View of PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU

  

PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU

Mohammad Darwis

  Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: mohammad.darwis70@gmail.com

  Abstrak

  Tulisan ini mencoba membahas secara kritis tentang peran ulama dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU). Kajian ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa NU memiliki pandangan tersendiri tentang konsep ulama, mulai dari pendefinisaiannya, posisi dan peran ulama khususnya dalam konteks NU sendiri. lebih dari itu NU cenderung dipersepsikan sebagai organisasi yang identik dengan ulama, sesuai dengan namanya. Nampaknya pengidentikan tersebut bukan tanpa landasan, karena memang secara historis NU lahir dari rahim para ulama, utamanya ulama pesantren. Dengan demikian tidak mengherankan jika selanjutnya dalam AD/ART-nya NU menempatkan posisi ulama dalam puncak kepengurusan yang memiliki otoritas khusus. Selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan keagamaan masyarakat, NU memiliki forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Secara struktural LBM merupakan lembaga otonom NU yang berada di bawah koordinasi pengurus syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren. Selanjutnya bahasan dalam kajian ini focus pada beberapa hal, antara lain; pengertian kiai dan ulama dalam perspektif NU dan problematika LBM. Pada focus pertama tulisan ini menelaah secara kritis perspektif NU tentang perbedaan kiai dan ulama serta posisi masing-masing dalam masyarakat. Sementara pada focus kedua tulisan ini mengka ji secara kritis terkait dengan profil LBM, kitab mu’tabarah sebagai refrensi sah dalam forum LBM serta metode pengambilan keputusan di LBM. Untuk bahasan metode pengambilan keputusan di LBM, tulisan ini cenderung secara spesifik mengkritisi mazhab yang dipakai di LBM. Sebagai penutup, dalam tulisan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk lebih baiknya kajian serupa yang lebih baik di masa yang akan datang.

  Kata Kunci : Ulama, Pesantren, NU Pendahuluan

  Mulai sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyyah sekaligus gerakan diniy ah islamiyah dan ijtima’iyah menjadikan Ahlussunnah Wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar berakidah). Sementara dalam permasalahan fiqih, NU menganut dari salah satu empat mazhab; Hanafi,

  Mohammad Darwis

  Maliki, Syafi’I dan Hambali. Dengan mengikuti empat mazhab ini, menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah). Meskipun demikian dalam kesehariannya para ulama NU menggunakan fiqh masyarakat indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi’i. hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi’I. hanya dalam keadaan tertentu- untuk idak terlalu melawan budya konvensional- berpaling kepada mazhab lain.

  Prinsip ajaran ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana di atas menimbulkan konsekwensi munculnya paham ke-ulamaan di kalangan NU. Paham ke-ulamaan ini selanjutnya secara logis berimplikasi terhadap adanya keharusan menghormati ulama dan mengakui kepemimpinan serta

  1

  otoritasnya. Dalam NU paham keulamaan diejewantahkan dalam bentuk

  2

  formulasi yang sangat jelas. Penempatan lembaga Syuriah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti perwujudan paham ke- ulamaan tersebut. Secara formal keharusan mengakui kedudukan dan otoritas ulama itu tertulis dalam AD/ART NU, yang selanjutnya menimbulkan

  3 konsekwensi psikologis bagi NU baik secara structural maupun kultural.

  Selanjutnya dalam memutuskan sebuah hukum, NU memiliki sebuah forum yang dinamakan Bahtsul Masail. Forum ini dikoordinasi oleh Dewan Syuriah NU dan bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam 1 baik yang berkaitan dengan fiqih, tauhid maupun tasawwuf.Mengingat begitu

  

Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Jakarta; PT. Duta Aksara

2 Mulia, 2010), hlm. 186.

  

Secara structural, NU memiliki dua lembaga kepengurusan yaitu lembaga Syuriah dan

Tanfidziyah. Lembaga Syuriah terdiri dari kalangan para ulama/kiai pesantren. Syuriah

merupakanpimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan

mengawasi kegiatan NU. Sementara Tanfidziyah terdiri dari berbagai kalangan mulai dari

akademisi, pesantren dan masyarakat umum, dan mereka bertugas sebagai pelaksana harian dari

3 organisasi tersebut.

