Fiksi dan Literasi Informasi hukum

Fiksi dan Literasi Informasi
Saya masuk ruang kerja Luwarsih Prioadisurjo, orang nomor satu di Pusat Dokuntasi Ilmiah
Nasional (PDIN) Jln. Gatot Subroto No.10. Perempuan bertubuh kecil ini duduk di balik
meja besar dan setelah basa basi, dia menanyakan jika di terima di kantor ini, fasilitas apa
yang saya inginkan dan saya pun meminta fasilitas rumah dan sepeda motor. Dia mengatakan
bahwa orang lain mengantri untuk fasilitas itu, jawabnya singkat dan rupanya tidak tertarik
untuk membicarakan lebih lanjut. Ibu Luwarsih kemudian meminta agar saya menerangkan
kata akselerasi dan manivestasi. Saya pun menjawab dengan segenap kemampuan saya dan
memang kata sering dilantunkan orang sehingga sangat populer. Belum puas saya
menjawabnya, Ibu Luwarsih menanyakan tentang novel apa saja yang telah saya baca.
"Nineteen Eighty Four karya George Orwell"
“Saya tahu itu skripsi kamu, novel yang lain”
“Animal farm, Burmese Days, A Clergyman’s Daughter..”
“Itu semua George Orwell, pengarang lain?”
Saya gelagepan dan seperti mati langkah, ternyata perempuan ini membaca semua bacaan
saya. Terus terang saya tidak banyak membaca novel, selain novel-novel wajib untuk tugas
book report. Untuk tugas ini pun saya membacanya bersiasat: satu novel kami baca bersama
dengan membagi bab dengan teman. Itu pun kalau tidak ada novel simplified. Saya pun
mengelak bahwa saya lebih banyak membaca novel Indonesia. Ibu Luwarsih mengejar, saya
menyebutkan karya karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Marga T. Pengarang yang
terakhir ini terpaksa saya sebutkan karena saya pernah membuat pernah menyadur karya

Maga T untuk naskah sandiwara radio. Wawancara usai, salaman dan saya pulang.
Ketika mengikuti program orientasi penelusuran informasi untuk pegawai baru
menemukan salah satu tulisan Luwarsih Menjongsong badai: Batjaan muda-mudi dan saya
tidak begitu tertarik, dan saya anggap ini sebagai bacaan Populer atau setidaknya novel
pesanan atau bacaan untuk anak-anak sekolah yang dipesan atas dasar Inpres. Memang pada
dasawarsa 70-an pemerintah Orde Baru giat mengadakan kampanye belajar kepada anakanak Indonesia, sehingga bermunculan buku-buku bercap “Milik Negara Tidak
Diperdagangkan” adalah buku-buku untuk belajar cara belajar. Kebanyakan anak sekolah
dasar tidak sekadar dituntut untuk membaca, tapi mencermati watak, laku, dan kebiasaan
belajar anak-anak dalam buku.
Pada awal-awal bekerja di PDIN, saya tetap berkumpul dengan para penulis, pelukis
dan perupa yang saya kenal ketika masih giat menulis Cerpen, dan ikut dalam Workshop
Penulisan Cerpen Majalah Basis – Horison dan Kompas di Puncak Bogor tahun 1982. Apa
lagi setelah dikompori oleh para guru seperti Romo Dik Hartoko, Budidarmo, dan Sapardi
Djoko Damono, saya semakin giat menulis Cerpen dan berkumpul dengan teman-teman di
Balai Budaya, Jl. Gereja Theresia. Dalam komunitas ini, orang kebanyakan menanyakan
Luwarsih Pringgoadisurjo, ketika saya mengaku bekerja di PDIN. Dari sinilah saya tahu
bahwa ternyata Ibu Luwarsih cukup dikenal di kalangan penulis fiksi. Apa lagi, ketika pada
diskusi bulanan beliau mengundang Arswendo Atmowiloto, seorang penulis Sastra Jawa
untuk memberikan paparan tentang karya tulis populer.
Karena ceramah penulis sastra jawa ini saya baru tahu bahwa Luwarsih Pringgo

Adisurjo itu tidak hanya berprofesi sebagai pustakawan, malainkan juga seorang penulis
novel Luwarsih juga dikenal sebagai novelis. Karya fiksinya yang sudah terbit semuanya
untuk pembaca remaja. Yaitu, Tati Tak Kan Putus Asa (1957), Lain Sekarang Lain Esok
(1975) dan Menyongsong Badai (1970). Yang terakhir ini sempat memperoleh hadiah utama
sayembara yang diselenggarakan Unesco dan Ikapi.

