Penerbitan Sekuritas dan Kewajiban Jangk

DEVI ASTRIANI
161502032

PENERBITAN SEKURITAS EKUITAS DAN KEWAJIBAN JANGKA PANJANG
PENERBITAN SEKURITAS EKUITAS
1.

Initial Public Offering (IPO)
Asimetri informasi antara pihak manajemen dan investor potensial sangat tinggi ketika
perusahaan belum melakukan IPO. Hal ini disebabkan karena informasi perusahaan yang belum go
public relatif sulit diperoleh investor. Ketika perusahaan melakukan IPO, investor potensial hanya
mengandalkan informasi dari prospectus. Tidak terdapat media lain yang menyediakan informasi
perusahaan yang sedang melakukan IPO, kecuali prospektus yang disyaratkan Pengawas Pasar
Modal. Kelangkaan informasi perusahaan sebelum IPO, memaksa investor potensial hanya
mengandalkan prospektus sebagai sumber informasi mengenai perusahaan. Padahal prospektus
hanya menyediakan laporan keuangan selama tiga tahun sebelum IPO dan informasi non keuangan.
Kondisi ini memberikan kesempatan bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba supaya
meningkatkan kemakmurannya, yaitu mengharapkan harga saham akan tinggi pada saat IPO.
Beberapa penelitian sebelumnya telah melakukan studi manajemen laba sebelum IPO.
Friedlan (1994) menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menaikkan
laba akuntansi perioda satu tahun sebelum IPO. Jain dan Kini (1994) menyatakan bahwa terdapat

penurunan kinerja operasional perusahaan setelah IPO. Penurunan tersebut menunjukkan indikasi
telah terjadi manajemen laba menjelang IPO. Hal ini dilakukan dengan cara menggeser pendapatan
perioda yang akan datang ke perioda sekarang atau menggeser biaya perioda sekarang ke perioda
yang akan datang, sehingga laba perioda sekarang dilaporkan tinggi. Teoh et al. (1998a) menemukan
ada perusahaan yang berperilaku agresif (menaikkan laba) dan ada yang berperilaku konservatif
ketika menyusun laporan keuangan satu perioda sebelum IPO. Teoh et al. (1998b) juga menemukan
bahwa manajemen melakukan penyesuaian akrual dalam rangka menaikkan laba menjelang SEO.
Rangan (1998) juga menemukan hasil yang sama.
Penelitian yang dilakukan Imam Sutanto (2000), Gumanti (2001), Syaiful (2002), dan
Raharjono (2005) membuktikan manajemen laba menjelang IPO juga terjadi di Bursa Efek Jakarta
(BEJ). Gumanti (2001) dan Syaiful (2002) menyimpulkan bahwa manajemen melakukan manajemen
laba perioda dua tahun menjelang IPO dan tidak terdapat indikasi manajemen laba perioda satu
tahun menjelang IPO. Sedangkan Raharjono (2005) menemukan bahwa manajemen laba terjadi
pada perioda satu tahun menjelang IPO.

Meskipun asimetri informasi antara manajemen dan investor tidak lagi tinggi setelah IPO,
namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa manajemen laba juga dilakukan setelah IPO dan
SEO. Friedlan (1994) menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat
menaikkan laba akuntansi perioda satu tahun setelah IPO. Shivakumar (2000) memberikan bukti
bahwa manajemen melakukan manajemen laba di sekitar SEO, meskipun tidak ditunjukkan untuk