  

Bagi NU secara structural dan organisatoris dapat dilihat dari pola pemilihan ketua umum

tanfidziyah yang harus disetujui oleh ketua syuriah terpilih. Sementara secara kultural masyarakat

NU akan menolak calon tanfidziyah yang tidak dilegetimasi oleh syuriah tersebut. Baca Ibid, 188.

  Peran Ulama Pesantren

  pentingnya penyelesaian masalah umat utamanya yang terkait dengan hukum agama maka forum Bahtsul Masail memiliki nilai urgensi yang segnifikan dalam keorganisasian NU. Sehingga tidak heran, jika forum tersebut bukan hanya dikoordinasikan oleh para ulama/kiai NU akan tetapi yang hadir dalam forum tersebut mayoritas adalah para ulama itu sendiri baik yang berada pada struktur kepengurusan syuriah maupun yang berada diluar kepengurusan

  4

  termasuk para pengasuh pesantren. Adanya fenomina kehadiran para ulama tersebut menjadi nilai tambah bagi legitimednya hasil keputusan yang dihasilkan oleh forum Bahtsul Masail tersebut.

  Mengingat perihal di atas, maka menjadi sangat penting adanya standarisasi ulama atau adanya keriteria tokoh atau orang yang bisa dikatagorikan ulama, agar menjadi tidak kabur dalam konteks pemahaman NU itu sendiri.

  

Kiai Dan Ulama Dalam Persepektif NU; Persamaan dan Perbedaan Serta

Posisinnya

  5 Kiai seringkali disamakan dengan ulama , bahkan di Indonesia sebutan

  kiai bagi seorang ulama lebih familier dan lebih umum. Istilah Kiai secara normative-teologis selama ini masih belum didapatkan landasannya yang kokoh. Selama ini istilah kiai lebih cenderung dipahami dari sudut pandang sosiologis-antropologis yaitu merujuk kepada figur tertentu yang memiliki

  6 kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama islam.

  Secara spesifik kiai merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang yang ahli dalam agama Islam, terutama yang memiliki

  7 4 pesantren dan mengajar kitab kuning kepada para santrinya. Namun

Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan

  

Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), pengantar (Surabaya; Khalista,

5 2007), hlm. Vi. 6 WJS Purwodarminto, kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 505.

  

Baca Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

7 2007), hlm. 20.

  

Pada hakikatnya dalam masyarakat jawa istilah kiai menrujuk pada tiga gelar; pertama, kiai

merupakan sebutan benda-benda pusaka atau barang terhormat, seperti kiai pleret sebagai sebutan

  Mohammad Darwis

  demikian, seiring dengan dinamika dan perubahan zaman, gelar kiai ternyata tidak hanya ditujukan kepada mereka yang memilki pondok pesantren. Sebagaimana Endang Turmudzi yang membagi tipologi kiai menjadi empat tipologi, yaitu; kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai

  8

  panggung. Keempat tipologi tersebut bukanlah suatu yang mandiri secara tegas antara satu dengan tang lain, karena sangat mungkin pada diri seorang kiai melekat lebih dari satu tipologi.

  Betapapun pesatnya perkembangan pendefinisian kiai dengan dinamika tolak ukurnya, Abdurrahman Wahid tetap mensyaratkan bahwa gelar kiai hanya tepat diberikan kepada seorang ahli ilmun agama islam yang memiliki pesantren dan santri. Sehingga, seseorang bisa disebut kiai jika dia

  9

  menguasai ilmu agama islam, memiliki pesantren dan santri. Lebih dari itu, Deliar Noer mengakui bahwa konsep kiai di satu sisi mencitrakan sebagai seorang ahli agama yang shalih, sementara di sisi yang lain merupakan sebutan bagi orang yang memiliki ilmu mistik. Dengan demikian, dalam struktur masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa kiai merupakan perpaduan keahlian keagamaan berikut keshalihan dengan keahlian ilmu

  10 mistik, linuih dan semacamnya.

  Selanjutnya kiai sering rancu saat berhadapan dengan kata lain yang sejenis seperti ulama. Dalam konteks ini menjadi penting ditelusuri apakah ada perbedaan diantara keduanya baik dalam pengertian maupun tingkatan hirarkis struktural keduanya.

