Intoleransi Kekerasan dan Kulkas Simmel
Intoleransi, Kekerasan dan Kulkas Simmel
Beberapa bulan terakhir ini telah ditunjukkan bagaimana intoleransi dan kekerasan
dipertontonkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai
perwakilan dari Islam terhadap penganut agama maupun keyakinan lain. Aksi-aksi
seperti pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal 2016 di Gedung
Sasana Budaya Ganesha, Bandung; penolakan terhadap acara Asy-Syuro kelompok
Syiah di Semarang oleh Front Pembela Islam (FPI); hingga aksi sweeping atau razia
yang dilakukan FPI terhadap atribut Natal di berbagai pusat perbelanjaan di kota
Surabaya dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai pemberitaan media pada
2016 silam.
Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa hal ini merupakan permasalahan yang
erat kaitannya dengan identitas. Terdapat upaya untuk menegaskan perbedaan
antara “us” atau “kita” dengan “them” atau “mereka,” antara “yang akrab” dengan
“yang asing.” Namun satu yang cukup jelas adalah bahwa para pelaku aksi
intoleran dan kekerasan tersebut menganggap tindakan yang mereka lakukan
sebagai sebuah bentuk rasa solidaritas terhadap kelompoknya dan sebagai sebuah
bentuk pertahanan diri dari kelompok-kelompok lain yang mereka anggap
mengancam agama mereka.
Tengok saja pada kasus pembubaran KBBR di Bandung, alasan ormas melakukan
pembubaran adalah karena KBBR dianggap menyalahi perizinan untuk menggelar
kegiatan keagamaan di tempat umum. Sebuah alasan yang—bila meminjam
pernyataan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos—terdengar
‘mengada-ada’. Penolakan terhadap acara Asy-Syuro di Semarang tidak lepas dari
anggapan bahwa isi dari acara tersebut banyak memuat pelecehan terhadap para
istri dan sahabat dari Nabi Muhammad. Sementara itu, sweeping atau razia
terhadap atribut Natal di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya dilakukan dengan
alasan penggunaan atribut Natal bagi karyawan yang beragama Islam adalah
sesuatu yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan, dan karenanya
merupakan sesuatu yang haram.
Dalih-dalih yang digunakan oleh para pelaku setidaknya menunjukkan bahwa
terdapat rasa cemas dan takut bahwa keutuhan dan kesucian dari agama mereka
sedang berada dalam ancaman. Sehingga kemudian terlecut sebuah dorongan
untuk melakukan aksi atau gerakan guna membela agama mereka—yang kemudian
justru disertai intoleransi, kekerasan, dan menimbulkan rasa takut bagi kelompok
lainnya.
Kulkas Simmel
Melihat rasa cemas dan takut yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
melakukan aksi intoleran dan kekerasan oleh para pelaku sekilas mengingatkan
pada pemikiran sosiolog Jerman, Georg Simmel, mengenai identitas sosial dan
solidaritas kelompok. Secara singkat Simmel menyatakan bahwa kohesi internal
kelompok bergantung pada kekuatan tekanan eksternal. Semakin kuat atau
semakin lemahnya solidaritas di dalam sebuah kelompok dipengaruhi oleh ancaman
yang datang dari pihak luar.
Apa yang dikemukakan oleh Simmel ini kemudian dijelaskan oleh Thomas Hylland
Eriksen (2001) dengan mengambil analogi “work of an inverted refrigerator” atau
sebuah kulkas yang bekerja secara terbalik. Sebuah kulkas akan menghasilkan
hawa dingin ke dalam, namun agar hal tersebut dapat terjadi, sebagai efek
sampingnya, ia memancarkan kehangatan ke luar. Berkebalikan dengan itu, sebuah
kelompok dalam perjalanannya akan memancarkan kehangatan bagi anggotanya,
namun untuk melakukan hal tersebut mereka harus menciptakan sikap yang dingin
terhadap pihak luar. Dalam keadaan tertentu, tambah Eriksen, sikap dingin ke luar
dapat dengan lebih mudah dimengerti dibandingkan kehangatan ke dalam.
Ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam—termasuk di dalamnya FPI—selalu
berdalih bahwa mereka tengah membela dan menegakkan ajaran Islam saat
melakukan aksi intoleran dan kekerasan. Dengan menyerang kelompok-kelompok
lain yang dipandang merugikan atau sebagai musuh Islam, FPI dan beberapa ormas
lain beranggapan bahwa dirinya sedang membawa kepentingan Islam serta
melindungi Islam dari para pengancam.
Pada satu sisi, melalui aksi-aksi intoleran dan kekerasan, terlihat sebentuk sikap
dingin yang tidak mempedulikan hak-hak serta perasaan kelompok-kelompok
agama dan kepercayaan lainnya. Kemudian pada sisi lain, di benak FPI dan
beberapa ormas lainnya, mereka melihat dirinya sedang berlaku hangat kepada
kelompok agamanya.
