Tax Planning dan Pengendalian Atas Unsur

MAKALAH
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN
ATAS UNSUR-UNSUR WITHHOLDING TAX
(Manajemen Perpajakan)

KELAS PJK/14-2S & 15-1P
Kelompok 1
AGUS ADIWAHANA (1406659165)
IRHAM AKBAR (1406659524)
M ZAENY JAUHARI (1406659631)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2016

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia
Fakultas Ekonomi
Program Studi MAKSI-PPAk

Semester Gasal 2015/2016

STATEMENT OF AUTHORSHIP
Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir adalah murni
hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah pada mata
ajaran lain, kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya.
Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme
Mata Ajaran
Judul Makalah

: Manajemen Perpajakan
: Tax Planning dan Pengendalian atas Unsur-unsur Withholding Tax

Hari, Tanggal

: Rabu, 16 November 2016


Nama Pengajar

: Christine, M. Int. Tax

Kelas

: PJK/14-2S & 15-1P

1. Nama Mahasiswa : Agus Adiwahana
Nomor Mahasiswa : (1406659165)
2. Nama Mahasiswa : Irham
Nomor Mahasiswa : (1406659524)
3. Nama Mahasiswa : M Zaeny Jauhari
Nomor Mahasiswa : (1406659631)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan menurut

prinsip kemampuan membayar (Gunadi, 2013), yang indikatornya dapat dilihat dari :
a. Penghasilan
b. Pengeluaran
c. Kekayaan
d. Peralihan Kekayaan
Metode yang digunakan dapat berupa penghitungan dan penyetoran sendiri atau dengan
system withholding tax
Withholding tax merupakan salah satu sistem pemungutan pajak penghasilan di
Indonesia yang pada prinsipnya memberikan kewenangan kepada pihak ketiga, yaitu
pemberi penghasilan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak
atas

penghasilan

yang

dibayarkan

kepada


penerima

penghasilan,

kemudian

menyetorkannya ke kas Negara. Pemotongan yang dimaksud disini adalah jumlah pajak
yang disetorkan oleh pemberi penghasilan diperoleh dari nilai yang diterima oleh
penerima penghasilan, sehingga menyebabkan penghasilan yang diterima menjadi
berkurang, sedangkan yang dimaksud dengan pemungutan adalah sejumlah pajak yang
dipungut atas sejumlah pembayaran yang berpotensi menimbulkan penghasilan bagi
penerima pembayaran. (DJP, 2012)

1.2 Jenis-Jenis Withholding Tax
a. PPh Pasal 22
Pemungutan atas PPh pasal 22 diberlakukan kepada pihak-pihak yang memiliki
transaksi dengan pemungut PPh pasal 22. Berdasarkan PMK no 107/PMK.010/2015,
pemungut PPh pasal 22 terdiri dari:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai
2. Bendahara pemerintah, instansi dan lembaga pemerintahan yang sumber dananya

berasal dari APBN
3. Badan usaha tertentu yang meliputi BUMN, BUMN yang dilakukan
restrukturisasi oleh pemerintah, badan usaha tertentu yang dimiliki secara
langsung oleh BUMN.
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidan industri semen, kertas, baja, otomotif,
dan farmasi atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri
5. ATPM, APM, dan IU kendaraan bermotor atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri
6. Produsen atau importir BBM, BBG dan Pelumas, atas penjualan produkproduknya
7. Badan usaha yang memproduksi emas batangan
8. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sector kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industrinya
9. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan maupun orang
pribadi
b. PPh Pasal 23
PPh 23 adalah pajak penghasilan yang dipotong dari WP dalam negeri dan BUT yang
berasal dari pemanfaatan modal (dividen, bunga, royalty) pemberian jasa (sewa atau
imbalan jasa) atau penyelenggaraan kegiatan selain yang sudah dipotong PPh pasal