  

gelar dari sebuah tombak dari kraton Surakarta, kiai slamet sebutan hewan peliharaan (kerbau) di

kraton Surakarta yang dikramatkan oleh masyarakat. Kedua, kiai ditujukan kepada orang tua atau

tokoh masyarakat dan disingkat ki, seperti ki ageng, ki buyut, ki temanggung dan lain-lain. Ketiga,

kiai adalah sebutan orang yang ahli dalam bidang ilmu agama islam, memiliki pesantren dan

mengajar kitab kuning. Bandingkan dengan Zamakhsari Dhofier, Tradidi Pesantren; Studi

8 Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982)), hlm. 55.

  

Pembagian tipologi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Endang Turmudzi terhadap kiai di

Jombang. Baca Endang Turmudzi, perselingkuhan Kiai dan kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004),

9 hlm. 32. 10 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampain Pesantren (Jakarta: darma Bhakti, 1984) hlm. 10.

  

Deliar Noer, Gerakan Modern islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 19.

  Peran Ulama Pesantren

  Jika pengertian kiai telah dipaparkan sebagaimana di atas, maka paparan berikut adalah terkait dengan pengertian ulama. Kata ulama adalah

  11 bentuk jama’ dari kata al-aliim yang berarti yang memiliki pengetahuan.

  Adapun pengertian ulama secara terminologi selama ini berangkat dari beberapa sudut pandang, antara lain; normatif-teologis, sosiologis- antropologis. Dari sudut pandang normative-teologis, ulama didefinisikan denagan mengacu kepada penegasan al- Qur’an, yaitu orang-orang yang berilmu pengetahuan, karena selalu membaca alam yang berdampak pada munculnya rasa takut kepada Allah dalam jiwanya. Dengan demikian ulama adalah perpaduan antara kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan moral. Artinya, seorang ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan

  12

  sekaligus prilaku yang baik. Lebih dari itu, krakteristik yang harus dimiliki ulama adalah karakteristik sebagaimana yang dimiliki para nabi, yaitu sebagai

  13 pembawa risalah dan sebagai pelaksana ri’asah.

  Pengertian ulama dari sudut pandang normatif-teologis seperti di atas, secara sosiologis-antropologis akan menghadapi persoalan simantis maupun aplikatif. Hal tersebut disebabkan terjadinya pemahaman yang bias dan sering over lapping dalam masyarakat tentang seorang yang bisa disebut ulama. Hal tersebut karena dari sudut pandang sosiologis-antropologis ulama merupakan gelar yang kadang-kadang diperoleh bukan karena kredibilitas pribadinya (seperti halnya dalam perspektif normatif), namun karena tradisi “warisan” dari generasi ke generasi dan didukung oleh keluarga ulama sebagaimana

  14

  yang terjadi di daerah pedesaaan. dalam tradisi pesantren di Jawa, banyak

  11 12 Louis Ma’luf, Qamus al-Munjid (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyah, 1951),hlm. 551.

  

Bandingkan dengan Quraish Shihab, Dia dimana- mana, “Tangan” tuhan di balik setiap

13 Fenomena (Tangerang: Lentera hati, 2005), hlm. X.

  

Baca Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al- „Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, Juz XXII

(Beirut: Dar al-Fikr al- 14 Mu’asr, 1998), hlm. 261.

  Bandingkan dengan Achmad Patoni, peran Kiai pesantren dalam partai politik, hlm. 34.

  Mohammad Darwis

  peluang dari keturunan kiai atau ulama untuk lebih cepat meraih status

  15 sebagaimana status orang tuanya.

  Dalam rangka memberikan batasan yang jelas tentang ulama serta meminimalisir terjadinya bias dalam penganugrahan ulama dalam persepektif sosiologis sebagaimana di atas, NU berupaya memberikan batasan dan kriteria ulama, sebagai berikut; pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini di dasarkan pada firman Allah dalam surat Fathir 28, yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba- hambaNya hanyalah ualama..”. Kedua, seorang ulama memiliki tugas utama mewarisi misi Rasulullah dalam segala ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental serta moralnya. Ini di dasarkan pada had its Nabi yang artinya “Ulama adalah pewaris para nabi”. Ketiga, seorang bisa disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti, tekun beribadah, Zuhud, memiliki kedalaman ilmu agama, peka terhadap kemaslahatan umat, istikomah dan ihlas mengabdi kepada

