Antara Guru Fasilitator dan Orang tua

narasi.ep@gmail.com

Antara Guru, Fasilitator, dan Orang Tua
Oleh Yusuf Suharto
(Guru SMPN 3 Peterongan Jombang)

Pendidikan adalah aktivitas yang terjadi sepanjang hayat manusia. Setiap orang mengalami proses
pembelajaran ini. Pada mulanya ia menjadi pembelajar, berikutnya ia menjadi pengajar atau pendidik
dalam konteks universal. Pun dalam konteks universal, setiap orang adalah pembelajar, yang siap
menerima ilmu atau pengalaman orang lain. Imam Ali, sebagaimana dikutip dalam kitab Ta’lim alMuta’alim menyatakan, “saya adalah hamba dari seorang yang mengajariku walaupun satu huruf”.
Dalam konteks pendidikan saat ini, yang disebut pendidik ini dikenal dengan sebutan guru atau
dosen. Jenjang pendidikan ini dimuali dari Play Group (kelas bermain), TK (Taman kanak-kanak), SD
(Sekolah dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) , dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas),
dan perguruan tinggi.

Paradigma yang lama percaya bahwa guru itu tugasnya mengajar, dalam pengertian mengajari siswa
sebagai objek belajar yang tidak tahu apa-apa atau minim pengetahuan dan pengalaman. Belajar
dengan demikian sekedar atau lebih menekankan pada transfer of knowledge saja. Atau dapat
disebut belajar itu adalah hanya menekankan aspek kognitif siswa belaka, tanpa mengembangkan
afeksi dan psikomotornya.
Sebenarnya paradigm lama ini beralasan juga, jika kita melihat bahwa zaman dahulu itu, fasilitas

serba terbatas, apa-apa susah, pendek kata perangkat belajar itu minim. Sehingga adalah pilihan
yang paling memungkinkan ketika guru itu memakai metode ceramah belaka dan murid mencatat.

Namun pada masa kini, ketika sumber belajar itu beragam, ketika buku itu bukan satu- satunya
sumber belajar. Ketika teknologi dan informasi sedemikian berkembang, ada internet, melimpahnya
perpustakaan, fasilitas dan sebagainya, maka memakai paradigm yang lama adalah masalah yang
besar.

Dus, menjadi pendidik saat ini adalah sinergi yang kokoh antara menjadi guru dalam pengertian
mengajari, fasilitator dalam pengertian menyediakan diri untuk berbagi bersama dalam curahan
ilmu, dan sekaligus menjadi orang tua yang senantiasa membimbing dan mengarahkan para siswasiswi. Berikut penjabaran fungsi kependidikan ini secara lebih detail.

Menjadi Guru yang Baik
Pameo Jawa, guru itu digugu lan ditiru yang maknanya adalah guru itu dipercaya dan dibuat
percontohan adalah bukti yang kuat bahwa transfer of knowledge yang dilakukan itu harus
bersumber pada nilai bahwa guru itu dalam asalnya harus dapat menjadi teladan sejati para siswa.
Jadi menjadi semata- mata guru yang sekedar mengajar, tentu saja tidak cukup. Bukankah ada
kalimat yang.berbunyi,”jangan kau menggurui”, kalimat ini cenderung memiliki makna yang negatif.
Menggurui itu bermakna mengajari semata, bersikap dan bertindak seolah- olah menjadi seorang
guru yang hanya mengajari saja, dan mungkin menganggap yang diajak berkomunikasi tidak

mempunyai kec akapan pengetahuan.
Menjadi guru yang baik dengan demikian bermakna bahwa bagaimanapun ia adalah sosok yang
mengajari, maka kemudian diistilahkan sebagai guru, namun harus ada ajeksi-ajeksi lain yang
menyertainya.
Jadi menjadi guru haruslah menggambarkan totalitas kompetensi yang di dalamya ada fungsi
kepengasuhan atau sebagai layaknya orang tua, dan di dalamnya ada fungsi pendampingan,
penyertaan dan keterhubungan satu dengan lainnya yang disebut sebagai fasilitator.
Fasilitator
Fasilitator adalah istilah Inggris yang telah di Indonesia kan. Ia bermakan bahwa guru juga harus
berfungsi sebagai pemberi fasilitas atau melakukan fasilitasi. Guru menjadi penjembatan yang baik di
depan para siswanya. Dalam fungsinya ini guru lebih banyak melakukan sharing belajar, atau bisa
disebut belajar bersama. Ketika guru menyampaikan kompetensi dasar sebuah mata pelajaran, ia
tidak akan mengeksplorasi pelajaran itu, ia hanya memancing pengetahuan yang ia yakin telah
diketahui oleh para siswanya. Kumpulan- kumpulan pengetahuan itu ketika dicakupkan akan menjadi
sistematika pengetahuan yang luar biasa.
Dalam hal ini murid tidak dipandang sebagai semata objek pembelajaran, tetapi ia adalah subjek
pembelajaran itu sendiri, dan bahkan guru harus siap terbuka untuk mengalami pembelajaran
bersama.
Orang Tua
Orang tua adalah fungsi pembelajaran yang bermakna bahwa guru harus dapat berfungsi sebagai

