URBANISASI SEBAGAI FAKTOR PENDUKUNG TIMB (1)

Jumlah Kata 2369

URBANISASI SEBAGAI FAKTOR PENDUKUNG TIMBULNYA
STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOTA JAKARTA

Disusun Oleh:
Erza Kurnia Dwi Putranto
NIM: 16417141048
Ilmu Administrasi Negara B 2016
Dosen Pembimbing:
PandhuYuanjaya, MPA
NIP: 11510900713614

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

A. Pendahuluan
Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti
Sistem berlapislapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum

(jamaknya : strata) yang berarti lapisan; stratifikasi sosial adalah pembedaan
penduduk atau measyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis)
(syarif Moeis,2008). Banyak hal yang bisa menciptakan stratata sosial di
masyarakat seperti tingat pertumbuhan penduduk yang tinggi di suatu kota,
kemiskinan, pendidikan, ekonom, pekerjaan yang kadangkala strata sosial itu
menciptakan suatu permasalahan di perkotaan. Akar dari stratifikasi sosial di
masyarakat kota besar biasanya diakibatkan karena arus urbanisasi yang tinggi.
Permasalahan di negara berkembang adalah tingginya angka pertumbuhan
penduduk yang

tidak didukung oleh

pemerataan perekonomian

dan

pemerintahan yang maju di desa dan di kota atau antar kota di negara berkembang
tersebut. Sekarang ini sekitar 67% penduduk dunia hidup di negara-negara yang
sedang berkembang yang tingkat kelahiranya berbeda jauh dengan negara maju
Hasnida(dalam Rendi,2016:209).


Hal itu yang menyebabkan kemiskinan dan

pengangguran menjadi persoalan yang umum di negara berkembang.
Ketimpangan ketersediaan lapangan kerja yang disebabkan oleh tidak
meratanya pembangunan di suatu daerah, bermuara pada pesatnya angka
urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa menuju ke kota yang kebanyakan
berasal dari faktor mencari penghidupan atau mata pencaharian yang dinilai lebih
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Soetomo (dalam Rendi, 2016:211)
mengemukakan bahwa urbanisasi selanjutnya di definisikan sebagai proses
terbentuknya kehidupan pedesaan, dalam konteks ekonomi, sosial dan mentalitas
masyarakat. Orang yang tinggal di desa kebanyakan bekerja sebagai petani karena
pekerjaan itu dinilai tidak cukup untuk menyambung hidup mereka lebih memilih
pindah ke perkotaan untuk mencari pekerjaan lain.

Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi di perkotaan pada dua
dasawarsa terakhir menunjukkan peningkatan yang pesat pada periode 19711980 mencapai 4,60 persen per tahun meningkat menjadi 5,36 persen per tahun
pada periode 1980-1990. Menurut hasil olah cepat sensus penduduk 2010 jumlah
penduduk sebesar 237,6 juta orang yang meningkat dari sensus penduduk tahun
2000 sebesar 1,45 persen per tahun.


Dari data BPS diatas bisa dilihat bahwa tingkat jumlah penduduk perkotaan
setiap tahun mengalami peningkatan berbanding terbalik dengan tingkat jumlah
penduduk yang tinggal di desa malah cenderung semakin menurun. Semakin
pesatnya jumlah penduduk yang melakukan urbanisasi didukung data proyeksi
tingkat urbanisasi sampai tahun 2035 membuat semakin kompleksnya
permasalhan di daerah perkotaan.
Kegiatan urbanisasi yang sangat pesat dan menumpuk di kota kota besar
mengakibatkan banyak timbul lingkungan kumuh di daerah sub urban atau
pinggiran kota. Selain adanya lingkungan kumuh kegiatan urbanisasi yang tidak
terkontrol membawa pengaruh dan dampak buruk bagi lingkungan perkotaan
seperti kemacetan, pengangguran, meningkatnya kriminalitas, demoralisasi yang
tinggi dan masih banyak lagi. Kebanyakan penduduk yang melakukan urbanisasi
tidak didukung oleh skill dan keterampilan dalam bekerja sehingga banyak dari

