Populisme Baru dan Friksi Ekonomi Politi

Populisme Baru dan Friksi Ekonomi-Politik
Aspin Nur Arifin Rivai

Belakangan ini populisme baru telah mendapatkan momentum politiknya. Resonansi
populisme baru mulanya muncul di negara hegemonik seperti Amerika Serikat dan regionalitas
Uni Eropa. Gejala gerakan ini tidak hanya mempengaruhi struktur geo-politik dunia, tetapi
postur ekonomi global. Gerakan populisme baru lambat laun menjadi diskursus yang
mengiringi proses politik global. Dalam berbagai pandangan umum, diskursus ini dialamatkan
kepada gerakan anti-imigrasi.
Gerakan tersebut kemudian lambat laun dikemudikan oleh elit politik untuk mengisi kantongkantong suara pemilu. Dalam frame politik internasional, gejala keamanan non-tradisional
seperti migrasi sangat memungkinkan terjadinya upaya sekuritisasi. Negara dalam level
tertentu menempatkan suatu isu sebagai kabar bahwa Ia hadir menjawab persoalan yang ada.
Kendati demikian, apakah negara seceroboh itu? Sayangnya, persoalan migrasi yang diserukan
oleh kalangan individu yang merasa akan tersingkir dalam persaingan kerja adalah penanda
nilai kosmopolitan makin nihil. Sebagian besar, aksi penolakan kepada arus migrasi dihadirkan
oleh suara konservatif atau anti-kosmopolitan, kemudian diakomodir oleh jejaring politik.
Jelasnya, proses sekuritisasi muncul dari proses tawar-menawar politik demi mendapat
dukungan dalam palagan politik yang tersedia.
Bayang ketakutan akibat lonjakan migrasi dianggap sebagai sinyal erosi globalisasi.
Memudarnya nilai globalisme yang awalnya ditanamkan oleh negara hegemonik yaitu
menerima mobilitas manusia sebagai kehendak zaman, justru lambat laun mengalami

redefinisi.
Sebagai gambaran singkat, Donald Trump menang dengan menggaet suara konservatif (silent
majority), sedangkan Inggris keluar dari Uni Eropa. Tidak menunggu waktu lama, momen
pemilu di beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman, Perancis, dan Belanda ditandai oleh
menguatnya suara-suara populisme konservatif/kanan Bahkan gelombang faksi tersebut mulai
menguasai mayoritas perlemen di enam negara Eropa, yakni Italia, Yunani, Hongaria, Polandia,
Swiss, dan Slowakia.
Geliat populisme baru seakan menjadi monster yang amat mengerikan bagi faksi politik hyperglobalist, kelompok bisnis dan berbagai masyarakat dunia yang sedang merayakan globalisasi.
Kekhawatiran mereka paling tidak akan mengarah kepada tercerabutnya proses totalitas
regionalisme, kosmopolitanisme, hingga pasar bebas. Tulisan ini akan memproblematisasi
gejala populisme baru yang berkutat pada dua akitifitas besar yaitu politik dan ekonomi.
Simptom Populisme Baru

Dalam berbagai literatur, kajian “populisme” menjadi bahan yang sukar untuk dilewatkan.
Dalam pendefinisian populisme masih belum mengalami pembakuan. Hal ini bersandar akibat
adanya perubahan model populisme dari serangkaian momentum. Pada era perang dingin,
populisme kiri mencuat oleh pemimpin sosialis Amerika Latin seperti Hugo Chavez, Evo
Morales, dan Luiz da Silva. Undangan populisme saat itu muncul sebagai resistensi atau
kontra-hegemonik untuk rezim kapitalisme global yang akan mendisiplinkan negara.
Sayangnya, populisme a-la kiri mengalami kemerosotan yang diakibatkan oleh dua faktor.