21. Pemotong PPh pasal 23 adalah badan pemerintah, WP Badan, WP OP tertentu
yang ditunjuk oleh DJP, BUT, Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya,
penyelenggara kegiatan. (DJP, 2012)

c. PPh pasal 26
PPh pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dipotong dari penghasilan WP luar
negeri atas penghasilan yang tidak berasal dari menjalankan usaha atau kegiatan
melalui BUT yang bersumber dari Indonesia. Pemotong PPh pasal 26 adalah SPDN,
badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, BUT, perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya selain BUT. (DJP, 2012)
d. PPh pasal 4(2)
PPh pasal 4(2) adalah pajak penghasilan yang dipotong dari penghasilan dengan
perlakuan tersendiri yang diatur melalui peraturan pemerintah, dan bersifat final.
Selain dipotong pihak ketiga, PPh pasal 4(2) ada yang disetorkan sendiri oleh WP
yang bersangkutan.(DJP, 2012)
e. PPh pasal 15
PPh pasal 15 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan yang menggunakan norma
penghitungan khusus untuk golongan WP tertentu, agar memudahkan WP tersebut
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Untuk menghitung besarnya
penghasilan kena pajak bagi golongan WP tertentu tersebut, Menteri Keuangan diberi

wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung
besarnya penghasilan netto dari WP tertentu tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Objek Withholding Tax Pasal 22
1. Objek PPh Pasal 22
PPh pasal 22 dipungut atas beberapa jenis objek :
a. Atas impor barang mewah tertentu, seperti yang dijelaskan di dalam lampiran PMK
107/PMK.010/2015. Tarif yang dikenakan adalah 10%.
b. Atas impor barang selain yang disebutkan di dalam lampiran diatas. Tarif yang
dikenakan bervariasi. Jika importir memiliki angka pengenal impor, maka dipungut
sebesar 2,5%, sedangkan jika tidak memiliki angka pengenal impor maka dipungut
sebesar 7,5%.
c. Atas semua transaksi pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara
Pemerintah,BUMN dan BUMD, dengan tarif sebesar 1.5%.
d. Atas penjualan hasil produksi industri :
-


Kertas, dengan tarif 0,1%

-

Semen, dengan tarif 0,25%

-

Baja dan obat, dengan tarif 0,3%

-

Otomotif, dengan tarif 0,45%

e. Atas penjualan hasil produksi BBM, BBG dan Pelumas dengan tarif 0,25% untuk
SPBU Pertamina dan 0,3% untuk selain itu. Pungutan kepada penyalur bersifat final,
sedangkan kepada bukan penyalur bersifat non final
f. Atas pembelian barang untuk keperluan industri dari pedagang pengumpul dikenakan
tarif 0,25%
g. Atas penjualan barang sangat mewah seperti kapal pesiar, pesawat udara, rumah

beserta tanahnya dengan nilai pengalihan lebih dari 5 milyar atau luas lebih dari
400m persegi, apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan nilai pengalihan lebih

dari 6 milyar atau luas lebih dari 150m persegi, kendaraan bermotor roda empat
dengan harga jual lebih dari 2 milyar atau kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc
dikenakan tarif 5%
2. Pengecualian objek PPh pasal 22
Ada beberapa pengecualian transaksi yang tidak dipungut PPh pasal 22 :
a. Impor barang yang berdasarkan peraturan perundangan tidak terutang pph,
dinyatakan dengan SKB. PMK no 90/PMK.03/2015 mengatur bahwa pengecualian
pemungutan PPh jika pembeli bukan subjek pajak.
b. Impor barang yang dibebaskan bea masuk dan atau PPN
c. Impor yang bertujuan untuk diekspor kembali
d. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya dengan jumlah
paling banyak 2 juta rupiah, dan bukan merupakan pembayaran yang terpecah pecah
e. Pembelian BBM, gas, air minum, dan benda2 pos
f. Emas batangan yang akan diproses menjadi perhiasan untuk tujuan exspor,
dinyatakan dengan SKB
g. Pencairan dana JPS
h. Impor kembali atas barang yang telah diekspor dengan tujuan perbaikan, pengerjaan,

dan pengujian
i. Pembelian beras dan gabah oleh bulog
3. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang
dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 )
terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang
dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6)
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);

5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang
dan dipungut pada saat pembelian.

2.2 Objek withholding tax pasal 23
1. Objek PPh pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas
modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Objek PPh pasal 23 dikelompokkan menjadi 2 jenis berdasarkan tarif yang dikenakan
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%,
tergantung dari objek PPh 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif PPh 23 dan objek PPh
Pasal 23 :
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
a. Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan
royalti;
b. Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan
harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa
konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus
2015. Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:
a. Penilai (appraisal);
b. Aktuaris;
c. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Hukum;
e. Arsitektur;
f. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;

g. Perancang (design);
h. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang
dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
i. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
j. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak
dan gas bumi (migas);
k. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
l. Penebangan hutan;
m. Pengolahan limbah;
n. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
o. Perantara dan/atau keagenan;
p. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
q. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
r. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
s.