16 Allah.

  Perbedaan Kiai dan Ulama

  Jika didasarkan pada pembahasan tentang kiai dan ulama sebagaimana di atas, membedakan keduanya bukanlah hal yang mudah. Paparan pengertian tentang kiai dan ulama memiliki persamaan yang kuat meskipun sangat terasa adanya peluang membedakan keduanya. Belum lagi dalam kenyataan sosial kemasyarakatan, membedakan dua hal tersebut (baca: kiai dan ulama) yang kadang-kadang melekat pada satu orang atau satu tokoh menjadi kesulitan tersendiri dalam upaya mengklasifikasi keduanya. Di tambah kerancuan penyebutan keduanya di masyarakat yang hampir dipersepsikan sama dan

15 Pendapat ini didasarkan pada tradisi yang berlaku di pesantren-pesantren di jawa Timur, bahwa

  

semenjak kecil, putra kiai/ulama sudah dipanggil dengan sebutan ‘Gus’ (singkatan dari gusti atau

Bagus) dangan maksud Gus itu yang nantinya akan menggantikan ayahnya. Baca Choirul anam,

16 pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul ulama , hlm. 186.

  Ibid, 187.

  Peran Ulama Pesantren

  17

  tidak memiliki perbedaan. Seseorang peneliti sekelas Cliffort Geertz pun mengakui bahwa antara konsep kiai dan ulama memang cukup

  18 membingungkan dan tidak mudah dibedakan.

  Namun demikian ada ungkapan yang cukup mudah dalam upaya memahami keduanya, yaitu bahwa kiai dalam perspektif normatif sebagaimana di atas bisa dikatagorikan ulama, tetapi tidak semua kiai dapat disebut sebagai ulamadalam persepektif yang sama.

  Upaya yang lebih spesifik dalam rangka membedakan dan mengklasifikasikan antara kiai dan ulama datang dari seorang peneliti dan ahli antropologi Jepang yang bernama Hiroko Horikoshi. Menurut Horikoshi, dalam konteks Indonesia kiai berbeda dengan ulama ditinjau dari perspektif pengaruh karismanya. Karisma yang dimiliki kiai lebih tinggi dan lebih unggul dari ulama. Hal tersebut dikarenakan kiai disamping sosok orang yang alim juga seorang yang berpengaruh, baik bagi kalangan masyarakat umum (baca:pedesaan) maupun bagi kalangan pejabat dan elit politik. Sementara ulama meskipun dia sosok orang yang alim, namun pengaruhnya hanya dikalangan masyarakat desa yang khas, lokal serta lebih otonom. Dengan demikian, Horikoshi memberikan pemahaman bahwa antara ulama dan kiai merupakan tahapan hierakis dimana ulama lebih rendah dibandingkan dengan

  19 kiai.

  Namun, pandangan Horikoshi di atas nampaknya perlu di kritisi karena terdapat bias dan inkonsistensi dengan realitas yang berkembang dalam 17 kultur masyarakat islam Indonesia, khususnya Jawa. Ada dua hal yang bisa

  

Adanya persepsi yang sama dan sulit dibedakan antara kiai dan ulama dipertegas dengan adanya

patokan para peneliti seperti Zamakhsari Dhofir, Kareel Steenbrink, Hube de Jonge dan Bousma,

Deliar Noor bahwa antara kiai dan ulama merupakan satu kelompok masyarakat yang ahli dalam

masalah hukum agama, serta memilki kemampuan yang cermat dalam membaca pemikiran

masyarakat di sekitarnya. Di samping ituberbagai kelebihan yang mereka miliki, mereka juga

sangat dominan dan efektif dalam mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat. Mereka dapat

memposisikan diri sebagai pemimpin local yang kharismatik yang dituntut oleh masyarakat dan

18 lingkungannya. Baca Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam partai Politik, hlm. 38. 19 Cliffort Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press Glencae, 1960),hlm. 134.

  Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987) hlm. 12.

  Mohammad Darwis

  dijadikan pertimbangan dalam mengkritisi pandangan Horikoshi di atas, yaitu; pertama, anatara kiai dan ulama bukanlah dua entitas atau figure yang dapat dibedakan secara tegas, karena sangat mungkin kedua gelar tersebut melekat kepada satu orang. Kedua, dalam konteks sosiologis masyarakat islam Indonesia, penjelasan Horikoshi tentang ulama justru berbeda secara diametral dengan konsep ulama dalam pandangan masyarakat islam Indonesia. Masyarakat menilai justru ulama yang memiliki pengaruh lebih luas meskipun tidak sekekal yang dimiliki kiai. Karasteristik ulama melekat pada seorang yang memiliki keluasan ilmu agama meskipun tidak disebut sebagai kiai. Kapasitas keilmuannya itulah yang menjadi sumber pengaruh ulama uatamanya bagi kalangan akademisi dan masyarakat perkotaan. Sementara sebutan kiai tidak selalu dapat disebut dengan ulama karena gelar kiai bisa melekat pada beragam karasteristik. Dengan demikian sebutan kiai dan ulama memiliki relativitas makna, tergantung kepada konteks sosial, politik dan budaya masyarakat.