Pertama, dalam level domestik terjadi model kolektifitasan yang menganggap kepemimpinan
populis yang dibawah justru menjauh pada orbit visi yang ditawarkan semula. Kedua, rezim
neoliberalisme melalui skema perdagangan bebas mulai memberi oligarki baru untuk kelas
pemodal dalam mendapat legitimasi penting bagi struktur politik. Faktor ini menjadikan
populisme kiri mengalami kemunduran, apalagi di Amerika Latin yang dianggap tumbuh
suburnya populisme kiri jutru terhempas pada krisis ekonomi di Venezuela.
Wujud populisme di era sekarang mengalami perubahan arah dan struktur. Populisme mampu
berayun pada sudut yang berbeda dari sebelumnya. Mozaik politik semacam ini, dapat diterka
sebagai anomali politik tertentu. Dalam belahan Barat sekarang, bandul populisme politik
cenderung ke arah kiri-tengah atau populisme neo-konservatif. Dalam berbagai pandangan,
arah ini sebagai suara yang merasa globalisasi justru meredupkan makna identitas yang telah
tertanam. Isu identitas yang muncul di belahan tersebut sebagai problematisasi keadaan
migrasi global yang menghantui mereka. Posisi diatas menggambarkan bahwa populisme
kanan yang seringkali mendukung globalisasi, justru mulai menjauh dari imaji sebelumnya.
Michael Hastings (2013) kemudian memuat definisi baru dari populisme yang terjadi di Eropa.
Hastings menyebut populisme sebagai gaya politik dengan secara sistematis menggunakan
retorika yang memikat rakyat. Retorikanya mengandung irisan dengan populisme kiri, namun
berbeda titik tolak. Irisannya ada dalam hal melawan status quo dan kekuatan asing, namun
basisnya bukan anti-kapitalisme, melainkan pembingkaian wacana tentang adanya ancaman
identitas. Sejalan definisi tersebut, Fareed Zakaria tahun 2016 lalu menulis di Foreign Affairs

mengenai fenomena populisme di belahan Barat. Zakaria menyebut populisme telah
mengalami proses pendefenisian ulang bagi individu yang merasa dilupakan atau
tersingkirkan dan memandang dirinya sebagai suara patriotisme sejati. Pandangannya amat
jelas menilai kemunculan populisme baru ini diangkat sebagai perlawanan identitas baru.
Namun apakah kemunculan populisme baru adalah skeptisme identitas akibat serbuan
migrasi? Penulis menilai tidak ada korelasi positif antara lonjakan migrasi terhadap munculnya
gerakan populisme baru. Faktor utama yang mempengaruhi adanya gerakan mainstream di
Barat, tidak terlepas dari badai krisis finansial 2008. Pelemahan ekonomi global telah
menampung resiko ekonomi-politik. Beban ekonomi seperti kemiskinan dan akses tenaga kerja
mengalami kemerosotan menjadi implikasi dahsyat mengapa gerakan individu menuntut

negara bertanggung-jawab. Buah gerakannya menghasilkan konstruksi sosial baru, bahwa
identitas yang tadinya kurang mendapat perhatian dalam ruang publik, lambat laun diserukan.
Isu identitas hanyalah pengaburan makna yang seolah-olah mereka mengalami gangguan
ekonomi, dan kekhawatiran kelas pekerja lama akan tersingkir oleh pendatang baru. Hampir
kebanyakan imigran ini mengisi berbagai tempat kerja dengan kualifikasi pekerja gaji rendah.
Dalam data yang dipaparkan oleh Zakaria, tahun 2015 Eropa telah menerima imigran sebanyak
76 juta, dibanding Jepang yang hanya menerima 10 juta. Angka ini kemudian dinilai oleh
pekerja lama sebagai ketakutan kultural dan sentimen nasionalis.
Betulkah Dimensi Ekonomi?

Dalam diskusi diatas, penulis menggaris-bawahi karakter populisme tidaklah muncul dengan
sendirinya. Prosesi populisme telah mengalami tahapan etape, salah satunya ialah persoalan
identitas. Isu migrasi pada akhirnya menjadi jualan para elit sayap kanan. Sikapnya dengan
menggunakan alaram yang membangunkan pemilih, bahwa mereka akan terserobot dari arus
migrasi yang terus meningkat. Strategi politik tersebut dianggap sebagai pendekatan post-truth.
Antagonisme politik dihelat dengan memutar balikkan fakta, tidak jarang satu isu dikemas
menjadi komodifikasi politik.
Ronald Inglehart dan Pippa Norris (2016) menyebut populisme yang muncul lebih kepada dua
faktor utama yaitu kesenjangan ekonomi (economic insecurity) dan pertentangan kultural
(cultural backlash). Penulis memandang hipotesis yang kedua yaitu aspek kultural dianggap
kabur. Dalam fakta yang ada, krisis finansial 2008 yang mengguncang negara besar seperti
Perancis telah
mengalami kelesuan ekonomi hingga 0.2 persen, sementara tingkat
pengangguran berangsur meningkat dari 7.1 persen di 2008 menjadi 10.4 persen di 2015.
Alih-alih membangunkan kepercayaan rakyat, pemimpin sayap kanan Perancis yaitu Marine
Le Pen membangun retorika dengan mendaulat isu anti-imigran sebagai bahan resistensi untuk
menanggulangi peningkatan pengangguran. Fenomena ini menjadi anti-tesa dari pandangan
Inglehart dan Norris. Perjumpaan kultural hanyalah antagonisme politik, bukan sebagai faktor
kunci pembentuk populisme. Artinya, pertentangan kultural dibentuk sebagai alat politik atau
insekuritas ekonomi melahirkan irisan baru – “pertentangan identitas”.

