protein menimbulkan
penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada kuning telur
dan putih telur.
Tekstur adalah salah satu sifat bahan atau produk yang dapat dirasakan
melalui
sentuhan
kulit
ataupun
pencicipan. Kemasiran kuning telur
dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam kuning telur. Suatu emulsi dapat
dipecahkan dengan pemanasan dan penambahan NaCl yaitu dengan merusak
keseimbangan fase polar (protein) dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono,
1992). Tekstur masir yang ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat
dengan granula yang terdapat di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Stadelman dan Cotteril (1973), menyatakan, bahwa selama pengasinan
terjadi perpindahan air dari kuning telur menuju putih telur, dehidrasi selama
pengasinan ini akan meningkatkan keluarnya minyak. Sarwono (1994)
menyatakan, besarnya minyak yang keluar seiring dengan pembentukan butiranbutiran berpasir pada kuning telur.
24
Menurut Kartika (1988), tekstur kuning telur pada telur rasa bacem tidak
terjadi kemasiran, dan sedikit berair/lembek. Hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya reaksi antara gula dengan kuning telur manis. Gula (sukrosa) mempunyai
kemampuan untuk menurunkan aktifitas air dan mengikat air. Gula yang
ditambahkan pada bahan pangan dengan konsentrasi yang sangat tinggi (< 40%)
akan mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut
menjadi tidak tersedia bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses
pemadatan tidak maksimal.
Tabel di atas menjelaskan bahwa perbandingan tekstur pada putih telur,
telur rawon dan telur bacem
adalah 6:2, hal itu disebabkan karena adanya
pengaruh garam pada telur rawon dan gula pada telur bacem. Menurut Faiz
(2011), penambahan garam pada telur rawon membuat suspensi protein
menimbulkan penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada
pada kuning telur dan putih telur sehingga terjadi pemadatan pada putih telur.
Sedangkan, pada telur bacem adanya penambahan gula akan mengakibatkan
jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut menjadi tidak tersedia
bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses pemadatan tidak maksimal,
karena gula (sukrosa) mempunyai kemampuan untuk menurunkan aktifitas air
dan mengikat air, menurut Kartika (1998). Seharusnya, prinsip tersebut juga
berlaku pada kuning telur yang memiliki perbandingan telur rawon dan telur
bacem, yaitu 2:4. Namun, data yang didapatkan berkata bahwa, telur bacem
lebih masir daripada telur rawon, hal itu dapat terjadi mungkin dikarenakan
kurangnya pemberian garam pada telur rawon, bisa juga kesalahan panelis dalam
memberikan nilai. Karena minimnya pengetahuan panelis mengenai kemasiran
telur itu seperti apa.
4.4 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu
Bacem terhadap Rasa
Uji organoleptik terhadap rasa bertujuan untuk mengetahui tingkat respon
dari panelis mengenai kesukaannya terhadap telur rasa rawon dan telur rasa
25
bacem yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan. Hasil uji organoleptik
terhadap rasa telur rasa rawon dan telur rasa bacem yang dihasilkan pada tabel 6
sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa
Aspek penilaian
Rasa
Indikator penilaian
Tidak terasa
Kurang terasa
Cukup terasa
Sangat terasa
Jawaban dalam skala
Telur
Telur
Rawon
Bacem
(Asin)
(Manis)
10
-
10
-
Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut deMan (1997), rasa umum disepakati bahwa hanya ada empat rasa
dasar yaitu manis, pahit, masam dan asin. Kepekaan terhadap rasa terdapat pada
kuncup rasa pada lidah. Hubungan antara struktur kimia suatu senyawa lebih
mudah ditentukan dengan rasanya.
Tabel di atas menyatakan bahwa telur rasa rawon maupun telur rasa bacem,
pada penelitian ini rasanya tidak muncul pada telur dan semua panelis
mengatakan “tidak terasa baik rawon mapun bacem”. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya pemberian bumbu pada setiap perlakuan/salahnya perbandingan
antara bumbu dan adonan. Seharusnya, memakai perbandingan antara adonan
dengan bumbu ialah 1:4, sementara peneliti memakai perbandingan antara
adonan dengan bumbu 3:1. Makanya hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari mini riset berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan
Penambahan Bumbu Rawon dan Telur dengan Penambahan Bumbu Bacem”,
antara lain:
1.