mereka yang hanya menjadi pekerja kasar, serabutan, pekerja seks komersial,
gelandangan yang hanya mencoreng wajah indah perkotaan.
Permasalahan lain yang timbul dari meningkatnya urbanisasi adalah
kurangnya ketersediaan lahan di daerah perkotaan, yang membawa pengaruh
dengan timbulnya kepadatan bangunan pemukiman, sehingga berdampak pada

adanya pemukiman yang tidak layak huni atau biasa disebut pemukiman kumuh
(slums area). Menurut (Debagus nandang,2011:80) rumah rumah pemukiman
kumuh dibangun diatas lahan yang rentan terhadap bencana seperti banjir, tanah
longsor, dan penggusuran.
Urbanisasi ke kota besar seperti membuat sebuah kelas sosial di
masyarakat, jara yang begitu jauh antara si miskin dan si kaya atau etnis
pendatang dengan masyarakat asli daerah tersebut. Klasifikasi sosial di
masyarakat perkotaan sering menimbulkan konflik sosial karena lahan, lapangan
pekerjaan, pendidikan merupakan kebutuhan primer manusia sedangkan hal
tersebut di perkotaan adalah yang mustahil bisa dinikmati semua orang.
Kepadatan penduduk di daerah perkotaan yang membawa berbagai carut
marut permasalahan sudah bisa kita di kota kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Bandung ataupun Semarang. Kota tersebut merupakan kota yang
mempunyai tingkat perekonomian dan pembangunan yang maju dengan
kesejahteraan yang cukup tinggi sehingga angka urbanisasi di kota itu juga besar.

B. ISI
1. Pengertian Urbanisasi
Urbanisasi merupakan proses mobilitas suatu penduduk dari desa menuju
ke kota. Urbanisasi meliputi perubahan penduduk, proses produksi dan


lingkungan sosial-politik-ekonomi pedesaan yang bersifat padat karya ke ekonomi
kota yang terkonsentrasikan spesialisasi produksi, teknologi relatif tinggi, dan
kewiraswastaan (Alia.dkk,2012:101). Urbanisasi membawa pengaruh besar dalam
lingkup perkotaan jika urbanisasi bisa di kontrol maka pendapatan dan
pembangunan suatu kota akan menjadi sangat pesat tetapi jika tidak maka dampak
buruk yang akan terjadi.

Di kota besar di Indonesia yang perekonomian,

kesejahteraan hidup dan pembangunan nya maju seperti Jakarta, Bandung,
Semarang tidak bisa lepas dari dampak buruk urbanisasi yang menghasilkan
klasifikasi sosial di masyarakat perkotaan.
2. Permasalah Urbanisasi Yang Menimbulkan Stratifikasi Sosial di Jakarta
Sejak jaman dahulu di Kota Batavia yang sekarang menjadi Jakarta sudah
banyak terbentuk kelas sosial. Batavia yang dulunya pelabuhan sunda kelapa yang
kecil disulap menjadi Ibu kota Hindia Belanda yang menampung manusia –
manusia dari mana saja baik Betawi, Jawa, Sunda, Cina, Arab, Eropa dan lain lain

yang beraktifitas disini yang dulunya Cuma terdapat kampung-kampung kecil yang

sederhana dan terbuat dari kayu, lalu Belanda mengubahnya menjadi bangunan
megah arsitektur Eropa yang terbuat dari beton dan baja yang bisa menghalau
hujan dan badai. Tetapi itu semua tidak didapatkan dengan gratis banyak nyawa
yang dikorbankan dari golongan pribumi atau bumiputera dalam bentuk kerja
paksa, pemerasan, monopoli perdagangan oleh golongan eropa.
Dalam hal kendaraan umum saja pada saat itu sudah ada pembagian
kelasnya misalnya kereta yang disebut trem, untuk golongan pribumi hanya boleh
menggunakan trem kelas ketiga sedangkan golongan timur asing dan eropa
menggunakan trem kelas 2 dan 1. Perbedaan antara trem kelas pribumi dan kelas
diatasnya adalah adanya atap pada kelas timur asing dan eropa yang melindungi
dari sengatan sinar matahari sedangkan trem kelas 3 tidak beratap seolah dengan

