pengertian piutang dan hutang PIUTANG (1)

pengertian piutang dan hutang
PIUTANG
Piutang : klaim dalam bentuk uang terhadap perusahaan atau perseroan.

ATAU

klaim terhadap pihak lain, agar pihak tersebut membayar sejumlah uang / jasa dalam
jangka waktu yang telah ditentukan.
Kelompok Piutang :
a.

Piutang Dagang ( Accounts Receivable )
piutang yang berasal dari penjualan barang atau jasa
dikelompokkan sebagai unsur Aktiva Lancar dalam Neraca

b.

Wesel Tagih ( Notes Receivable )
Pemberian kredit kepada pelanggan --> didukung oleh suatu dokumen kredit --> yang
resmi


Wesel atau Promes (Promissory Note)

Wesel --> janji tertulis untuk melunasi jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu .
c. Piutang Lain-lain.
Pinjaman kepada karyawan, perusahaan afiliasi, piutang bunga, piutang pajak, dll
Pengendalian Intern atas Piutang :


Memisahkan fungsi pegawai atau bagian yang menangani transaksi penjualan (operasi) dari “
Fungsi Akuntansi Untuk Piutang “



Pegawai yang menangani akuntansi piutang, harus dipisahkan dari fungsi penerimaan hasil
tagihan piutang



Semua transaksi pemberian kredit, pemberian potongan dan penghapusan piutang, harus
mendapatkan persetujuan dari pejabat yang berwenang.




Piutang harus dicatat dalam buku-buku tambahan piutang (Accounts Receivable Subsidiary
Ledger)



Perusahaan harus membuat daftar piutang berdasarkan umurnya (Aging Schedule).

Penilaian dan Pelaporan
Tujuan Pelaporan : Piutang dinilai sebesar jumlah yang diharapkan dapat diterima.
Piutang-piutang yang diperkirakan tidak dapat ditagih, dicatat sebagai beban atau biaya.
PIUTANG DAGANG :
Piutang Dagang

xxx

Penyisihan piutang tak tertagih


(xxx)

Piutang Dagang Neto

xxx

Metode Pencatatan :
1. Metode Penyisihan / Metode Penghapusan Tidak Langsung (Allowance Method)
Perusahaan menentukan jumlah piutang tak tertagih berdasarkan taksiran atau estimasi.
Metode :
a)

-->

Berdasarkan Persentase Penjualan .
menghitung beban piutang tak tertagih, berdasarkan % dari penjualan

kredit

bersih

b)

-- >

Berdasarkan Analisis Umur Piutang (Aging Schedule)
masing-masing piutang dagang dianalisis dan dikelompokkan menurut

lamanya

piutang tersebut beredar
Semakin lama suatu piutang dagang masih beredar, maka semakin kecil

kemungkinannya

akan tertagih.
2. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-Off Method)
-->

Pencatatan piutang tak tertagih hanya akan dilakukan apabila piutang dagang dari debitur


sudah dapat dipastikan tidak akan tertagih lagi
Mendebet akunt

--> Beban Piutang Tak Tertagih

Mengkredit akunt --> Piutang Dagang
Metode ini digunakan apabila :
a.

Perusahaan kesulitan dalam menaksir jumlah piutang tak tertagih secara wajar

b. Sebagian besar penjualan dilakukan dengan tunai
c.

Jumlah piutang merupakan bagian yang relatif kecil dalam Aktiva Lancar

d. Jumlah pelanggan sedikit, dan berdasarkan pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya, tidak ada
piutang yang tak tertagih.
PIUTANG WESEL
Piutang wesel atau wesel tagih : tagihan atau piutang yang dinyatakan secara tertulis dalam

bentuk surat perintah membayar (wesel) atau surat kesanggupan membayar (promes).
Wesel (Draft atau Bill of Exchange) : Surat perintah tidak bersyarat yang dibuat oleh kreditur
untuk membayar sejumlah uang tertentu, pada tanggal tertentu di masa yang akan datang kepada
pihak pembuat wesel / endosi wesel.
Promes (Negotiable Promisory Notes) : Surat janji untuk membayar kepada kreditur yang
disebutkan namanya dalam promes atau endosi promes sejumlah uang tertentu pada tanggal yang
telah ditentukan.
Wesel yang memiliki kekuatan hokum yang sah, apabila :
-

ditandatangani dan dibubuhkan stempel resmi perusahaan debitur.
Terjadinya piutang wesel :
berasal dari penjualan
berasal dari penggantian piutang dagang menjadi piutang wesel
berasal dari pemijaman kas oleh debitu
Jenis wesel tagih :

1. Berdasarkan masa jatuh temponya :



Wesel Tagih Jangka Pendek



Wesel Tagih Jangka Panjang

2. Berdasarkan ada tidaknya pembebanan bunga



Wesel Tagih tanpa bunga



Wesel Tagih Berbunga

3. Berdasarkan bisa atau tidaknya didiskontokan


Wesel Tagih yang tidak dapat didiskontokan




Wesel Tagih yang dapat didiskontokan

HUTANG LANCAR
Hutang : Jml uang yang dinyatakan ataskewajiban-kewajiban perusahaan untuk menyerahkan
barang atau jasa kepada pihak lain di masa yang akan datang.
Hutang : a. Lancar
b.Japan
c.Bersyarat
I. HUTANG LANCAR (HL)
Kewajiban-kewajiban yang akan diselesaikan pembayarannya dengan menggunakan sumbersumber ekonomi yang diklarifikasikan sebagai antara lain :
HL --> Hutang yang jumlahnya dapat ditentukan secara pasti
jumlah dan tanggal jatuh temponya pasti
Co : Hutang Dagang, Hutang Wesel, Hutang Deviden, Hutang Biaya
-->Hutang yang jumlahnya ditaksir
Jumlahnya secara pasti tidak dapat ditentukan
Co : Hutang Garansi, Hutang Hadiah
-->Hutang Bersyarat

Kewajiban-kewajiban yang kepastian akan jumlah dan tanggal jatuh temponya , kepada siapa
kewajiban tersebut harus dibayar masih tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya satu atau
lebih peristiwa-peristiwa dimasa yang akan datang --> ada unsur ketidak pastian dalam neraca
ditulis dalam bentuk catatan atau footnote.