menyesatkan investor dalam membuat keputusan investasi. Syaiful (2002) juga menemukan bukti
yang sama untuk BEJ, manajemen laba dilakukan perioda dua tahun setelah IPO.
Return saham perusahaan setelah IPO dalam jangka panjang akan turun. Hal ini disebabkan
investor terlalu optimis, sehingga harga saham akan lebih tinggi pada awal penawarannya dan
berangsur-angsur turun dalam jangka panjang (Brav dan Gompers 1997). Kemudian Brav et al.
(2000) melakukan pengujian terhadap abnormal return yang mengikuti penawaran sekuritas (IPO
dan SEO). Mereka menyimpulkan bahwa kinerja saham rendah untuk perusahaan yang memiliki
book to market ratio rendah. Teoh et al. (1998a) meneliti kinerja perusahaan jangka panjang setelah
IPO, hasilnya menggambarkan return saham jangka panjang rendah setelah IPO dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak melakukan IPO. Mereka juga membuktikan bahwa kinerja yang
rendah tersebut berhubungan dengan akrual diskresioner di sekitar IPO.
Menurut Teoh et al. (1998b) kinerja saham juga rendah untuk perusahaan yang melakukan
SEO. Loughran dan Ritter (1995) bahkan menyatakan kinerja saham yang rendah terjadi sampai lima
tahun setelah SEO. Rangan (1998) membuktikan bahwa kinerja saham perusahaan setelah
melakukan SEO rendah. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan manajemen laba
menjelang SEO akan memiliki return sa¬ham lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak
melakukan manajemen laba. Rangan (1998) mencoba memprediksi return saham dengan
komponen akrual diskresioner untuk mendapatkan koefisien negatif yang menunjukkan kinerja
saham yang rendah tersebut mampu dijelaskan dengan manajemen laba. Hasilnya menunjukkan
bahwa koefisien regresi hubungan antara akrual diskresioner dan return saham adalah negatif,

sehingga ia menyimpulkan bahwa rendahnya kinerja saham mampu dijelaskan komponen akrual. Ali
et al. (2000) menguji apakah komponen akrual mampu menjelaskan return saham perusahaan
setahun setelah penerbitan laporan keuangan.
Komponen akrual penelitian tersebut dihitung dengan pendekatan Dechow et al. (1995).
Hasilnya menunjukkan komponen akrual berhubungan negatif dengan return saham. Subramanyam
(1996) juga menemukan akrual diskresioner berhubungan dengan harga saham.
Syaiful (2002) meneliti hubungan manajemen laba dengan return saham perusahaan yang
terdaftar di BEJ. Penelitian dilakukan terhadap 44 perusahaan yang melakukan IPO pada 1991-1994.

Hasilnya menunjukkan bahwa return saham pada perioda satu tahun setelah IPO rendah. Tetapi
penelitian ini tidak berhasil menemukan hubungan antara manajemen laba dan return saham.
Ardiati (2003) meneliti hubungan manajemen laba terhadap return saham dengan menggunakan
kualitas audit sebagai variabel pemoderasi. Sampel penelitian terdiri atas 78 perusahaan pada
perioda 1995-2000. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif terhadap
return pada perusahaan yang diaudit KAP Big 5 dan berpengaruh negatif pada perusahaan yang
diaudit KAP Non-Big 5. Widiastuty (2004) juga meneliti hubungan manajemen laba terhadap return
saham dengan menggunakan leverage dan unexpected earnings sebagai variabel kontrol. Sampel
penelitian terdiri atas 72 perusahaan pada perioda 1999-2001. Hasilnya menunjukkan bahwa
manajemen laba berhubungan positif terhadap return saham. Raharjono (2005) juga meneliti
mengenai hubungan antara manajemen laba dengan return saham perusahaan yang terdaftar di

