Produktivitas dan Daya Saing Industri Pa

Produktivitas dan Daya Saing Industri Pariwisata Indonesia
Menghadapi Persaingan Global
Oleh :
Myra P. Gunawan

Pendahuluan
Posisi pariwisata dalam pembangunan nasional
Pariwisata merupakan sektor alternatif untuk mengatasi masalah ekonomi suatu negara.
Makin banyak negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk
mengembangkan sektor lain, saat ini mengandalkan kepada sektor pariwisata. Indonesia
sejak hampir setengah abad lalu memutuskan untuk mengembangkan pariwisata dan
mengambil tindakan konkret dengan merencanakan Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata,
antara lain dengan pembangunan Nusa Dua yang sekarang terkenal di dunia.
Pariwisata ditugasi untuk menjadi penghasil devisa nonmigas saat harga minyak dan gas
bumi menurun pada tahun 80-an. Perkembangannya melaju pesat sampai terjadinya krisis
nasional 1998 yang berdampak besar terhadap perkembangan pariwisata, tidak hanya di
Bali, tetapi secara nasional. Dalam kabinet kerja yang sekarang, pariwisata juga kembali
ditugaskan menjadi sektor unggulan untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Kemauan politik yang sangat kuat ditunjukkan dengan adanya perintah Presiden tidak hanya
kepada Menteri Pariwisata, tetapi juga jajaran menteri lainnya. Perintah untuk memperoleh

20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada akhir periode Kabinet Kerja seyogianya
tidak dianggap sebagai ‘the ultimate goal’ pembangunan kepariwisataan. Segala sumber
dana dan daya (fund and forces) dikerahkan untuk mencapai sasaran tersebut.
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sangat jelas bahwa
fungsi/peran sektor pariwisata adalah memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual
setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (Pasal 3 ). Tujuan pembangunan kepariwisataan,
1

selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga memiliki banyak tujuan lain, yaitu
peningkatan kesejahteraan, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan
alam, lingkungan, dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa,
memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta
mempererat persahabatan antarbangsa (Pasal 4).
Tolok ukur keberhasilan seyogianya dikaitkan dengan fungsi dan peran yang melekat serta
tujuan yang dirumuskan dalam UU tersebut. Namun, perlu juga diingat bahwasanya
pariwisata hanyalah salah satu kendaraan pembangunan bagi Indonesia yang dilimpahi
dengan berbagai kekayaan alam dan budaya untuk terciptanya bangsa yang sejahtera.
Karakter industri pariwisata dan pengukuran produktivitasnya
Pariwisata merupakan industri terbesar di dunia. Industri pariwisata terdiri atas berbagai

jenis usaha dalam serangkaian industri berbeda yang memberikan barang dan jasa kepada
pengunjung, seperti akomodasi, perdagangan eceran, dan transportasi. Australia membagi
ke dalam dua kelompok, yaitu (i) tourism characteristic: jenis usaha/industri dimana
pengunjung mengonsumsi sedikitnya 25% dari luarannya dan (ii) tourism connected:
mencakup kelompok usaha/industri terkait dengan konsumsi pengunjung < 25%. Selain itu,
perlu ditambahkan bahwa ciri utama yang harus dipenuhi adalah usaha dalam kedua
kelompok tersebut harus melayani wisatawan secara langsung. Produsen barang yang tidak
langsung menjual kepada wisatawan tidak termasuk di dalamnya (Australian Bureau of
Statistics).
Indonesia belum melakukan pembedaan secara definitif, sering kali hanya disebutkan
industri terkait pariwisata yang sebenarnya sangat luas. Dalam UU No. 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan disebutkan berbagai jenis usaha yang membentuk industri
pariwisata, akomodasi, transportasi, kawasan wisata, dan lain-lain hingga usaha spa (Pasal
14, Bab IV).
Selain cakupan jenisnya, ciri penting elemen utama industri pariwisata seperti perhotelan
dan transportasi adalah produknya (kapasitas kamar atau tempat duduk di pesawat/sarana
transportasi lain) yang bersifat perishable, tidak dapat ‘disimpan’ untuk dimanfaatkan pada
saat lain. Pada dasarnya, industri pariwisata merupakan industri berbasis layanan, di mana
2