Hutang yang jumlahnya dapat ditentukan secara pasti
1. Hutang Dagang
Berasal dari transaksi pembelian barabg dagangan, bahan baku dan penolong dll
yang diperlukan di dalam kegiatan normal perusahaan biasanya
dinyatakan dengan syarat pembayaran co : 2/n, n/30
2. Hutang Wesel
didukung dengan surat pengakuan hutang atau surat pernyatan kesediaan untuk
membayar.
a. Wesel Dagang

3.
4.
5.
6.

7.


-

Jml yang dijanjikan secara tertulis akan dibayar kpd pemasok brg dan jasa
b. Wesel Pinjaman
Utang Wesel kpd bank atau lemb.keuangan lainnya yang timbul krn adanya
transaksi peminjaman uang
Hutang Japan yang akan jatuh tempo --> JT < 1 tahun.
Hutang Deviden
Jml uang yang hrs dibayar oleh perusahaan kpd para pemegang sahamnya.
Pungutan utk pihak ke-3
a. Hutang Pajak penghasilan karyawan --> gaji dan upah
b. Hutang Pajak pertambahan nilai
Hutang Biaya
Ada biaya-biaya yang telah terjadi tetapi oeh perusahaan belum dibayar.
Hutang Bonus (kpd karyawan)

Hutang yang Jumlahnya ditaksir

1. Hutang Garansi
Suatu Jaminan utk memperbaiki/melengkapi kekurangan-kekurangan akan
kuantitas, kualitas produksi yang dijual di dlm menjlnkan fungsinya.
Bentuk :
a. Perawatan Gratis
b. Penggantian Komponen atau bagian tertentu dari unit barang yang rusak
c. Pengembalian uang atas hrg yang dibayar.
Metode :
Metode Dasar Tunai (Cash Basis)
By. Garansi dibebankan pd saat dikeluarkan
Metode Dasar Akrual (Accrual Basis)
a. Pendekatan by. Garansi (Accrual Method)
Diperhitungkan sbg ongkos dlm periode thn buku penjualan terjadi.
b. Pendekatan penjualan garansi (Defernal Method)
Ada % tertentu dari harga jual yang ditangguhkan pengakuannya sebagai penghasilan
sampai dengan saat terjadinya pengeluaran utk garansi atau berakhirnya masa garansi.
HUTANG JAPAN
Meliputi semua hutang atau kewajiban keuangan yang jatuh temponya lebih dari satu periode
akutansi terhitung sejak tanggal laporan keuangan (neraca)
Macam-macam hutang Japan :
1. Hutang Obligasi
2. Hutang Wesel Japan
3. Hutang Hipotek (Hutang Gadai)
4. Hutang Pensiun
5. Hutang Sewa guna Usaha
Hutang Obligasi

Srt Obligasi --> Kontrak

-->Janji membayar sejml uang pd tgll JT yg tlh ditetapkan.
-->bunga periodik dengn tgt ttt dari nominal

Diskonto
(Disagio)

--> Obligasi dijual di bawah nilai nominal tgt bunga efektif lebih > dari
bunga nominal.

Premium
(Agio)

--> Obligasi dijual di bawah nilai nominal tgt bunga efektif lebih < dari
bunga nominal.

Tingkat Bunga Efektif (Tgt Bunga Pasar)
Tgt bunga sesungguhnya yg diperoleh para pemegang obligasi
Tingkat bunga Nominal
Tgt bunga yg tercantum dlm sertifikat Obligasi
AKUTANSI UTK PENGELUARAN OBLIGASI
1. Obligasi dikeluarkan pd tgl pembayaran sebesar nilai nominal
2. Obligasi dikeluarkan pd tgl pembayaran bunga denga premium atau diskonto
3. Penjualan diantara tgl Pembyran bunga.







Term Bond
Serial Bond
Debeture Bond
Collateral Bond
Convertible Bond
Caollable Bond

: Obligasi Biasa
: Obligasi berseri
: Obligasi yang tidak dijamin
: Obligasi yang dijamin dengan saham
: Obligasi yang dapat ditukar dengan sekuritas
: Obligasi yg dilunas sebelum JT.