FPI dan beberapa ormas lain yang mengatasnamakan Islam memang menganggap
aksinya sebagai sebuah bentuk pembelaan terhadap agama Islam. Namun yang
menjadi pertanyaan apakah umat Islam di Indonesia sendiri mengkehendaki ormas
seperti FPI dengan seenaknya mendaulat diri sebagai pembela Islam? Apakah umat
Islam di Indonesia rela mengorbankan persatuan bangsa karena aksi ormas seperti
FPI? Apakah umat Islam di Indonesia rela cara-cara yang tidak Islami digunakan oleh
ormas tertentu dengan mengatasnamakan mereka?
Jawaban Umat Islam
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas haruslah dijawab sendiri oleh umat Islam.
Dan jawabannya haruslah sesuatu yang jelas, tegas dan tanpa kompromi. Karena
pada dasarnya tidak ada ormas yang dapat seenaknya merusak ketertiban umum
dan mencederai kesatuan negara ini dengan kekerasan dan kemudian
mengatasnamakan Islam.
Umat Islam dapat saja menjawab dengan menutup mata dan melakukan pembiaran
terhadap aksi tersebut serta aksi-aksi serupa di masa mendatang. Bila demikian,
maka FPI dan ormas-ormas intoleran lain akan semakin merasa benar dan
memperoleh rasa percaya diri lebih. Dengan adanya pembiaran mereka merasa
bahwa aksi mereka direstui. Dan anggapan bahwa mereka tengah berlaku hangat
dan bahwa tindakan mereka merupakan sebuah bentuk solidaritas kelompok akan
terus terpelihara.
Pilihan lain bagi umat Islam tentu saja menjawab dengan menolak, mengutuk, serta
tidak melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi serupa. Dengan melakukan ini, umat
Islam sedang secara jelas dan tegas menyatakan bahwa aksi FPI dan ormas-ormas
intoleran lainnya bukan sesuatu yang benar. Aksi-aksi intoleran dan kekerasan yang
dilakukan bukanlah demi kepentingan Islam dan umat Islam. Aksi-aksi tadi, pada
dasarnya, dilakukan oleh FPI dan ormas-ormas intoleran lainnya demi kepentingan
mereka dengan menggunakan Islam sebagai topengnya.
Bila meminjam analogi kulkas tadi, maka dengan tidak diam terhadap aksi-aksi
intoleran dan kekerasan, umat Islam menunjukkan bahwa para pelaku bukan saja
sedang berlaku dingin terhadap kelompok agama dan keyakinan minoritas, tetapi
juga kepada Islam itu sendiri. Harus ditunjukkan bahwa intoleransi dan kekerasan
bukanlah bagian dari Islam.
Beberapa bulan terakhir ini telah ditunjukkan bagaimana intoleransi dan kekerasan
dipertontonkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai
perwakilan dari Islam terhadap penganut agama maupun keyakinan lain. Aksi-aksi
seperti pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal 2016 di Gedung
Sasana Budaya Ganesha, Bandung; penolakan terhadap acara Asy-Syuro kelompok
Syiah di Semarang oleh Front Pembela Islam (FPI); hingga aksi sweeping atau razia
yang dilakukan FPI terhadap atribut Natal di berbagai pusat perbelanjaan di kota
Surabaya dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai pemberitaan media pada
2016 silam.
Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa hal ini merupakan permasalahan yang
erat kaitannya dengan identitas. Terdapat upaya untuk menegaskan perbedaan
antara “us” atau “kita” dengan “them” atau “mereka,” antara “yang akrab” dengan
“yang asing.” Namun satu yang cukup jelas adalah bahwa para pelaku aksi
intoleran dan kekerasan tersebut menganggap tindakan yang mereka lakukan
sebagai sebuah bentuk rasa solidaritas terhadap kelompoknya dan sebagai sebuah
bentuk pertahanan diri dari kelompok-kelompok lain yang mereka anggap
mengancam agama mereka.
Tengok saja pada kasus pembubaran KBBR di Bandung, alasan ormas melakukan
pembubaran adalah karena KBBR dianggap menyalahi perizinan untuk menggelar
kegiatan keagamaan di tempat umum. Sebuah alasan yang—bila meminjam
pernyataan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos—terdengar
‘mengada-ada’. Penolakan terhadap acara Asy-Syuro di Semarang tidak lepas dari
anggapan bahwa isi dari acara tersebut banyak memuat pelecehan terhadap para
istri dan sahabat dari Nabi Muhammad. Sementara itu, sweeping atau razia
terhadap atribut Natal di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya dilakukan dengan
alasan penggunaan atribut Natal bagi karyawan yang beragama Islam adalah
sesuatu yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan, dan karenanya
merupakan sesuatu yang haram.
Dalih-dalih yang digunakan oleh para pelaku setidaknya menunjukkan bahwa
terdapat rasa cemas dan takut bahwa keutuhan dan kesucian dari agama mereka
sedang berada dalam ancaman. Sehingga kemudian terlecut sebuah dorongan
untuk melakukan aksi atau gerakan guna membela agama mereka—yang kemudian
justru disertai intoleransi, kekerasan, dan menimbulkan rasa takut bagi kelompok
lainnya.