  Posisi dan Peran Ulama Dalam Perspektif NU

  Dalam pembahasan ini, selanjutnya penyebutan ulama dan kiai tidak lagi dikotomikan, akan tetapi diberikan makna yang sama dengan sebutan kiai. Artinya ulama dipersepsikan sama dan tidak berbeda dengan kiai. Hal tersebut didasarkan pada realitas yang terjadi dalam masyarakat Jawa utamanya masyarakat NU dan disebabkan sulitnya membedakan keduanya baik dalam perspektif normatif maupun sosiologis, sebagaimana dijelaskan di atas.

  Sebagaimana diketahui, bahwa NU merupakan organisasi yang dilahirkan oleh kiai-kiai pesantren. Nama Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan para ulama yang menjadi nama dari organisasi tersebut mengisyaratkan akan posisi dan peran ulama yang begitu dominan dan signifikan dalam organisasi kemasyarakatan tersebut. Paham keulamaan yang pada mulanya hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat sekelilingnya (semisal; tata hubungan santri dengan kiai dan anggota

  Peran Ulama Pesantren

  masyarakat dengan pesantren yang penuh kesopanan dan penghormatan kepada otoritas ulama atau kiai) seakan-akan menemukan wadah untuk diwujudkan dalam bentuk dan formulasi yang jelas dalam struktur NU. Peran ulama pesantren yang sangat menonjol di NU menjadikan budaya pesantren sebagai budaya dalam perjalanan roda organisasi tersebut.

  Dalam NU Ulama ditempatkan dalam posisi tertinggi baik secara structural maupun kultural. Penempatan Lembaga Syuriah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU, merupakan bukti nyata perwujudan paham keulamaan dan panetrasi budaya kepesantrenan dalam organisasi

20 NU.

  Penempatan posisi ulama atau yang begitu tinggi dalam NU telah dikukuhkan dalam aturan organisasi yang memiliki kekuatan legal. Hal tersebut tertulis dalam AD- ART NU yang berbunyi “kepengurusan NU terdiri dari syuriah dan tanfidziyah. Syuriah merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidziyah merupakan pelaksana sehari- hari”. Lebih dari itu pengurus syuriah yang terdiri dari para ulama atau kiai memiliki hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organisasi. Otoritas ini juga dicantumkan dalam AD-

  ART NU, yaitu “dalam rangka pembinaan, pembimbingan dan pengawasan, maka syuriah berkewajiban setiap saat memberikan teguran, saran bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi. Apabila suatu keputusan atau kebjaksanaan suatu perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam, maka syuriah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam suatu rapat pengurus syuriah

  21 lengkap”.

  Dengan demikian bisa dikatakan ulama atau kiai dalam struktur NU 20 memiliki posisi yang sangat tinggi dan peran yang dominan dan signifikan. 21 Baca Choirul Anam, Prtumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, hlm. 188.

  Ibid.

  Mohammad Darwis

  Peran ulama dalam struktur NU bukan hanya sekedar pimpinan tertinggi, tetapi juga menjadi pengawas, pembimbing, Pembina dan penegur apabila terjadi penyimpangan dalam pandangan mereka. Sementara dalam tataran kultural, ulama atau kiai memiliki posisi yang tidak kalah penting dalam kultur masyarakat NU. Keberadaan ulama atau kiai ditengah-tengah santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan dengan posisi para raja di Jawa, dimana raja benar-benar memiliki peran penting dalam rangka mengarahkan masyarakatnya. Hanya saja yang berbeda adalah; pertama, keberadaan raja lebih sebagai pemimpin suatu komunitas plural dengan sumber legetimasi social yang ascribed. Sedangkan kiai merupakan komunitas yang homogenreligius yang legetimasinya bersifat socially achieved. Kedua, titah raja berdasarkan aturan kerajaan yang bersifat sekuler, sedangkan titah kiai selalu diatasnamakan dan di bawah panduan legitimasi

  22 hukum-hukum Tuhan dan sunnah Nabi serta pendapat Ulama salaf.