http://dyarblabla.blogspot.com/2010/12/pengertian-piutang-dan-hutang.html

PIUTANG, AKTIVA TETAP BERWUJUD, UTANG JANGKA PENDEK,
UTANG JANGKA PANJANG, DAN EKUITAS
Sembari minum kopi di pagi hari, R. Sumodiningrat terlihat sedang serius
melihat laporan keuangan PT. Indofood Sukses Makmur,Tbk. pada koran harian
nasional yang sedang dipegangnya. Ya, sebagai salah satu pemegang saham
perusahaan tersebut, R. Sumodiningrat perlu dan berhak untuk mengetahui kondisi
perusahaannya. Kondisi perusahaan, khususnya kondisi keuangan perusahaan
tercermin dalam sebuah laporan keuangan. Melalui laporan keuangan, pemilik
saham dapat mengetahui dan memantau kondisi keuangan perusahaan paling tidak
setiap tahunnya. Kini, R. Sumodiningrat sedang membaca bagian neraca. Di dalam
neraca beliau dapat melihat pos-pos penting, beberapa diantaranya adalah Piutang,
Aset Tetap Berwujud, Utang, Utang Jangka Panjang, dan pos-pos pada Ekuitas.
I. PIUTANG
Piutang termasuk salah satu pos dalam Aset. Piutang adalah hak yang berhak
untuk ditagih oleh pihak satu ke pihak lainnya karena terjadinya suatu transaksi,
biasanya karena transaksi penjualan secara kredit. Dalam pengertian akuntansi
secara konvensional, terdapat beberapa macam piutang, yaitu piutang dagang,
piutang wesel, piutang gaji,dll. Piutang ini dapat termasuk dalam Aset Lancar jika
diperkirakan dapat ditagih dalam waktu kurang dari satu tahun. Piutang yang
termasuk dalam Aset Lancar adalah piutang dagang, piutang wesel dan piutang
lain-lain (yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun). Sedangkan untuk
piutang yang jatuh tempo pada lebih dari satu tahun digolongkan dalam Aset Tidak
Lancar.
Bagi Entitas Syariah, dimana Entitas menggunakan prinsip-prinsip Akuntansi
Syariah yang telah diatur dalam PSAK no. 59, 101-106, piutang digolongkan pula
berdasarkan asal terjadinya. Diantara jenis-jenis piutang tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Piutang Murabahah, piutang murabahah timbul akibat adanya murabahah, yaitu
akad jual beli barang dengan margin keuntungan yang telah disepakati oleh
pihak penjual dengan pembeli dan pihak penjual memberitahukan harga

perolehan barang. Pembayaran murabahah bisa dilakukan secara tangguh, oleh
karena itu muncul lah piutang murabahah.
Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan,
artinya sebesar piutang yang diperkirakan akan dapat ditagih.
2) Piutang Salam, piutang salam timbul akibat adanya salam, yaitu akad jual beli
barang pesanan dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual dan
pelunasannya dilakukan oleh pemebeli pada saat akad disepakati (PSAK
No.103). Karena pembayaran dilakukan saat akad disepakati, berarti saat itu
pembeli melunasi sejumlah uang kepada penjual untuk digunakan sebagai
modal usaha. Di sini, yang bertindak sebagai pemegang hak piutang adalah si
pembeli. Sedangkan penjual memiliki kewajiban untuk melunasi pesanan si
pembeli. Kewajiban yang timbul ini diakui saat penjual telah menerima modal
usaha dari pembeli dengan besar yang sesuai dengan jumlah modal usaha yang
diberikan.
3) Piutang Istishna’, piutang istishna’ timbul akibat adanya istishna’, yaitu akad jual
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu (dengan spesifkasi
tertentu) yang disepakati oleh pemesan dengan penjual/pembuat. Pembayaran
barang pesanan dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh. Pembayaran
secara tangguh inilah yang mengakibatkan timbulnya piutang istishna’.
4) Piutang pendapatan Ijarah, untuk lebih mudahnya adalah piutang yang timbul
akibat aktivitas sewa. Ijarah adalah perpindahan kepemilikan jasa dengan
imbalan yang sudah disepakati menurut para fuqaha. Ijarah mempunyai 3 unsur,
yaitu adanya pemilik aset yang disewakan dan si penyewa, objek yang
disewakan, dan bentuk penawaran atau persetujuan itu sendiri.
5) Selain keempat piutang di atas, dalam entitas syariah mungkin juga terjadi
Piutang Jatuh Tempo. Piutang ini terjadi jika kerjasama (misalnya mudharabah)
berakhir

sebelum

jatuh

tempo

perjanjian

karena

alasan

tertentu,

dan

pembiayaan muradharabah belum dikembalikan oleh pengelola kepada pemilik
dana. Maka dari sisi pemilik dana, sejumlah dana tersebut dicatat sebagai
piutang jatuh tempo.

Piutang tersebut mungkin terjadi di periode yang berbeda dengan periode
pelaporan keuangan (mungkin terjadi tahun lalu dan si pembeli berjajni untuk
melunasi utangnya tahun ini). Tidak ada kepastian bahwa si pembeli akan melunasi
seratus persen utang-utangnya di tahun ini atas utangnya yang terjadi di tahun lalu.
Lalu bagaimana perusahaan mengakui piutang yang merupakan haknya?
Untuk itu, perusahaan biasanya membuat estimasi mengenai jumlah piutang
yang kira-kira dapat ditagih. Sebenarnya ada dua metode dalam menghadapi
masalah ini:
1. Dengan Metode Penghapusan Langsung, dalam metode ini, perusahaan tidak
perlu membuat estimasi apapun. Piutang akan dikredit ketika piutang tersebut
benar-benar tidak dilunasi. Dan pada sisi debit dicatat sebagai Kerugian Piutang
dan akan dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi.
Menurut penulis pribadi, metode ini kurang bagus. Apabila piutang tidak
berhasil ditagih, maka pada sisi debit aan mencatat Kerugian Piutang yang disubmit pada Laporan Laba Rugi. Sepengetahuan saya, Laporan Laba Rugi
digunakan untuk melaporkan aktivitas operasi-non operasi selama satu tahun atau
satu periode akuntansi. Padahal, selalu ada kemungkinan bahwa piutang yang
dihapus tadi adalah pitang yang bukan berasal dari aktivitas perusahaan pada
periode yang bersangkutan, misalnya berasal dari piutang tahun lalu. Oleh karena
itu, metode ini tidak memenuhi Matcing Principle. Selain itu, karena tidak ada
kepastian berapa jumlah piutang yang mungkin dapat ditagih, pengguna laporan
keuangan mungkin akan berekspetasi terlalu tinggi terhadap jumlah piutang yang
mungkin dapat ditagih.
2. Metode kedua adalah metode yang disarankan untuk digunakan, yaitu Metode
Cadangan. Dalam metode ini, perusahaan melakukan estimasi mengenai berapa
piutang yang tidak dapat ditagih dalam periode ini. Jumlah estimasi bergantung
pada kebijaksanaan perusahaan masing-masing. Bisa berdasarkan persentase
penjualan, persentase piutang, dll. Ketika jumlah piutang yang diperkirakan tidak
akan tertagih sudah ditentukan, perusahaan membuat sebuah rekening Cadangan
Kerugian Piutang.