kualitas pelayanan merupakan bagian penting yang dinilai oleh konsumen. Apabila kualitas
ini tak diperhitungkan secara memadai, perkiraan tentang output dapat over- atau
underestimated (Long and Shah, 2010 dalam Productivity Commission, 2015).
Meskipun dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa
pariwisata merupakan bagian dari kebutuhan dasar, tetapi secara realita orang
menempatkannya dalam posisi yang bervariasi, bergantung pada kemampuan ekonomi;
pangan, sandang, dan papan – kemudian pendidikan dan kesehatan menduduki prioritas
yang lebih tinggi. Meski demikian, kita perlu berpandangan bahwa pariwisata bukan sekadar
sebagai kebutuhan rekreatif, tetapi menjadi bagian dari kesehatan dan pendidikan yang
utuh. Permintaan akan produk/elemen produk pariwisata tidak hanya sangat variatif dari
berbagai sisi, tetapi juga sangat elastis.
Produktivitas industri pariwisata juga tidak sederhana untuk dapat diukur. Productivity
Commission Australia mendefinisikannya sebagai: productive efficiency with which firms and
organisations, industries, and the economy as a whole, turn inputs, such as labor, capital,
and raw materials into output (Productivity Commission, 2014 dalam Productivity
Commission, 2015). Memperkirakan produktivitas pariwisata yang terdiri atas berbagai
elemen industri yang berbeda-beda tidaklah mudah. Industri pariwisata tidak diukur dari
produksi barang dan jasa sebagaimana sektor lain, tetapi dari jumlah produk yang
dikonsumsi oleh pengunjung/wisatawan.
Bagian ini mengindikasikan permasalahan yang dihadapi: meskipun kemauan politik

pemerintah dalam pengembangan sektor pariwisata tidak pernah surut dan saat ini
pariwisata makin kukuh sebagai sektor unggulan dengan perkembangan yang menjanjikan,
tetapi sangat peka terhadap berbagai eksternalitas di dalam maupun di sumber pasar. Masih
tersisa pertanyaan besar, bukan dalam hal peringkat jumlah wisatawan sebagaimana selalu
didengung-dengungkan dengan penuh kekhawatiran karena berada (jauh) di belakang
negara tetangga Singapura, Malaysia, atau Thailand, tetapi pertanyaan akan produktivitas
industri pariwisata Indonesia (serta berbagai tujuan lain yang tidak dibahas dalam tulisan ini)
yang tampaknya kurang menjadi perhatian publik, pemerintah, maupun wakil-wakil rakyat.

3

Neraca Satelit Pariwisata Nasional & Produktivitas
Meski pernah menjadi tuan rumah pelatihan tentang produktivitas yang diselenggarakan
oleh Asian Productivity Organization (APO), sepanjang perjalanan pembangunan para pihak
lebih banyak membicarakan jumlah wisatawan sebagai tolok ukur keberhasilan. Salah satu
(atau mungkin satu-satunya) hasil pengukuran yang dapat dipakai untuk bahasan
produktivitas adalah Neraca Satelit Pariwisata Nasional yang telah dilakukan sejak tahun
2000 dan berlanjut setiap tahunnya hingga 2014.
Hasil perhitungan mengindikasikan bahwa:
Investasi dan pengeluaran pemerintah dalam kurun kurang dari 10 tahun (2005–2013)

meningkat dengan signifikan, masing-masing sebesar 438% dan 147%, yaitu dari Rp22,53 T
dan Rp2,88 T (2005) menjadi Rp121,30 T dan Rp7,12 T (2013). Pada periode yang sama,
pengeluaran wisatawan (mancanegara + nusantara) meningkat 166% dari Rp116,16 T
menjadi Rp307,59 T.
Pada kurun waktu yang sama, dampak ekonomi yang dihasilkan dari pengeluaran wisatawan
mancanegara dan nusantara, investasi, dan pengeluaran/belanja pemerintah terhadap
berbagai indikator ekonomi makro, dari tahun ke tahun meningkat dalam jumlah, tetapi
kenaikannya tak sepesat kenaikan pengeluaran pemerintah dan investasi.
Jumlah wisatawan dan pengeluarannya meningkat, tetapi rasio pengeluaran wisatawan
terhadap nilai input (pengeluaran pemerintah + investasi) menurun secara signifikan dari
4,57 menjadi hanya 2,39. Penurunan drastis juga terjadi pada rasio antara output terhadap
input, dari 12,6 menjadi 6,1. Kenaikan terjadi pada rasio antara output terhadap jumlah
tenaga kerja yang terserap, dari Rp695 M/orang/tahun menjadi Rp822 M/orang/tahun.
Rincian tentang berbagai indikator tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut.

