PHENOMENON OF HUMAN RIGHTS VIOLATIONS AN

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

76

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

77

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

ANALISIS FENOMENA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA
Oleh
Irfan Setiawan, S.IP, M.Si

Abstrack
Cases of Human Rights Violations Indonesia is inseparable from the international community to
pressure the Indonesian government to immediately bring to justice the perpetrators of crimes against
humanity committed in Papua and other areas. Various forms of Indonesia's efforts to meet its
obligations to maximize national legal mechanisms to address human rights violations in the country.
Government must demonstrate its seriousness to assure the protection of human rights of its citizens,
especially through the enforcement mechanisms for human rights in Indonesia. It can not be denied

that there are a lot of shortcomings in the handling of human rights in Papua, both in terms of legal
instruments, infrastructure and human resources that lead to legal uncertainty because it can not
resolved through settlement process of gross violations of human rights. This of course must be
addressed in addition to improve the effectiveness of the national legal system of Indonesia, as well as
to minimize the gap in international mechanisms to intervene in the Indonesian legal system.
A.

Pendahuluan
Topik hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan

diIndonesia. Hal ini dapat Kita temui dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di
mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para
perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia
yang lebih baik. Pemikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes
Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang
berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda.
Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga
periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi

manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun
1966-1968).1 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari
kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periodeperiode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Pada periode reformasi muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak
asasi manusia. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan
bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya
1

T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia‟s New Order, 1966-1990,
Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2.

78

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi
negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi
instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. 2
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan,
"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia."
Secara umum hak asasi dibagi menjadi dua. Pertama, adalah hak asasi alamiah manusia sebagai
manusia, seperti hak untuk hidup, kebebasan pribadi, dan hak bekerja. Kedua, hak asasi yang diperoleh manusia
sebagai bagian dari masyarakat, sebagai anggota keluarga, dan sebagai individu di masyarakat, seperti hak
memiliki rumah tangga, hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak
persamaan dalam hukum. Suatu kelompok manusia untuk mendapatkan sebesar-besarnya manfaat maupun
keuntungan terkadang mengupayakan berbagai cara yang tidak sehat untuk menghadang rival-rivalnya. Perilaku
yang tidak sehat ini mengakibatkan hilangnya beberapa atau sebagian besar hak-hak rivalnya maupun
masyarakat sekitarnya.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat hak
asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 104 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah:
“pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)”.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah “pelanggaran
berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak
asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida Yang dimaksudkan dengan
kejahatan genosida sebagaimana pasal 8 adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok
agama, dengan cara:
a.

membunuh anggota kelompok;

b.

mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c.

menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagian;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan
2

Presiden Habibie membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, yang memuat agenda
pemerintahannya dalam penegakan hak asasi manusia, meliputi pendidikan dan sosialisasi hak asasi manusia serta

program ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia.

79

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

e.

memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”
Pengadilan Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi

manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat hak asasi manusia
yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam
Pasal 43, dilaksanakan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden
berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Maraknya gerakan terorisme ataupun munculnya gerakan separatis, baik di luar negeri maupun di dalam
negeri, sangat mungkin merupakan reaksi dari sangat minimnya kebijakan pemerintah yang mampu
mengakomodasi keberadaan hak-hak kemanusiaan individu, warga, dan masyarakat sebagai bagian dari suatu
bangsa. Gerakan Aceh Merdeka, misalnya. Terganjalnya keinginan penerapan hukum syariah di daerah dan
ketidakadilan dalam hal pembagian pendapatan antara pusat dan daerah, menjadi beberapa sebab terjadinya

konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah selama tiga dekade.
Papua adalah salah satu permasalahan berikutnya yang segera membutuhkan penanganan mendesak dari
pemerintah pusat. Melimpahnya dana yang digulirkan pemerintah dalam kebijakan otonomi khusus melalui Unit
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) yang tujuan utamanya untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat, belum efektif meningkatkan pembangunan dan parahnya dikabarkan mengalami
kebocoran yang cukup besar.
Ditambah lagi keterusikan masyarakat Papua dengan keberadaan perusahaan pertambangan emas asing
yang terus mengeruk kekayaan emas bumi Papua, dibandingkan dengan kesejahteraan dan peningkatan
pembangunan yang tidak sebanding sama sekali. Hal itu semakin jelas menggambarkan ketertindasan hak-hak
rakyat pribumi Papua. Mereka menjadi semakin jauh dari situasi yang disebut hidup dengan lebih layak
menikmati pembangunan, pendidikan, kesehatan, sarana prasarana umum, pekerjaan, dan turut serta
memperoleh manfaat dari pengelolaan kekayaan alam daerah.

B.