orang tua yang baik dan bijaksana. Guru tidak hanya bertanggung jawab menuntaskan standar
minimal penilaian suatu kompetensi dasar atau bahkan keseluruhan materi bahan pembelajaran.
Tetapi ia harus ikut mendampingi aspek sikap dan perubahan perilaku yang diharapkan dari peserta
didik.
Fungsi sebagai orang tua ini dilandasi bahwa secara nyata usia guru tentu di atas para siswa, sehingga
diharapkan ia dapat menanamkan nilai-nilai kebaikan pada para peserta didik, dapat melindungi
kepentingan bersama, memberi teladan dan memotivasi para siswa untuk berbuat sesuatu yang
positif.
Sinergi Tiga Fungsi

Ketiga fungsi ini ketika bersinergi, maka akan terlihat bahwa pendidikan itu tidak sesempit yang
dibayangkan sementara orang, bahwa pendidikan itu hanya berfungsi sebagai pengajaran semata.
Namun, sebenarnya pendidikan itu bertujuan membebaskan dan bersifat setara.
Bukankah lebih baik ketika para siswa itu telah lulus, ia bahkan lebih pintar, lebih kompeten dari
gurunya sendiri dan dengan demikian sang guru merasa berhasil mendidik mereka?
Adalah kekerdilan ketika guru menutupi pengetahuan, atau pura- pura tahu, walau sebenarnya tidak
tahu. Sejatinya, guru yang merdeka adalah ketika muridnya dimerdekakan dari belenggu- belenggu
rutinitas yang membosankan.
Menghafal materi penting keagamaan tentu saja bukanlah hal cela, bahkan ia adalah kompetensi
yang dianjurkan oleh agama. Tetapi hendaknya guru dapat lebih memilih variasi metode. Dalam hal

ini teori kontrukstivis dapat diterapkan di samping teori belajar sosio kultural.
Teori konstruktivis mengandaikan bahwa siswa belajar dari bangunan-bangunan pengalaman
hidupnya yang kemudian dimatangkan dalam pembelajaran bersama. Dengan demikian, adalah
tugas guru bersama para siswa untuk mengkonstruk pemahaman bersama, sehingga suatu
pembelajaran dapat dicapai.
Teori sosio kultural mengandaikan bahwa siswa hadir dalam pembelajaran yang tidak kosong realitas.
Setiap individu pembelajar telah memiliki pengalaman- pengalaman unik dalam pergulatan sosial
kulturalnya. Ketika ia melihat ada banyak ketimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya, maka ia
diharapkan dengan pembelajaran yang terkait itu agar dapat menyelesaikan realitas sosial yang
timpang di hadapannya.
Nah, pola pembelajaran sinergis yang mendayagunakan fungsi kepengasuhan dan pendampingan ini
adalah pola yang memungkinkan peran-peran pembelajaran yang kritis dan transformative dapat
diaplikasikan.
Murid dengan demikian tidak belajar dalam kerangka teoritis belaka. Tetapi ia belajar aplikatif. Terkait
dengan pembelajaran yang aplikatif ini penulis teringat ketika salah seorang siswa penulisyang baru
saja studi banding di beberapa sekolah yang ada di Singapura beberapa waktu yang lalu, menyatakan
dengan terus terus pada penulis bahwa pembelajaran yang di hadapinya lebih banyak teoritisdari
pada aplikatif. Ia kemudian membandingkan pembelajaran yang diterapkan Singapura, yang
menurutnya pembelajaran di sana lebih aplikatif, menyentuh persoalan- persoalan yang nyata.
Dalam kesempatan lain dia juga menyatakan bahwa pembelajaran banyak guru itu tidak

dihubungkan dengan pengembangan karakter, dan dalam konteks keagamaan, tidak atau belum
menyentuh kesadaran iman para murid.
Guru katanya, lebih sibuk menyelesaikan ketuntasan kompetensi dasar secara teoritis,namun abai
dalam pembinaan karakter dan peneguhan keimanan. Sehingga hal ini menyebabkan kegersangan
spiritualitas para siswa. Ketika mereka belajar materi Pendidikan Agama, maka yang didapatkan
adalah ulasan- ulasan dan doktrin agama semata, tetapi belum berhasil menyentuh qalbu para siswa.
Saya terpana oleh keterusterangan dan keberanian semacam ini , sesuatu yang tidak dapat saya
bayangkan terjadi pada tahun 90- an lalu, ketika saya masih menjadi siswa SMP. Keberanian dan