4

Tabel 1. Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh berbagai jenis pengeluaran terhadap indikator
ekonomi (2005, 2008, dan 2013)


Input (T Rp):
1.
Pengeluaran pemerintah
2.
Investasi
3.
Jumlah (1 + 2)
4.
5.
6.

Pengeluaran wisatawan nusantara
Pengeluaran wisatawan mancanegara
Jumlah (4 + 5)
Jumlah (3 + 4 + 5)

Dampak (T Rp):
7.
Output
8.

PDB
9.
Pajak tak langsung
10. Upah dan gaji
11.

Tenaga kerja (juta orang)

Produktivitas
12. Pengeluaran wisatawan (4 + 5)/input
(1 + 2)
13. Output/input (7 : 3)
(T Rp output per T Rp input)
14.

a. Output/tenaga kerja (7 : 11)
(juta Rp/th)
b. Output/upah dan gaji

2005


2008

2013

2,88
22,53
25,41

5,61
64,19
69,80

7,12
121,30
128,42

71,70
44,46
116,16

141,57

123,17
80,46
203,63
273,49

177,84
129,75
307,59
436,01

306,5
143,62
5,4
45,63

505,02
233,89
8,36

75,54

790,01
365,02
13,26
118,34

4,41

6,98

9,61

4,57

2,92

2,39

12,6


7,2

6,1

69,5

72,3

82,2

6,69

6,68

6,69

Sumber: diolah dari Laporan Nesparnas 2006 (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Koperasi
Badan Pusat Statistik), Laporan Nesparnas 2009 (Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata), dan Laporan Nesparnas 2014 (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)

Neraca Satelit Pariwisata untuk beberapa provinsi menunjukkan peran pariwisata terhadap
ekonomi wilayah/daerah yang sangat variatif. Perbedaan tersebut diyakini bukan karena
perbedaan tahun perhitungan.

5

Diduga bahwa peran pariwisata bagi Provinsi Bali sangat dominan, sementara bagi provinsi
lain bervariasi, termasuk emerging province seperti Bangka Belitung yang muncul
‘mengalahkan’ provinsi lain yang sudah lebih dahulu mengandalkan pariwisata. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh kekuatan sektor-sektor lainnya di provinsi yang bersangkutan.
Variasi peran pariwisata terhadap berbagai indikator ekonomi daerah dapat digambarkan
dalam tabel berikut.
Tabel 2. Dampak pariwisata terhadap berbagai indikator ekonomi di berbagai provinsi
Daerah
Tahun
Output
PDB
PTL
U&G
Kesempatan
Kerja

Bali
2007
51,56
46,16
66,44
36,12

DKI Banten Sulteng
2009 2008 2008
6,46 2,56
6,04
5,85 3,04
4,92
8,33 3,23
7,23
6,54 3,15
2,49

40,56 9,48

4,03

2,78

Riau Sumsel Jabar Jateng
2007 2006 2010 2013
2,31 1,25 3,79 5,38
2,14 1,07 3,91 5,94
4,03 1,50 3,90 6,63
3,11 1,17 3,79 5,52

Babel
Indonesia
2011 2008 2014
4,89 5,06
4,84 4,70
6,51 4,32
6,86 4,97

5,22

3,06

1,04

3,97

5,14

6,84

Sumber: Nesparda berbagai provinsi dengan berbagai tahun perhitungan dan Nesparnas 2008, 2014

Diperkirakan produktivitas tiap provinsi akan berbeda akibat perbedaan kesiapan daerah,
kemauan politik dalam pengembangan pariwisata, dan struktur ekonominya. Bangka
Belitung termasuk provinsi yang secara khusus menyiapkan diri untuk mengembangkan
pariwisata sejak menyadari bahwa peran sektor primer dari timah makin menurun dalam
dua dekade terakhir. Pesan yang ingin disampaikan adalah: (i) bahwa posisi pariwisata dalam
struktur ekonomi wilayah berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, demikian pula
potensi dan kemampuannya untuk berkembang sehingga replikasi keberhasilan (Bali) perlu
dipikirkan masak-masak, dan (ii) bahwa menggunakan ‘angka-angka’ nasional

sebagai

indikator perlu dilakukan dengan hati-hati.

