Hukum Dalam Irama Kekuasaan Di Panggung

Hukum Dalam Irama Kekuasaan Di Panggung Reformasi
Oleh: Muhammad Rafiq

Hukum dan politik selalu menjadi pembahasan yang tak pernah ada habisnya,
ibarat polemik antara polemik antara harapan dan kenyataan yang tak pernah
bertemu.
Penguasa
kadang
memainkan
peranannya
kadang
pula
menyelewengkannya demi terpunuhinya kepentingan peribadi atau kelompok.
Kekacauan hukum diakibatkan hukum yang terlalu mencampuri urusan politik.
Sehingga hukum tidak berjalan efektif dan kadangkala menjadi alat untuk menjegal
dan memuluskan kepentingan yang ingin capai.

Masih terlintas di benak kita, tidak sedikit kasus-kasus hukum yang menjerat dua
perangkat demokrasi kita yaitu politisi dan penegak hukum di Indonesia pada
panggung reformasi. Mulai dari kasus korupsi, penyelahgunaan wewenang, hingga
institusi terhormat (DPR) masuk dalam lingkaran permainan hukum. Hal ini menjadi

perdebatan di masyarakat tentang siapa yang harus di percayai, politisi juga
melanggar dan penegak hukum juga melanggar. Sehingga tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap politisi dan penegak hukum terus menurun.

Tegaknya hukum seringkali terhadang dengan drama politik para penguasa
berwujud idealisme yang seolah-olah menegakkan hukum yang sebenarnya senjata
melawan musuh-musuh yang mencoba menghadang kepentingan politik penguasa.
Bahkan, penegak hukum juga sudah terkooptasi dengan irama politik sehingga
hukum didominasi oleh politik mengarahkan hukum sesuai kepentingan politik.

Hukum dan politik merupakan satu kesatuan subsistem masyarakat, untuk
mewujudkan hukum yang efektif butuh politik, tapi disamping itu politik pula bisa
merusak tatanan hukum. Politik dan hukum menurut Virgina Held (etika Moral,
1989 106-123) dari sudut pandang etika dan moral melihat perbedaan diantara
keduanya dari dasar pembenarannya. "Dasar pembenaran deontologis pada
khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar
pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik.
Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan
yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas
dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan kebahagiaan atau

menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konsekuensi
yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang semestinya ada pada
tindakan itu.

Hukum dan politik memberikan peluang kepada masyarakat memiliki kekuasaan
yang dijalankan sesuai sifatnya. Teori sifat kekuasaan terggolong dalam dua

kategori: organik dan mekanistik. Plato, Aristoteles, dan Burke merupakan
representasi tipikal dari jenis sifat kekuasaan Organik, sementara, karya-karya para
teoretisi kontrak sosial mewakili jenis sifat kekuasaan mekanistik. Pertama, teori
organik berpandangan bahwa kesatuan politik tubuh dirunut dari predisposisi dalam
manusia yang mendorongnya berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk
rasional, manusia menyadari bahwa kekuasaanlah yang membuat hidup menjadi
memungkinkan dan produktif bagi mereka. Kedua, Teori mekanistik cenderung
untuk mengabaikan karakter sosial manusia dengan memandang kekuasaan
sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas klaim-klaim individu. Teori
ini menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau mesin yang muncul sebagai
akibat kesepakatan di antara individu yang ingin memuaskan keinginan-keinginan
jangka pendek mereka dan yang tidak peduli dengan tujuan-tujuan bersama yang
mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya.


Kedua teori tersebut, menurut penulis hukum menjadi pondasi terlaksananya
kekuasaan. Hukum sebagai legalitas terhadap politik sehingga hukum bisa berjalan
efektif di masyarakat. Sederhanya hukum sifatnya statis dan politik sifatnya
dinamis. Hukum dan politik tidak hanya semestinya dijalankan berdasarkan asasasas tetapi juga berdasarkan komitmen kolektif rakyat dan penguasa untuk benarbenar menjunjung tinggi hukum dengan penuh kewajiban tanpa ada paksaan. Tapi,
terkadang asas-asas tersebut dicampur adukkan dengan kepentingan politik
sehingga tidak jarang asas-asas hukum dimanupulasi dan disalahgunakan.

Hukum dan politik berjalan beriringan dan posisinya sejajar. Hukum bagian dari
politik dan politik bagian dari hukum. Realitas menjadi objek keputusan politik,
keputusan politik melahirkan hukum. Baik buruknya hukum tergantung bagaimana
keputusan politik yang diambil dan baik buruknya politik tergantung bagaimana
mengambil keputusan terhadap realitas dimasayarakat. Selain itu, kepatuhan
ditempatkan pada hukum sebagai sumber nilai.

Kepatuhan Hukum atau Kepatuhan Politik?
Kepatuhan merupakan budaya yang melekat pada diri manusia. Untuk bisa
menegakkan hukum dimasyarakat, maka perlu adanya kepatuhan hukum. Cicero
mengatakan “Jika ingin hidup bebas, maka patuhilah hukum”, ini menggambarkan
bahwa hukum menjadi satu senjata lahirnya kesejahteraan, ketentraman, dan

damai dalam masyarakat. Kepatuhan menjadi budaya masyarakat dalam aktivitas
kesehariannya yang mencerminkan kehendak undang-undang yang telah di
tetapkan dan berlaku bagi segala eleman masyarakat. Dalam masyarakat perlu
dilihat kembali apakah hukum benar-benar di junjung tinggi sebagai satu pedoman
hidup dan sebagai dasar dalam mewujudkan setiap kepentingan Individu.

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk
“kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup
bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap
nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota
masyarakat. Hemat penulis, kepatuhan merupakan kesadaran spritual masyarakat
terhadap pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diwujudkan dalam bentuk
prilaku sehingga malahirkan kesetiaan. Kesetiaan inilah yang mampu membendung
skenario politk atas hukum dan menjadikan hukum sebagai pondasi berpolitik.

Politik semestinya patuh dan tunduk pada hukum.Salah satu esensi dari negara
hukum adalah bahwa harus tunduk dan bertanggung jawab untuk mematuhi
hukum. Hal ini senada dengan Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993:
244) menyatakan: "mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik". Sudah
sangat jelas, politik harus mempunyai sifat kesetiaan terhadap hukum sehingga

hukum mempunyai wibawa yang kuat dan tidak boleh dimain-mainkan.

Dengan demikian, hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan tapi menjadi satu
pondasi berpolitik agar cita-cita bangsa tercapai. Untuk mencapai hal tersebut,
loyalitas adalah kunci agar masyarakat tidak diombang-ambing oleh kekisruah
hukum dan penguasa yang membuat masyarakat menjadi jenuh dan menggadaikan
idealismenya pada orang-orang berduit demi terpenuhinya tuntutan hidup. Tapi, jika
kekisruan ini terus belanjut maka jangan heran jika masyarakat menguarkan caci
makian terhadap penguasa dan hukum tidak lagi dipatuhi.