Dari kedua sampel, telur rawon dan telur bacem yang paling disukai oleh
panelis adalah telur asin rasa rawon.
5.2 Saran
27
Hasil dari penelitian ini adalah warna, aroma, tekstur, dan rasa pada telur
rasa rawon maupun telur rasa bacem. Masih kurang yaitu, tidak didapatkan
warna yang standart pada telur rasa pada dasarnya. Aroma yang didapatkan pada
penelitian ini bukannya aroma rawon/bacem, tapi aroma busuk .Tekstur yang di
dapatkan hampr mendekati standart telur yang telah diawetkan pada dasarnya.
Sementara, untuk rasa juga tidak muncul rasa rawon/bacem pada telur. Hal itu
disebabkan karena kurang tepatnya dalam menghitung perbandingan antara
bumbu, adonan dan telur yang digunakan, serta metode yang digunakan untuk
membuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarsari, Bonita. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Chang, C. M, W. D. Powrie and Fennema. 1977. Microstructrure of Egg Yolk. J.
Food Sci. 42 : 1193-1200.
deMan, M.J. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah K. Padmawinata. Bandung : ITB
Press.
Departemen Agama RI. 2005. Al – Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Syaamil
Cipta Medika.
28
Dharmayudha AAGO dan Agustina KK. 2013. Kandungan Antioksidan, Gizi dan
Kualitas Telur Asin dengan Media Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L.). Laporan Penelitian Dosen Muda. LPPM Universitas
Udayana.Faiz, Hassan. 2010. Pengaruh penambahan sari temulawak
(Curcuma xanthorrhiza) terhadap total fenol, kadar garam, kadar lemak dan
tekstur telur asin. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(3):38 – 44.
Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.
Gumay, T. R. 2009. Kandungan Beta Karoten dan Nilai Gizi Telur Asin dari itik
yang Mendapatkan Limbah Udang. Program studi Teknologi Hasil Ternak.
Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hardjosworo, P. S. 1995. Peluang Pemanfaatan Potensi Genetik dan Prospek.
Harimurti. 1992. Pengolahan Telur, PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada
Hintono, A. 1984. Prinsip Pengawetan Telur. Buletin Poultry Indonesia. No 2:15-16.
Husein, Thoha. 2002. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: CV Darus Sunah
Pengembangan Unggas Lokal. Prosiding Seminar Nasional dan Teknologi
Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Indriani, W. 2008. Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Telur Asin melalui
Penggaraman dengan Tekanan dan Konsentrasi Garam yang Berbeda.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Departemen Ilmu Produksi Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kartika, B. Hastuti, Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
Yogyakarta : UGM.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pomeranz, Y. 1985. Functional Propoteis of Food Components. London: Academic
Press, Inc.
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1949. The Avian Eggs. John Willey and Sons,
Inc, New York.
29
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and Sons,
Inc., New York.
Samosir, D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Jakarta: PT Gramedia.
Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta: Penebar Swadaya
Setioko, A. R., Syamsudin, M. Rangkuti, H. Budiman dan A. Gunawan. 1994.
Budidaya Ternak Itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi
Penelitian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahanya. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Petenakan.
Soekarto, 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor :
IPB Press.
Stadelman, R. G and O. J. Catterill. 1995. Egg Science and Technology. 4 th. ed. Food
Product Press. New York.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. The AVI
Publishing, Inc. Westport. Connecticut.
Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sudaryani, T. 1996. Telur dan Hasil Olahannya. Jakarta: Penerbit Swadaya
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. Bogor: M-Brio Press.
Winton, A. L and K. B. Winton. 1949. Structure and Compositionof Foods. John
Wiley and Sons, Inc., New York.
Wulandari, Z. 2002. Sifat Organoleptik, Sifat Fisikikimia dan Total Mikroba Telur
Itik Asin Hasil Penggaraman dengan Tekanan. Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
30