Persaingan Global: Dinamika Daya Saing Pariwisata Indonesia
A nation‘s competitiveness depends on the capacity of its industry to innovate and upgrade.
(Michael Porter)

6

Pariwisata internasional pada tingkat global tumbuh secara berkelanjutan dan Asia Pasifik, di
mana Indonesia terletak, merupakan kawasan yang berkembang terpesat di antara kawasan
lainnya dalam kunjungan internasional maupun sebagai sumber pasar. Eropa dan Amerika
merupakan kawasan yang sudah lebih mapan dalam perkembangan industri pariwisata, dan
menempatkan berbagai negara maju di dalam wilayahnya sebagai pemegang ‘piala’ daya
saing. Demikian pula dengan berbagai negara maju atau yang pesat berkembang di kawasan
Asia Pasifik: Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Pentingnya daya saing suatu negara atau bagian negara ditunjukkan dengan fakta bahwa
banyak negara, seperti Irlandia, Saudi Arabia, Yunani, Kroasia, Bahrain, Filipina, Guayana, dan
Spanyol, memiliki badan penasihat, lembaga pemerintah khusus untuk menangani
permasalahan daya saing (Wikipedia, 2016)
Pengukuran yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) sejak satu dekade terakhir,
untuk 133/4 negara merupakan suatu strategic tools untuk mengukur berbagai faktor dan
kebijakan yang menjadikan Travel & Tourism menarik untuk dikembangkan. Berbagai ukuran
ini memberi manfaat untuk tiap-tiap negara untuk dapat melihat kekuatan dan
kelemahannya

dibandingkan negara-negara

lain dan

mengambil

tindakan

untuk

meningkatkan daya saingnya.
Daya saing Indonesia versi WEF
Daya saing pariwisata Indonesia menurut hasil pengukuran WEF memiliki dinamika yang
menarik. Perlu disadari bahwa pengukuran tersebut tergantung pada ketersediaan data.
Selain itu, cara pengukuran tersebut dianggap lebih menguntungkan (sesuai) untuk negara
kecil, di mana pariwisata memang menjadi fokus dan sumber perekonomian bangsa yang
bersangkutan (Maladewa, Barbados, dan sebagainya). Untuk negara sebesar Indonesia,
kondisi daya saing di suatu daerah, seperti Bali atau DIY, dapat jauh di atas ukuran dengan
menggunakan angka nasional. Oleh karena itu, tanpa mengurangi pentingnya laporan WEF
tersebut sebagai pertimbangan, penulis mengajak pembaca untuk memerhatikan rincian,
bukan hanya peringkat akhirnya saja. Dalam 10 tahun terakhir ini, tampak bahwa pada
periode lima tahun pertama, peringkat Indonesia turun 10 peringkat, tetapi pada lima tahun

7

terakhir meningkat signifikan menjadi peringkat 42. Pertanyaannya, dari mana peningkatan
tersebut terjadi dan apa artinya.

Tabel 3. Daya saing pariwisata (travel & tourism) Indonesia dalam 10 tahun terakhir
Competitiveness Index Pillars
T&T Competitiveness
A. Enabling Environment
P1. Business Environment
P2. Safety and Security
P3. Health and Hygiene
P4. Human Resources and Labour Market
P5. ICT Readiness
B. T&T Policy and Enabling Conditions
P6. Prioritization of Travel & Tourism
P7. International Openness
P8. Price Competitiveness
P9. Environmental Sustainability
C. Infrastructure
P10. Air Transport Infrastructure
P11. Ground and port infrastructure
P12. Tourist Service Infrastructure
D. Natural and Cultural Resources
P13. Natural Resources
P14. Cultural Resources and Business Travel