  Problematika Lembaga Bahtsul Masail (LBM) a. Mengenal LBM

  NU dalam struktur organisasinya memiliki suatu lembaga Bahtsul Masail (LBM). Lembaga ini berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan terutama masalah fiqih.

  Tugas lembaga ini adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU. Urgensitas inilah yang kemudian secara logis menuntut peran signifikan dari figur utama dalam NU yaitu ulama dalam forum tersebut. Sehingga Lembaga Bahtsul Masail (LBM) tersebut langsung dikoordinatori oleh kepengurusan

  23

  syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU. Dengan demikian, 22 LBM menjadi forum diskusi para alim ulama dalam menetapkan hukum 23 Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 3.

  

Bandingkan dengan Soeleiman Fadeli, Antologi NU; sejarah-istilah-amaliah-uswah (Surabaya:

Khalista, 2007), hlm. 35.

  Peran Ulama Pesantren

  suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan bagi warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah.

  Meskipun LBM dikoordinatori lembaga Syuriah, namun forum itu juga biasa dihadiri oleh para ulama atau kiai pesantren yang berada diluar kepengurusan syuriah. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada syuriah oleh organisasi ataupun perorangan.

  Adapun mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga syuriah di inventarisir, kemudian ditentukan skala prioritas pembahasannya. Setelah itu, masalah tersebut disebarkan kepada seluruh ulama, anggota syuriah dan para pengasuh pesantren yang ada di bawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dicarikan rujukan dari pendapat ulama mazhab melalui kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam suatu forum untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan saling beradu argument dan dalil rujukan, sehingga akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama. Namun dalam membahas masalah serius kotemporer yang di masa lalu belum pernah terjadi, LBM selalu minta penjelasan terlebih dahulu kepada para ahlinya dengan mengundang mereka dan orang yang terkait. Setelah kasusnya jelas barulah dikaji lewat kitab kuning. Proses itu semua, dilakukan dari organisasi tingkat bawah ke tingkat organisasi yang lebih tinggi; dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus

  24 Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.

24 Baca Ibid, hlm. 36. Serta bandingkan dengan Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi

  

Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama

(1926-2004 M) , hlm. Vi.

  Mohammad Darwis b. Kitab Mu’tabarah; Refrensi Sah di LBM

  Dalam pengambilan keputusan hukum dalam LBM terdapat ketentuan khusus bagi kitab kuning yang dijadikan rujukan maslah tersebut. Kitab rujukan yang dimaksud haruslah kitab- kitab mu’tabarah. Kitab mu’tabarah inilah yang sah dan boleh dijadikan rujukan dan refrensi hukum dalam LBM, sementara kitab yang tidak masuk kitab mu’tabarah akan ditolak oleh forum tersebut sebagai refrensi dan rujukan hukum.

  Para ulama NU dalam Musyawarah Nasional Ulama di Situbondo tahun 1983 memberikan kategori kitab- kitab mu’tabarah tersebut. Menurut Munas tersebut, kitab mu’tabarah haruslah dari kitab-kitab yang ditulis ulama-ulama mazhab dengan mengacu pada mazhab empat yaitu, Hanafi, Maliki, syafi’I dan Hambali. Jika keputusan diambil dari sumber kitab selain itu maka ia dinyatakan tidak sah. Hal ini didasarkan pada pendapat Ibn Shalah yang mengatakan bahwa menurut ijma’ tidak diperbolehkan bertaklid atau mengikuti pendapat hulum selain empat imam mazhab yang ada, walaupun untuk diamalkan sendiri, apalagi untuk berfatwa. Hal itu karena tidak adanya kredibilitas yang bersangkutan

  25

  dibandingkan para imam mazhab tersebut. Selain dari itu para ulama NU beralasan bahwa adanya konsep mu’tabarah itu sebagai sikap syaddan li al-

  dzari’ah (preventif) yaitu agar umat tidak terjerumus, maka kitab yang tidak mu’tabarah sebaiknya dilarang saja.

  Namun demikian, seiring dengan dinamika perkembangan pemikiran hukum islam, konsep mu’tabarah tersebut mulai dikritisi secara tajam baik dari kalangan eksternal NU maupun internal NU. Menurut Sahal Mahfudh, keriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya sudah tidak senafas lagi dengan 2525 semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Hal tersebut dikarenakan akan

  Baca Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 20.