Identifikasi Pelanggaran HAM di Papua
Ketertindasan hak-hak rakyat, keadilan, dan kesejahteraan, selayaknya menjadi prioritas utama

pemerintah dalam menentukan segala bentuk kebijakan pembangunan, baik di pusat maupun di daerah. Dengan
demikian, hal itu diharapkan mampu mengakomodasi keberadaan hak-hak kemanusiaan individu dan

masyarakat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contohnya Papua, dengan gampang
setiap orang Papua mengisahkan berbagai macam peristiwa tragis: “bapa dibunuh di kali, ibu dan adik
perempuan diperkosa, kampung-kampung dibumihanguskan, hutan sagu dihabiskan dan diganti dengan rumahrumah transmigrasi, perusahaan masuk tanpa bicara”, dsb. Ingatan penderitaan (memoria passionis) itu begitu
hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi ingatan kolektif. 3

3

J. Budi Hernawan, 2002, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Konteks Papua, Makalah
dalam Workshop “Menggagas Masa Depan Penegakan HAM” Jayapura, 10-14 Juni 2002

80

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

Namun tidak semua ingatan tersebut didokumentasikan atau dicatat secara tertulis sehingga dapat
menjadi fakta-fakta yang kuat dan tahan uji di hadapan hukum. Baru dalam tahun 1990-an sejumlah kasus
penting didokumentasikan oleh kalangan LSM. Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum
pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan siapapun juga.
Sebagian kecil saksi atau saksi korban sekarang dapat memberikan kesaksian entah di tingkat lokal, nasional
dan internasional (misalnya kasus pembunuhan Theys H. Eluay), tetapi hal itu tidak terjadi dengan kasus operasi

militer tahun 1977 di Wamena atau Akimuga. Saksi-saksi juga tidak terekam dalam peristiwa pengungsian besar
1984-1988 dari wilayah Muyu, Pedalaman Merauke, ke negara PNG4. Dengan demikian hingga kini data yang
tersedia mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas begitu juga saksi yang telah
mendapat pendampingan sehingga mampu mengungkapkan pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan
jujur.
Secara ringkas terdapat tiga unsur faktual yang turut melatarbelakangi persoalan di Papua dewasa ini5:
1. Suatu kompleks pengalaman selama puluhan tahun terakhir ini yang lazimnya disebut “Memoria
Passionis” yang kolektif, atau “ingatan penderitaan sebangsa”. Pengalaman-pengalaman penderitaan
bersumber pada:
a. pada kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Indonesia selama 38 tahun terakhir
ini.
b. terjadinya puluhan pelanggaran HAM di wilayah Papua selama Papua diintegrasikan kedalam
Republik Indonesia.
c. kehadiran serta tingkahlaku ABRI di wilayah ini yang lazimnya ditandai suatu sikap arogan dan
main kuasa sewenang-wenang.
2. Kejadian-kejadian selama sejarah Bangsa Papua seperti:
a. Program pemerdekaan yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961,
dengan [1] mengangkat wakil-wakil masyarakat setempat menjadi 50% dari jumlah anggota Nieuw
Guinea Raad (DPR), [2] mengibarkan bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera
Belanda, dan [3] mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.

b. Penetapan “New York Agreement” (NYA) pada tahun 1962, yang dijadikan dasar peralihan
Nederlands Nieuw Guinea dari kekuasaan pemerintah Belanda kepada kekuasaan pemerintah
Indonesia. Kesepakatan dasar ini ditetapkan tanpa pengambilan bagian oleh Bangsa Papua sendiri
didalam perundingan.

4

5

SKP Keuskupan Jayapura pernah diminta oleh UNHCR untuk mengadakan penelitian mengenai pengungsi Muyu yang
telah kembali dari PNG ke kampung halamannya. Penelitian singkat itu dituangkan dalam laporan “Returnees from
Papua New Guinea to Irian Jaya, a survey report”, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura, 1999
J. Budi Hernawan ofm 10 Juni 2002, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Konteks
Papua, Makalah dalam Workshop “Menggagas Masa Depan Penegakan HAM” Jayapura, 10-14 Juni 2002

81

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

c. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, yang dilaksanakan secara tidak benar

karena disertai intimidasi, paksaan, penganiayaan, dan dengan menafsirkan secara sepihak isi
persyaratan pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam NYA, hingga bercacat hukum.
3. Protes masyarakat selama ini yang tidak pernah didengar atau ditanggapi dengan serius oleh pihak yang
berkuasa, maka
a. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui martabat serta jati dirinya sebagai manusia sejati.
b. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui dan dilindungi sebagai warga negara Indonesia
sepenuhnya dengan segala hak serta kewajibannya sebagai warga negara, seperti digariskan dalam
alinea ke-4 pembukaan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945)
Pengalaman di atas akhirnya betul menjadikan bangsa Papua merasa tidak berdaya karena terusmenerus diperlakukan bukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat dengan bangsa-bangsa lain di
dunia ini. Sementara itu, Theo van den Broek, mengemukakan faktor-faktor yang secara mudah dapat memicu
konflik dan ketegangan suasana masyarakat papua sehingga menimbulkan pelanggaran hak asazi manusia6
yaitu:
1. Perbedaan aspirasi politik
Perbedaan aspirasi politik khususnya menyangkut masuknya Papua ke dalam Republik Indonesia belum
mencapai suatu penyelesaian yang memuaskan. Sedangkan pemberian Otonomi Khusus sebagai jalan keluar
ternyata belum mampu menjawab segala aspek aspirasi sebagaimana sedang hidup ditengah-tengah
masyarakat; malahan pemberian Otonomi Khusus bisa sampai menimbulkan suatu ketegangan antar orang
Papua sendiri.
2. Penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan
Dalam rebutan jabatan dengan prioritas pada peluang bagi “Putra Dearah” terdapat titik-titik rawan yang