Melambatnya perekonomian di AS dan Uni Eropa sebenarnya bukan dari arus migrasi semata.
Stagnansi ekonomi yang dihadapi negara hegemonik ini lebih disebabkan oleh naiknya
kekuatan baru dalam perekonomian global. Tiongkok telah menjadi pemain kunci dalam
perdagangan global, sedangkan AS sebagai negara hegemonik harus berkutat untuk menjaga
stabilitas global. Saat AS disibukkan untuk merawat stabilitas Timur Tengah, dengan mudah
Tiongkok memperluas jangkauan ekonominya hingga di Amerika Latin dan Afrika. Selain itu
Tiongkok mulai menggeser dominasi AS dalam trinitas institusi perekonomian global

Di sisi lain, tren perekenomian global mengalami friksi. Angka pertumbuhan ekonomi dunia
mengalami pelambatan. Dalam data IMF (2016), pada dasawarsa 1990-an - 1 persen
pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan sebesar 2.5 persen, sedangkan dalam
beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang sama hanya meningkatkan perdagangan hanya
sebesar 0.7 persen. Bukan hanya itu saja, anjloknya arus modal lintas negara dari aras tertinggi
seperlima produk domestik domestik bruto (PDB) dunia pada 2007 menjadi 2.6 persen pada
tahun 2015.
Fakta diatas menggambarkan pelemahan ekonomi sebagai indikator utama terjadinya tren
populisme baru yang menjangkiti negara maju. Bahkan, implikasi dari populisme baru dalam
tataran global yaitu menciptakan tren de-globalisasi. Awalnya globalisasi dibentuk oleh aktor
hegemonik atau kampiun paskah perang dingin. Kata kunci globalisasi saat itu – merelakan
segala mobilitas dunia dengan menjalankan integrasi dan interpendensi dengan ikatan pasar

bebas. Pendirian rezim pasar bebas ialah penihilan peran negara, sebab pasar adalah
manifestasi dari prinsip tersebut. Badai krisis 2008 yang dihadapi oleh AS memunculkan satu
simpul, yaitu intervensi negara masih dibutuhkan dalam penyelamatan akibat krisis. Perilaku
semacam ini mengundang tanda tanya besar, apakah prinsip pasar bebas mengalami
kehancuran?
Pertanyaan tersebut amatlah sukar untuk dijawab, namun setidaknya memperlihatkan
“anomali ekonomi politik global”. Menguatnya rezim kapitalisme digagas oleh negara maju
untuk mempersilahkan pasar bebas sebagai instrumen utama globalisasi, namun saat ini
globalisasi mengalami keredupan akibat negara tersebut lebih memilih proteksionis. Sebaliknya
negara berkembang yang bersifat emoh pada pasar bebas, justru melampiaskannya dengan
mempercepat integrasi kawasan secara utuh seperti Masyarakat Ekonomi Asean.
Keanehan dan kejanggalan diatas telah mengabarkan kepada kita pada tiga hal. Pertama,
globalisasi budaya mengalami ujian baru ditengah upaya peredupan nilai kosmopolitan.
Kedua, globalisasi ekonomi mengalami pengecilan oleh pilihan negara-negara AS dan Eropa
untuk mengembalikan negara sebagai sentralitas dari segala aktifitas (state building). Ketiga,
impian pemerintahan global dalam unit menengah seperti regionalisme mengalami upaya
pelemahan akibat state-centric. Fenomena semacam ini sebagai pukulan telak bagi liberalisme.
Jelasnya, demokrasi liberal hanya sekedar medium untuk menggapai posisi agenda illiberal.
Dari kemunculan gelombang populisme yang terjadi di belahan Barat, penulis anggap sebagai
karakter mobilitas baru. Ada tiga hal yang akan memperlihatkan populisme baru akan tumbuh

subur. Pertama, populisme telah dijadikan sebagai ideologi baru. Kedua, populisme kemudian
dikawal sebagai arena diskursus/pengarus-utamaan. Ketiga, populisme sebagai strategi politik
moderen.