Kerugian Piutang àdicatat dalam Laporan Laba Rugi

xxx

Cadangan Kerugian Piutang àdilaporkan dalam Neraca sebagai

xx

pengurang rekening Piutang (contra-account)

x

Jika ada sejumlah piutang yang tidak dilunasi, maka sejumlah itu akan didebit
pada rekening Cadangan Kerugian Piutang dan dikredit pada rekening Piutang.
Dengan metode ini, jumlah piutang yang dapat ditagih dapat diperkirakan dan
diketahui oleh pengguna laporan keuangan, sehingga dapat lebih membantu
mereka dalam mengambil keputusan. Maka dari itu, perusahaan-perusahaan tidak
disarankan untuk menggunakan metode penghapusan langsung. Perusahaan
menggunakan metode cadangan untuk mengakui jumlah piutang yang tidak
berhasil ditagih.
Dalam hukum Islam itu sendiri, masalah yang timbul mungkin adalah
berkaitan dengan proses transaksi, apakah sudah sesuai dengan prinsip syariah itu
sendiri. Terdapat lima prinsip transaksi syariah:
1. Persaudaraan (ukhuwah)
2. Keadilan (‘adalah)
3. Kemaslahatan (maslahah)
4. Keseimbangan (tawazun)
5. Universalisme (syamuliyah)
Dalam melakukan transaksi, mungkin penjual tidak menyebutkan harga
pokok barang, cacat barang, dan tindakan lainnya yang dianggap lazim di
masyarakat tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan kelima prinsip di atas demi
mendapatkan keuntungan yang sebesar mungkin.
Untuk pencatatan piutang, secara akuntansi syariah tetap sama untuk kasus
yang

mirip

dengan

akuntansi

konvensional.

Maksud

saya,

untuk

piutang

murabahah, misalnya, besarnya piutang yang diakui adalah sebesar nilai realisasi
bersihnya yaitu saldo piutang dikurangi dengan cadangan kerugian piutang. Untuk
piutang salam, piutang dianggap lunas ketika si penjual telah memenuhi
kewajibannya dengan menyerahkan barang pesanan kepada pembeli. Piutang yang
tadinya diakui oleh pembeli adalah sebesar modal usaha yang telah ia setorkan
kepada penjual.
II. UTANG
Utang adalah suatu kewajiban yang harus dilunasi sesuai kesepakatan
dengan pihak kreditur. Utang ini sama halnya seperti piutang, yaitu dapat
diklasifkasikan ke dalam Utang Jangka Pendek dan Utang Jangka Panjang.
Utang jangka pendek adalah utang yang diperkirakan akan dilunasi dalam
waktu kurang dari satu tahun. Dalam akuntansi konvensional, utang dikelompokkan
berdasarkan jenis kepentingannya. Yang termasuk dalam utang jangka pendek
diantaranya adalah utang dagang, utang gaji, pendapatan diterima dimuka, utang
wesel (yang jatuh temponya kurang dari satu tahun), utang pajak, dan bagian dari
utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun.
Dalam akuntansi syariah, selain utang-utan yang lazim kita jumpai pada
entitas non syariah (seperti utang gaji, utang pajak, utang wesel, dll), utang juga
diklasifkasikan berdasarkan jenis transaksi yang terjadi, yaitu utang salam dan
utang istishna’.
Utang salam adalah utang yang timbul akibat transaksi salam, seperti yang
telah dijelaskan pada topik piutang sebelumya), dan utang istishna’ adalah utang
yang timbul akibat transaksi istishna’. Untuk memperjelas bentuk neraca entitas
syariah, penulis telah menyajikan contoh neraca dari entitas syariah untuk
kemudian dapat dibandingkan dengan neraca entitas non syariah pada bagian
lampiran.
Masalah yang muncul berkaitan dengan utang adalah dalam penerapannya,
entitas harus memperhatikan proporsi utang dalam neraca. Dalam ekonomi
konvensional dikenal istilah bunga utang. Jangan sampai perusahaan tidak mampu

bahkan hanya untuk membayari bunga utangnya. Apabila sebuah entitas tidak
mampu memenuhi kewajibannya kepada minimal dua kreditur, entitas dapat
dimintakan pernyataan pailitnya ke Pengadilan Niaga. Oleh karena itu, dalam
ekonomi

konvensional

perusahaan

harus

memperhitungkan

proporsi

untuk

pendanaannya.
Dalam ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) tidak dikenal istilah bunga. Sebab
bunga utang sama dengan riba yang haram hukumnya. Istilah bunga muncul
sebagai dalih dari time value of money yang dalam Islam kita pun tidak mengenal
istilah tersebut. Oleh karena itu, apabila entitas melakukan bisnis (misalnya jual beli
dengan ditangguhkan), keuntungan yang diperoleh
adalah murni dari hasil usaha tersebut, yaitu selisih dari harga jual dengan harga
perolehan, dan keuntungan itu pun telah disepakati oleh pihak penjual dan pembeli.
Secara lebih sederhana, jika kita meminjam sejumlah dana misalnya
Rp1.000.000,00 dari orang lain, tidak dibenarkan bahwa kita berjanji, diminta atau
apapun untuk mengembalikan sebesar Rp1.200.000,00 tahun depan. Kita hanya
harus mengembalikan sejumlah dana yang sama seperti yang kita pinjam, yaitu
satu juta rupiah. Hanya saja, sebaiknya kita memberikan hadiah kepada orang
tersebut (apabila dari hasil pinjaman tersebut ternyata mendatangkan keuntungan
bagi usaha kita), sebagai tanda terimakasih sebab dia sudah berbaik hati mau
merelakan uangnya (yang mungkin bisa dia gunakan untuk keperluan lain) untuk
dipinjamkan kepada kita.
Sejauh prinsip ini kita pegang, tidak ada masalah seberapa besar proporsi
pendanaan yang kita pakai, yang pasti adalah kita mempunyai cukup dana untuk
melunasi utang kita. Entitas tidak perlu memikirkan bahwa ia akan rugi sebabkan
oleh bunga hutang yang tinggi. Sebab dalam akuntansi syariah, prinsip yang
dipakai adalah bagi hasil.
III. ASET TETAP BERWUJUD
Menurut Al. Haryono Jusup, aset tetap berujud adalah aset yang digunakan
untuk aktivitas operasi perusahaan, tetapi tidak dimaksudkan untuk diperjual-