amat mudah pecah menjadi konflik antar suku. Apalagi penyakit KKN serta penyakit mental proyek yang
sudah lama menjangkiti pemerintah pusat dengan mudah dapat menular ke Papua.
3. Pemerintahan yang semu
Walau diharapkan supaya pemerintahan di Papua makin berkembang menuju suatu pemerintahan sipil,
peranan TNI sangat menonjol dan makin hari makin menentukan. Seakan-akan TNI dapat berperan terlepas
dari kuasa Pemerintah Sipil. Apalagi sulit disangkal bahwa peranan TNI tidak lepas dari kepentingankepentingan ekonomis, dan sering memiliki suatu agenda tersendiri. Peranan TNI nyatanya menjadi sumber
konflik dan ketegangan ditengah-tengah masyarakat.
4. Kecurigaan antar kelompok etnis dan suku
Kurangnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur berserta hak-hak yang melekat
padanya adalah salah satu medan konflik lain. Penghormatan kepada seorang manusia karena “dia manusia”,
6

Theo van den Broek, 2002, Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tana Damai, makalah dalam lokakarya, Sentani
25-30 November 2002, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian

82

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

belum menjadi pandangan dan sikap hidup banyak orang diantara kita. Nilai dan martabat seorang manusia
rupanya lebih diukur menurut penampilan lahiriahnya (warna kulit dll.) atau menurut kekayaan dan
kedudukan sosialnya.

5. Kecurigaan antar kelompok agama
Naluri manusia untuk bersaing dan menjadi lebih unggul dari saingannya mendorong manusia untuk
mengerahkan Tuhannya menjadi pendukung dalam persaingan. Dari persepsi yang sempit itu timbullah
dalam agama-agama sepanjang sejarah sikap fanatik yang negatif dari kelompok-kelompok ekstrem yang
mau mengungguli yang lain sampai mau menghapus keberadaan yang lain dengan membenarkan segala cara.
Dengan persepsi yang demikian tentang Tuhan, orang beragama tidak menjadi pembawa damai tetapi
sebaliknya menjadi pembawa ketegangan dan kerusuhan dengan segala tindak kekerasan baik itu secara fisik
maupun kekerasan psikis yang dapat memicu kekerasan.
6. Kesenjangan sosial ekonomi
Salah satu medan konflik potensial yang sangat dasariah adalah medan sosial-ekonomi yang ditandai suatu
kesenjangan antara lapisan masyarakat. Ada yang memiliki banyak, bahkan berlebihan, dan ada yang
memiliki sedikit bahkan terus-menerus hidup dalam kekurangan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin
menjadi ketidakadilan (akibat dari usaha untuk membela keberadaannya tanpa kompromis) yang
menyebabkan hubungan antara manusia tidak selaras. Ini suatu potensi konflik yang mengancam dan
merusakkan ketenangan di Papua.
Faktor-faktor tersebut, membuat banyak warga maupun lembaga berkeyakinan bahwa konflik-konflik
potensial menjadikan masalah dengan pemakaian kekuasaan serta kekerasan yang selama ini dilakukan oleh
beberapa pihak yang bertikai, temasuk pihak TNI.

C.

Gambaran Peristiwa Pelanggaran HAM
Dalam laporan situasi kabupaten keerom7 disimpulkan fakta-fakta yang terungkap dalam laporan

tersebut yang dapat diidentifikasikan sebagai pelanggaran Hak Asazi Manusia sebagai berikut:
1.

Setelah mengalami sejarah kekerasan dan pengungsian yang panjang, masyarakat Keerom, khususnya di
Distrik Arso, Waris, dan Web, berkeinginan hidup secara normal sebagaimana umumnya dijalani
masyarakat biasa di wilayah lain. Merekapun berkehendak kuat untuk terlibat dalam pembangunan wilayah
itu setelah dimekarkan menjadi satu kabupaten sendiri. Hal ini terbukti dari kerja keras mereka menanam
beratus hektar tanaman coklat maupun vanili yang kini sudah mulai berbunga di kampung-kampung

7

Laporan ini tertera pada Surat Persekutuan Gereja-Gereja Papua Wilayah Keerom kepada Bupati Kabupaten Keerom,
tanggal 26 Oktober 2007.

83

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

mereka. Bahkan dalam rangka menciptakan taraf hidup yang lebih baik, dengan rela mereka kadang
memikul hasil perkebunannya berhari-hari di jalan untuk dijual di Jayapura.
2.

Keinginan itu dihambat oleh kehadiran pos-pos pasukan TNI di tengah kampung dalam jumlah yang
signifikan di wilayah mereka yang nyata-nyata membangkitkan kembali rasa trauma dan tertekan. Mereka
merasa tidak aman hidup di atas tanahnya sendiri sehingga ada beberapa anggota keluarga yang sudah
mengemukakan keinginan mereka untuk mengungsi kembali ke PNG bila situasi keamanan masih sama
seperti sekarang. Kehadiran pos TNI dengan dampak semacam ini nyata-nyata telah bertentangan dengan
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya pasal 9 ayat 2, pasal 29 ayat 1 dan pasal 30.

