Impor Kedelai likal dan kedelai

Artikel Analisis Kebijakan
M. K. Kajian Kebijakan Ekonomi Indonesia
Titis Puspita Dewi / 11040564014

Impor Kedelai Bebas Bea, Petani Gulung Tikar

Katanya, Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Negara yang mampu
melambungkan namanya bersama hasil pertanian yang mapan dan bersaing
dengan produk luar negeri. Namun faktanya saat ini, Indonesia lebih suka
mengimpor produk-produk pertanian dari luar negeri seperti beras dari Thailand
dan Vietnam, kopi dari Brazil, dan jeruk dari California, Amerika. Bukankah
Indonesia punya banyak sumber daya alam dan produk yang sama untuk itu?
Seperti halnya beras, hampir sebagian besar penduduk di pedesaan hidup dari
pertanian padi, lalu ke manakah hasilnya? Apakah ucapan Menteri Pertanian kita
yang menyatakan bahwa Indonesia mampu swasembada beras dapat begitu saja
dipercaya, bila masih saja beredar produk beras dari Thailand? Lalu sebenarnya
bagaimana posisi Indonesia kini? Kedaulatan pangan dan pertanian tidak lagi kuat
seperti yang sempat disebarkan pada era Orde Baru lalu.
Indonesia sempat mengalami goncangan pasca dikeluarkannya paket
kebijakan impor yaitu penghapusan bea masuk 0% dan pembebasan importasi
kedelai. Disebutkan sebelumnya, bea masuk kedelai impor dikenakan 5 persen,

hingga 31 Desember 2012 lalu pada tahun 2013 justru tidak dikenakan bea masuk
sama kali. Yang terlihat, pemerintah lebih tunduk pada importir kedelai
dibandingkan janji untuk swasembada kedelai di tahun 2014. Petani kedelai cukup
dirugikan karena dari produknya sendiri secara kualitas jelas kalah dengan kedelai
impor yang ukurannya lebih besar dan padat, bukan hanya itu, dari sisi harga pun,
1|Artikel Analisis Kebijakan - 11040564014

bisa dipastikan kalah saing lagi. Lalu di mana kepedulian pemerintah terhadap
petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian kedelai mereka?
Bukankah ini kewajiban mereka untuk melindungi produk dalam negeri?
Disebut-sebut, kebijakan di atas dikeluarkan untuk mengatasi masalah
keterbatasan pasokan kedelai di dalam negeri. Padahal jelas sekali, pada akhir
tahun biasanya para petani kedelai tengah panen raya. Selain itu, kejadian yang
nampak menyeruak adalah ketika produk tempe dan tahu yang langka di pasaran
akibat kekurangan pasokan bahan baku. Apakah ini bagian dari hal yang dibuatbuat untuk memperlancar ketok palu dari kebijakan tersebut atau memang seperti
itu kejadiannya?
Dari pengamatan penulis, pada akhir tahun 2013 tersebut memang tengah
terjadi kelangkaan bahkan di Kota Kediri yang terkenal dengan produk tahu
takwanya, mulai banyak pengusaha yang menaikkan harga demi menstabilitaskan
pasokan dan penjualan. Namun di sekitar tempat tinggal penulis, ada ladangladang yang tengah panen raya kedelai. Lalu kejadian seperti apa ini? Setelah

penelusuran lebih jauh, kelangkaan produk tahu tersebut akibat produsen yang
lebih memilih kedelai impor sebagai bahan baku daripada kedelai dalam negeri
sendiri. Ternyata memang ada negosiasi antara pemerintah dan para importir.
Tuntutan dari para produsen terhadap kualitas bahan baku yang sempurna namun
dengan harga miring memang hanya bisa dipasok oleh kedelai impor.
Pemerintah nampak kebingungan saat itu hingga beraninya mengambil
kebijakan pembebasan bea impor. Bahkan pura-puranya untuk menstabilisasi
harga kedelai pemerintah mengeluarkan paket kebijakan berupa pemberikan
kemudahan impor bagi siapapun dengan mencabut Permendag Nomor 24
digantikan Permendag nomor 45 tahun 2013. Mengimpor kedelai tak harus
memiliki importir terdaftar (IT) atau importir produsen (IP). Lagi-lagi pemerintah
2|Artikel Analisis Kebijakan - 11040564014

begitu mendukung pasar atau pengusaha dibanding kepentingan masyarakat
secara umum. Petani dengan model hidup subsistensi mereka jelas lebih perlu
dipedulikan daripada pengusaha yang jelas penghasilannya. Ini menjadi pekerjaan
rumah bagi kita terutama yang akan memilih sebagai birokrat pasti mengalami
gejolak batin antara memilih masyarakat dan pasar. Setidaknya pemerintah sedikit
peduli dengan masyarakat meski yang dijadikan fokusnya adalah masyarakat
tingkat atas.


3|Artikel Analisis Kebijakan - 11040564014