Waktu berjalan dan berkat budi baik Ibu Luwarsih saya mendapatkan kesempatan untuk
belajar kepustakawanan dan selesai pada tahun 1991 dengan tesis User education in special
libraries : relevance of Victoria to Indonesia. Sejak itu saya mulai membumi, dan jarang
menulis Cerpen, tetapi menulis untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mulailah saya
menulis essai kepustakawanan dengan fokus Bimbingan Pengguna. Datanglah komputer,
datanglah teknologi dan bimbingan pengguna berganti literasi informasi.
“Kalian harus menulis, kantor ini punya sumber informasi” kata Luwaarsih dengan
wajah yang bersungut sungut. Sementara barisan terdepat, tunduk membuat catatan.
Sebagai pustakawan saya menuai berkah Teknologi Informasi, dan kata-kata Ibu
Luwarsih terbukti, berkat memanfaatkan sumber informasi kehidupan saya menjadi lebih
baik karena “menjual literasi informasi”. Saya mengajar di beberapa universitas, diundang
bicara di sana sini, menyusun buku dan tulisan saya efektif, dalam arti disitir orang.
Tiba-tiba saya menjadi tua, dan tugas saya purna sementara belum mampu mengajak
sejawat pustakawan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik sesuai jaman dengan

memanfaatkan teknologi misalnya membuat alat ukur dampak karya tulis seperti Indeks
Sitiran. Saya hanya mampu membakar semangat orang muda untuk memanfaatkan sumber
informasi semaksimal mungkin.
Pada masa memanfaatkan sisa usia dengan bersiasat menyisipkan pesan literasi
informasi di penerbitan majalah populer online dan tercetak, Ibu Elly Yulia Basri
mengirimkan beberapa karya Luwarsih Pringgoadisurjo diantaranya berjudul Yang Muda
Yang Menentukan, terbitan Grafiti Pers. Walaupun judulnya tidak menarik, saya baca novel
yang bercerita teentang rumahtangga yang membangu konflik anak lelaki dengan ayahnya.
Memang temanya klise, seorang anak yang mencari jati diri. Keunikan novel ini adalah
mengangkat masalah kuliner sebagai bahan konfik, sebuah masalah yang jarang diangkat
oleh para penulis novel waktu itu. Struktur novel tidak istimewa, karena tokoh dan
penokohan, alur, dan konflik dan suspense tidak berbeda jauh dengan struktur yang dipelajari
di bangku Fakultas Sastra.
Dalam konteks ini saya justru tertarik pada Cakrawala Meluas terbitan Indra Press
dan pada sampul tertulis dalam boks: Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tidak
diperdagangkan. Inilah buku Inpres produk Orde Baru itu. Buku ini terdiri dari 5 bab.
Bentuknya seperti sebuat booklet, atau buku ringkas tentnag bimbingan pengguna
perpustakaan. Namun jika kita baca lebih lanjut, buku ini sungguh berbeda dengan booklet
perpustakaan biasa. Gaya penulisannya lebih memikat apa lagi ditulis seperti laiknya cerita.
Luwarsih mengajak pembaca masuk ke dalam kelas Sekolah Menengah Atas dan

menghadirkan tokoh kita Pak Tatang, seorang guru yang sering memberi pekerjaan rumah
terlalu banyak dan pada Bab 1, tokoh ini membahas pekerjaan rumah soal statistik.
Luwarsih menyusun dialog kelas yang alami dengan pilihan kata sehari-hari tentang
kesulitan anggota kelas mencari informasi. Melalui tokoh Pak Tatang, luwarsih
memperkenalkan sumber referensi statistik terbitan Biro Pusat Statistik, sekaligus
memperkenalkan katalog dan cara penggunaannya.
Bab pembuka ini dilanjutkan dengan bab berikutnya bertajuk Menentukan
Sengarahkan iasat mengajak pembaca untuk mengenal persepuluhan Dewey dan Tajuk
Subjek atau Kata Kunci sebagai dasar penelusuran. Tidak lupa Pak Tatang mengingatkan
pada anggota kelas untuk mencatat sumber. Dalam bab ini, sang guru kelas didorong untuk
mengekplorasi Kamus dan Ensiklopedia. Mengatur Siasat ini dipertegas dengan bab 3
mengenal sumber informasi yang membahas lebih dalam lagi jenis-jenis koleksi referensi
yang tepat untuk pelajar Sekolah Menengah Atas. Menjelang akhir bab, Tokoh Pak Tatang
menerangkan pada anggota kelas cara menuliskan sitiran.