BEJ. Penelitian dilakukan pada 33 perusahaan yang melakukan IPO pada 1995-2001. Hasilnya
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara manajemen laba perioda satu tahun sebelum IPO
dan return saham satu tahun setelah IPO.
Bartov et al. (2000a) menguji hubungan antara kecerdasan investor dengan pola return
saham yang diobservasi setelah pengumuman laba kuartalan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kecerdasan investor berhubungan secara negatif dengan pola return abnormal yang
diobservasi setelah pengumuman laba kuartalan. Hasil ini menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kecerdasan investor, maka semakin rendah return abnormal setelah pengumuman laba kuartalan
dan sebaliknya.
Bartov et al. (2000a) mendefinisikan investor yang cerdas sebagai investor yang mampu
mengumpulkan dan memproses informasi publik, sedangkan investor yang tidak cerdas adalah
investor yang hanya menggunakan informasi keuangan pers dan intuisi serta tidak melakukan
analisis laporan keuangan dengan baik. Jogiyanto (2005) juga menyatakan bahwa investor yang
cerdas mampu menganalisis informasi lebih lanjut untuk menentukan apakah informasi
memberikan sinyal yang sahih dan dapat dipercaya, sedangkan investor yang tidak cerdas akan
menerima informasi tanpa menganalisis lebih lanjut.
Pada umumnya literatur menggunakan kepemilikan institusi sebagai proksi kecerdasan
investor (Hand 1990; Utama dan Cready 1997; Walther 1997; El-Gazzar 1998; atau Bartov et al.
2000a). Alasan utama yang membuat kepemilikan institusi cocok dijadikan proksi kecerdasan
investor karena investor institusi memiliki informasi privat yang lebih banyak dan memiliki tim analis

yang lebih canggih untuk menganalisis informasi daripada investor individu (Mayer 1988; Shiller dan

Pound 1989; atau Yunker dan Krehbiel 1988). Alasan lain adalah karena investor institusi siap
melakukan investasi pada sejumlah besar perusahaan (Bartov et al. 2000a).
Bartov et al. (2000a) juga menguji mengenai validitas kepemilikan institusi sebagai proksi
kecerdasan investor. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan institusi merupakan proksi yang
valid untuk kecerdasan investor. Rajgopal S., Mohan V., dan James Jiambalvo (1999) juga
menemukan hasil yang sama. Penelitian ini juga menggunakan kepemilikan institusi sebagai proksi
kecerdasan investor dan cutoff 40% atau lebih kepemilikan institusi menunjukkan investor cerdas.
Sedangkan kepemilikan institusi di bawah 40% menunjukkan investor tidak cerdas (Balsam et al.
2002).
Bartov et al. (2000a), Rajgopal (1999), dan Walther (1997) menyatakan bahwa kecerdasan
investor (investor sophistication) merupakan faktor penentu hubungan antara laba dan return.
Balsam et al. (2002) menguji reaksi pasar (investor cerdas dan tidak cerdas) terhadap manajemen
laba di sekitar pelaporan keuangan kuartalan (10-Q).
Hasilnya menunjukkan bahwa para investor yang cerdas (sophisticated investors) mampu
mendeteksi manajemen laba lebih cepat daripada para investor yang tidak cerdas (unsophisticated
investors).
Rajgopal et al. (1999) menguji hubungan manajemen laba dengan kecerdasan investor
menggunakan data perioda 1989-1995. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba

berhubungan negatif dengan kecerdasan investor. Hasil ini menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat kecerdasan investor, maka semakin rendah tingkat manajemen laba dan sebaliknya.
2.

Secondary Public Offering (SPO)
Tahap secondary market adalah masa pencatatan saham di bursa Efek dan sekaligus saham
tersebut di perdagangkan. Pada masa ini para pemilik saham yang telah membeli saham di pasar
perdana dapat memperjualbelikan sahamnya dengan mekanisme perdagangan yang berlaku di
Bursa Efek. Pemilik saham atau pemodal dapat melakukan jual ataupun beli atas saham yang
dimilikinya melalui perusahaan efek yang bergerak sebagai perantara pedagang efek atau pialang
saham. Pada secondary market ini menjadi menarik karena saham perusahaan yang dijual oleh
emiten tersebut akan diuji apakah saham ini memiliki prospek atau kinerja bagus atau tidak. Suatu
saham yang memiliki kinerja baik, maka harga sahamnya akan memiliki kecenderungan naik karena
diminati oleh pemodal. Sebaliknya, saham kurang baik, akan memiliki kecenderungan harga
menurun.

3. Rights (Sertifikat Bukti Right)

Right dapat didefinisikan sebagai efek yang memberikan hak kepada pemegang saham lama
untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan oleh emiten pada proporsi dan harga tertentu.