trem tersebut bangsa kolonial ingin membedakan mana yang budak dan berwarna
kulitnya dan mana yang majikan atau penguasa.
Kebanyakan penghuni kota Jakarta pada jaman dulu sampai sekarang
adalah orang yang melakukan urbanisasi. Apalagi di era modern seperti ini Jakarta
merupakan pusat dari segala aktivitas pemerintahan. DKI Jakarta juga merupakan
kota yang didalamnya terdapat berbagai aktivitas yang berhubungan dengan
kegiatan ekonomi dan bisnis, sehingga perekonomian di jakarta maju dan terdapat
banyak lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Ketimpangan kelas sosial di Jakarta

bisa dilihat dari banyaknya lingkungan kumuh sampai penggusuran dan
banyaknya pengangguran, yang timpang jika dibandingkan dengan tingginya
alokasi dana APBD akibat banyaknya investor atau penanam modal asing di
Jakarta, masyarakat kelas atas dan kawasan perumahan elit yang ada di Jakarta.
Dengan total pendapatan daerah sebesar Rp. 43,82 triliun atau sekitar
67,38 persen dari total pendapatan yang ditargetkan sebesar Rp. 65,04 triliun.
Sumber terbesar dari pendapatan tersebut berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang mencapai Rp. 31,27 triliun, diikuti oleh pendapatan dari bagi hasil
pajak yang mencapai Rp. 9,28 triliun. Dari pendapatan daerah itu Pemerintahan
Kota Jakarta sudah bisa membiayai belanja daerah mencapai Rp. 37,8 triliun atau
59,39 persen dari yang dianggarkan salah satunya untuk membiayai program
unggulan di bidang pendidikan yaitu pemberian Kartu Jakarta Pintar. Dari data
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta itu bisa dilihat bahwa Jakarta
merupakan daerah yang maju dalam bidang perekonomian dan pendapatan
daerahnya juga termasuk yang tinggi di Indonesia.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di DKI Jakarta menjadikan
kawasan metropolitan ini seperti gula yang menarik semut untuk mendatanginya.
Banyak pendatang dari luar kota berbondong-bondong pergi dan mengadu nasib
di ibu kota dengan harapan mencari sumber rejeki yang lebih baik. Dari data BPS


tentang pertambahan penduduk di DKI Jakarta pada Tahun 2013-2014 bertambah
sebesar 1,05 Persen atau sekitar 10 Juta jiwa lebih.
Dari hasil Proyeksi berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010 ditemukan
data pertambahan penduduk di Jakarta mencapai 105 ribu jiwa per tahun atau
dengan kata lain setiap jamnya penduduk Jakarta bertambah menjadi 12 orang.
Berdasarkan pemantauan dan pengawasan tahun-tahun sebelumnya, mayoritas
pendatang baru menuju Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Barat di tiga kota
itu

pendatang

baru

menilai

banyak

peluang

kerja


dilansir

oleh

(www.Metrotvnews.com Jumat, 07 Juli 2017 14:17).

Dengan pendapatan daerah yang tinggi dan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang pesat maka sudah tidak mengherankan lagi jika DKI Jakarta merupakan
sebuah provinsi sekaligus kota yang paling padat penduduknya dengan luas lahan
administratif yang terbatas membuat banyak penduduk menempati lahan yang
bisa dibilang ilegal. Urbanisasi ke Jakarta memang perlu ditangani secara serius
karena menyebabkan berbagai persoalan, khususnya bagi Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dalam memenuhi kebutuhan warga pendatang, seperti penyediaan
lapangan

kerja,

pemukiman,


sanitasi,

dan

air

bersih

(www.MediaIndonesia.com Rabu, 18 Oktober 2017 00:16).