Luwarsih menghadirkan tokoh lain yaitu Pak Suhadi, ayah Bambang yang tertarik
pada volkanologi yang menceritakan koleksi Perpustakaan Nasional RI tentang laporan
volkanologi tentang Gunug Galunggung yang meletus pada tahun 1894. Sebuah catatan
sejarah yang disimpan di perpustakaan. Melalui tokoh ini Luwarsih menitipkan pesan tentang
pelestaria bahan perpustakaan dengan men menghindari perbuatan vandalis yang tercela

seperti merobek halaman buku dan mencorat-coretnya. Bab terakhir memaparkan manfaat
membaca yang dijalin dalam dialog yang mengalir. Melalui dialog Pak Tatang, Luwarsih
berpesan; “Kebiasaan membaca perlu mendarah daging, dan tidak hanya kau lakukan karena
tekanan-tekanan ujian sekolah” (hal.44)
Cakrawala Meluas adalah sebuah bimbingan belajar untuk memperoleh informasi
bagi pelajar Sekolah Menengah Atas, bimbingan pengguna perpustakaan untuk remaja.
Intinya mengajar orang muda untuk belajar. Pesannya senilai dengan literasi informasi belajar
untuk belajar, learning to learn, buku panduan yang di sajikan dengan berbeda pada jaman
yang masih sulit dimana pernerbitan atau pencetakan masih mahal.
Sesuai dengan perkembangan, kata kunci Bimbingan Pengguna berubah menjadi
Literasi Informasi dengan difinisi yang berkembang pula. Literasi informasi itu mengetahui
kapan dan alasan kita membutuhkan informasi, di mana memperolehnya, dan mengetahui
bagaimana mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikannya dengan cara yang etis.
Tentu saja program literasi informasi ini bisa dikembangkan sesuai sasaran, dari anak anak
sampai dewasa.
Pada tahun 1994 Ibu Luwarsih Pringgoadisurjo wafat. Ini catatan penting bagi saya
karena pada tahun ini kami diperkenalkan dengan penelusuran pada pangkalan data besar
online dengan cara dial up. Tidak lama berselang kami menyaksikan menyaksikan sekaligus
mengalami dampak penggabungan antara teknologi komputer dan komunikasi yang
kemudian menggempur tirani jarak dan waktu dengan internet. Kami pun terkagum-kagum,

bahkan ada diantara kami yang sangat memuja teknologi ini, sehingga waktu itu ada sejawat
yang seolah meremehkan perpustakaan tradisional, merasa paling hebat. Kondisi
memprihatinkan, keadaan ini berlangsung sampai lebih dari satu dasawarsa.
Sementara di luar sana orang mengunggah literatur elektronik, informasi elektronik
belipat dan berlimpah ruah. Paul Ginsparg, seorang fisikawan bikin pre-print repository,
orang bikin open access, ada Gutenberg Project, ada Directory of Open Acess Journal, ada
Pubmed dan ratusan yang lain. Maka muncullah berbagai persoalan dalam memilih dan
mengevaluasi informasi. Justru dalam makmuran informasi ini saya dihadapkan pada situasi
absurd orang seolah berzikir melantunkan kata technopolis, bibliotainment, Knowledge pool
yang semua ini saya anggap sebagai ketololan yang sulit dipahami dalam konteks
kepustakawanan Indonesia. Saya pun lega begitu sipongang jargon yang memekakkan telinga
itu membentur kesiasiaan.
Dalam situasi seperti ini saya malu pada sosok Luwarsih Pringgoadisurjo, orang kecil
di balik meja besar, seorang pustakawan sederhana dengan kerja luar biasa, dengan berbagai
cara melakukan bimbingan pengguna dengan cara berbeda yakni gaya bercerita. Ibu
Luwarsih bukanlah seorang penulis cerita yang baik, dia seorang pustakawan yang sempurna
karena mampu bercerita