4.

Kehadiran dan tindakan intimidasi anggota TNI, khususnya Satuan Kopassus tersebut, juga telah
mengakibatkan pembatasan kebebasan bergerak pada warga masyarakat Waris. Tindakan ini bertentangan
dengan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya pasal 27.

5.

Oknum-oknum Satuan TNI, khususnya Satuan Kopassus, senyatanya telah melakukan tindakan yang
interogasi, penangkapan, dan penahanan yang hanya merupakan kewenangan aparat penegak hukum.

6.

Secara khusus saat ini warga Keerom benar-benar merasa resah dengan kehadiran dan tindak-tanduk satuan
Kopassus di pos-Pos Satgas TNI yang mencurigai setiap gerak-gerik masyarakat, merekrut TBO,
mengedarkan miras, melakukan praktik asusila, kekerasan terhadap perempuan sehingga masyarakat tidak
dapat „hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia‟
seperti diatur dalam pasal 35 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

7.

Satgas Kopassus senyatanya juga mengintimidasi, meneror Petugas Gereja Katolik yang menjalankan tugas
pelayanan gereja di wilayah tersebut dan bahkan secara verbal menyatakannya ke media massa. Tindakan
ini merupakan bukti nyata upaya merongrong kewibawaan suatu lembaga keagamaan yang dilindungi
keberadaannya di negara ini dan memiliki andil Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Wilayah Keerom
besar dalam pembangunan manusia di Papua. Selain itu tindakan tersebut dapat dinilai sebagai
penyerangan terhadap pekerja kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 1 Deklarasi PBB tentang
Pembela Hak Asasi Manusia tahun 1998

8.

Tingkah laku oknum-oknum anggota TNI, khususnya Satuan Kopassus, di Keerom yang melakukan
intimidasi, interogasi, dan bahkan penganiayaan terhadap aparat pemerintah daerah (Kepala Kampung,
Kepala Distrik) dan anggota kepolisian setempat sesungguhnya telah menodai jatidiri dan kewibawaan TNI
sebagai Tentara Profesional yang menganut prinsip supremasi sipil dan menjunjung tinggi ketentuan
hukum nasional.

9.

Dari rangkaian laporan Keuskupan Jayapura kepada pimpinan militer di Jayapura sejak 2000, tidak terdapat
perubahan nyata di lapangan mengenai perilaku prajurit dan komandan lapangan. Tindakan oknum-oknum
tersebut sebagaimana dilaporkan di atas nyata-nyata menyalahi jatidiri TNI sebagai tentara profesional
yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

84

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

10. Selain itu, satuan-satuan TNI yang bertugas di Wilayah Keerom khususnya dan perbatasan pada umumnya
tidak mampu menjalankan tugas sebagai pelindung keselamatan bangsa (pasal 7 ayat 1 UU No. 34/2004
tentang Tentara Nasional Indonesia) karena justru berbagai tindak intimidasi, teror, perilaku asusila, datang
dari oknum-oknum yang ditugaskan di wilayah tersebut terhadap warganegara Indonesia yang tinggal di
wilayah Keerom.
Dari berbagai fenomena yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang selama ini,
berdasarkan fakta-fakta terdapat beberapa laporan tentang tindakan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah
Papua, yang membuat keresahan dan ketidak tenangan warga masyarakat indonesia yang bermukim di wilayah
Papua.
Wajar bahwa akhirnya masyarakat diberikan keleluasaan untuk bicara dan mengemukakan aspirasinya,
mimpinya. Wajar pula bahwa tidak semua sependapat sehingga munculah ketegangan dan konflik. Namun entah
bagaimana isi konfliknya, selalu perlu dipertanyakan mengapa orang bereaksi demikian? Apa yang terjadi di
masa lampau yang membuat orang protes? Kiranya tidak membantu kalau setiap protes diremehkan dan dicap
seakan-akan hanyalah merupakan suatu ungkapan separatis belaka, apalagi kalau protes yang damai dijawab
dengan kekerasan saja. Penggunaan kekerasan hanya memperparah konflik yang sudah ada. Tindakan demikian
tetap tidak mengakui hak dasar orang atas kebebasan berpendapat.

D.

Mempolakan Peristiwa Kekerasan di Papua
Sementara, bila membaca beberapa data peristiwa yang dikemukakan dalam berbagai laporan, catatan,

studi dan berita dari beberapa LSM, surat kabar dan lainnya, dapat penulis simpulkan bahwa memang banyak
fakta disebutkan, namun dokumentasi fakta-fakta itu sering kurang tajam atau kurang teliti8 karena ternyata
bukti-bukti kurang tersedia. Maka, bila penulis mau menjawab pertanyaan mengenai pola pelanggaran Ham di
Papua, pertama-tama penulis perlu melengkapi data tindakan/peristiwa menjadi „bahan yang terukur dan jelas‟.
Dalam dokumentasi itu mungkin juga baik kalau dibedakan antara sejumlah jenis tindakan/peristiwa kekerasan.
Upaya itu, menurut penulis, hanya dapat diterima sebagai suatu upaya agar lebih peka tentang dampak dari pola
pelanggaran HAM di Papua, dan sekaligus mengajak masyarakat untuk lebih bersikap kritis tentang pola
pelanggaran HAM di Papua.
Berikut ini Elsham Papua Barat bersama Sinode GKI di Tanah Papua (2004) mempolakan peristiwa
kekerasan dan pelanggaran HAM di papua yaitu:
1) Tindak kekerasan terhadap individu