  Peran Ulama Pesantren

  menimbulkan diskriminasi hasil ijtihad dengan mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam yang lain. Hal tersebut menyalahi kaidah “al-ijtihad la yunqadhu bi –al-ijtihad” yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Menurutnya, yang namanya pendapat tentu bisa salah dan bisa benar sehingga tidak boleh menggunakan pendekatan like and dislike , ini mu’tabar dan itu tidak. Maka dari itu hendaknya prinsip yang digunakan adalah mana yang “reasonable” dan “aplicable” bisa digunakan, dengan tetap mempertimbangkan latar

  26 budaya masyarakat agar bisa diterima oleh masyarakat yang majmuk ini.

  c.

  

Pengambilan Keputusan di LBM; Mengkritisi Sitem Mazhab Ulama NU

  Dengat menganut salah satu salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk bermazhab. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari referensi ( maraji’) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa komponen. Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul Masail mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-

  mujtahidin muthlaq

  (pendapat para mujtahid) yang maupun

  muntashib.bila ditemukan dalil atau qaul manshush (pendapat yang telah

  aa nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat)maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf, akan tetapi juga mengambil sikap dalam menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dharuriyah (kebutuhan primer). Dengan demikian bisa 26 disimpulkan bahwa para ulama NU dalam rangka proses pengambilan

  Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M) , hlm. Xii.

  Mohammad Darwis

  hukum dalam forum bahtsul masail lebih cenderung menggunakan

  27 mazhab secara qauly.

  Selain dari itu, sekalipun NU pada dasarnya mengakui empat mazhab dalam fiqih, namun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi”I, tak terkecuali dalam forum Bahtsul Masail. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu menggunakan

  28 mazhab yang lain.

  Penggunaan mazhab yang hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama dan bukan manhaj (metodologi) dalam forum Bahtsul Masail tersebut ditambah lagi dengan hanya Syafi’iyah sentris, sering menjadi biang kritik terhadap Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU.

  Padahal, bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi social politik dan kebudayaan sudah berbeda, sementara hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu (al-

  hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman zamanan wa makanan

  ). Disinilah perlunya “fiqih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Hal tersebut yang kemudian menuntut untuk kembali ke manhajyakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqh serta qawa’id (kaidah-kaidah fiqh).

27 Bandingkan dengan As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati

  28 (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm. 34. Baca juga, Munawar Abdul Fattah, hlm. 26.

  Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-200 4 M) , hlm. V.

  Peran Ulama Pesantren Kesimpulan

  Dari pembahasan di atas bisa kita pahami bahwa ualama dalam perspektif NU memiliki peran yang begitu signifikan dan sentral. LBM sebagai forum yang memainkan peran penting dalam penyelesaian masalah keagaman masyarakat ternyata juga dikoordinir langsung oleh ulama yang tergabung dalam kepengurusan syuriah. Hal ini menegaskan urgensitas peran dan otoritas yang dipegang ulama. Namun demikian, banyak hal yang perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan problematika LBM terutama terkait dengan masih terkooptasiny a LBM dengan kitab klasik yang di sebut mu’tabarah, serta mazhab yang dipakai dalam pengambilan keputusan.

  Referensi

  Abdul Fattah, Munawir. Tradisi Orang-orang NU ,Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006. Ali, As’ad Said. Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008. al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-

  ‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz XXII. Beirut: Dar al-Fikr al- Mu’asr, 1998.

  Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jakarta; PT.

  Duta Aksara Mulia, 2010. Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982.

  Fadeli, Soeleiman. Antologi NU; Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, Surabaya: Khalista, 2007. Geertz, Cliffort. The Religion of Java, New York: The Free Press Glencae, 1960. Horikoshi, Hiroko. Kiai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987. Ida, Laode.NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004. Ma’luf, Louis.Qamus al-Munjid, Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyah, 1951 Mahfudh, Sahal. Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,

  Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), pengantar. Surabaya; Khalista, 2007.

  Mohammad Darwis

  Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980. Patoni, Achmad. Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Purwodarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Shihab, Quraish. Dia Dimana-

  mana, “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, Tangerang: Lentera hati, 2005.

  Turmudzi, Endang. Perselingkuhan Kiai Dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004. Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1984.