Mixing film;

t. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho
dan folder;
u. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
v. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
w. Internet termasuk sambungannya;
x. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
y. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel,
selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
z. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
aa. Dll, sesuai penjelasan PMK 141/PMK.03/2015
2. Pengecualian objek PPh pasal 23

Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:
a. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
b. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
 Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor;
 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
 SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
 Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
3. Saat terutang PPh pasal 23
 PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk
dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
 PP 94 tahun 2010 menjelaskan bahwa Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang
ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik
atau jasa manajemen atau jasa lainnya

2.3 Objek withholding tax pasal 26
1. Objek PPh pasal 26
PPh pasal 26 dipotong terhadap Subjek pajak luar negeri, dengan pembagian tarif berdasarkan
objeknya :

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri berupa :

a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau BUT di Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia
dengan negara pihak pada persetujuan.
2. Pengecualian dari pemotongan PPh pasal 26
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan

syarat:

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya
dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya
dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan,
mulai berproduksi komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3. Saat terutang PPh pasal 26
PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2.4 Objek withholding tax pasal 4 ayat 2
1. Objek PPh pasal 4 ayat 2
PPh pasal 4 ayat 2 bersifat final. Istilah 'final' di sini berarti bahwa, jenis pajak ini harus
diselesaikan / lunas dalam masa pajak yang sama seperti mereka diterima, dan tidak perlu
dilaporkan lagi pada akhir tahun pajak.
Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) dikenakan pada jenis tertentu dari penghasilan / pendapatan,
dan berupa:
 bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan dengan tarif 20%, bunga dari obligasi
dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota masing-masing;
 hadiah berupa lotere / undian dengan tarif 25%
 transaksi saham dan surat berharga lainnya,

 transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dengan tarif yang
bervariasi dan
 pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan
Pemerintah. (contoh PP 46 tahun 2013)
Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu, dimana
perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib
menyelesaikan pajak ini saja. Dengan kata lain, perusahaan menyetorkan sendiri pajaknya.
Dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua perusahaan, maka pembayar harus mengumpulkan
dan menyelesaikan pajak bukan penerima.
2.5 Objek withholding tax pasal 15
1. Objek PPh pasal 15
Norma Perhitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang
tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri
keuangan.
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak
tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi
luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan-guna-serah ("build, operate, and
transfer")
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis, atau sesuai dengan
kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan Norma Perhitungan Khusus guna menghitung besarnya
penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
Tabel Tarif PPh Pasal 15
N

Uraian
o
1 Charter

Tarif x DPP
1,8%x Peredaran Bruto

Penyetoran & Pelaporan
Disetor oleh pemotong paling

Dasar Hukum
 KMK

Penerbangan

yang diterima

Dalam Negeri berdasarkan perjanjian
charter.

lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.

475/KMK.04/1996
 SE 35/PJ.4/1996

Setor dengan menggunakan SSP,
dengan:

TIDAK FINAL

KAP: 411129,
KJS: 101
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling lambat

2 Perusahaan
Pelayaran

tanggal 20 bulan berikutnya.
1,2% x Peredaran bruto Disetor oleh pemotong: disetor
FINAL

Dalam Negeri

paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.

 KMK
416/KMK.04/1996
 SE 29/PJ.4/1996

Disetor sendiri:disetor paling
lambat tanggal 15 bulan
berikutnya
Setor dengan menggunakan SSP,
dengan:
KAP: 411128
KJS: 410
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling
lambattanggal 20 bulan
3 Perusahaan
pelayaran dan

berikutnya.
2,64% x Peredaran Bruto Disetor oleh pemotong:disetor
FINAL

paling lambat tanggal 10 bulan

penerbangan

berikutnya.