Hak dalam right sering disebut sebagai preemptive right, yaitu suatu hak untuk menjaga proporsi
kepemilikan saham bagi pemegang saham lama di suatu perusahaan sehubungan dengan
pengeluaran saham baru.
Biasanya right muncul ketika emiten melakukan penawaran saham kedua (second issue).
Dampak jika pemegang saham tidak menggunakan preemptive right adalah :
a. Dilusi (berkurangnya proporsi kepemilikan pemegang saham yang tidak menggunakan haknya).
b. Mengurangi ROI (Return on Investment) dengan bertambahnya saha beredar.
c. Mengecilnya DPS (Dividend Per Share) karena harus dibagikan kepada pemegang saham.
Harga saham yang ditentukan dalam right untuk membeli saham baru dengan proporsi
sesuai ketentuan, harganya ditentukan sama dengan atau di atas nilai nominal saham tapi nilai
nominal saham tetap di bawah harga pasar. Harga penebusan saham baru ini disebut dengan
exercise price atau subscription price.
Dalam kaitannya dengan right, ada istilah right issue, yang didefinisikan sebagai kegiatan
penawaran umum terbatas kepada pemegang saham lama dalam rangka penerbitan hak memesan
efek terlebih dahulu.
Untuk penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu dibutuhkan persetujuan dari
pemegang saham mayoritas. Right issue ini pun harus mendapatkan persetujuan efektif dari
Bapepam.
Rumus untuk menghitung harga teoritis rights:


Pr=P s−Pe
Pr = harga teoritis right
Ps = harga teoritis saham ex right
Pe = harga saham baru (harga tebus right)
Dengan adanya right issue akan terjadi penambahan saham baru yang akan menyebabkan
adanya dilusi kepemilikan saham. Untuk menghitung harga teoritis saham sesudah right issue
digunakan rumus berikut:

Ps=

RR (Pc + PE)
RR+ 1

Ps = harga teoritis saham ex right
Pc = harga penutupan saham pada cum-right
RR = rasio rights issue
PE = exercise price (harga penebusan rights)

Periode perdagangan right tidak selamanya, melainkan hanya sementara saja. Biasanya
antara 5 hingga 10 hari bursa. Dengan sifatnya yang berupa hak ada beberapa keistimewaan dan

keuntungan yang bisa diperoleh investor dengan right. Investor yang menjadi pemegang saham
lama memiliki hak istimewa untuk membeli saham baru pada harga yang telah ditetapkan dengan
menukarkan right yang dimilikinya. Hak istimewa tersebut memungkinkan investor untuk
memperoleh keuntungan dengan membeli saham baru dengan harga yang lebih murah.
Karakteristik
Di samping memiliki keuntungan, right juga memiliki risiko. Salah satu contoh risiko yang
sering terjadi adalah apabila harga saham pada periode pelaksanaan atau yang biasa disebut
dengan exercise date lebih rendah. Dalam kondisi ini dengan sendirinya investor tidak akan
mengkonversikan right tersebut, sementara itu investor akan mengalami kerugian atas harga beli
right.
4. Warrant
Waran adalah hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan pada
waktu yang telah ditetapkan pula. Waran biasanya melekat sebagai daya tarik (swetener) pada
penawaran umum saham perdana (IPO) ataupun obligasi. Biasanya harga pelaksanaan lebih rendah
dari pada harga pasar saham. Setelah saham ataupun obligasi tersebut tercatat di bursa, waran
dapat diperdagangkan secara terpisah. Periode perdagangan waran sekitar 3 - 5 tahun. Waran
merupakan suatu pilihan (option), di mana pemilik waran mepunyai pilihan untuk menukarkan atau
tidak warannya pada saat jatuh tempo. Pemilik waran dapat menukarkan waran yang dimilikinya 6
bulan setelah waran tersebut diterbitkan oleh emiten. Harga waran itu sendiri berfluktuasi selama
periode perdagangan di pasar sekunder.