2007
60

RANKING
2013
70

2017
42

68
50
103
62
80

84
85
112
61
87

60
91
108
64
91

6

19

1
81

9
125

12
17
5
131

64
89
87

54
87
113

36
69
96

6
38

14
23

Sumber: The Travel & Tourism Competitieness Report, 2007, 2013, 2017

Peningkatan peringkat dalam konektivitas internasional dan domestik, perlu mendapat
apresiasi. Peningkatan yang bersumber dari ‘keterbukaan’ yang indikatornya antara lain
pembebasan visa, kemudahan investasi dan kepemilikan asing, perlu diwaspadai karena
keduanya mengandung risiko. Pembebasan visa dapat disusupi oleh para tenaga kerja ilegal
atau pengedar narkoba yang memanfaatkan fasilitas bebas visa secara tak bertanggung
jawab, sementara studi yang dilakukan di Bali dengan pembangunan hotel mewah dan
kepemilikan asing yang makin marak menunjukkan tingkat kebocoran ekonomi yang tinggi,
yaitu 51,8% untuk hotel berbintang 4 dan 5 berjaringan internasional (Suryawardani, 2014).

8

Sementara itu hasil penelitian (Kusuma, 2016) menunjukkan bahwa dalam usaha skala kecil
dan menengah yang teridentifikasi sebagai simpul pelayanan dalam pola perjalanan
wisatawan mancanegara, menunjukkan dominannya sumber daya domestik yang dipakai
dalam usaha terkait. Meski demikian, masih ditemukan penggunaan komponen sumber
daya nonlokal pada jenis usaha tertentu. Dengan demikian, selain produktivitas, masih ada
permasalahan lain terkait dengan manfaat yang tinggal (retention) di Bali atau kebocoran
ekonomi yang perlu diminimalkan.
Di sisi lain, nilai untuk keberlanjutan lingkungan, situasi prasarana pariwisata, kesiapan ICT,
keamanan dan keselamatan, serta kesehatan lingkungan masih rendah perlu digarisbawahi.
Langkah terkait dengan peningkatan nilai untuk human resources dan labour market
(kemudahan memperoleh tenaga kerja terampil yang diperlukan untuk menghasilkan produk
pariwisata yang berkualitas) juga perlu diperhatikan.
Pembandingan dengan negara tetangga Malaysia dan Thailand
Negara yang dicakup dalam penilaian WEF bervariasi dalam berbagai dimensi, termasuk
‘ukurannya’. Perbandingan antara negara berukuran kecil dan besar atau sangat besar
sebenarnya kurang relevan, misalnya membandingkan Singapura, Hongkong, Latvia, dan
Luxemburg dengan Indonesia, India, China, atau Amerika. Perbandingan antara negara maju
dan berkembang juga tidak terlalu relevan.
Kemajuan pariwisata Indonesia perlu diapresiasi, tahap demi tahap kita melangkah ke
depan. Sebelum menyejajarkan diri dengan negara maju di tingkat global, akan ditunjukkan
posisi Indonesia terhadap dua negara tetangga yang sekaligus pesaing. Singapura atau
Hongkong tidak dipilih karena tidak komparabel. Jepang dan Australia sudah di depan
mewakili Asia Pasifik di kancah global. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dipilih Thailand dan
Malaysia sebagai pembanding. Kedua negara tersebut merupakan negara dengan
perkembangan pariwisata yang signifikan dari sisi jumlah kunjungan internasional maupun
peringkat WEF-nya.
Pembandingan dilakukan dengan melihat indikator yang berada di peringkat 1–10 yang
dianggap sebagai ‘kekuatan’ (kelebihan) negara yang bersangkutan, seperti digambarkan
pada Tabel 4 berikut.
9

10

Tabel 4. Perbandingan berbagai indikator pilihan antara Malaysia-Thailand dan Indonesia
Tahun 2017
Indikator
Pelatihan bagi pekerja
Praktik rekrutmen/pemecatan
Kemudahan memperoleh tenaga terampil
Gaji dan produktivitas
Efektivitas pemasaran
Pengembangan industri yang berkelanjutan
Biaya memperoleh izin pembangunan
Partisipasi sekolah menengah
Kecepatan pengolahan data
Permintaan akan pariwisata alam digital
Ketersediaan rental mobil
Keterbukaan visa
Tarif hotel
Purchasing power parity
Tempat duduk.km, domestik
Spesies terkenali
Kasus bunuh diri