belikan layaknya dalam kegiatan normal perusahaan. Aset ini diharapkan dapat
digunakan dan memberikan manfaat dalam waktu yang lama. Hanya saja, manfaat
yang diberikan oleh aset ini diperkirakan akan terus turun semakin lama digunakan,
untuk itu perusahaan melakukan depresiasi terhadap aktiva tetap (kecuali tanah).
Pengertian aset tetap berujud antara konvensional dengan syariah adalah sama.
Bahwa aset tetap dicatat sebesar harga perolehannya. Harga perolehan di sini
adalh

harga yang

dikeluarkan

entitas untuk

membuat aset

tersebut siap

dimanfaatkan. Misanya tanah, untuk dapat digunakan, tanah perlu sertifkat. Biaya
pembuatan sertifkat tersebut ikut dibebankan ke dalam harga perolehan aset tetap
tanah.
Selain terdapat kesamaan dalam hal pengakuan harga perolehan pada aset
tetap menurut pengertian syariah juga dilakukan depresiasi terhadap aset tetap
tersebut. Penghitungan
depresiasi atau penyusutan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya
adalah metoda garis lurus, metoda saldo menurun, metoda jumlah angka-angka
tahun, dan metoda satuan hasil. Manakah dari keempat metoda ini yang paling baik
untuk digunakan?
Hal ini tergantung pada jenis aset tetapnya. Misalnya, untuk metoda satuan
hasil, metoda ini mungkin bagus diterapkan untuk aset seperti kendaraan angkutan
atau mesin. Tetapi metoda ini kurang cocok untuk digunakan dalam depresiasi
gedung.

Untuk

menyusut

nilai

ekonomis

gedung,

mungkin

lebih

cocok

menggunakan metoda garis lurus. Dari semua metoda, perusahaan mungkin lebih
suka untuk menggunakan metoda garis lurus, sebab metoda ini adalah metoda
yang paling mudah untuk diimplementasikan.
Dalam menjalin suatu kerjasama, baik secara konvensional maupun syariah
diperbolehkan untuk menyetor modal berupa aset tetap. Nilai aset tetap tersebut
dicatat sebesar harga pasarnya, dan apabila terdapat selisih antara nilai pasar
dengan nilai buku, maka selisih tersebut diakui sebagai laba atau rugi pada saat
penyerahan.

IV. UTANG JANGKA PANJANG
Dalam akuntansi konvensional, pengertian utang jangka panjang sama dengan
pengertian utang jangka pendek kecuali pada jatuh temponya. Utang jangka
pendek jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun, sedangkan utang jangka
panjang jatuh tempo dalam waktu lebih dari satu tahun. Hanya saja, dalam contoh
neraca entitas syariah yang ada pada bagian lampiran tidak ada pengklasifkasian
antara utang jangka panjang dan utang jangka pendek. Pengklasifkasian utang
dalam akuntansi syariah (seperti yang sudah dijabarkan di atas) adalah menurut
jenis transaksi yang terjadi seperti utang salam dan utang istishna’.
Salah satu topik yang cukup menarik di sini adalah masalah obligasi. Obligasi
biasanya digolongkan dalam kewajiban atau utang jangka panjang, Karen jangka
waktunya lebih dari satu tahun. Obligasi menurut ekonomi konvensional adalah
surat tanda utang yang diterbitkan oleh suatu entitas dengan tujuan untuk
mendapatkan dana segar. Dalam ekonomi konvensional, pemegang obligasi akan
mendapatkan imbalan berupa bunga tetap setiap tahunnya, atau yang lebih dikenal
dengna nama coupon rate. Coupon rate dalam obligasi tersebut termasuk dalam
riba dan bersifat haram.
Dalam pengertian konvensional, obligasi diartikan sebagai surat tanda utang,
sehingga sebenarnya tidak dibenarkan untuk sengaja mengambil keuntungan
semacam riba dari utang tersebut. Namun dalam pengertian Islam obligasi syariah
atau yang dikenal dengan nama sukuk adalah sebuah instrument untuk investasi,
sehingga pemegang sukuk berhak mendapatkan keuntungan yang tentu saja sesuai
dengan prinsip pembagian keuntungan syariah yaitu dengan cara bagi hasil.
Dalam obligasi konvensional, obligasi dibeli mungkin dibeli di bawah nilai
nominal obligasi Karen pemegang obligasi telah mensyaratkan tingkat keuntungan
tertentu sejak awal. Namun, dalam sukuk, obligasi dijual dengan harga sesuai
dengan nilai nominalnya saat jatuh tempo, dan pemegang obligasi secara jelas
akan mendapatkan keuntungan sesuai yang telah disepakati dengan penerbit
obligasi (dengan prinsip bagi hasil). Inilah yang membedakan obligasi konvensional
dengan sukuk.