8

Sebagai salah satu contoh; pada halaman 26 dilaporkan bahwa desa Madi dibom (pakai napalm dan bahan kimia) pada
tahun 1981 dan jumlah korban (dibunuh) sekurang-kurangnya 2.500 orang. Menurut laporan dari pihak gereja katolik
setempat mengenai peristiwa ini dibenarkan bahwa beberapa desa dihancurkan, dibakar habis (bukan Madi saja);
dibenarkan juga bahwa terdapat sejumlah „bom asap‟ namun tidak ada bom-bom „napalm‟ atau „bom kimia‟, apalagi
tidak ada bom yang betul kena sasarannya, dan jumlah korban yang diketahui adalah 6 orang .

85

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

Dibawah kategori ini kami menggolongkan segala tindakan yang diarahkan kepada seorang pribadi
tertentu; bisa menyangkut tokoh-tokoh OPM (terutama selama tahun 60an dan 70an); bisa menyangkut
pribadi orang yang tidak disenangi karena mengangkat harkat bangsa Papua (orang seperti Arnold Ap –
1984- , Black Brothers dan elite intelektual); menyangkut pemimpin populer seperti Wanggai –1998-,
Willem Onde –2001-, atau Theys Eluay –2001; bisa menyangkut kekerasan psikis terhadap tokoh-tokoh
politik yang diisyukan (Jaap Salossa dan John Ibo sebagai „pejuang Papua merdeka‟). Bila seluruh sejarah
penderitaan diperiksa secara teliti pastilah dapat menghasilkan suatu daftar panjang, dan dokumentasi
seperti itu sangat kita butuhkan (sampai saat ini tidak tersedia untuk umum).
2) Tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah
Tindakan semacam ini ada sejak protes masyarakat Papua terhadap segala bentuk penindasan mulai
terungkap. Lebih-lebih setelah OPM mulai aktif dan merangkul banyak masyarakat. Tindakan terhadap
sekelompok/penduduk sewilayah mulai dilakukan oleh aparat keamanan seperti di wilayah suku bangsa
Arfak (60an dan 70an) yang dinilai sebagai pusat perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak juga
terdapat operasi-operasi sejenis, apalagi segala operasi militer yang dilakukan antara 1977 dan 1984 di
wilayah Pegunungan Tengah dan wilayah suku bangsa Amungme; bukan individu yang menjadi sasaran
operasi, namun seluruh penduduk di wilayah tersebut karena dicap / diberikan stigma OPM/TPN atau GPK.
Tindakan sejenis ini juga dijalankan setelah peristiwa di Mapnduma (1996), Abepura (2000), Wamena
(2000), Wasior (2001), Ilaga (2001), Wamena (2003). Operasi-operasi semacam ini dikenal sebagai
„operasi penyisiran‟ yang dilegitimasi dengan adanya salah satu peristiwa khusus dan terbatas (entah
pelakunya siapa) dan dengan adanya stigmatisasi seperti “orang Pegunungan Tengah semua pengacau”.
Dalam tindakan-tindakan dengan kategori ini tidak dibedakan lagi antara mereka yang langsung terlibat
dalam salah satu peristiwa dan yang tidak, tetapi siapa saja yang dapat ditemukan menjadi sasaran operasi.
Yang juga cukup khas berkaitan dengan kategori tindakan ini adalah terjadinya pengungsian massal guna
melarikan diri dari tempat yang menjadi sasaran tindak kekerasan.
3) Tindakan intimidasi
Kategori ini tidak begitu nyata dalam tindakan-tindakan yang menonjol atau tindakan yang langsung
menimbulkan korban. Tindakan dibawah kategori ini menyangkut “gerak-gerik pihak keamanan saat
bertugas ditengah masyarakat”. Menurut banyak laporan yang tidak pernah diterbitkan namun tersedia
dalam arsip lembaga kelembaga keagamaanan, perilaku para unsur keamanan di daerah (apalagi yang jauh
dari mata instansi pengawasan) sering ditandai arogansi, pemaksaan, perintah sewenang-wenang, ancaman
dll. Sehingga masyarakat tidak bebas bergerak, merasa dicurigai, atau de facto mengalami pemukulan serta
bermacam-macam siksaan. Suasana demikian yang berlangsung cukup lama apalagi selama status DOM
diberlakukan di pelbagai bagian provinsi Papua telah menghasilkan suatu masyarakat yang makin hari
makin bisu dan ketakutan.
4) Kegiatan ekonomis yang berpeluang melanggar HAM