Malaysia
9
10
10
6
7
6
58
96
53
31
72
25
18
32
14
22
54

Peringkat
Thailand
53
28
88
52
20
55
1
8
9
1
1
21
35
28
13
18
76

Indonesia
34
27
45
26
51
60
103
90
28
43
113
2
7
8
6
4
6

Peringkat 0-10 Malaysia, Thailand, dan Indonesia
Sumber: WEF 2017

Melihat perbandingan tersebut, tampak jelas perbedaan kondisi atau strategi dari ketiga
negara. Malaysia dan Thailand unggul dalam jumlah kunjungan internasional, terlepas dari
kekayaan sumber daya wisata yang dimilikinya yang semua orang Indonesia tentu merasa
tidak kalah. Malaysia memperlihatkan efektivitas pemasaran, pengembangan industri yang
berkelanjutan, dan penyelenggaraan berbagai pelatihan bagi tenaga kerjanya, sementara
Thailand menunjukkan keunggulan dalam perizinan dan penyediaan kebutuhan wisatawan,
dan Indonesia mengandalkan keterbukaan dan tarif. Ada indikasi tentang daya saing
Malaysia dan Thailand dalam kualitas sumber daya manusianya.
Untuk segmen tertentu, wisatawan lebih peka terhadap kualitas pengalaman yang
ditawarkan oleh produk daripada harganya. Pernyataan berikut dapat dipertimbangkan.
In the categories of urban, cultural, internal tourism, MICE, enogastronomic tourism and
others, the main purchasing-decision factors are more bound up with product attributes

11

than price. The demand for eco-friendly tourism is growing among international tourists
(Secretaría de Estado de Turismo Instituto de Turismo, 2013 ).

Faktor Penentu Posisi Daya Saing Indonesia Secara Global
Pola pikir tentang industri kepariwisataan
Pemerintah perlu mengkaji berbagai kebijakan nasional yang berpengaruh terhadap kinerja
industri pariwisata pada masa mendatang. Peningkatan produktivitas dan daya saing industri
pariwisata Indonesia merupakan permasalahan yang lebih krusial dibandingkan peningkatan
jumlah wisatawan. Pemerintah Australia misalnya, membentuk Productivity Commission
(badan penasihat khusus untuk melakukan penelitian independen terkait dengan
permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan) untuk membantu pemerintah dalam
perumusan berbagai kebijakan jangka panjang dengan tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh. Saat ini dengan pendekatan Indonesia Incorporated, sinergi
dengan industri penerbangan sudah dilakukan, infrastruktur sudah digalakkan, berbagai
kementerian sudah siap mendukung, anggaran untuk sektor pariwisata sudah semakin
besar,

tetapi

perencanaan

menyeluruh

masih

perlu

dimatangkan.

Perencanaan

pengembangan industri perlu lebih nyata dan tersistem.
Meski ada kebijakan umum untuk pemerataan pembangunan, pemerataan secara geografis
perlu selektif. Prioritas perlu dicanangkan dengan mempertimbangkan produktivitas sumber
daya yang diperlukan dan tidak terlepas dari kehadiran berbagai sektor lain. Pemerataan
kesejahteraan masyarakat menjadi tantangan untuk segala skala pembangunan. Namun,
perlu diingat bahwa kehadiran pariwisata bukan dimaksudkan untuk menggeser atau
menafikan sektor lain yang mempunyai peran berbeda: ketahanan pangan, kelestarian
lingkungan, peningkatan jati diri, dan revitalisasi budaya lokal (benda dan tak benda).
Kebijakan pemerintah
Kita boleh bangga atas kinerja pemerintah sehingga peringkat daya saing Indonesia
meningkat secara signifikan dari 60 (2007) menjadi 42 (2017), meski sempat menurun pada
2013. Namun demikian, perlu dicermati bahwa peningkatan tersebut tidak dapat dilakukan
‘at all cost’, kita perlu cermati kemungkinan dampak kebijakan terhadap permasalahan lain.
12