V. EKUITAS
Menurut SAK 2007, Ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah
dikurangi dengan kewajiban. Kata hak residual mungkin agak membingungkan,
namun jika dilihat dari persamaan akuntansinya, hal ini akan lebih mudah
dimengerti.
Aset = Kewajiban + Ekuitas
Bahwa ekuitas (yang pada dasarnya merupakan hak pemilik modal) diperoleh
setelah aset perusahaan (harta perusahaan) dikurangi dengan kewajiban-kewajiban
yang harus dilunasi oleh perusahaan.
Sebagai tanbahan, baik menurut ekonomi konvensional maupun syariah
pengertiannya sama. Hanya saja, dalam neraca entitas syariah ada tambahan pos
selain aset, kewajiban, dan ekuitas, yaitu pos Dana Syirkah Temporer. Pos
kewajiban, dana syirkah temporer, dan ekuitas jumlahnya harus sama dengan yang
ada pada aset. Sehingga persamaan akuntansinya mungkin menjadi berbeda
dengan persamaan akuntansi konvensional.
Aset = Kewajiban + Dana Syirkah Temporer + Ekuitas
Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima oleh entitas syariah diman
entitas syariah berhak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut sesuai
dengan kebijakan entitas itu sendiri atau dengan batasan dari pemilik dana.
Berdasarkan pengertian tersebut, dana syirkah temporer ini memang tidak bisa
diklasifkasikan ke dalam kewajiban dan ekuitas.
Dana syirkah temporer tidak bisa diklasifkasikan ke dalam kewajiban sebab
entitas tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana jika dari hasil
pengelolannya

tersebut

ternyata

mendatangkan

kerugian

(kecuali

jika

ada

wanprestasi/lalai atau bahkan unsur kesengajaan) hal ini mungkin didasarkan pada
prinsip keadilan, bahwa entitas sudah menyumbangkan segenap pikiran dan tenaga
untuk mengelola dana, maka jika pada akhirnya kepengelolaan tersebut merugi,
tidak adil jika pengelola lah yang meanggung kerugian tersebut. Dana syirkah

temporer pun tidak bisa digolongkan ke dalam ekuitas sebab dana syirkah temporer
memiliki jatuh tempo, berbeda dengan ekuitas (sebagai simbol kepemilikan entitas)
dimana perusahaan diperkirakan akan terus berdiri (going concern). Contoh dari
dana syirkah temporer adalah penyertaan dana (modal) dalam mudharabah.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengenai pembagian keuntungan.
Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan prinsip bagi hasil. Teknis
pelaksanaan penbagian keuntungan dan kerugian tergantung dari jenis kerjasama
itu sendiri. Contohnya adalah pada mudharabah

Tuan A
dana)

(bertindak

sebagai

pemilik

Tuan B (bertindak sebagai pengelola)

menyetorkan dana Rp50.000.000,00

pada awal perjanjian telah desepakati
nisbah keuntungan 60% : 40%

dari hasil usaha tersebut menghasilkan
laba Rp10.000.000,00

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan
A

=
60%
x
Rp6.000.000,00

Rp10.000.000,00

=

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan
B

=
40%
x
Rp4.000.000,00

Rp10.000.000,00

=

Yang

perlu

diingat

adalah

pembagian

keuntungan

dan

kerugian

tidak

berdasarkan nilai rupiahnya, tetapi berdasarkan persentase. Kasus yang lebih rumit
adalah jika ternyata tuan B juga menyetorkan dana sebesar Rp100.000.000,00. Ini
disebut sebagai Mudharabah Musytarokah.

Tuan A
dana)

(bertindak

sebagai

pemilik

menyetorkan dana Rp50.000.000,00

Tuan B
(bertindak
sebagai
sekaligus pengelola)

menyetorkan Rp100.000.000,00
pemilik

dana

dari hasil usaha tersebut menghasilkan
laba Rp15.000.000,00

Keuntungan yang berasal dari dana
tuan A

=
5/15
x
Rp5.000.000,00

Rp15.000.000,00

=

(keuntungan sebesar 5 juat ini masih
harus dibagi dengan tuan B, sebab tuan B
juga ikut mengelola, misalnya dengan
nisbah 60% : 40% yang sudah disepakati
pada waktu akad).

Keuntungan yang berhak dimiliki tuan
B

=
10/15
x
Rp10.000.000,00

Rp15.000.000,00

=

Laba manakah yang dibagi dalam mudharabah ini? Menurut PSAK No.105,
pembagian keuntungan bisa didasarkan pada bagi hasil atau bagi laba. Dalam bagi
hasil, maka dasar pembagian keuntungan adalah laba kotor (gross proft) dimana
pendapatan (penjualan) dikurang dengan kos barang terjual. Apabila prinsip yang
digunakan adalah bagi laba, maka yang dibagi adalah laba bersihnya, yaitu
penjualan setelah dikurangi dengan beban-beban yang timbul akibat kepengelolaan
dana. Sedangkan rugi akibat pengelolaan dana tersebut dibebeankan kepada
pemilik dana dengan mengurangkan rugi ke dalam dana yang disetor oleh pemilik
dana. Kecuali jika rugi tersebut terjadi akibat kelalaian dari pihak pengelola.
Prinsip ini cukup adil dalam pembagian keuntungan maupun kerugian, dimana
kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Akan tetapi untuk menjalankan
kerjasama ini diperlukan pondasi agama yang kuat. Jika salah satu pihak atau
keduanya sudah mempunyai iktikad tidak baik, prinsip syariah ini akan rusak.
Misanya, pihak pengelola ingin menghianati kesepakatan pembagian laba. Ia bisa

saja melaporkan laba yang lebih kecil dari yang sebenarnya. Maka dari itu,
kejujuran adalah pondasi yang kuat untuk melakukan bisnis.
Dalam perusahaan skala besar sudah dikenal bentuk saham sebagai bentuk
penyertaan modal. Baik konvensional dan syariah sama-sama telah mengenal cara
tersebut. Gambaran mengenai komponen-komponen penyusun ekuitas telah
disediakan di bagian lampiran.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Buku catatan kuliah Agam Islam II
Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007
www.badilag.net
Jusup, Al. Haryono. Dasar-Dasar Akuntansi. 2005. STIE YKPN: Yogyakarta
http://ekawidyaputriarumdini.blogspot.com/2010/05/piutang-aktiva-tetap-berwujudutang.html

