Fase Tertutup dan Terbukanya Pintu Ijtih

1

Fase Tertutup dan Terbukanya Pintu Ijtihad1
Oleh: Fadh Ahmad Arifan2

Seperti yang ditulis dalam buku-buku Tarikh tasyri’, pada akhir abad pertama
Hijriyah dan penghujung abad dua Hijriyah mulai bermunculan aliran dalam bentuk fiqh.
Aliran-aliran fiqh itu ialah: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’ie,
madzhab Hanbali, madzhab Dzahiri dan madzhab Syi’ah Jafar Al-Shadiq.3 Adanya
aliran-aliran fiqh ini karena adanya perbedaan di sekitar metode berijtihad yang
menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompokkelompok fiqh yang pada mulanya terdiri dari murid-murid para imam mujtahid.4
Setelah periode keemasan fiqh Islam tersebut, dunia ijtihad adakalanya mengalami
kemunduran. Hal ini disebabkan ulama masing-masing madzhab yang sudah terbentuk
lebih mempertahankan pendapat madzhabnya ketimbang berijtihad langsung kepada AlQuran dan Sunnah. Pada masa ini (abad ke 4 H), perkembangan ijtihad pun mulai
lambat.5 Mayoritas para fuqaha’ merasakan kevakuman yang tidak mereka alami pada
periode kemajuan intelektual. Kemudian mereka berusaha mengisi kevakuman dengan
berbagai aktivitas, di antaranya:
a. Meresume buku-buku lama.
b. Menjabarkan buku-buku sebelumnya (fiqh madzhab masing-masing).
c. Mempersulit penulisan buku dengan penggunaan kata-kata asing yang tidak
pernah didengar telinga, mereka juga menggunakan susunan kata aneh yang tidak

dikenal kalangan umum.
d. Menulis buku dengan kata-kata indah dalam karya ilmiahnya, sesungguhnya
bertujuan menutupi kelemahannya dan menyembunyikan kekurangannya. Metode
penulisan seperti itu justru menyia-nyiakan hukum.6
1

Disampaikan pada Pertemuan ke 10 Prodi Pendidikan Bhs Arab, Semester 1, di STAI al-Yasini, Kab
Pasuruan
2
Penulis adalah alumni MAN 3 Malang dan kini dosen di STAI al-Yasini, Kab Pasuruan.
3
Pada masa kemunculan aliran-aliran fiqh ini, aktifitas ijtihad memuncak. Dalam sejarah Islam masa
i i se i g dise ut de ga pe iode ijtihad da kee asa fi h Isla .
4
A. Djazuli, Ilmu fiqih, (Kencana, 2003), hal 123.
5
Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), hal 671.
6
Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 127-129.


2

Selain mereka merasakan kevakuman, di sisi lain juga membuat mereka memiliki
sikap loyal (ta’asub) dan fanatik yang sangat berlebihan terhadap madzhab mereka dan
menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka sendiri.7 Bahkan
lebih jauh dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dalam berbagai literatur fiqh
tidak dijelaskan ulama yang pertama kali menyatakan hal tersebut. Keadaan seperti ini
berlangsung hingga abad ke-13 H, dan sering disebut periode taklid dan tertutupnya pintu
ijtihad.8
Sejak abad ke-13 H hingga sekarang, ulama fiqh mulai merasakan akibat dari
perbedaan yang terus menerus antar sesama madzhab. Kondisi tersebut berlangsung lama
hingga tampillah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang merupakan orang pertama
mengumandangkan pernyataan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Menurutnya,
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, ijtihad harus dikembangkan dalam
persoalan muamalah. Perjuangan Ibnu Taimiyah tadi dilanjutkan oleh muridnya Ibnu
Qayyim al-Jauzi. Kemudian pada masa imperialisme modern, seruan ijtihad terutama
kembali kepada Al-Quran dan Sunnah juga dilanjutkan oleh: Syaikh Muhammad Abduh,
Sayyid Rasyid Ridha, Syaikh Mahmud Syaltut dan Prof. Mutawalli Asy-sya’rawi dari
Universitas Al-Azhar Mesir. Dan di Negara-negara Muslim lainnya hal serupa juga

dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Saudi Arabia. Kemudian ulama
kontemporer Islam lainnya terutama Hasan Al-Banna,9 Sayyid Qutb, Sayyid Sabiq
(pengarang Fiqh sunnah), Yusuf Al-Qaradhawi, Abu A’la al-Maududi dan Prof Wahbah
Zuhaily.
Ra h at “yafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 109.
Abdul Aziz Dahlan, et. al, op.cit., jilid 2, 671. Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada masa
tersebut, lebih ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara pasti sejak kapan,
penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi
persyaratan seperti keempat imam itu. Sebaliknya, menurut Abu Zahrah, di kalangan Syi'ah tidak
pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh Muhammad
Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana pun: "Kita tidak menemukan manfaat apa pun
dari penutupan pintu ijtihad". Bahayanya banyak berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya
pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena
meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini."
9
Hasan Al-Banna adalah salah satu pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir, Sedangkan Sayyid
Qutb hingga Prof. DR. Yusuf Al-Qardhawi adalah tokoh terkemuka dari organisasi ini. Sejarah dan
Program-program Ikhwanul Muslimin dapat dibaca misalnya dalam Richad Mithell, The Society of the
Muslim Brother, (London: Oxford University Press, 1969); M. Ishak Husaini, The Moslem Brethren:
The Greatest of The Modern Islamic Movement, (Beirut: Kahayat); Zakarya Basuni, Al-Ikhwan AlMuslimun wa Al-Ja a’at Al-Islamiyah, (Cairo: Makatabah Wahab, 1978); Mahmud Abdul Hakim, AlIkhwan Al-Musli u : Ru’yah i Al-Dakhil, (Alexandria: Dar Al-Da’wah).

7

8

3

Ulama dan Gerakan Ijtihad di Indonesia10
Gerakan ijtihad juga terjadi di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar
di dunia. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ijtihad dilakukan dalam 2 bentuk:
Pertama, Ijtihad kolektif seperti yang dipraktekkan oleh Majelis Ulama Indonesia,
Majelis tarjih, Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail. Kedua, dalam bentuk teori atau konsep
yang dituangkan dalam inovasi fiqh juga dilakukan oleh Prof. DR. Hazairin dengan Teori
Receptie Exit, M. Natsir dengan konsep Fiqh dakwah, Prof. DR. T.M Hasbi AsyShiddiqie dengan Fiqh Indonesia, KH. Ibrahim husein dengan gagasan Ijtihad kolektifnya
(cikal bakal MUI), Prof. KH. Ali Yafie dengan gagasan Fiqh Sosial dan Fiqh
Lingkungan, KH. Sahal Mafudz dengan gagasan Ijtihad Manhaji dalam tubuh ormas
Nahdlatul Ulama.
Terakhir adalah gagasan fiqh yang muncul terkait problem-problem yang
menghantam bangsa ini. Seperti Korupsi dan kasus perdagangan manusia (human
trafficking).11 Maka dari itu ulama maupun akademisi memunculkan gagasan Fiqh Anti
korupsi yang dikembangkan oleh ulama-ulama di Majelis tarjih Muhammadiyah dan Fiqh

anti Trafiking yang mengulas kasus perdagangan manusia ditinjau dari hukum Islam.
Diharapkan dengan hadirnya produk-produk fiqh tersebut, bisa menyelesaikan problem
yang melanda Umat Islam di Indonesia. Wallahu’allam bishowwab

10

Diadopsi dari: Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004); Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980); Rosihan Anwar, Ajaran dan Sejarah
Islam Untuk Anda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1962); Rifyal Ka’ ah, Penegakan Syariat Islam di
Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004); Majelis Tarjih, Fikih anti Korupsi, (Jakarta: PSAP, 2006),
Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Fiqh anti Trafiking, (Fahmina Institute, 2006)
11
Menurut catatan organisasi Internasional untuk migrasi (IOM), kasus perdagangan orang di
Indonesia pada periode 2008-2010 mencapai 1.647 orang. Jumlah ini bisa terus meningkat bila tidak
ditanggulangi oleh semua pemangku kepentingan. Angka tersebut belum termasuk kasus perburuhan
yang memiliki indikasi perdagangan manusia seperti pemberian informasi yang tidak benar,
pelecehan seksual, dan penganiayaan, dan tidak dibayarkannya gaji. Perdagangan manusia saat ini
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu, tidak akan pernah diberantas
kecuali semua pihak memiliki komitmen serta mengambil peran aktif dalam upaya
pe e a tasa ya. Lihat Kemlu: Kasus Perdagangan Manusia di Indonesia Meningkat Tajam

detik news tgl 13 Mei 2014