86

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

Dibawah kategori ini dapat kami golongkan segala bentuk kegiatan ekonomis yang merugikan kepentingan
atau mengabaikan hak-hak masyarakat. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa diadakannya kegiatan
pertambangan oleh PT Freeport membawaserta cukup banyak akibat yang sangat merugikan masyarakat
lokal: dapat berupa pencemaran lingkungan, memindahkan penduduk, peniadaan peluang ekonomis bagi
penduduk setempat, tindakan pengamanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kehadiran aparat
keamanan di luar proporsi dengan segala akibatnya, merusak kebudayaan setempat, mengabaikan hak
ulayat, membatasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang penting/berdampak besar dst.
Suatu gambaran sejenis dapat ditemukan dalam proyek BP, konsesi HPH, konsesi penangkapan ikan,
program PIR, program Kapet, kegiatan eksplorasi dsb.
5) kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM
Beberapa kategori ini secara tentatif kami menggolongkan kebijakan seperti pelaksanaan Pepera (1969),
pemberlakuan DOM (sampai akhir 1998) termasuk penempatan personil keamanan, pemekaran paksaan
(Inpres No. 1/2003), program transmigrasi (tahun 70an ke atas) sejauh menjadi program pemerintah atau
sejauh dibiarkan tanpa peraturan yang nyata, penolakan pemerintah pusat untuk menyelesaikan
pembentukan MRP sebagai sarana kunci dalam pelaksanaan isi Otonomi Khusus Papua, segala promosi
„kebudayaan korupsi dan proyek‟, dan akhirnya – bukan yang paling ringan – ketidaktegasan dalam
penegakan hukum (bdk tindakan terhadap para tahanan di Wamena berkaitan dengan peristiwa tahun 2000,
atau saja vonis terhadap para terdakwa sipil dalam kasus Wamena 2003, atau penyelesaian pembunuhan
Theys secara hukum tahun 2003). Kami berpendapat bahwa suatu dokumentasi yang teliti mengenai
kebijakan pemerintah yang sebenarnya de facto merugikan pembangunan masyarakat di Papua akan sangat
membantu untuk menilai motif politik atau motif apa saja di belakang tindakan-tindakan pemerintah RI
terhadap Papua.

E.

Analisa Penanganan Hak Asasi Manusia di Papau
Papua merupakan salah satu wilayah konflik mencakup berbagai segi kehidupan: kehidupan berumat

(yang berbeda suku, agama dan budaya), kehidupan keluarga, dan lingkungan tempat kita bekerja, yang
kadangkala menciptakan rasa ketakutan yang luarbiasa dalam kehidupan bersama setiap hari. Memang konflik
sudah menjadi kenyataan sehari-hari. Sebenarnya kenyataan ini tidak mengherankan karena adanya konflik
semata-mata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakatan kita terus dalam proses perubahan. Kehidupan
kemasyarakatan dewasa ini lain daripada 50 tahun yang lalu.
Setiap perobahan membawa serta suasana konflik; karena sesuatu yang „sudah menjadi biasa‟ atau
„yang disayangi‟ mau diubah, atau tidak dapat dihindari akan berubah. Karena itu pastilah muncul protes. Orang
protes karena takut akan dunia yang baru, atau protes karena ketenangan hidup mereka, kepentingan atau
keistimewaannya diganggu atau dihilangkan. Kita semua masih mengingat betapa sulitnya peralihan dari Orde
Baru ke Era Reformasi, yang ternyata belum mulus dapat dijalankan. Maka, selama kita masih hidup, wajar

87

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

saja jika kita akan mengalami konflik dan perubahan pun pasti terjadi. Namun kita tidak perlu takut, karena
konflik adalah bagian dari suatu proses alamiah, yang tinggal ditangani saja.
Memang menangani suatu suasana konflik tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu
budaya tersendiri sedemikian rupa sehingga suatu konflik dapat diatasi dengan baik tanpa menelan korban atau
memakai kekerasan. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki
oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat.
Berikut ini beberapa alternatif penyelesasian penanganan masalah pelanggaran hak asazi manusia di Papua.

1.

Penegakan peraturan Sipil dan menghindarkan tindakan militer
Tidak bisa dipungkiri bahwa „rasa aman‟ merupakan kebutuhan mendasar semua manusia. Sifatnya

yang demikian mendorong semua unsur dalam masyarakat untuk memperjuangkannya dengan cara dan
perannya masing-masing. Maka menciptakan rasa aman merupakan tugas semua unsur masyarakat, namun tidak
dalam arti semua masyarakat sipil wajib menjalankan sistem keamanan lingkungan (Siskamling) setiap malam,
misalnya, atau dapat direkrut sebagai TBO (tenaga bantuan operasi), atau direkrut sebagai anggota Barisan
Merah Putih. Semua unsur menyumbang pada keamanan dapat diwujudkan dengan menjalankan tugas
semestinya (tanpa korupsi, dengan berdisiplin, dengan menghargai orang lain, dst).
Secara formal hukum pengamanan masyarakat sipil menjadi tanggungjawab lembaga Kepolisian;
sedangkan tentara diberi mandat untuk menjaga pertahanan negara terhadap serangan dari luar – atau dari pihak
yang mengancam keselamatan negara. Namun ditengah-tengah masyarakat tidak terlalu jelas pembagian tugas
antara dua lembaga ini, sehingga masyarakat sangat bingung. Dalam sejumlah kasus terjadi perebutan peran dan
sering dengan memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban di tengah
perseteruan tersebut. Lebih kabur lagi kalau pelaksanaan tugasnya tercampur dengan keterlibatannya dalam
kegiatan yang sebenarnya tidak menjadi urusannya, seperti, usaha-usaha ekonomis. Sekali Polisi atau TNI
terlibat dalam usaha-usaha ekonomis, sudah tentu menjadi suatu kepentingan yang dijaganya dengan
mengandalkan kekuatan yang ada padanya. Jelaslah campuran kepentingan ini sangat mengganggu kemurnian
pelaksanaan tugas. Sangat disayangkan bahwa pihak keamanan sendiri dapat menciptakan “ketidakamanan”
dalam masyarakat seperti terungkap dalam beberapa peristiwa di Papua pada tahun-tahun terakhir. Karena itu
diperlukan adanya:
a) Pemetaan yang jelas mengenai peran antara aparat keamanan dalam hal ini pihak kepolisian, dengan
pihak militer – termasuk yang berstatus non-organik – serta kelompok masyarakat sipil agar tidak
terjadi “bentrokan” dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
b) Percepatan penyelesaian kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota TNI, serta penegakan disiplin
bagi anggota TNI yang bertugas di Papua
c) Penegakan kasus-kasus hukum baik yang mengakut pinada murni maupun pelanggaran ham sehingga
ketertiban dapat jelas dirasakan masyarakat di Papua.