Utang Piutang dalam Islam
10.36 Anshari88 No comments

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya utang
piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan.
Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi
kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berutang atau mencari
pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk
ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam
surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian utang piutang?
2. Bagaimana hukum utang piutang?
3. Bagaimana peringatan keras tentang utang?
4. Bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih?
5. Bagaimana adab islami dalam utang piutang?
6. Bagaimana hukum bunga bank?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa pengertian utang piutang
2. Mengetahui bagaimana hukum utang piutang
3. Mengetahui bagaimana peringatan keras tentang utang
4. Mengetahui bagaimana syarat piutang menjadi amal sholih
5. Mengetahui bagaimana adab Islami dalam utang piutang
6.  Mengetahui bagaimana hukum bunga bank
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah AlQardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan
mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka
di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. Hukum Utang Piutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang
memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang
disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
‫ضا ِعفَهُ لَهُ أَضْ َعافًا َكثِي َرةً َو ا‬
‫( َم ْن َذا الا ِذي يُ ْق ِرضُ ا‬
245) َ‫اُ يَ ْقبِضُ َويَ ْب ُسطُ َوإِلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬
َ ُ‫اَ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw
pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa
seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki
tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan
hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan utang.”
Nabi saw juga bersabda:
ً‫ص َدقَتِهَا َم ارة‬
َ ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُم ْسلِ ًما قَرْ ضًا َم ارتَي ِْن إِلا َكانَ َك‬
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini
di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya utang
piutang (peminjaman).
C. Peringatan Keras Tentang Utang:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berutang atau
meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena
Nabi saw pernah berutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya
agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak
dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Rasulullah saw, merupakan
penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan
akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila
berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR.
Bukhari).
Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih
meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah saw
bersabda:
َ‫ب إِلا ال اد ْين‬
ٍ ‫يُ ْغفَ ُر ِلل اش ِهي ِد ُكلُ َذ ْن‬
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim
III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau
bersabda:
»‫ول َوال ادي ِْن‬
َ ‫ار‬
ٍ َ‫ق الرُ و ُح ْال َج َس َد َوهُ َو بَ ِرى ٌء ِم ْن ثَل‬
َ َ‫« َم ْن ف‬
ِ ُ‫ث َدخَ َل ْال َجناةَ ِمنَ ْال ِكب ِْر َو ْال ُغل‬
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya
masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan
utang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan
oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
« ُ‫ضى َع ْنه‬
َ ‫» نَ ْفسُ ْال ُم ْؤ ِم ِن ُم َعلاقَةٌ بِ َد ْينِ ِه َحتاى يُ ْق‬
“Jiwa orang mukmin bergantung pada utangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806
no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
« ‫ْس ثَ ام ِدينَا ٌر َولَ ِدرْ هَ ٌم‬
َ ‫ض َى ِم ْن َح َسنَاتِ ِه لَي‬
ِ ُ‫» َم ْن َماتَ َو َعلَ ْي ِه ِدينَا ٌر أَوْ ِدرْ هَ ٌم ق‬
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham,

maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan
tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh AlAlbani).
‫يل ا‬
‫ُول ا‬
ُ ‫ع َْن أَبِى قَتَا َدةَ أَناهُ َس ِم َعهُ يُ َحد‬
َ‫الي َمان‬
ِ ِ‫ أَناهُ قَا َم فِي ِه ْم فَ َذ َك َر لَهُ ْم » أَ ان ْال ِجهَا َد فِى َسب‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ِ‫ا‬
ِ ‫ِث ع َْن َرس‬
ِ ‫اِ َو‬
ْ
َ
َ
‫اى فَقَا َل لَهُ َرسُو ُل ا‬
‫ت فِى َسبِي ِل ا‬
‫ُول ا‬
‫بِ ا‬
ُ ‫اِ أ َرأيْتَ إِ ْن قُتِل‬
‫صلى ا‬- ِ‫ا‬
َ َ‫اِ تُ َكفا ُر َعنِى خَ طَاي‬
َ ‫ فَقَا َم َر ُج ٌل فَقَا َل يَا َرس‬.« ‫ض ُل الَ ْع َما ِل‬
َ ‫الِ أَ ْف‬
َ
ْ
‫ا‬
‫ا‬
ُ
ْ
ُ
ْ
َ
ْ
ْ
َ
َ
َ‫ت‬
َ‫ت‬
َ
» -‫صلى ا عليه وسلم‬- ِ‫ ث ام قا َل َرسُو ُل ا‬.« ‫صابِ ٌر ُمحْ ت ِسبٌ ُمقبِ ٌل غ ْي ُر ُمدبِ ٍر‬
‫ » ن َع ْم إِن قتِل فِى َسبِي ِل اِ َوأن‬-‫عليه وسلم‬
َ
‫ى فَقَا َل َرسُو ُل ا‬
‫يل ا‬
ُ ‫ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن قُتِ ْل‬.« َ‫َك ْيفَ قُ ْلت‬
‫صابِ ٌر‬
َ َ‫ » نَ َع ْم َوأَ ْنت‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ِ‫ا‬
َ ‫اِ أَتُ َكفا ُر َعنِى خَ طَايَا‬
ِ ِ‫ت فِى َسب‬
َ‫ال لِى َذلِك‬
َ َ‫» ُمحْ تَ ِسبٌ ُم ْقبِ ٌل َغ ْي ُر ُم ْدبِ ٍر إِلا ال اد ْينَ فَإ ِ ان ِجب ِْري َل َعلَ ْي ِه ال اسلَ ُم ق‬
Dari Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu
Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan
yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah,
bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus
dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam
keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah
bersabda: “Melainkan utang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu
kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34
no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
D. Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang
haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik
dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya
mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah
(ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi
pemberi pinjaman.
E. Beberapa Adab Islami dalam Utang Piutang:
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan
menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah swt:
‫ب َك َما َعلا َمهُ ا‬
ُ‫ا‬
َ ُ‫ب َكاتِبٌ أَ ْن يَ ْكت‬
َ ْ‫يَا أَيُهَا الا ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ًمًى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل َول يَأ‬
‫ق ا‬
ُ ‫اَ َرباهُ َول يَبْخَ سْ ِم ْنهُ َش ْيئًا فَإ ِ ْن َكانَ الا ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬
ُ ‫فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل الا ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬
‫ض ِعيفًا أَوْ ل يَ ْستَ ِطي ُع أَ ْن‬
َ ْ‫ق َسفِيهًا أَو‬
ِ ‫ق َو ْليَتا‬
َ
َ
‫ضوْ نَ ِمنَ ال ُشهَدَا ِء أ ْن‬
َ ْ‫َان ِم ام ْن تَر‬
ِ ‫يُ ِم ال هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُهُ بِ ْال َع ْد ِل َوا ْستَ ْش ِهدُوا َش ِهي َد ْي ِِن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأت‬
ُ‫ص ِغيرًا أَوْ َكبِيرًا إِلَى أَ َجلِ ِه َذلِ ُك ْم أَ ْق َسط‬
ْ ‫ض ال إِحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِك َر إِحْ دَاهُ َما‬
َ ُ‫ب ال ُشهَدَا ُء إِ َذا َما ُدعُوا َول تَسْأ َ ُموا أَ ْن تَ ْكتُبُوه‬
َ ْ‫الخ َرى َول يَأ‬
ِ َ‫ت‬
َ
َ
َ
َ
َ
َ
‫ا‬
ْ
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أل تَ ْكتُبُوهَا َوأ ْش ِهدُوا إِ َذا‬
َ ‫ض َرةً تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬
ِ ‫ِع ْن َد اِ َوأق َو ُم لِل اشهَا َد ِة َوأ ْدنَى أل تَرْ تَابُوا إِل أ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً َحا‬
‫اُ َو ا‬
‫اَ َويُ َعلِ ُم ُك ُم ا‬
‫ق بِ ُك ْم َواتاقُوا ا‬
ٌ ‫ضا ار َكاتِبٌ َول َش ِهي ٌد َوإِ ْن تَ ْف َعلُوا فَإِناهُ فُسُو‬
282) ‫اُ بِ ُك ِل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬
َ ُ‫(تَبَايَ ْعتُ ْم َول ي‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah

walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu
itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli
; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian)
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ;
Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berutang.
Kaidah fikih berbunyi:
‫ض َج ار نَ ْفعًا فَه َُو ِربًا‬
ٍ ْ‫ُكلُ قَر‬
“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah
satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
3. Melunasi utang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
– ‫ال‬
َ َ‫اضاهُ فَق‬
َ َ‫البِ ِل فَ َجا َءهُ يَتَق‬
ِ َ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى ا عنه – قَا َل َكانَ لِ َر ُج ٍل َعلَى النابِ ِى – صلى ا عليه وسلم – ِس ٌن ِمن‬
َ
‫ا‬
‫ا‬
. َ‫ َوفى اُ بِك‬، ‫ فَقَا َل أوْ فَ ْيتَنِى‬. « ُ‫ فَقَا َل » أَ ْعطُوه‬. ‫ فَلَ ْم يَ ِجدُوا لَهُ إِلا ِسنًا فَوْ قَهَا‬، ُ‫ فَطَلَبُوا ِسناه‬. « ُ‫صلى ا عليه وسلم – » أَ ْعطُوه‬
‫ضاء‬
َ َ‫ار ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬
َ َ‫»قَا َل النابِ ُى – صلى ا عليه وسلم – » إِ ان ِخي‬
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta
dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak
menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”,
Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt membalas
dengan setimpal”. Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik
dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
‫وع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد ا‬
ُ ‫ال أَتَي‬
‫ضانِى َوزَ ا َدنِى‬
َ َ‫ْج ِد – َو َكانَ لِى َعلَ ْي ِه َدي ٌْن فَق‬
َ َ‫اِ ق‬
‫ْت النابِ ا‬
ِ ‫ى – صلى ا عليه وسلم – َوهُ َو فِى ْال َمس‬
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi saw di masjid, sedangkan beliau
mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari,
II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi utang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan
yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima utang),
melunasi utang di rumah atau tempat tinggal pemberi utang, dan semisalnya.
4. Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara
tujuan buruk tersebut seperti:
a. Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b. Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan
istilah utang agar mau memberi.
d. Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
‫اس ي ُِري ُد أَدَا َءهَا أَ ادى ا‬
، ُ‫اُ َع ْنه‬
ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى ا عنه – َع ِن النابِ ِى – صلى ا عليه وسلم – قَا َل » َم ْن أَ َخ َذ أَ ْم َوا َل النا‬

‫» َو َم ْن أَخَ َذ ي ُِري ُد إِ ْتلَفَهَا أَ ْتلَفَهُ ا‬
ُ‫ا‬
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta
orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah swt
akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka Allah swt akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man
akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
5. Berupaya untuk berutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n
menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita
gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas
dari hal-hal yang haram.
6. Tidak berutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara
keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada
kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau
sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup.
Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
7. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam
pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau
menyewa dari orang yang mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:
ٌ َ‫لَ يَ ِحلُ َسل‬
‫ف َوبَ ْي ٌع‬
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi
no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
8. Jika terjadi keterlambatan karena