Luar Negeri

Disetor sendiri:disetor paling
lambat tanggal 15 bulan
berikutnya
Setor dengan menggunakan SSP,
dengan:
KAP: 411128,

 KMK
417/KMK.04/1996
 SE 32/PJ.4/1996

KJS: 411
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling lambat
4 WPLN yang

tanggal 20 bulan berikutnya.
Untuk negara yang tidak Disetor sendiri paling

 KMK

mempunyai

ada P3B dengan

lambattanggal 15 bulan

634/KMK.04/1994,

kantor

Indonesia:

berikutnya setelah bulan diterima

berlaku mulai 1

perwakilan

0,44% x nilai ekspor

penghasilan.

Januari 1995

dagang di

bruto

Disetor dengan menggunakan SSP

Indonesia

Penghasilan neto= 1% x dengan:

667/PJ/2001,berlak

nilai ekspor bruto

KAP: 411128

u mulai 29 Oktober

Untuk negara yang

KJS: 413

2001

mempunyai P3B dengan Dilaporkan paling lambat tanggal
Indonesia:

20bulan berikutnya dengan

disesuaikan dengan tarif menggunakan Formulir dalam
P3B, untuk contoh

 KEP

 SE 2/PJ.03/2008,
ditetapkan tgl 31
Juli 2008.

Lampiran I KEP

penghitungan lihat di SE 667/PJ./2001 dan dilampiri SSP
2/PJ.03/2008.

lembar ke-3.

FINAL
5 WP yang
melakukan

7% x tarif tertinggi Pasal Disetor dengan menggunakan SSP
17 ayat (1) huruf b UU PPh Final paling lambat tgl 15

kegiatan usaha PPh x total biaya

bulan berikutnya.

jasa maklon

pembuatan atau perakitan KAP: 411128

(Contract

barang tidak termasuk

KJS: 499 (krn tdk ada disebutkan

Manufacturing biaya pemakaian bahan

secara spesifik ttg jasa maklon ini)

) Internasional baku (direct materials).

Dilaporkan paling lambat tgl 20

di bidang

Didalam SE

bulan berikutnya. Tetapi tidak ada

produksi

02/PJ.31/2003

formulir khusus utk pelaporannya.

mainan anak- disebutkan:
anak.

7% x 30% x total biaya
pembuatan atau perakitan

 KMK
543/KMK.03/2002
 SE 02/PJ.31/2003

barang tidak termasuk
biaya pemakaian bahan
baku (direct materials).
FINAL
berlaku sejak 1 Januari
2003

2.6 Tax planning atas withholding tax
1. Efisiensi PPh pasal 22
Pihak yang dipungut PPh pasal 22 dapat menjadikan sebagai kredit pajak ditahun berjalan
sehingga dapat mencatatnya sebagai pajak dibayar dimuka. Dengan syarat kelengkapan dokumen
seperti SSPCP sudah dimiliki. Selain itu, untuk perusahaan yang mengimpor barang yang secara
perundangan tidak terutang PPh pasal 22, dapat mengajukan SKB
2. Efisiensi PPh pasal 23
1. Mengetahui peraturan-peraturan terkait
Dalam hal ini, suatu wajib pajak harus terlebih dahulu mengetahui peraturan-peraturan
yang menjadi dasar PPh Pasal 23. Peraturan yang terkait dengan PPh Pasal 23, dapat di
lihat pada Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 pada Pasal 23 yang mengatur
mengenai pihak yang melakukan pemotongan, objek pemotongan, tarif yang digunakan
dan jenis penghasilan yang tidak termasuk dalam PPh ini, PMK 141/PJ/2015 yang
mengatur mengenai jasa lain (pasal 23 ayat 1 huruf c angka 2), SE-35/PJ/2010
menjelaskan mengenai jumlah bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak PPh Pasal 23,
PerDirjen No. Per-53/PJ/2009 bentuk formulir surat pemberitahuan.
2. Menghindari penggunaan nama akun-akun yang bisa menimbulkan sebagai objek pajak
PPh Pasal 23
3. Membedakan penghasilan atas pembelian material/bahan baku/ barang dan imbalan atas
jasa
Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan dari sisi penjual dengan memisahkan antara
nominal penjualan barang dengan imbalan atas jasa. Seperti halnya apabila melakukan
servis kendaraan maupun ac atau sejenisnya jika pada saat servis terjadi penggantian