Pembukaan secara luas visa kunjungan dapat meningkatkan risiko masuknya tenaga kerja
ilegal ataupun pengedar narkoba dan bahkan teroris.
Tahun ini kita diingatkan oleh WEF yang mengambil tema: Paving the way for a more
sustainable and inclusive future, dan UNWTO dengan International Year of Sustainable
Tourism for Development. Kalau kita perhatikan hasil penilaian WEF, peringkat sustainability
Indonesia justru turun dari 81 (2007) menjadi 125 (2012) dan 131 (2017). Unsur lingkungan
ini penting, segmen pasar menengah ke atas meletakkan lingkungan sebagai penentu pilihan
destinasinya.
Menyasar segmen pasar menengah ke atas, mempunyai konsekuensi, yaitu memenuhi
tuntutan mereka yang lebih sadar akan value for money. Mereka tidak mencari produk
murah (murahan), tetapi mencari pengalaman yang berkualitas dan bermakna dalam
perjalanannya. Terkait hal tersebut, diperlukan sumber daya intelektual yang kreatif dan
inovatif, didukung oleh penjaga garis depan (frontliners) yang ramah dan terampil.
Meski produktivitas per tenaga kerja naik (Nesparnas), indeks kita dalam Human Resource
and Labor Market (WEF) selama 10 tahun terakhir masih berkutat di posisi 60-an. Ini dapat
berakibat pada ketidakpuasan wisatawan, atau mengindikasikan kurangnya pekerja sektor
pariwisata menghadapi pertumbuhan pasar. Kebijakan pendidikan perlu dirumuskan dan
peta pendidikan yang sekarang ada perlu dipantau dan dievaluasi untuk kemudian
menyinergikan

(daripada

mencampuradukkan)

pendidikan

kepariwisataan

dengan

pendidikan hospitality. Yang dibutuhkan bukan hanya tenaga kerja, tetapi juga
wirausahawan, pemikir, dan pemimpin yang handal.

Daftar Pustaka
Blanke, J. dan Chiesa, T. 2007. The Travel & Tourism Competitiveness Report 2007. The World
Economic Forum.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bali. 2007. Neraca Satelit Pariwisata Daerah
Provinsi Bali Tahun 2007.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bangka Belitung. 2011. Neraca Satelit Pariwisata
Daerah Provinsi Bangka Belitung Tahun 2011.

13

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 2009. Neraca Satelit
Pariwisata Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Tahun 2009.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Neraca Satelit Pariwisata
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Riau. 2007. Neraca Satelit Pariwisata Daerah
Provinsi Riau Tahun 2007.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah. 2008. Neraca Satelit Pariwisata
Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2008.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2011.
Neraca Satelit Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011.
Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya dan Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2011. Neraca
Satelit Pariwisata Daerah Provinsi Banten Tahun 2010.
Kusuma, P.G.A. 2016. Pengembangan Model Kontribusi Wisatawan Mancanegara terhadap
Penyerapan Sumber Daya Domestik. Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi
Bandung.
Productivity Commission. 2015. Australia’s International Tourism Industry. Australian
Government.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Direktorat Statistik
Perdagangan dan Jasa Badan Pusat Statistik. 2006. Neraca Satelit Pariwisata Nasional
(Nesparnas) 2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan. 2009. Neraca Satelit Pariwisata Nasional
(Nesparnas) 2009. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Pusat Data dan Informasi. 2014. Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) 2014.
Kementerian Pariwisata, Jakarta.
Schwab, et al. 2017. The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013. The World
Economic Forum.
Secretaría de Estado de Turismo Instituto de Turismo . 2013. National and Integral Tourism Plan

(Plan Nacional e Integral de Turismo: PNIT) 2012-2015. Ministro de Industria, Energía y
Turismo,

http://www.tourspain.es/es-es/VDE/Documentos%20Vision%20Destino

%20Espaa/National%20and%20Integral%20Tourism%20Plan.pdf, diakses tanggal 8 Mei
2017.

14

Suryawardani, I.O. 2014. Tourism Leakage from the Accommodation in Bali. Disertasi
Program Doktor, Universitas Udayana.
Wikipedia,

The

Free

Encyclopedia.2016.

Competition

(companies).

https://en.wikipedia.org/wiki/Competitiveness?oldid=749719732, diakses tanggal 8
Mei 2017.

15