Untuk menghitung harga suatu waran digunakan rumus berikut :

Pw =P s−Pe
Pw = harga/nilai fundamental suatu waran
Ps = harga pasar yang berlaku pada saham biasa yang terkait dengan waran.
Pe = exersice price waran untuk penebusan saham.
Karakteristik Waran
Yang menjadi keistimewaan waran ini antara lain :
a. Pemilik waran memiliki hak untuk membeli saham baru perusahaan dengan harga yang lebih
rendah dari harga saham tersebut di pasar sekunder dengan cara menukarkan waran yang
dimilikinya ketika harga saham perusahaan tersebut melebihi harga pelaksanaan.

b. Karena sifatnya yang bisa diperdagangkan itu waran ini juga memberikan keuntungan berupa
capital gain. Karakteristik yang demikian itu sekaligus juga menjadi faktor yang merugikan bagi
investor apabila harga waran jatuh dari harga belinya. Begitu pula apabila harga saham pada
periode pelaksanaan jatuh dan menjadi lebih rendah dari harga pelaksanaan, maka investor akan
mengalami kerugian atas harga beli waran.
Sesuai dengan peraturan Bapepam, jumlah waran yang diterbitkan dan waran yang telah
beredar tidak melebihi 15% dari modal disetor pada saat waran diterbitkan.
Proses penebusan waran akan mengakibatkan peningkatan jumlah saham yang diterbitkan,

sehingga akan terjadi dilusi persentase kepemilikan saham. Harga teoritis saham setelah
redemption waran dapat dihitung sebagai berikut :

Ps=

S s(P c +WR )PE
S +WR

Ps
Ss
Pc
PE

= harga teoritis saham yang baru sesudah redemption waran
= jumlah saham sebelum terjadinya redemption waran
= harga penutupan yang tersedia pada saat terjadinya redemption waran
= exercise price waran

WR

= banyaknya saham biasa yang ditebus dengan waran

KEWAJIBAN JANGKA PANJANG
Terdapat banyak dimensi lain dari kewajiban (utang) jangka panjang, termasuk hal-hal seperti
jaminan, karakteristik penebusan kembali (call), dana pelunasan (sinking fund), peringkat, dan perjanjian
perlindungan (protective covenant). Karakterisik-karakterisitik tersebut dirinci di dalam perjanjian
obligasi (indenture).
Indenture adalah suatu perjanjian tertulis antara perusahaan (peminjam) dengan krediturnya.
Kadang-kadang disebut juga sebagai perjanjian dengan wali amanat (deed of trust). Biasanya, suatu
pengawas keuangan (trustee) misalnya sebuah bank, ditunjuk oleh perusahaan untuk mewakili para
pemegang obligasi. Perusahaan pengawas harus :
a.
b.
c.

memastikan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian telah dipatuhi.
Mengelola dana pelunasan.
Mewakili pemegang obligasi dalam kegagalan pembayaran yakni jika perusahaan gagal bayar.
Indenture obligasi adalah dokumen legal yang biasanya memuat persyaratan-persyaratan berikut

:
a.
b.
c.
d.

persyaratan dasar obligasi
jumlah total emisi obligasi
uraian tentang harta yang digunakan sebagai jaminan
kesepakatan pelunasan

e.

rincian perjanjian perlindungan

1.

Protective Covenants
Protective covenant adalah bagian dari indenture atau perjanjian pinjaman yang membatasi
tindakan-tindakan tertentu yang mungkin akan diambil oleh perusahaan selama jangka waktu
pinjaman. Protective covenant dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. Positif covenant
Positif covenant adalah jenis janji “Anda dilarang”. Janji ini membatasi atau melarang
tindakan-tindakan yang mungkin diambil oleh perusahaan. Berikut adalah contoh umum di
antaranya :
1) Perusahaan harus membatasi jumlah dividen yang dibayarkan menurut suatu rumus
tertentu.
2) Perusahaan tidak dapat menjaminkan asetnya kepada pemberi pinjaman lain.
3) Perusahaan tidak dapat bergabung dengan perusahaan lain.
4) Perusahaan tidak dapat menjual atau menyewakan semua asset utama tanpa persetujuan
dari pemberi pinjaman.
5) Perusahaan tidak dapat menerbitkan utang jangka panjang tambahan.
b.