dilansir

oleh

Ketersediaan

kesempatan kerja dan usaha ekonomi di berbagai bidang sementara di daerah asal
mereka menghadapi keterbatasan kesempatan ekonomi, menyebabkan banyak
penduduk


bermigrasi

ke

Jakarta,

terutama

untuk

tujuan

ekonomi

(Haning.Romdiati, 2006:15).
Permasalahan yang cukup pelik dan berangsur angsur tanpa adanya solusi
di Jakarta adalah banjir dan kemacetan akibat padatnya penduduk juga massive
nya lalu lalang kendaraan di jalan raya. Banjir yang melanda kota Jakarta bukanlah
hal yang baru saja terjadi tetapi hal itu merupakan investasi dari menyempitnya

sungai dan menumpuknya sampah yang menghambat aliran sungai tersebut dari
dulu. Secara geografis Jakarta berbatasan dengan Provinsi Banten disebelah barat
dan provinsi Jawa Barat disebelah timur dan laut Jawa di utara. Di sebelah utara
terbentang pantai sepanjang ± 35 km tempat bermuaranya 13 sungai dan 2 kanal
Dinas PU DKI Jakarta (dalam BPS provinsi DKI Jakarta,2015:3). Dengan
terbentuknya lingkungan kumuh karena sempitnya lahan di bantaran sungai dan
kurangnya kesadaran masyarakat Jakarta

tentang budaya tertib pembuangan

sampah menambah faktor pendukung bencana banjir karena 73 persen wilayah
Jakarta di lalui oleh aliran sungai. Arus urbanisasi yang mengakibatkan adanya
lingkungan kumuh di Jakarta membuat Pemerintah Kota Jakarta melakukan
penertiban dengan cara penggusuran yang sering menimbulkan konflik sosial di
dalamnya. Kemacetan juga menjadi dampak urbanisasi di Jakarta karena hampir
setiap penduduk yang bekerja, setiap harinya membawa kendaraan pribadi sedikit
yang menggunakan sarana dan prasarana umum. Faktor yang mempengaruhi
kemacetan adalah kapasitas jalan, banyaknya lalu lintas yang ingin bergerak tetapi
kalau kapasitas jalan tidak bisa menampung maka lalu lintas akan terhambat
sehingga terjadi kemacetan Sinulingga,1999 (dalam A.Aris,2012).
Angka pengangguran di Kota Jakarta juga termasuk tinggi selain karena
jumlah penduduk yang padat, juga penduduk yang melakukan urbanisasi kadang
tidak mempunyai skill atau riwayat pendidikan.

Namun yang lebih

mengkhawatirkan, yakni persentase tingkat pengangguran terbuka di Jakarta
ternyata

melebihi

persentase

tingkat

pengangguran

terbuka

nasional

(www.Kompasiana.com). Biasanya pengangguran di Jakarta untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya memilih bekerja secara informal karena tidak harus belajar
seperti menjadi pemulung sampah, pengepul barang bekas atau hanya menjadi
pengemis di pinggir jalan. Mereka kemudian mencari tempat tinggal seadanya
seperti di emperan toko, sebagian lain yang sedikit mampu memilih membangun
rumah di tanah-tanah kosong atau tanah negara (Debagus Nandang, 2011:81).
Lingkungan kumuh pun terbentuk dari aktivitas tersebut sehingga Pemerintahan
Kota Jakarta melakukan tindakan penertiban lingkungan kumuh dengan cara
mengadakan program penggusuran penggusuran. Tercatat pada Lembaga Bantuan

Hukum Jakarta, setidaknya pada Tahu 2015 dan 2016 telah terjadi penggusuran
paksa di 306 titik di wilayah Jakarta, dari penggusuran tersebut memakan korban
mencapai 13.871 keluarga. Pada tahun ini dari hasil penelitian LBH Jakarta akan
ada 507 Program penggusuran dengan menghabiskan dana hampir 22 miliyar
rupiah berikut rinciannya:
1. Jakarta Pusat, 91 program, Rp 3.436.481.764,2. Jakarta Timur, 118 program, Rp 5.571.525.941,3. Jakarta Selatan, 124 program, Rp 3.992.228.818,4. Jakarta Barat, 94 program, Rp.6.237.900.417,5. Jakarta Utara, 69 program, Rp.3.052.656.407,6. Kepulauan Seribu, 11 program, Rp. 387.537.907,Anggaran diatas belum termasuk anggaran operasional dan pengadaan
barang dan jasa dari satuan pelaksana penggusuran paksa, yaitu Satpol PP
(www.bantuanhukum.or.id).