spare part dan imbalan atas jasa servis tersebut maka sebaiknya dibedakan antara
penjualan atas barang dan jasa tersebut agar hanya di potong pajak untuk jasanya saja.
4. Dapat menafsirkan mengenai jasa-jasa lain yang termasuk ke dalam objek pemotongan
PPh Pasal 23 (PMK 141/PJ/2015)
Sebaiknya wajib pajak dapat menafsirkan atau mendefinisikan secara baik akan jasa-jasa
yang terdapat dalam PMK 141 sehingga tidak terjadi kesalahan pemotongan terhadap
suatu penghasilan.
5. Mengajukan surat keterangan bebas pemungutan/pemotongan PPh atas wajib pajak
dengan peredaran bruto tertentu (Per-32/PJ/2013)
6. Dalam hal menghadapi Wajib Pajak yang tidak bersedia dipotong/dipungut pajaknya,
Wajib Pajak dapat memilih alternatif seperti melakukan metode gross up. Karena apabila
wajib pajak memperoleh laba (tidak menderita kerugian) dan pengenaan pajaknya tidak
bersifat final, pajak yang harus dipotong akan lebih menguntungkan apabila dihitung
dengan menggunakan metode gross up ke dalam objek pemotongan (withholding tax)
sehingga pajak yang dipotong dan disetor dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan, akan tetapi jika Wajib Pajak sedang dalam keadaan rugi atau pajaknya
bersifat final, menggunakan metode gross up tidak efisien karena akan menambah jumlah
pajak yang harus dibayar.
7. Melakukan ekualisasi beban atau biaya yang terkait langsung dengan PPh Pasal 23
a. Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 23, khususnya yang terkait dengan
objek PPh pasal 23, dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
b. Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh pasal 23 harus diberi kode khusus, misalnya #23#
di awal deskripsinya.
c. Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 23 yang tersebar di akun-akun
biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan
dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 23. Jika masih timbul selisih,
maka perusahaan harus meneliti:
1) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di
neraca (aktiva)?

2) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam
neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?

3. Efisiensi PPh pasal 26
1. Wajib Pajak dapat memanfaatkan pejanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang
berlaku apabila kedua atau lebih negara yang memiliki tax treaty
2. Memanfaatkan tax haven country untuk meminimalkan beban pajak
4. Efisiensi PPh pasal 4 ayat 2
a. Tingkatkan pemahaman yang komprehensif mengenai ketentuan PPh pasal 4 ayat
2
b. Memahami saat terutangnya pajak
c.

Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh 4 (2) :

1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 4(2), khususnya yang terkait dengan
objek PPh pasal 4(2), dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh pasal 4(2) harus diberi kode khusus, misalnya #4(2)# di
awal deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 4(2) yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak
menurut SPT Masa PPh pasal 4(2). Jika masih timbul selisih, maka perusahaan harus
meneliti:
a) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva)?
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?
5. Efisiensi PPh pasal 15
a. Memahami Ketentuan PPh Pasal 15 Secara Komprehensif
b. Memahami Saat Terutangnya Pajak

c. Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 15
1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 15 dikumpulkan menjadi satu kelompok
akun.
2) Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh pasal 15 harus diberi kode khusus, misalnya #15# di awal
deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 15 yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak
menurut SPT Masa PPh pasal 15. Jika masih timbul selisih, maka perusahaan harus
meneliti:
a) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva)?
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?

2.6 Apa yang seharusnya dilakukan apabila terjadi kesalahan pemotongan, pelaporan,
dan pembayaran PPh Pot Put
1. Kesalahan dalam pemotongan nominal PPh
Hal yang harus dilakukan jika terjadi kesalahan dalam pemotongan jumlah
nominal PPh yang di potong atau di pungut dari lawan transaksi jika SPT Masa
yang bersangkutan telah dilaporkan adalah dengan mengajukan pembetulan atas
SPT Masa PPh Pot Put yang bersangkutan. Kelebihan pembayaran atas PPh yang
telah di potong atau di pungut tersebut kemudian dapat diajukan pemindahbukuan
ke SPT Masa bulan berikutnya.
Jika kesalahan pemotongan atas PPh tersebut belum sempat dilaporkan namun
sudah dibayarkan, maka hal yang harus dilakukan adalah mengajukan
pemindahbukuan atas selisih pembayaran tersebut ke SPT Masa bulan berikutnya.
Contoh :
PT X pada tanggal 2 Oktober 2016 mendapat tagihan sebesar 26.000.000 atas jasa
pelaksana konstruksi