Negatif covenant
Negatif covenant adalah jenis perjanjian “Anda harus”. Janji ini menyebutkan satu
tindakan yang oleh perusahaan disetujui untuk diambil atau suatu persyaratan yang harus
dipatuhi oleh perusahaan. Berikut beberapa contohnya :
1) Perusahaan harus menjaga modal kerjanya pada atau di atas suatu tingkat minimum yang
2)

telah ditentukan.
Perusahaan harus memberikan laporan keuangan yang telah diaudit kepada pemberi
pinjaman secara berkala.

3)

Perusahaan harus menjaga semua agunan atau jaminan dalam kondisi yang baik.

2. Sinking Fund
Obligasi dapat dilunasi saat jatuh tempo, di mana saat itu pemegang obligasi akan
menerima nilai nominal, atau yang dinyatakan dari obligasi. Obligasi juga bisa dilunasi sebagian atau
secara keseluruhan sebelum jatuh tempo. Pelunasan sebelum jatuh tempo lebih umum terjadi dan
sering kali ditangani melalui dana pelunasan.
Dana pelunasan (sinking fund) adalah suatu rekening yang dikelola oleh pengawas obligasi
dengan tujuan untuk melunasi obligasi. Perusahaan melakukan pembayaran tahunan kepada
pengawas, yang selanjutnya akan menggunakan dana tersebut untuk melunasi sebagian utang.
Pengawas melakukan ini dengan membeli sebagian obligasi di pasar atau menebus sebagian obligasi
yang beredar.

Sinking fund juga didefinisikan sebagai penyisihan sejumlah dana oleh emiten secara teratur
untuk melunasi obligasi atau utang jangka panjangnya. Sinking fund didesain untuk melindungi
investor dengan memastikan bahwa emiten memperhatikan kepentingan para pemodal.
Boardman dan McEnally (1981) dalam Foster (1986) membuat model penelitian untuk
menguji faktor penentu harga dan return obligasi pada tiap kategori rating secara time series. Ia
menggunakan salah satu variabel independen yaitu ada tidaknya sinking fund pada penerbitan
obligasi. Hasilnya menyatakan bahwa obligasi berkualitas rendah (tidak menyediakan sinking fund)
harga dan return-nya kurang homogen dibanding yang berkualitas tinggi. Dalam hal ini bila terdapat
sinking fund maka peringkat obligasi akan semakin tinggi. Obligasi yang memberikan penyisihan
dana atau memberi ketetapan sinking fund pada saat mengemisi dipandang relatif lebih aman
dibanding obligasi tanpa adanya sinking fund.
Terdapat berbagai jenis kesepakatan dana pelunasan di mana rinciannya akan diuraikan di
dalam indenture. Contohnya :
a. Beberapa dana pelunasan dimulai sekitar 10 tahun setelah penerbitan awal.
b. Beberapa dana pelunasan akan meminta pembayaran dengan jumlah yang sama sepanjang
umur obligasi.
c.

Beberapa emisi obligasi berkualitas tinggi memiliki pembayaran kepada dana pelunasan yang
tidak mencukupi untuk menebus keseluruhan emisi. Sebagai konsekuensinya, ada
kemungkinan terdapat pembayaran yang besar saat jatuh tempo.

3. Call Provision
Ketentuan penarikan (call provision/call feature), merupakan hak perusahaan sebagai
penerbit untuk menebus obligasinya sebelum waktu jatuh temponya. Ketentuan penarikan tersebut
biasanya menetapkan bahwa penerbit harus membayar kepada investor/pemegang obligasi suatu
jumlah yang lebih besar dari pada nilai pari (nominal) obligasi jika obligasi tersebut ditarik. Jumlah
tambahan tersebut disebut sebagai premi penarikan/call premium.
Ketentuan penarikan sering kali tidak dioperasikan selama paruh pertama umur suatu
obligasi. Hal ini membuat para pemegang obligasi tidak perlu mengkhawatirkan ketentuan
penebusan dalam tahun-tahun pertama obligasi. Contohnya, sebuah perusahaan mungkin melarang
obligasinya ditebus selama 10 tahun pertama. Ini disebut ketentuan penebusan yang ditangguhkan
(deffered call provision). Selama periode pelarangan ini, obligasi tersebut dikatakan diproteksi dari
penebusan (call protected).
Dalam beberapa tahun terakhir, ada satu jenis ketentuan penebusan baru yang disebut
penebusan “make-whole”, dengan karakteristik penebusan ini pemegang obligasi akan menerima