88

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

d) Penghapusan seluruh bentuk usaha legal dan ilegal yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri sehingga
tidak menimbulkan ketakukan pda masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi.
Penegakan supremasi hukum dapat meredam riak, ketegangan dan konflik yang sering terjadi di Papua,
sebagaimana yang sering terjadi dan menimbulkan dendam dari masyarakat asli suku di Papua. Penegakan
hukum tersebut dapat meningkatkan usaha ekonomi rakyat papua, perdamaian, dan penyelesaian konflik di
Papua. Itupun harusnya ada kemauan politik dari pemimpin negara untuk bertindak tegas untuk menegakkan
aturan di Papua.
2.

Membangun Budaya Damai
Mengingat sejumlah sumber konflik sebagaimana diuraikan di atas, makin hari makin banyak orang,

warga maupun lembaga yang yakin bahwa konflik-konflik potensial yang ada hanya dapat dicegah kalau kita
sepakat untuk hidup bersama dalam suatu keterbukaan satu sama yang lain, serta menciptakan ruang hidup
dimana setiap warga dapat berkembang sewajarnya. Suatu “kebudayaan damai” perlu dibangun bersama sebagai
pilihan lain dari penyelesaian masalah daripada penggunaan kekuasaan dan kekerasan.
Membangun budaya damai, bukan soal bicara saja, namun menuntut suatu perwujudan konkret.
Malahan sudah tentu bahwa „membangun budaya damai‟ menuntut banyak keringat dan suatu kemauan bersama
yang sejati untuk menjawab masalah-masalah yang sedang kita hadapi. Sebagaimana dibutuhkan upaya-upaya
bersama untuk membangun budaya damai baik oleh masyarakat asli papua, pendatang dan pemerintah sebagai
berikut:
a. Peningkatan partisipasi masyarakat yang bermukim di wilayah papua sehingga diharapkan supaya
semua diberikan tempat untuk mengambil bagian aktif dalam “mengatur rumah besar” kita. Partisipasi
ini dapat diperjuangkan melalui misalkan Lembaga Adat, MRP, melalui pengungkapan pendapat,
melalui pengawasan atas kebijakan pemerintah, dst.
b. Pengembangan sikap kebersamaan dan toleransi, saling menghargai kekhasan masing-masing dengan
membuang jauh-jauh sikap fanatisme berlebihan, merupakan salah satu kunci mutlak yang mesti
dipegang agar membantu mencegah terjadinya suatu konflik yang bersumber pada perbedaan atau
kemajemukan masyarakat di Papua. Toleransi juga merupakan landasan bagi terciptanya rekonsiliasi
dan sikap saling menerima yang permanen diantara masyarakat.
3. Upaya Rekonsiliasi
Kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi prasyarat lain bagi terciptanya rekonsiliasi
yang tepat. Kalau dalam UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus pasal 46 dikatakan bahwa “demi
pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa” berarti sudah dipasung demi kepentingan integrasi negara. Hal
yang sama terjadi jika diarahkan kepada referendum. Rekonsiliasi tidak bisa diabdikan kepada kepentingan
politis tetapi kepada kebenaran dan kepentingan korban. Masyarakat perlu amat kritis dengan ketentuan hukum
yang mau tak mau mencerminkan sejauh mana kemauan politis penyelenggara negara.
4.