Kulkas Simmel
Melihat rasa cemas dan takut yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
melakukan aksi intoleran dan kekerasan oleh para pelaku sekilas mengingatkan
pada pemikiran sosiolog Jerman, Georg Simmel, mengenai identitas sosial dan
solidaritas kelompok. Secara singkat Simmel menyatakan bahwa kohesi internal
kelompok bergantung pada kekuatan tekanan eksternal. Semakin kuat atau
semakin lemahnya solidaritas di dalam sebuah kelompok dipengaruhi oleh ancaman
yang datang dari pihak luar.
Apa yang dikemukakan oleh Simmel ini kemudian dijelaskan oleh Thomas Hylland
Eriksen (2001) dengan mengambil analogi “work of an inverted refrigerator” atau
sebuah kulkas yang bekerja secara terbalik. Sebuah kulkas akan menghasilkan
hawa dingin ke dalam, namun agar hal tersebut dapat terjadi, sebagai efek
sampingnya, ia memancarkan kehangatan ke luar. Berkebalikan dengan itu, sebuah
kelompok dalam perjalanannya akan memancarkan kehangatan bagi anggotanya,
namun untuk melakukan hal tersebut mereka harus menciptakan sikap yang dingin
terhadap pihak luar. Dalam keadaan tertentu, tambah Eriksen, sikap dingin ke luar
dapat dengan lebih mudah dimengerti dibandingkan kehangatan ke dalam.
Ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam—termasuk di dalamnya FPI—selalu
berdalih bahwa mereka tengah membela dan menegakkan ajaran Islam saat
melakukan aksi intoleran dan kekerasan. Dengan menyerang kelompok-kelompok
lain yang dipandang merugikan atau sebagai musuh Islam, FPI dan beberapa ormas
lain beranggapan bahwa dirinya sedang membawa kepentingan Islam serta
melindungi Islam dari para pengancam.
Pada satu sisi, melalui aksi-aksi intoleran dan kekerasan, terlihat sebentuk sikap
dingin yang tidak mempedulikan hak-hak serta perasaan kelompok-kelompok
agama dan kepercayaan lainnya. Kemudian pada sisi lain, di benak FPI dan
beberapa ormas lainnya, mereka melihat dirinya sedang berlaku hangat kepada
kelompok agamanya.
FPI dan beberapa ormas lain yang mengatasnamakan Islam memang menganggap
aksinya sebagai sebuah bentuk pembelaan terhadap agama Islam. Namun yang
menjadi pertanyaan apakah umat Islam di Indonesia sendiri mengkehendaki ormas
seperti FPI dengan seenaknya mendaulat diri sebagai pembela Islam? Apakah umat
Islam di Indonesia rela mengorbankan persatuan bangsa karena aksi ormas seperti
FPI? Apakah umat Islam di Indonesia rela cara-cara yang tidak Islami digunakan oleh
ormas tertentu dengan mengatasnamakan mereka?
Jawaban Umat Islam
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas haruslah dijawab sendiri oleh umat Islam.
Dan jawabannya haruslah sesuatu yang jelas, tegas dan tanpa kompromi. Karena
pada dasarnya tidak ada ormas yang dapat seenaknya merusak ketertiban umum
dan mencederai kesatuan negara ini dengan kekerasan dan kemudian
mengatasnamakan Islam.
Umat Islam dapat saja menjawab dengan menutup mata dan melakukan pembiaran
terhadap aksi tersebut serta aksi-aksi serupa di masa mendatang. Bila demikian,
maka FPI dan ormas-ormas intoleran lain akan semakin merasa benar dan
memperoleh rasa percaya diri lebih. Dengan adanya pembiaran mereka merasa
bahwa aksi mereka direstui. Dan anggapan bahwa mereka tengah berlaku hangat
dan bahwa tindakan mereka merupakan sebuah bentuk solidaritas kelompok akan
terus terpelihara.
Pilihan lain bagi umat Islam tentu saja menjawab dengan menolak, mengutuk, serta
tidak melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi serupa. Dengan melakukan ini, umat
Islam sedang secara jelas dan tegas menyatakan bahwa aksi FPI dan ormas-ormas
intoleran lainnya bukan sesuatu yang benar. Aksi-aksi intoleran dan kekerasan yang
dilakukan bukanlah demi kepentingan Islam dan umat Islam. Aksi-aksi tadi, pada
dasarnya, dilakukan oleh FPI dan ormas-ormas intoleran lainnya demi kepentingan
mereka dengan menggunakan Islam sebagai topengnya.
Bila meminjam analogi kulkas tadi, maka dengan tidak diam terhadap aksi-aksi
intoleran dan kekerasan, umat Islam menunjukkan bahwa para pelaku bukan saja
sedang berlaku dingin terhadap kelompok agama dan keyakinan minoritas, tetapi
juga kepada Islam itu sendiri. Harus ditunjukkan bahwa intoleransi dan kekerasan
bukanlah bagian dari Islam.