kejujuran,dan yang lebih penting kritik ini, menurut penulis tidak mungkin atau sulit terjadi ketika
suasana pembelajaran diformat secara kaku. Ketika relasi guru dan murid sebatas hubungan antara
pemberi pengetahuan dan murid sebagai objek yang diberi pengetahuan.
Sepanjang ini saya memang berusaha mengkombinasikan antara tiga fungsi kependidikan itu, sebagai
guru yang sekaligus sebagai fasilitator (bahkan dalam makna sebagai teman), dan sebagai orang tua.
Saya kira dengan hadirnya era keterbukaan dan demokratis saat ini, sinergi tiga hal tersebut adalah
niscaya. Sebagai teman belajar (fasilitator), saya kadang atau bahkan kerap disuguhi pengetahuan
yang belum saya ketahui. Kadang pula ketika saya menyebutkan sesuatu, mereka dapat mengoreksi
ketika ternyata apa yang saya sampaikan adalah hanya satu variasi pendapat, dan mereka menyajikan
pendapat lain yang dalam kerangka teoritis sedang sedang diuji oleh masa,yang mana di antara
berbagai variasi itu yang benar atau yang mana yang paling dirasa benar.


Nah, semangat menerima perbedaan, dan kemudian mengakuinya sebagai realitas adalah hal
penting juga harus terus ditanamkan pada para siswa.
Jika dahulu kita merasa efektif untuk menyeragamkan segala hal atas nama ketertiban, kesatuan,
yang dalam hal ini sikap ini membuat kita tidak siap menerima perbedaan yang diyakini orang
lain.Lihatlah, ketika atas nama mayoritas segelintir anak bangsa kita nistakan dan kita beri perlakuan
kekerasan, seperti kasus teror dan pembungkaman politik zaman orde baru, dengan menculik para
aktivis dan golongan yang berbeda.
Bukankah itu menyalahi prinsip kebhinekaan kita,”Bhineka Tunggal IKA (berbeda- beda tetapi tetap
satu jua), dan dengan sendirinya itu mengingkari pasal Pancasila,’ Persatuan Indonesia’ dan
‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’.
Adalah tuntutan zaman, dan sebuah kebenaran yang sesuai dengan jiwa Pancasila kita bersama,
bahwa keberagaman ini adalah keniscayaan sejarah dan kenyataan kekinian dari masyarakat
Indonesia. Oorang banyak menyebut paham ini sebagai pluralisme, sebagaimana dicontohkan oleh
Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI).
Atas pandanganya yang menghargai keberbedaan dan melindungi kaum minoritas ini beliau disemati
gelar Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme. Lihatlah, dua istilah itu yang terkait dengan pembahasan
kita ini. Guru bangsa maknanya adalah orang yang mengajari rakyat bangsa ini untuk menjadi rakyat
yang baik dalam menjaga kesatuan bangsanya. Dan Bapak Pluralisme, sebagaimana dinyatakan
Presiden RI saat ini, Susilo B. Yudhoyono dan juga banyak rakyat Indonesia, antara lain oleh Amien

Rais dan Syafi’i Ma’arif. Istilah ‘Bapak’ di sini adalah peran atau fungsi ‘orang tua’ yang mengajari dan
membimbing masyarakat untuk menghargai keberbedaan atau pluralitas.

Akhirnya , marilah kita bersama sebagai guru mantap untuk memilih dan mengubah paradigm lama
kita, dari yang sekedar semangat mengajari menuju semangat mengajari, mendidik, menemani dan
mebimbing para peserta didik kita menjadi manusia yang beriman, amanah,unggul, kritis, dan
transformative untuk mengembalikan kejayaaan negeri ini seperti dulu pada masa Majapahit dan era

revolusi ketika semua unsur bangsa bahu membahu mengusir penjajahan. Saat ini penjajahan itu
adalah individualisme, materialisme dan bentuk- bentuk neo imperialisme yang menggerogoti
kebangsaan dan nasionalisme kita.

Biodata Penulis
Nama

: Yusuf Suharto

Alamat rumah

: Perum Kencana Mutiara A5 5D Mancar Peterongan Jombang Jawa Timur


Alamat KTP

: Perum Denanyar Indah RT 07 RW 07 Jombang

Usia

: 32 tahun

Tempat kuliah

: Univ. Darul Ulum Jombang (S-1)
IAIN Sunan Ampel ( sedang menempuh S-2)

Tempat Mengajar

: SMPN 3 Peterongan

No Hp


: 081515833899 dan 081357696699

E-mail

: yusufsuharto@yahoo.co.id

No. Rekening

: BRI Kancab Jombang a/n Yusuf Suharto, no rekening 0023-01-003957-53-5