Peningkatan Peran Media Massa

89

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

Peningkatan peran media dalam rangka membangun Papua menjadi „Tanah Damai‟, pemberitaan mesti
menjaga keseimbangan informasi, dalam arti bertanggung jawab atas kebenaran isi berita yang disampaikan,
jangkauan liputan terhadap masyakarat, atau tidak melulu meliput dan menyiarkan berita tentang kegiatan para
pejabat misalnya. Tentunya harus memenuhi unsur objektivitas, transparansi, faktual dan analitis, bukan
propaganda atau bermaksud memprovokasi masyarakat. Banyak tergantung pula dari orientasi pers, sifat dan
tujuan dari media itu sendiri. Jika media hanya berorientasi meraup „keuntungan‟, berita adalah barang yang
semata-mata diperdagangkan, bukan dimaksudkan memberi pemahaman dan penyadaran kepada publik.
5. Perumusan Kebijakan Kemandirian Masyarakat
Kita semua ingin agar merasa diri sebagai “tuan rumah” dimana dapat mengatur diri tanpa mau
menggantungkan diri pada orang lain. Itu berarti masyarakat di Tanah Papua harus berinisiatif mengambil peran
dengan memanfaatkan segala sumberdaya (alam & manusia) yang ada secara optimal. Masyarakat tidak percaya
diri bahwa mereka mempunyai potensi besar untuk menjamin hidup bahkan untuk sendiri menentukan masa
depannya. Selama “mental proyek” masih terus menguasai sikap hidup masyarakat, dan selama pemerintah juga
memupuk sikap ini melalui proyek bantuan-bantuan seperti proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS), Proyek
Pengembangan Kecamatan (PPK), bantuan Beras Operasi Pasar Khusus (Beras Opsus), Crash Program, dll,
maka masyarakat akan tetap menunggu pihak lain sebagai „penyambung hidupnya‟. Sebenarnya “mental
proyek” secara tidak langsung sedang mematikan kreatifitas, daya cipta masyarakat dan mengarahkannya untuk
menggantungkan diri saja sehingga status masyarakat hanyalah sebagai obyek belaka, alias “tuan rumah yang
semu”.
Dalam rangka membangun Tanah Papua ke depan, masyarakat perlu dirumuskan kebijakan untuk
membangun dengan mandiri, perlu mulai berinisiatif menciptakan peluang dengan menggunakan kemampuan
yang ada pada dirinya seperti dalam bidang seni; ekonomi-kerakyatan berupa perikanan, peternakan (babi, sapi,
kambing,

dll), kebun pinang, umbi-umbian, pisang, sayur-mayur; dan bidang usaha lainnya, membantu

mengurangi bahkan akan menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. Usaha demikian perlu ditunjang
dengan pelbagai bentuk pendidikan formal (termasuk muatan lokal) dan non-formal.
Peran pemerintah ke depan yaitu mengimplementasikan kebijakan untuk kemandirian masyarakat Papua
sehingga pemerintah hanya cukup mengawasi pelaksanaan pembangunan di Papua yang berdasarkan
profesionalisme, Kemandirian, dan accountable serta penegakan hukum yang tegas.

F.

Penutup
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat

internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terjadi di Papua dan daerah lainnya. Berbagai bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajibannya
memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam
negerinya.

90

Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol XXXIX No 2 Tahun 2013

Terlepas dari penilaian apakah pola pelanggaran HAM di Papua dapat digolongkan sebagai „pola
genoside‟ atau tidak, sambil berefleksi atas pola pelanggaran HAM di Papua yang begitu bervariasi dan meluas,
apalagi bersifat sistematis, keyakinan kami diperkuat bahwa memang pola pelanggaran HAM yang ada sudah
membuat bangsa Papua menderita secara luarbiasa, dan kenyataan demikian tetap perlu diangkat dan upaya
demi „pembebasan dari segala bentuk penindasan‟ tetap sangat mendesak dan perlu dijadikan inti perjuangan
kita bersama secara damai.
Hal ini berarti bahwa pemerintah harus memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan
perlindungan hak asasi manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak
asasi manusia di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan
dalam Penanganan Hak Asasi Manusia di Papua, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur serta sumber
daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena tidak dapat dituntaskannya proses
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk
pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme
internasional untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
J. Budi Hernawan ofm 10 Juni 2002, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Konteks Papua, Makalah dalam Workshop “Menggagas Masa Depan Penegakan HAM” Jayapura, 1014 Juni 2002
Kjetil Fiskaa Alvsåker, 2011, International Principles For Interpretation Of International Human Rights
Instrumens, Makalah dalam Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh
Indonesia, Makassar
Peter Davies, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
Theo van den Broek, 2002, Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tana Damai, makalah dalam lokakarya,
Sentani 25-30 November 2002, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian.
Theo van den Broek, 2004, strategi dan rencana aksi untuk implementasi Otonomi Khusus Papua, Makalah
dalam Seminar Sehari, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 17 Februari 2004.
T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia‟s New Order, 1966-1990,
Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2.
Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2003, Membangun Budaya Damai & Rekonsiliasi Dasar Menangani
konflik di Papua, Sebuah Refleksi, Jayapura.
Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2002, Papua Aktual 2002, Socio –Political Notes, Jayapura
Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2003, Papua Aktual 2003, Socio –Political Notes, Jayapura.
Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2004, Papua Aktual 2004, Socio –Political Notes, Jayapura.
Sekretariat Keadilan & Perdamaian, 2005, Papua Aktual 2005, Socio –Political Notes, Jayapura.
B. PERATURAN DAN LAINNYA
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia
Keputusasan Presiden, No 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asazi Manusia Indonesia
Tahun 2004-2009
Surat Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Wilayah Keerom dari Persekutuan Gereja-Gereja Papua Wilayah
Keerom kepada Bupati Kabupaten Keerom, tanggal 26 Oktober 2007, Arso

91