kurang lebih nilai obligasi jika obligasi tersebut ditebus. Karena pemegang obligasi tidak mengalami
kerugian jika terjadi penebusan maka dikatakan sebagai “made whole” atau “impas”.
4. Bond Refunding
Bond refunding berarti menggantikan seluruh atau sebagian bonds (obligasi) yang
diterbitkan.
Jika manajemen memprediksi bahwa tingkat suku bunga di pasar modal (market rate)
obligasi sejenis di masa mendatang akan turun, maka perusahaan akan mempertimbangkan untuk
membeli kembali obligasi (buy back) yang tingkat bunganya tinggi, dan menerbitkan obligasi dengan
tingkat suku bunga yang lebih rendah. Dalam hal ini disebut bahwa obligasi didanai ulang
(refunded). Jadi, kapan perusahaan perlu melakukan pendanaan ulang obligasinya tergantung dari
ekspektasi tingkat suku bunga di masa mendatang.
Adanya penarikan kembali inilah biasanya yang menyebabkan obligasi yang mengandung
ketentuan call provision diterbitkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
obligasi tanpa call provision. Investor lebih memilih obligasi dengan situasi dimana perusahaan tidak
membeli kembali obligasinya sebelum jatuh tempo, sebab investor cenderung ingin memiliki
obligasi dengan bunga tinggi dibanding obligasi dengan bunga rendah.
Keputusan pendanaan ulang (refunding) menyangkut dua pertanyaan yang berbeda, yaitu:
a. Apakah menguntungkan untuk menarik obligasi yang sedang beredar pada periode berjalan
b.

dan menggantinya dengan obligasi baru?
Jika bond refunding saat ini menguntungkan, apakah tidak lebih baik/menguntungkan lagi jika
pendanaan ulang ditangguhkan dulu untuk sementara?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada prinsipnya perusahaan menganalisis sama

halnya pada saat mengkaji tentang penganggaran barang modal (capital budgeting). Dengan
melakukan bond refunding artinya terdapat arus kas keluar. Biaya atas pendanaan ulang (sama
halnya dengan pengeluaran investasi, karena perusahaan mengeluarkan dana untuk membeli
kembali obligasi) yang terdiri atas:
a. Premi penarikan (call premium) yang dibayarkan pada pemegang obligasi yang ditarik.
b. Biaya penjualan obligasi baru.
c. Bunga (coupon rate) yang harus dibayar ketika kedua obligasi sedang sama-sama beredar
(disebut sebagai overlap interest). Ada kalanya obligasi baru dijual lebih dahulu sebelum
dilakukan penarikan obligasi lama, ini untuk memastikan ada/tersedia dana untuk membayar
pokok pinjaman dari obligasi lama.
Seluruh pengeluaran kas tersebut dibandingkan dengan arus kas masuk, yang dalam hal ini
berupa penghematan biaya atas ditariknya obligasi lama. Penghematan dapat terjadi karena ada
selisih beban bunga antara obligasi lama dan obligasi baru, serta amortisasi atas biaya-biaya terkait

dengan kedua obligasi tersebut. Penghematan biaya diperhitungkan setelah pajak. Penghematan
biaya yang terjadi setiap tahun (karena biaya bunga dibayarkan tiap tahun) kemudian dipresent
value-kan dengan menggunakan tingkat bunga obligasi baru sebagai discount factor. Perusahaan
lebih baik melakukan pendanaan ulang obligasi jika nilai sekarang (present value) dari penghematan
melebihi biaya pendanaan ulang.