Kondisi

sosial

masyarakat

yang

melakukan

urbanisasi di Jakarta sangatlah miris mereka pergi dari desa atau dari kota ke kota
yang lebih maju untuk mencari sumber rejeki tetapi yang didapat hanyalah
penggusuran. Bisa digambarkan sebenarnya urbanisasi di Jakarta telah membuat
suatu kasta sosial antara si kaya dan si miskin, pendatang yang terpelajar dan tidak
terpelajar sehingga dari kondisi tersebut sering di Jakarta terdapat konflik sosial. .
Kondisi sosial masyarakat Jakarta juga banyak yang intolenransi dilansir oleh
(https://m.detik.com) penduduk kota Jakarta menempati peringkat pertama
terendah di Indonesia tentang isu intoleransi seperti pelanggaran pembebasan
beragama dan beribadah (KBB) dan masih banyak lagi.

Kesimpulan:
Sebuah kota besar seperti Jakarta yang maju dalam hal pemerintahan,
perekonomian, banyanya akses lapangan pekerjaan membuat kota Jakarta banyak
menjadi tujuan penduduk dari kota lain untuk melakukan urbanisasi. Dengan
banyaknya penduduk yang melakukan hal tersebut membuat padat aktivitas sosial
di Jakarta yang menimbulkan terbentuknya stratifikasi sosial di masyarakat
Jakarta.
Banyaknya

penduduk

yang

melakukan

urbanisasi

tanpa

adanya

keterampilan yang mendukung pekerjaan membuat permasalahan kompleks di
Jakarta seperti pengangguran, intoleransi antar masyarakat, terbentuknya
lingkungan kumuh dan lain-lain padahal di Kota Jakarta yang notabene disebut
kota bisnis banyak sekali terbentuk lingkungan mewah seperti Apartemen,
Perumahan eksklusif, Hotel dan masyarakat elite yang kondisi ekonominya
berlimpah.
Kondisi tersebut membuat di Jakarta timbul berbagai macam kelas sosial
jarak antara si kaya dan si miskin yang sangat mencolok membuat Pemerintah
Kota Jakarta banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat
ekonomi menengah kebawah seperti penggusuran dengan dalih mempercantik
kota. Tidak jarang juga kita lihat di Jakarta banyak sekali aksi kriminalitas karena
hal tersebut.
Permasalahan ini harus dicarikan sebuah solusi yang konkrit agar Kota
Jakarta bisa nyaman dan aman ditinggali semua penduduknya. Agar stratifikasi
sosial masyarakat kota Jakarta tidak begitu jauh jaraknya dan mengurangi adanya
bentrokan sosial salah satu caranya dengan menekan laju urbanisasi di Jakarta.

Peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas pendidikan dan
kesehatan merupakan faktor pendukung upaya mengurangi urbanisasi. Solusi
yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah dengan membentuk badan usaha milik
desa (BUMdes). Keunggulan yang dimiliki BUMdes antara lain mampu menekan
laju pertumbuhan perkotaan, mendorong berkembangnya ekonomi masyarakat
desa, memberikan perlindungan dengan pemberian pinjaman suku bunga yang
ringan dan yang terakhir dapat menjadi sumber pendapatan asli desa sehingga
anggaran pembangunan di pedesaan dapat ditingkatkan (Ketut Gunawan,
2011:61).
Dengan membentuk BUMdes diharapkan penduduk desa di dalam sebuah
kota yang belum maju bisa ditekan keinginannya untuk melakukan urbanisasi di
Jakarta. Dampak lain dari pengurangan laju urbanisasi bagi terbentuknya
stratifikasi sosial di masyarakat adalah jarak antara masyarakat perekonomian
rendah dan tinggi yang bisa dikurangi jumlahnya selain itu kemajemukan di Kota
Jakarta juga bisa di kontrol.
Masyarakat yang terlalu majemuk di dalam suatu kota apalagi dengan
tingkat perekonomian yang berbeda kadang terbentuk suatu kecemburuan sosial
yang bermuara kepada kasus intoleransi antar masyarakat. Agar permasalahan itu
bisa dikurangi seharusnya pemerintahan kota Jakarta bisa mengembangkan orangorang yang tidak mempunyai keterampilan dengan pemberian life skill yang
menunjang kegiatan ekonomi mereka.
Permaslahan penggusuran lingkungan kumuh yang diakibatkan oleh
masyarakat miskin bisa diatasi dengan pemberian ganti rugi yang sepadan dan
memperhatikan beberapa faktor
-

Akses pendidikan murah yang gampang di jangkau di lingkungan baru

-

Keterjaminan lapangan pekerjaan

-

Akses kesehatan yang mudah didapat

Dengan solusi yang mudah di implementasikan itu harapanya penduduk di
Kota Jakarta bisa hidup rukun, adil, sejahtera yang membuat wajah Ibu Kota
Indonesia ini kembali tersenyum.

Daftar Pustaka
Ariadi, Rendi dan Said Muhammad.2016. Pengaruh Urbanisasi, Pendidikan Dan
Pendapatan Terhadap Tingkat Fertilitas Di Lima Kota Provinsi Aceh. dalam
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unsyiah Vol 1 Nomor 1.
Aris,Azhar. 2012. Analisis Dampak Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Akibat
Kemacetan lalu Lintas. dalam Jurnal Ilmiah. Malang: UNIVERSITAS
BRAWIJAYA.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2015. Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta. dalam Katalog BPS 1101002.31. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035.
Jakarta.
Fajar Indrawan, Aditya (16 November 2017). Setara: DKI Jadi Kota dengan
Toleransi Terendah di Indonesia. Diambil pada tanggal 18 November 2017.
https://m.detik.com
Gunawan,Ketut. 2011. Manajemen Bumdes Dalam Rangka Menekan Laju
Urbanisasi. Jurnal Sains dan Teknologi vol. 10 No. 03. Widyatech
Hartati Ali, Ismaini Zain dan Brodjol Sutijo Suprih Ulama.2012. Analisis CART
(Classification And Regression Trees) pada Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kepala Rumah Tangga di Jawa Timur Melakukan Urbanisasi.
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol.1 No 1. Surabaya.
Moeis, Syarif. (2008). Stratifikasi Sosial. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Nandang,Debagus. 2011. Pengaruh Urbanisasi Terhadap Tumbuhnya Rumah
Bedeng Di Semarang. dalam Jurnal Teknik UNISFAT Vol. 6 No. 2.

Ritonga,Razali (18 Oktober 2017). Ihwal Urbanisasi Jakarta. Diambil pada tanggal
15 November 2017. www.MediaIndonesia.com
Romdiati,Haning dan Mita Noveria. 2006. Mobilitas Penduduk AntarDaerah Dalam
Rangka Tertib Pengendalian Rangka Tertib Pengendalian Migrasi Masuk Ke
DKI Jakarta. dalam Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 1 No. 1
Siaran Pers LBH Jakarta Nomor 777/SK-ADV-PMU/VII/2017 (03 Juli 2017). Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta Anggarkan 22 Milyar untuk 507 Program Penggusuran. Diambil pada 15
November 2017.www.Bantuanhukum.or.id

Tomy Rivaldo (2 Juni 2012). Tingkat Pengangguran di DKI Jakarta Melebihi
Tingkat Pengangguran Nasional. Diambil pada 15 November 2017.
www.Kompasiana.com
Whisnu Mardiansyah (07 Juli 2017). Tren Urbanisasi di Jakarta. Diambil pada 16
November 2017. www.Metrotvnews.com